Beranda / Pendekar / Perjanjian Leluhur / 126. Bukan Waktunya Bercanda

Share

126. Bukan Waktunya Bercanda

Penulis: Enday Hidayat
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-12 21:01:26
Semua pelayan tampak ketakutan.

"Kami bukan mata-mata, Tuan," kata pelayan kurus. "Kami sekedar cari upahan. Mereka berdua adalah pemilik warung, kakak beradik."

"Jangan bohong!" bentak Mahameru. "Kalian akan dihukum picis jika terbukti jadi mata-mata pemberontak!"

"Kami tidak bohong, Tuan."

"Sudahlah, mahapatih," kata Cakra. "Mereka cuma rakyat kecil."

Mahameru terpaksa diam, meski hatinya digantungi rasa curiga.

"Tolong kalian bersihkan meja dan singkirkan patung ini," perintah Cakra. "Lalu siapkan makan malam buat kami."

"Baik gusti pangeran."

Mereka memindahkan Durna dan adiknya ke depan pintu masuk, lalu membersihkan meja dan menyiapkan hidangan makan malam.

"Berapa lagi sisa kekuatan di Curug Satu, mahapatih?" tanya Cakra.

"Kita baru mengatasi sebagian kecil, pangeran," jawab Mahameru. "Masih ada sekitar seratus lima puluh prajurit, tiga puluh pendekar bayaran, sembilan pengawal utama, dan penguasa Curug Satu."

"Aku harap mereka keluar malam ini," cetus Ranggaslawe. "
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Melki Hamba
sambungannya mana ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Perjanjian Leluhur   127. Untuk Antrian Istimewa

    Durna tampak membungkuk dengan kaku, di belakangnya sang adik memeluk pinggangnya sambil berdiri dengan kaku pula. Mereka laksana patung yang ditempatkan di depan pintu masuk warung. Semua pelayan membersihkan meja bekas makan malam. Cakra dan keempat pendekar wanita duduk santai di dalam warung, sementara Ranggaslawi dan pendekar pria sudah berangkat ke lereng bukit. "Apakah setiap malam pendekar pemberontak berkeliaran ke warung-warung?" tanya Cakra. "Mereka memeriksa warung kalau ada rombongan kabilah baru saja, gusti pangeran," jawab pelayan kurus. "Jadi mereka beroperasi kalau ada laporan dari mata-mata? Di perkampungan juga berarti begitu." Tangan pelayan kurus tampak gemetar saat membersihkan meja Cakra karena takut bernasib sama seperti pemilik warung. "Kau tidak perlu takut padaku, kecuali mata-mata pemberontak," senyum Cakra. "Kau kelola warung karena pemiliknya akan diangkut ke kota mercu suar untuk menjalani pemeriksaan." "Baik, gusti pangeran." "Berapa semuanya?"

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-13
  • Perjanjian Leluhur   128. Tabir Kepalsuan

    Mereka mulai mendaki bukit saat embun menetes dari dedaunan. Udara dingin menggigit tubuh. Secangkir kopi panas dan penganan hangat tak mampu mengusir. Mereka terpaksa mengalirkan hawa murni. Mereka berlari di atas pucuk pohon. Mereka memilih lewat angkasa agar bisa memandang ke segala penjuru. Namun musuh juga lebih mudah untuk mengetahui kedatangan mereka. "Perempuan dan tuak adalah obat mujarab untuk menghilangkan dingin," kata Ranggaslawi. "Jadi Ratu Bunian pantas marah karena maraknya kasus penculikan rakyatnya." "Tapi mereka tidur di mana?" balik Pendekar Tak Bernama. "Tujuh istana terlalu sempit untuk menampung ribuan pemberontak." Pendekar bayaran tidak ada yang berkeliaran. Kaki tangan Tapak Mega benar-benar menggunakan waktu siang hari untuk beristirahat, dan beroperasi pada malam hari. "Bagaimana kelompok pemberontak mampu bertahan bertahun-tahun di Bukit Penamburan?" ujar Gagak Jantan. "Di mana mereka tinggal? Tidak ada bangunan lagi di Bukit Penamburan selain tujuh is

