Semua pelayan tampak ketakutan. "Kami bukan mata-mata, Tuan," kata pelayan kurus. "Kami sekedar cari upahan. Mereka berdua adalah pemilik warung, kakak beradik." "Jangan bohong!" bentak Mahameru. "Kalian akan dihukum picis jika terbukti jadi mata-mata pemberontak!" "Kami tidak bohong, Tuan." "Sudahlah, mahapatih," kata Cakra. "Mereka cuma rakyat kecil." Mahameru terpaksa diam, meski hatinya digantungi rasa curiga. "Tolong kalian bersihkan meja dan singkirkan patung ini," perintah Cakra. "Lalu siapkan makan malam buat kami." "Baik gusti pangeran." Mereka memindahkan Durna dan adiknya ke depan pintu masuk, lalu membersihkan meja dan menyiapkan hidangan makan malam. "Berapa lagi sisa kekuatan di Curug Satu, mahapatih?" tanya Cakra. "Kita baru mengatasi sebagian kecil, pangeran," jawab Mahameru. "Masih ada sekitar seratus lima puluh prajurit, tiga puluh pendekar bayaran, sembilan pengawal utama, dan penguasa Curug Satu." "Aku harap mereka keluar malam ini," cetus Ranggaslawe. "
Durna tampak membungkuk dengan kaku, di belakangnya sang adik memeluk pinggangnya sambil berdiri dengan kaku pula. Mereka laksana patung yang ditempatkan di depan pintu masuk warung. Semua pelayan membersihkan meja bekas makan malam. Cakra dan keempat pendekar wanita duduk santai di dalam warung, sementara Ranggaslawi dan pendekar pria sudah berangkat ke lereng bukit. "Apakah setiap malam pendekar pemberontak berkeliaran ke warung-warung?" tanya Cakra. "Mereka memeriksa warung kalau ada rombongan kabilah baru saja, gusti pangeran," jawab pelayan kurus. "Jadi mereka beroperasi kalau ada laporan dari mata-mata? Di perkampungan juga berarti begitu." Tangan pelayan kurus tampak gemetar saat membersihkan meja Cakra karena takut bernasib sama seperti pemilik warung. "Kau tidak perlu takut padaku, kecuali mata-mata pemberontak," senyum Cakra. "Kau kelola warung karena pemiliknya akan diangkut ke kota mercu suar untuk menjalani pemeriksaan." "Baik, gusti pangeran." "Berapa semuanya?"
Mereka mulai mendaki bukit saat embun menetes dari dedaunan. Udara dingin menggigit tubuh. Secangkir kopi panas dan penganan hangat tak mampu mengusir. Mereka terpaksa mengalirkan hawa murni. Mereka berlari di atas pucuk pohon. Mereka memilih lewat angkasa agar bisa memandang ke segala penjuru. Namun musuh juga lebih mudah untuk mengetahui kedatangan mereka. "Perempuan dan tuak adalah obat mujarab untuk menghilangkan dingin," kata Ranggaslawi. "Jadi Ratu Bunian pantas marah karena maraknya kasus penculikan rakyatnya." "Tapi mereka tidur di mana?" balik Pendekar Tak Bernama. "Tujuh istana terlalu sempit untuk menampung ribuan pemberontak." Pendekar bayaran tidak ada yang berkeliaran. Kaki tangan Tapak Mega benar-benar menggunakan waktu siang hari untuk beristirahat, dan beroperasi pada malam hari. "Bagaimana kelompok pemberontak mampu bertahan bertahun-tahun di Bukit Penamburan?" ujar Gagak Jantan. "Di mana mereka tinggal? Tidak ada bangunan lagi di Bukit Penamburan selain tujuh is
Cakra dan Ranggaslawi menuruni tangga batu dengan waspada. Tidak ada senjata rahasia terpasang di lantai, dinding, dan atap granit. Mereka tiba di dasar goa tanpa rintangan. Goa itu adalah markas prajurit Curug Satu, terdiri dari satu ruangan luas untuk tidur menggeletak di lantai, dan beberapa kamar untuk panglima dan komandan pleton, tapi kelihatannya jarang dipakai. Ada satu ruangan kecil untuk gudang senjata. Semua ruangan kosong. Tidak ada prajurit tersisa. "Aku heran tidak ada tuak dan wanita," kata Ranggaslawi. "Bagaimana prajurit bertahan hidup di udara dingin tanpa dua kenikmatan itu?" "Mereka adalah prajurit tak berharga, sekedar untuk tameng dalam menghadapi pasukan kerajaan," sahut Cakra. "Maka itu gusti ratu melarang untuk dibunuh." Cakra dan Ranggaslawi keluar dari goa setelah memastikan tidak ada tawanan yang perlu diselamatkan. "Goa ini kosong," kata Cakra kepada sahabatnya yang menunggu di luar. "Kita lanjutkan perjalanan." "Iblis Cinta dan Ranggaslawe mana?"
