Benar-benar kemarahan membabi buta! Nyi Ageng Permata telah menghapus babad kerajaan sehingga pendekar berponi tidak tahu siapa yang dihadapinya. Padahal sebenci apapun pada sejarah, generasi masa depan berhak tahu. Sungguh ironis pendekar berponi tidak mengenali siapa leluhurnya. Tapi dengan lantang ia mencatut leluhurnya, "Aku tidak mau leluhur murka karena terjadi pertumpahan darah di antara kita! Masalah kita sudah selesai! Kau sudah membebaskan prajurit tak berdosa!" Nyi Ratu Suri jungkir balik di udara keluar dari arena pertarungan, setelah delapan pengawal utama dilumpuhkan dan menyisakan pendekar berponi. "Kalau kau benar keturunan Ratu Pasir Galih, kenapa bersekutu dengan pemberontak?" Nyi Ratu Suri tidak berhasrat untuk memberi tahu siapa dirinya, biarlah pendekar berponi mengira ia adalah Dewi Anjani. "Aku butuh ruang untuk mengekspresikan kebebasanku! Tapak Mega menjanjikan itu!" "Kau keliru kalau menganggap Kadipaten Barat adalah rumahmu! Kalian sudah merusak tatan
"Semua ini hasil perbuatanmu?" Ranggaslawi berdiri di halaman istana, mengedarkan pandang melihat ratusan pendekar berilmu tinggi terdiam kaku. "Tumben kau serius menghadapi musuh, tidak ada pose doggy, missionary, atau spooning." "Mereka bukan hasil perbuatanku." Kemudian Cakra bertanya ke Jendral Perang, "Prajurit yang disekap di ruang bawah tanah sudah dibebaskan?" "Mereka lagi dievakuasi. Prajurit pemberontak terkapar kelaparan di ruang gelap dan sempit. Mereka sudah dua hari tidak diberi makan. Rabi Sakila sungguh kejam." "Kau bawa semua pendekar bayaran ke pusat rehabilitasi dan masukkan ke barak yang sama dengan tawanan sebelumnya. Untuk rabi Sakila dan pendekar berponi, tolong bawa ke istana terlarang." Istana terlarang adalah tahanan untuk para pejabat dan bangsawan yang melakukan tindak kejahatan moral. "Siapakah mereka sampai perlu mendapatkan perlakuan istimewa, gusti pangeran?" tanya Mahameru. "Cicit buyut Nyi Ratu Suri yang tersesat, dari garis Nyi Ageng Permata.
"Kau yakin Nyi Ratu Suri tidak bersama kita?" Iblis Cinta berjalan di jalan setapak bekas aliran air. Mereka sengaja melewati jalan di antara pepohonan rimbun dan dipenuhi semak belukar. Mata-mata istana Curug Empat pasti melihat mereka jika lewat jalan biasa atau pucuk pohon. Mereka melangkah sebagaimana makhluk berjalan, namun jarak tempuh yang didapat sangat jauh. "Aku sudah menggabungkan ilmu nyata dan ilmu gaib untuk mendeteksi keberadaannya. Aku pikir ia marah karena merasa dikerjai menghadapi pendekar Curug Lima sendirian." "Kau benar-benar ksatria slebor. Leluhur permaisurimu dikerjai juga." "Aku melihat tidak ada perbedaan jika mereka duduk bersisian. Semoga mereka tidak tidur satu pembaringan." Hanya wangi tubuh berbeda, namun aromanya sama-sama menggugah selera. Semula ia mengira Dewi Anjani memakai pewangi dengan ekstrak bunga yang memancing gairah, namun setiap puteri mahkota ternyata memiliki wangi alamiah yang khas. "Ha ha ha!" Iblis Cinta tertawa. "Kau seharusn
Pendekar Lembah Cemara memandang bangunan istana dengan nanar. Amarah berkobar di dadanya. Ia belum pernah merasa sebenci ini pada sesosok rabi. Ada aturan tertulis di lembaran suci kerajaan. Siapapun dilarang membunuh rakyat tak berdosa. Jika dilanggar, maka ia akan kehilangan martabat dan menjadi musuh bersama, digantung di Alun-alun Kotaraja. Memenggal kepala rakyat yang dipaksa menjadi prajurit pemberontak adalah perbuatan keji dari makhluk beradab, dan termasuk katagori itu. Cakra tidak sudi takluk kepada ancaman. Hukum mesti ditegakkan. "Kau akan kujadikan peringatan bagi rabi lain," geram Cakra. "Kau sudah berani melenyapkan nyawa prajurit tak berdosa, maka hukumannya adalah mati dalam kehinaan." Tangan Cakra bergerak melingkar secara unik disertai tenaga dalam penuh, menimbulkan deru angin sangat dahsyat. Kemudian tangan kanan terbentang ke depan mengarah ke bangunan istana dengan telapak tangan terbuka, tangan kiri tergantung di depan dada. Ia mengeluarkan ajian Grebek Ny