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-14
  • Perjanjian Leluhur   129. Halusinasi Tingkat Tinggi

    Cakra dan Ranggaslawi menuruni tangga batu dengan waspada. Tidak ada senjata rahasia terpasang di lantai, dinding, dan atap granit. Mereka tiba di dasar goa tanpa rintangan. Goa itu adalah markas prajurit Curug Satu, terdiri dari satu ruangan luas untuk tidur menggeletak di lantai, dan beberapa kamar untuk panglima dan komandan pleton, tapi kelihatannya jarang dipakai. Ada satu ruangan kecil untuk gudang senjata. Semua ruangan kosong. Tidak ada prajurit tersisa. "Aku heran tidak ada tuak dan wanita," kata Ranggaslawi. "Bagaimana prajurit bertahan hidup di udara dingin tanpa dua kenikmatan itu?" "Mereka adalah prajurit tak berharga, sekedar untuk tameng dalam menghadapi pasukan kerajaan," sahut Cakra. "Maka itu gusti ratu melarang untuk dibunuh." Cakra dan Ranggaslawi keluar dari goa setelah memastikan tidak ada tawanan yang perlu diselamatkan. "Goa ini kosong," kata Cakra kepada sahabatnya yang menunggu di luar. "Kita lanjutkan perjalanan." "Iblis Cinta dan Ranggaslawe mana?"

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-25
  • Perjanjian Leluhur   130. Rekayasa Tanpa Cela

    "Istana Curug Satu terlihat dari kejauhan untuk menarik perhatian dan mengundang musuh datang untuk menjemput maut," kata Cakra. "Sebuah jebakan sempurna." Penguasa Curug Satu sengaja memancing pasukan kadipaten untuk datang menyerbu ke istana, dan berakhir dengan terpanggang batu runcing yang bertebaran di dasar jurang dan memiliki kedalaman ratusan hasta. Kekuatan apa yang mampu menciptakan rekayasa tanpa cela? "Keadaan ini sudah cukup memberi gambaran kenapa beberapa tokoh istana hilang tanpa jejak." "Jurang ini terlalu dalam untuk dituruni," komentar Iblis Cinta. "Aku tidak bisa mendarat di atas batu runcing tanpa cedera." "Kita bisa mendarat di telaga," tukas Ranggaslawe. "Apakah kau yakin di dalam air tidak ada jebakan?" balik Golok Santet. "Aku tidak takut mati, tapi tidak mau mati konyol." "Lagi pula, istana Curug Satu belum tentu ada di dasar lembah," timpal Minarti. "Jadi buat apa kita cari mati?" Cakra pikir ilmu Tapak Layang dapat mengatasi situasi ini, mendarat di

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-04
  • Perjanjian Leluhur   131. Hanya Curut

    "Aku heran kalian bisa bersantap malam dengan nikmat, sementara musuh menunggu di atas tebing." Lelaki berpakaian rabi bernama Wahidi duduk dengan tegang di kursi berlapis emas, ditemani sembilan pendekar yang asyik menikmati hidangan penutup makan malam. "Seharusnya kalian berpikir bagaimana menghadapi para tokoh istana." "Sejak kapan kita menganggap mereka sebagai rintangan?" balik pengawal ceking yang berilmu paling tinggi. "Tokoh istana itu hanyalah curut yang akan mati dengan sendirinya kalau dibiarkan." "Aku kira mereka bukan tokoh istana," sanggah pengawal berkumis yang duduk di sampingnya. "Mereka berpakaian ala pendekar dari dunia perkelahian." "Siapapun mereka, sejak kapan kita memperhitungkan mereka?" potong pengawal ceking acuh tak acuh. "Apa kau mulai takut dengan musuh yang datang?" "Aku kira mereka memiliki kemampuan berbeda dari lawan sebelumnya," tukas pengawal berbadan bulat, persis bola bekel. "Mereka bisa mengatasi tabir kepalsuan ciptaan Tuan Agung." "Kirany