"Istana Curug Satu terlihat dari kejauhan untuk menarik perhatian dan mengundang musuh datang untuk menjemput maut," kata Cakra. "Sebuah jebakan sempurna." Penguasa Curug Satu sengaja memancing pasukan kadipaten untuk datang menyerbu ke istana, dan berakhir dengan terpanggang batu runcing yang bertebaran di dasar jurang dan memiliki kedalaman ratusan hasta. Kekuatan apa yang mampu menciptakan rekayasa tanpa cela? "Keadaan ini sudah cukup memberi gambaran kenapa beberapa tokoh istana hilang tanpa jejak." "Jurang ini terlalu dalam untuk dituruni," komentar Iblis Cinta. "Aku tidak bisa mendarat di atas batu runcing tanpa cedera." "Kita bisa mendarat di telaga," tukas Ranggaslawe. "Apakah kau yakin di dalam air tidak ada jebakan?" balik Golok Santet. "Aku tidak takut mati, tapi tidak mau mati konyol." "Lagi pula, istana Curug Satu belum tentu ada di dasar lembah," timpal Minarti. "Jadi buat apa kita cari mati?" Cakra pikir ilmu Tapak Layang dapat mengatasi situasi ini, mendarat di
"Aku heran kalian bisa bersantap malam dengan nikmat, sementara musuh menunggu di atas tebing." Lelaki berpakaian rabi bernama Wahidi duduk dengan tegang di kursi berlapis emas, ditemani sembilan pendekar yang asyik menikmati hidangan penutup makan malam. "Seharusnya kalian berpikir bagaimana menghadapi para tokoh istana." "Sejak kapan kita menganggap mereka sebagai rintangan?" balik pengawal ceking yang berilmu paling tinggi. "Tokoh istana itu hanyalah curut yang akan mati dengan sendirinya kalau dibiarkan." "Aku kira mereka bukan tokoh istana," sanggah pengawal berkumis yang duduk di sampingnya. "Mereka berpakaian ala pendekar dari dunia perkelahian." "Siapapun mereka, sejak kapan kita memperhitungkan mereka?" potong pengawal ceking acuh tak acuh. "Apa kau mulai takut dengan musuh yang datang?" "Aku kira mereka memiliki kemampuan berbeda dari lawan sebelumnya," tukas pengawal berbadan bulat, persis bola bekel. "Mereka bisa mengatasi tabir kepalsuan ciptaan Tuan Agung." "Kirany
Cakra mondar-mandir dengan gelisah, memikirkan bagaimana menolong Ki Gendeng Sejagat untuk menembus tabir kepalsuan. "Kenapa tidak kau coba membantunya dengan Tongkat Petir?" usul Bidadari Penabur Cinta. "Bukankah tongkat sakti itu dikendalikan oleh pikiranmu? Berarti bisa dikendalikan dari jarak jauh." "Betul juga," seru Cakra seakan lolos dari lubang jarum. "Aku coba mengendalikan Tongkat Petir dari jarak jauh." Cakra duduk bersila, kemudian memejamkan mata dan memusatkan pikiran. Tongkat Petir sekonyong-konyong muncul di angkasa dan melesat ke dalam jurang. Ki Gendeng Sejagat yang tengah kebingungan serentak bersorak gembira melihat tongkat pusaka meluncur ke arahnya, kemudian melayang rebah di depan tebing karang dengan ujung menyentuh tabir kepalsuan. Percikan listrik muncul akibat persentuhan itu, secara perlahan tabir bening lenyap, dan nampaklah pintu besar terbuat dari besi tebal menutup dinding karang. "Tongkat apakah itu? Dari mana datangnya?" Rabi Wahidi terkejut men
