Penjaga tidak ada di pintu gerbang istana. Pemandangan ini terlihat aneh mengingat keadaan sangat rawan. Iblis Cinta dan kawan-kawan memasuki halaman. Pendekar bayaran tidak ada yang keluar menghadang. Mereka tidak mungkin ketiduran. Mereka mestinya berjaga-jaga sebagai benteng pertama. Malam yang sangat dingin bukan alasan untuk bermalas-malasan. "Aku curiga ini jebakan," kata Gagak Jantan. "Situasi sangat sunyi." Iblis Cinta mengedarkan pandang ke sekitar istana sambil mengingatkan, "Semua waspada, jangan sampai lengah." Rabi Samate seperti membiarkan mereka masuk untuk disergap di dalam. "Dugaanku istana Curug Enam seperti istana Curug Satu," ujar Ranggaslawi. "Banyak senjata rahasia di setiap ruangan." "Maka itu pasang mata dan telinga baik-baik." Iblis Cinta membuka pintu utama dengan waspada, lalu memimpin sahabatnya melintasi koridor. Mata elangnya menghunjam ke sekeliling. Kamuflase lubang senjata rahasia tidak ditemukan di lantai dan dinding, semua terlihat permanen.
"Mereka keracunan!" Iblis Cinta segera memeriksa korban terdekat. Denyut nadi masih ada meski sangat lemah. Ia menotok di beberapa titik. Pendekar atletis itu langsung muntah-muntah, kemudian terkulai pingsan. Sementara ketiga sahabatnya sibuk menolong yang lain. Puluhan pendekar berhasil diselamatkan, sisanya menemui ajal, termasuk rabi Samate. Iblis Cinta memeriksa jus jeruk yang ada di depan salah satu korban, tidak berbau, entah racun apa yang digunakan, barangkali racun arsenik. "Siapa gerangan yang telah berbuat sekeji ini?" sesal Ranggaslawi. "Mereka mungkin bersalah, tapi bukan begini hukumannya." "Kita datang terlambat," keluh Iblis Cinta. "Hanya sedikit yang dapat diselamatkan." "Pelakunya pasti makhluk biadab yang menyamar jadi pelayan," kata Gagak Jantan. "Ia membubuhkan racun pada jus jeruk. Tapi apa maksudnya meracuni mereka semua?" "Entahlah." Telik sandi tidak mungkin berbuat sekeji ini, pikir Iblis Cinta. Kesalahan fatal kalau berani melanggar kode etik. Kepal
"Seharusnya minta persetujuan dulu!" Dewi Anjani memandang ibunda ratu dengan berapi-api. Kemarahannya hampir meledak mendengar keputusan kontroversial itu. Memberi perintah langsung kepada Jendral Perang berarti mengambil alih komando peperangan. Padahal ia sudah menyerahkan wewenang penuh kepada C untuk mengambil keputusan taktis di medan laga. "Aku tahu ananda pasti tidak setuju," kata Ratu Purbasari. "Aku sudah menarik putera mahkota dari Bukit Penamburan kalau ananda tidak menghalangi." Dewi Anjani sama sekali tidak mengerti jalan pikiran ibundanya. Cakra telah berhasil menumpas pemberontak dalam waktu singkat, tapi hendak diganti dengan tokoh istana yang sudah terbukti gagal. Mereka datang ke Bukit Penamburan hanya mengantarkan nyawa, dan petaka itu akan terulang lagi. "Kadipaten Selatan sangat membutuhkan garwa ananda," dalih Ratu Purbasari. "Adipati sangat kewalahan mengatasi penyusup dari kerajaan Selatan." "Aku bingung dengan cara berpikir ibunda. Mengusir penjajah le
"Gusti pangeran tidak bersama rombongan." Abimanyu baru tiba di istana dan ia melapor pada puteri mahkota. Tapi ia tidak menyampaikan perihal janji suci mereka atas perintah Nyi Ratu Suri. Dewi Anjani terdiam di kursinya. Penolakan putera mahkota memimpin rombongan ke Curug Empat adalah protes keras terhadap keputusan ibunda ratu. Cakra bisa dicopot gelar kebangsawanannya karena tidak patuh pada perintah istana. Jika hal itu terjadi, maka ia tidak berhak tinggal di istana. "Jangan sampai ibunda ratu tahu," kata Dewi Anjani. "Ia pasti murka, dan kau tahu apa risiko dari kemurkaannya, pencopotan gelar pangeran." "Baik, gusti puteri." Kepala Dewi Anjani berdenyut pusing. Ia tahu Cakra kecewa karena ibunda ratu telah turut campur, tapi ia tak mengira reaksinya sekeras itu. Nasib putera mahkota di ujung tanduk. Tak ada yang mampu menyelamatkan selain kemurahan hati ibunda ratu. Hanya ada dua pilihan bagi Dewi Anjani; melepas gelar kebangsawanan dan hidup sebagai rakyat biasa bersama