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-06
  • Perjanjian Leluhur   132. Penyusup Misterius

    Cakra mondar-mandir dengan gelisah, memikirkan bagaimana menolong Ki Gendeng Sejagat untuk menembus tabir kepalsuan. "Kenapa tidak kau coba membantunya dengan Tongkat Petir?" usul Bidadari Penabur Cinta. "Bukankah tongkat sakti itu dikendalikan oleh pikiranmu? Berarti bisa dikendalikan dari jarak jauh." "Betul juga," seru Cakra seakan lolos dari lubang jarum. "Aku coba mengendalikan Tongkat Petir dari jarak jauh." Cakra duduk bersila, kemudian memejamkan mata dan memusatkan pikiran. Tongkat Petir sekonyong-konyong muncul di angkasa dan melesat ke dalam jurang. Ki Gendeng Sejagat yang tengah kebingungan serentak bersorak gembira melihat tongkat pusaka meluncur ke arahnya, kemudian melayang rebah di depan tebing karang dengan ujung menyentuh tabir kepalsuan. Percikan listrik muncul akibat persentuhan itu, secara perlahan tabir bening lenyap, dan nampaklah pintu besar terbuat dari besi tebal menutup dinding karang. "Tongkat apakah itu? Dari mana datangnya?" Rabi Wahidi terkejut men

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-07
  • Perjanjian Leluhur   133. Senja Di Bukit Berbunga

    Matahari hampir terbenam, meninggalkan bunga yang bermekaran di sekitar tebing. Cakra duduk merenung sambil bersandar ke batang pohon. Parasnya mendadak berubah. "Celaka!" pekik Cakra. "Ki Gendeng Sejagat terjebak di gerbang utama. Ia tidak dapat keluar terhalang mantera gaib." Para pendekar ternama yang berada di dekatnya kaget. "Kok bisa?" ujar Ranggaslawi. "Semasa hidupnya ia tidak pernah terjebak oleh mantera apapun." "Kecuali mantera cinta," senyum Cakra kecut. "Aku memintanya menyelidiki situasi di dalam istana Curug Satu, tapi ia lupa waktu mengintip perempuan Bunian, akhirnya terlambat keluar." "Apakah sahabatku itu tidak apa-apa?" tanya Ranggaslawe khawatir. "Kau kelihatannya tenang-tenang saja gurumu dalam bahaya." "Bahaya itu untuk kita yang masih hidup," jawab Cakra dengan mata mengantuk diterpa semilir angin senja. "Roh tidak mati dua kali." "Tapi Ki Gendeng Sejagat bisa merasakan sakit seperti kita. Jadi ia pasti sangat menderita karena tidak lagi mengalami kemati

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-08
  • Perjanjian Leluhur   134. Tangga Rembulan

    Dua penculik itu adalah pengawal kedelapan dan kesembilan istana Curug Satu. Mereka membawa puteri pertama dan puteri kedua dari kerajaan Bunian, bernama Nilamsari dan Nawangsari. Bidasari adalah puteri tercantik di antara ketiga puteri mahkota kerajaan Bunian. Pengawal kedelapan dan kesembilan berhenti berlari ketika tiba di dekat tebing. "Sekarang kalian tidak bisa lari lagi, bajingan!" geram Bidasari dengan amarah membludak. "Terimalah ajal kalian!" Pengawal kesembilan tertawa liar. "Sebelum ajal menjemput, ijinkanlah aku untuk menikmati tubuhmu!" Bidasari menyerbu dengan pukulan maut, sementara ketiga dayang mengepung pengawal kedelapan. Ketiga dayang itu sebenarnya gentar mengejar penculik sampai ke markasnya. Tapi puteri mahkota sudah gelap mata, sehingga mereka nekat berjibaku sampai titik darah penghabisan. Mereka langsung mengeluarkan jurus andalan agar dapat menghabisi begundal itu secepatnya, sebelum datang teman-temannya. Mereka pasti dalam bahaya besar. "Terimalah