"Sebenarnya apa keinginan garwa ananda?" Ratu Purbasari duduk di kursi bertahtakan mutiara dengan wajah bermuram durja. Ia sulit marah kepada mahapatih karena ia tiada kuasa melarang putera mahkota. "Aku memerintahkan untuk menarik mundur semua kekuatan, tetapi ia memerintahkan mengerahkan seluruh kekuatan. Bagaimana pertanggungjawaban ku kepada keluarga korban kalau para rabi menggantung semua prajurit tak berdosa?" Dewi Anjani mencoba memahami apa yang menjadi pertimbangan Cakra sehingga sering mengambil keputusan bertentangan. Sebenarnya ia ingin berkomunikasi langsung dengan suaminya, tapi terlarang menggunakan ilmu Sambung Kalbu dan Sambung Rasa sejak masa kehamilan. Jika berani melanggar, maka berdampak buruk pada perkembangan bayi di rahimnya. Ia harus menahan hasrat dengan bertafakur, dan mandi kembang setiap malam agung agar jabang bayi selamat dari malapetaka. "Garwa ananda menyebabkan aku sulit menyerahkan tahta sesegera mungkin kepada ananda, padahal aku sudah mesti l
"Ada yang tidak dimengerti dari para leluhur." Cakra berjalan di antara pepohonan menuju ke istana Curug Empat. Nyi Ratu Suri tampak santai melangkah di sampingnya. Jika ada yang melihat, tak satu pun mengira bahwa mereka bukan pendekar dimabuk kasmaran. "Ratu Singkawang adalah permaisuri ketua Dewan Agung, apakah ia tidak mempunyai kekuatan untuk menghentikan kegaduhan yang diciptakan garwanya di Bukit Penamburan?" "Ratu Singkawang sudah bercerai satu dasawarsa yang lalu. Penyebabnya adalah ketua nikah siri dengan Nyi Ageng Permata." "Jadi sejak itu kekacauan di Kadipaten Barat terjadi? Nyi Ageng Permata ingin membuat keturunan Nyi Ageng Kencana tidak tenteram memimpin kerajaan?" "Aku sangat menyesal mempunyai puteri seperti Nyi Ageng Permata, dendamnya sampai terbawa ke alam roh, padahal janji suci Nyi Ageng Kencana dengan Pangeran Restusanga adalah takdir." "Berarti di alam roh juga terjadi perang dingin. Mereka sama-sama menahan diri untuk menghindari kemurkaan Raja Sekalian
"Salam sejahtera untuk Raja Agung!" Rabi Sabani dan anaknya buahnya berbaris rapi di halaman istana dengan posisi duduk. Prajurit berdiri di belakang seakan mengawal mereka. Tiang gantungan dibuang dari pintu gerbang. "Salam sejahtera untuk Raja Agung!" Mereka mengulang-ulang kalimat itu, sampai Cakra dan Nyi Ratu Suri tiba di depan istana. Cakra bengong. "Apa yang terjadi dengan mereka?" "Mereka menyerah," jawab Nyi Ratu Suri. "Mereka ingin kedamaian. Kabar kehancuran istana Curug Tiga rupanya sudah sampai ke telinga mereka." Kemurkaan putera mahkota memaksa mereka memilih menyerah tanpa syarat. Mereka tidak mau mati dalam kehinaan. Rabi Sabani memutuskan untuk mengikuti rehabilitasi di kota baru, sesuai permintaan rabi Sakila. Tragedi Curug Tiga menyadarkan mereka betapa pentingnya nyawa rakyat tak berdosa bagi putera mahkota. Ia mengamuk laksana banteng terluka. Mereka percuma melakukan perlawanan, tidak ada perlindungan dari Tapak Mega sebagaimana yang dijanjikan. "Pemand
Nyi Ratu Suri mencuci pakaian di batu ceper di bawah derasnya siraman air terjun. Lalu hasil cucian digeletakkan di atas batu, sementara ia berenang dengan mengenakan cawat dan coli bersulam emas. Kebiasaan mandi di telaga pada malam purnama mulai dilakukannya sejak ia menginjak remaja. Ia tidak memperkenankan dayang pribadi melihat kemolekan tubuhnya. Bercinta dengan Raden Mas Arya Bimantara pun di dalam pesanggrahan yang gelap. Ia malu sang pangeran melihat tubuhnya secara utuh. Ia baru menghidupkan lampu setelah berpakaian rapi. "Bukan kelainan." Ibu Suri membela saat suaminya mempertanyakan kebiasaan aneh itu. "Banyak perempuan kurang nyaman bermesraan di dalam terang." Nyi Ratu Suri merasa tenang berenang karena tidak ada putera mahkota di sekitar telaga. Ia rupanya benar-benar pergi dari telaga. Cakra sebenarnya pemuda terbaik dari delapan generasi klan Bimantara. Catatan putih kehidupannya di dunia manusia menjadi bukti sahih. Namun ia heran manakala menerima semua ilmu kan