Puteri Rinjani sangat berat melepas kepergian Cakra, namun tanggung jawab besar menantinya. "Aku minta kau pulang ke istana Sihir," kata Pendekar Lembah Cemara. "Bukit Penamburan bukan persinggahan yang aman buat puteri mahkota." "Aku ingin menunggumu di sini," sahut Puteri Rinjani. "Aku tak bisa jauh darimu." Cakra tersenyum kecut. "Itu kata Slank. Tidak apa jauh di mata tapi dekat di hati." "Itu empedu. Kau ingin memberikan kepahitan hidup bagiku?" "Itu kata Ernie Djohan." "Terus kata kanda tersayang apa?" "Segeralah pulang ke istana Sihir. Di bukit ini banyak tokoh sakti yang mengincar dirimu karena kini kau adalah garwaku." Puteri Rinjani sebenarnya ingin memadu kasih sampai titik di dahi hilang, pertanda kehamilan tiba. Ia sudah membuka pintu rahim setiap kali berhubungan intim, namun titik itu belum lenyap juga. Satu kehinaan bagi puteri mahkota kalau sampai majir, dan menjadi bencana. Siapa yang meneruskan dinasti kelak? Ia muak kepulangan dirinya disambut pertanyaan m
"Kenapa gusti ratu selalu terlambat mengambil keputusan?" Cakra tak henti menggerundel di sepanjang jalan setapak dan berliku itu. Ia sengaja melewati jalan sulit untuk menghindari pertemuan dengan antek-antek rabi Sakila. Satu nyawa prajurit pemberontak melayang di tiang gantungan jika ketahuan ada pendekar golongan putih mendekati istana Curug Lima. Cakra meningkatkan kewaspadaan saat instingnya merasakan ada makhluk roh mengikuti. Ia mengerahkan ilmu Tembus Pandang Paripurna dan Selubung Khayali untuk melihat ke sekitar. "Berada di mana makhluk itu?" gumam Cakra. "Ia tak bisa bersembunyi dariku meski hanya sebesar kutu." Tidak mungkin Tuan Agung. Ia berkunjung ke bukit ini setiap purnama ke tujuh. Apakah ada makhluk lain berkeliaran? Makhluk roh itu bergerak laksana kilat untuk menghindari pandangannya. Cakra berniat menggunakan ilmu Seberkas Sinar untuk mengejar, tapi kemudian diurungkan. "Buat apa aku cape-cape mengeluarkan ilmu roh? Ia sepertinya tidak bermaksud jahat, han
Perempuan seksi yang lagi asyik bermain dengan kuda poni jantan serentak bangkit dan merapikan pakaian saat pintu pesanggrahan ambruk ditendang dari luar. "Jahanam!" geram rabi Sakila. "Kau cari mampus mengganggu kesenanganku!" Cakra mendengus sinis. "Sayang sekali kencantikanmu disia-siakan. Banyak lelaki di luar sana mendambakan kenikmatan darimu." "Hakku untuk bercinta dengan makhluk apapun!" "Kau lupa lubang kenikmatan yang ada padamu bukan diciptakan untuk binatang. Hak macam apa yang kau punya sehingga berani mengangkangi takdir Raja Sekalian Alam?" "Tahu apa kau tentang hak?" "Justru itu aku bertanya padamu!" Di mata Cakra, rabi Sakila adalah makhluk salah kaprah. Ia belajar tentang hak pada guru yang salah. Bercinta adalah haknya, namun ia keliru menerapkan hak pada organ intimnya. Ia menganggap perbuatannya benar, padahal ia sudah sewenang-wenang mengeksploitasi organ intim sehingga terjadi penganiayaan pada diri sendiri. Menggunakan organ tubuh tidak sesuai dengan fu
Nyi Ratu Suri heran musuh seperti tidak habis-habisnya, mereka berhamburan dari dalam istana, padahal sudah puluhan pendekar berhasil dilumpuhkan dan hanya pendekar berenergi inti paripurna yang mampu membebaskan totokan itu. Beberapa dari mereka mencoba menolong namun gagal, padahal berilmu sangat tinggi. "Aku baru menemukan pelumpuhan model begini," keluh pendekar berponi. "Barangkali hanya guruku yang mampu menolong mereka." "Aku tidak mengira puteri mahkota berilmu setinggi itu," kata temannya. "Kemampuannya sulit ditandingi." Beberapa pendekar muntah darah karena nekat beradu tenaga dalam dengan menangkis pukulannya. Bahkan sebagian pendekar kelenger pingsan kena gebuk di bagian dada, sampai-sampai Nyi Ratu Suri merasa bersalah. "Please, forgive me!" teriaknya. "Kalian memaksaku berbuat kasar!" Kemudian ia melayang-layang di udara, melompat dari satu kepala ke kepala lain, menghindari senjata maut mereka. Para pendekar bayaran sulit menangkap perempuan seanggun bidadari it