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-09

Bab terbaru

  • Perjanjian Leluhur   397. Matinya Sang Pecundang

    Raden Manggala bersama beberapa pembantunya mengadakan perjamuan makan malam yang dihadiri puluhan istrinya. Perempuan-perempuan muda itu pergi ke Puri Abadi secara sukarela tanpa sepengetahuan suami atau orang tua sehingga dikabarkan diculik. Kebiasaan jelek warga kampung Luhan adalah menyebarkan berita tanpa menyaring dahulu kebenaran berita itu. "Perjuangan takkan pernah padam," kata Raden Manggala. "Kita tinggalkan para pecundang yang menginginkan imbalan semata. Aku akan berusaha memberikan kehidupan yang lebih baik bagi kalian." Semua wanita yang menghadiri perjamuan tidak tahu kalau makanan dan minuman yang dihidangkan adalah hasil rampokan. Mereka mengira uang hasil usaha penginapan termewah di Butong, milik Manggala. Mereka juga baru mengetahui sosok Manggala secara jelas, dan mereka tidak menyesal menjadi istrinya. Manggala sangat gagah dan tampan. "Aku sebelumnya minta maaf, kalian ke depannya akan mengalami pengurangan fasilitas, sebab hartaku ludes diambil

  • Perjanjian Leluhur   396. Menolak Ampunan

    Cakra merasa banyak waktu senggang. Kelompok pergerakan bukan ancaman serius secara global, skalanya sangat kecil. Maka itu ia tidak keberatan ketika istana mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam untuk janji suci mereka. "Pesta itu untuk rakyat," kata Nawangwulan. "Kita tidak perlu hadir sepanjang waktu." "Protokoler istana melarang rakyat untuk menyampaikan ucapan selamat secara langsung," keluh Cakra. "Jadi kita hadir sekedar seremonial saja." "Kau maunya seperti apa?" "Kita keliling Kotaraja untuk menyapa rakyat." "Perlu berapa hari kita mengelilingi Kotaraja?" "Tidak sampai tujuh hari tujuh malam kan? Apa salahnya kita mengadakan resepsi di setiap penginapan yang disinggahi supaya rakyat merasa lebih dekat?" "Sayang ... aku berarti harus merubah protokoler istana." "Ibunda ratu keberatan?" "Ia keberatan kalau kita merasa kecewa dengan perjamuan." "Kalau begitu kita rubah pesta sesuai keinginan kita!" Seluruh pegawai istana kelimpungan ada perubahan agenda

  • Perjanjian Leluhur   395. Setia Pada Uang

    Dengan bantuan intisari roh, Cakra berhasil memindahkan harta di kediaman adipati ke rumah Adinda yang kini kosong. "Aku butuh kereta barang untuk mengangkut ke istana," gumam Cakra. "Warga kampung Luhan pasti curiga kalau aku sewa kereta barang. Apakah aku minta bantuan Nawangwulan saja?" Ratu Kencana muncul di kamar tirakat. Cakra tersenyum senang. "Kebetulan...!" seru Cakra. "Kebetulan apa?" sergah Ratu Kencana. "Kebetulan kau sedang mau digampar?" "Aku butuh kereta barang untuk mengangkut harta karun ke istana. Dapatkah kau menciptakan binatang penarik bertenaga super?" "Tidak ada ilmu yang bisa menciptakan makhluk hidup, tapi kau bisa menciptakan tiruannya." "Betul juga...! Lalu kau datang mau apa?" Plak! Plak! "Aku ingin menamparmu...!" geram Ratu Kencana. "Aku menjadi gunjingan di semua jazirah gara-gara kau!" Pasti soal bercinta lagi, batin Cakra kecut. Ratu itu sangat jengkel dibilang mentransfer ilmu lewat kemesraan. "Kau mestinya memberi klarifikasi! Ja

  • Perjanjian Leluhur   394. Generasi Nasi Bungkus

    Kampung Luhan gempar. Penggerebekan rumah Adinda oleh pasukan elit Kotaraja sangat mengejutkan. Gelombang protes muncul secara sporadis. Mereka menganggap penangkapan lima puluh wanita dan beberapa petugas keamanan sangat beraroma politis. Adipati Butong laksana kebakaran jenggot, padahal tidak berjenggot. Ia bukan meredam massa yang berdemo di depan kantor kadipaten, malah semakin membangkitkan amarah. "Tenang! Tenang! Beri saya kesempatan untuk berbicara!" Warga berusaha diam, kebanyakan orang tua perempuan yang ditangkap. "Saya tidak tahu apa-apa dalam peristiwa itu! Istana tidak berkoordinasi dengan saya! Saya akan melancarkan protes keras pada istana!" "Bukan protes! Bebaskan anak kami! Mereka tidak bersalah!" "Pasukan elit sudah berbuat sewenang-wenang! Mereka membawa anak kami ke Kotaraja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak mereka lakukan!" "Bebaskan anak kami...!" "Bebaskan istri kami...!" "Tenang! Tenang! Beri saya waktu untuk menyelesaikan

  • Perjanjian Leluhur   393. Tuan Khong

    "Selamat pagi, Tuan Khong!" Seluruh pelayan di dapur mengangguk hormat menyambut kedatangan kepala koki di pintu masuk. "Ada yang sakit pagi ini?" "Tidak ada, Tuan Khong." "Bagus." Khong mendatangi Chan Xian yang tengah menyiapkan minuman hangat. "Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Khong. "Pagi terindah bagiku," jawab Chan Xian. "Kau pasti mendapat gift universe lagi." Pelayanan kamar yang memuaskan akan menerima uang tip besar dari tamu. Chan Xian adalah primadona di penginapan termewah di Butong. Chan Xian terlihat sangat ceria, padahal hatinya menderita. "Aku dapat sepuluh gift universe pagi ini. Entah karena pelayanan yang memuaskan atau karena kecantikan diriku." "Perempuan cantik selalu memuaskan." Khong adalah kepala koki mata keranjang. Beberapa asisten koki sering tidur dengannya. Chan Xian pasti sudah jadi korban kalau bukan puteri mahkota. Semua pegawai menaruh hormat kepadanya. Chan Xian menjadi asisten koki secara sukarela. Ia tinggal di rumah mewah dengan

  • Perjanjian Leluhur   392. Bukan Hanya Milik Puteri Mahkota

    Hari sudah pagi. Cakra bangun dan pergi mandi, kemudian berpakaian. Jie masih tertidur pulas di pembaringan. Cakra menghubungi Nawangwulan lewat Sambung Kalbu. "Sayang...!" pekik puteri mahkota Segara gembira. "Ada apa menghubungi aku?" "Aku ada informasi penting," sahut Cakra. "Lima puluh istri Manggala akan mengadakan pertemuan rahasia di rumah Adinda, kepala front office kastil Mentari, dengan modus party dance." "Sayang ... kau berada di kampung Luhan?" "Ikan paus membawa diriku ke mari." "Ia ratu siluman. Ia sering menolong kesatria yang ingin berkunjung ke negeriku." "Tapi jutek banget." Nawangwulan tertawa lembut. "Ia biasanya minta upah ... barangkali ia sungkan karena kau adalah calon garwaku, ia jadi bete." "Dari mana ia tahu aku calon garwamu?" "Seluruh penghuni samudera sudah tahu kabar itu, dan Ratu Paus bukan sekedar tahu, ia mengenal sosokmu." Upah yang diminta pasti bercinta. Edan. Bagaimana ia bercinta dengan ikan paus? Siluman ikan biasanya hanya berubah

  • Perjanjian Leluhur   391. Badai Sudah Berlalu

    Sejak awal Cakra sudah curiga dengan Jie. Ia melihat sosok berbeda terbelenggu tabir misteri. Cakra ingin membebaskan sosok itu dari belenggu dengan mengalirkan energi intisari roh. "Aku adalah puteri mahkota dari kerajaan Terumbu," kata Jie. "Aku mendapat kutukan dari Raja Sihir karena menolak lamarannya." "Ada kerajaan sihir di jazirah tirta?" "Tidak ada. Ia pemilik Puri Abadi di wilayah tak bertuan." "Kalian kesulitan menangkap Raja Sihir untuk mencabut kutukan?" "Raja Sihir ditemukan tewas saat tokoh istana menyerbu ke Puri Abadi." "Siapa yang membunuhnya?" "Ia mati diracun murid tunggalnya, Raden Manggala." "Jadi kau datang ke kampung Luhan dalam rangka mencari Raden Manggala untuk mencabut kutukan?" "Ahli nujum istana mendapat wangsit; aku akan terbebas dari kutukan kalau ada kesatria gagah dan tampan bersedia bercinta denganku." "Kesatria di negerimu tidak ada yang bersedia?" "Lubangku mendadak hilang, ada bibir besar saja." "Lubangmu tertutup tabir sehingga ter

  • Perjanjian Leluhur   390. Ada Yang Lain

    Kehidupan di kampung Luhan tenteram dan damai, padahal menjadi markas pergerakan. Kelompok ini sulit diketahui keberadaannya. Mereka berbaur dengan masyarakat dan menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa. Pada saat dibutuhkan, mereka beroperasi secara masif, terstruktur, dan sistematis. Pergerakan seperti itu sangat berbahaya karena mereka akan memanfaatkan setiap peristiwa untuk menjatuhkan istana. "Kau tahu di mana kediaman Raden Manggala?" tanya Cakra. "Aku melihat tidak ada kekacauan di kampung ini. Gerakan mereka rapi sekali." "Bagaimana rupa Raden Manggala saja aku tidak tahu," sahut Jie. "Konon ia operasi plastik di negeri manusia sehingga sulit dikenali. Aku curiga anggota pergerakan telah menculik Chan Xian." "Apakah kakakmu pernah berurusan dengan kelompok Manggala?""Tidak." "Lalu ia diculik untuk apa? Untuk minta tebusan?" "Untuk jadi istri." "Jadi pemimpin pemberontak itu bujang lapuk?" "Istri keseribu." "Luar biasa...! Cukup untuk modal pemberont

  • Perjanjian Leluhur   389. Musuh Satu Kampung

    "Aku berasal dari bangsa Incubus." Cakra merasa jawaban itu adalah jawaban paling aman. Nama bangsa itu sudah termasyhur ke seantero jagat raya. Ia pasti menjadi binatang buruan jika mengaku bangsa manusia. Perempuan di negeri ini akan menjadikan dirinya gongli dengan penampilan sekeren ini. "Jangan keras-keras," tegur perempuan gembrot. "Kedengaran mereka hidupmu dijamin bakal susah." Cakra kaget. "Mereka tergila-gila pada bangsa Incubus. Mereka rela meninggalkan suami untuk mendapatkan pria Incubus, lebih-lebih pria segagah dan setampan dirimu." Cakra terbelalak. Celaka! "Kau bukan wanita kampung ini?" "Namaku Jiefan, panggil saja Jie, kayaknya kita seumuran. Aku dari negeri tetangga." "Oh, pantas...! Lagi pula, siapa yang tertarik kepada perempuan sebesar kerbau bunting? Ia pasti menjadi musuh lelaki satu bangsa! "Jadi aku aman jalan bersama dirimu?" "Kau aman kalau mengaku dari bangsa manusia dan berwajah jelek." "Waduh...!" "Kau akan jadi musuh per

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status