Matahari hampir terbenam, meninggalkan bunga yang bermekaran di sekitar tebing. Cakra duduk merenung sambil bersandar ke batang pohon. Parasnya mendadak berubah. "Celaka!" pekik Cakra. "Ki Gendeng Sejagat terjebak di gerbang utama. Ia tidak dapat keluar terhalang mantera gaib." Para pendekar ternama yang berada di dekatnya kaget. "Kok bisa?" ujar Ranggaslawi. "Semasa hidupnya ia tidak pernah terjebak oleh mantera apapun." "Kecuali mantera cinta," senyum Cakra kecut. "Aku memintanya menyelidiki situasi di dalam istana Curug Satu, tapi ia lupa waktu mengintip perempuan Bunian, akhirnya terlambat keluar." "Apakah sahabatku itu tidak apa-apa?" tanya Ranggaslawe khawatir. "Kau kelihatannya tenang-tenang saja gurumu dalam bahaya." "Bahaya itu untuk kita yang masih hidup," jawab Cakra dengan mata mengantuk diterpa semilir angin senja. "Roh tidak mati dua kali." "Tapi Ki Gendeng Sejagat bisa merasakan sakit seperti kita. Jadi ia pasti sangat menderita karena tidak lagi mengalami kemati
Ketua lama Dewan Agung berhasil kabur dari gerbang siksa. Ia menjadi pendukung utama Ratu Dublek. Raden Mas Arya Bimantara sebagai ketua baru sungkan untuk menangkapnya. Ratu Kencana sampai turun tangan melobi Cakra, ia sangat peduli dengan kegaduhan yang terjadi. Padahal ia berasal dari langit berbeda. "Nusa Kencana adalah negeri warisanku, aku memiliki keterikatan batin dengan penguasa istana." "Kenapa kau tidak menegur ketua baru untuk bertindak tegas?" "Kepandaian Arya Bimantara belum memadai untuk meringkus ketua lama." "Kenapa diangkat jadi ketua Dewan Agung kalau tidak memenuhi syarat?" "Ia paling pantas menjadi tetua! Tapi ketua lama mempunyai ilmu tertinggi di langit!" "Lalu kau pikir aku memadai? Aku bisa jadi ayam penyet!" "Aku sudah menurunkan intisari roh kepadamu. Jurus dan pukulan saktimu sekarang jauh lebih dahsyat." "Aku diminta taat aturan, kau sendiri tidak tahu aturan. Kau menurunkan ilmu tanpa seizin diriku. Kau seharusnya memberikan ilmu itu kepada indu
Plak! Plak!Dua tamparan keras kembali mampir di wajah Cakra.Kesatria gagah dan tampan itu tersenyum, ia hanya memiliki senyuman untuk perempuan cantik."Aku teringat pertemuan kita di hutan kayu," kata Cakra. "Kau lima puluh kali menampar wajahku sebelum mempersembahkan lima puluh kenikmatan."Plak! Plak!Cakra merasa ada aliran hangat dari tamparan itu, berangsur-angsur menyegarkan tubuhnya."Jadi kau sekarang mengalirkan energi roh melalui tamparan? Apakah Raden Mas Arya Bimantara melarang dirimu untuk bercinta denganku? Jadi kau masih mencintai lelaki pecundang itu? Aku sendiri malu mempunyai indung leluhur seperti dirinya...."Plak! Plak!"Jawabanmu sangat menyebalkan diriku," gerutu Cakra."Kau benar-benar pangeran terkutuk!""Aku mengakui diriku pangeran terkutuk ... terkutuk menjadi gagah dan tampan, bahkan menurut body goal magazine, aku satu-satunya pangeran yang dirindukan tampil telanjang di sampul depan! Tapi kecerdasan buatan tidak mampu menduplikat diriku, lebih-lebih
Puteri mahkota khawatir kesembuhan dirinya menimbulkan masalah baru bagi kerajaan.Bagaimana kalau Nyi Ratu Kencana murka dan menurunkan bencana yang lebih besar?"Aku kira Cakra sudah mempertimbangkan secara matang," kata Pangeran Liliput. "Ia terkenal sering bicara gegabah, namun tak pernah bertindak gegabah."Puteri mahkota memandang dengan resah, ia bertanya, "Bagaimana jika kutukan itu menimpa calon garwaku karena sudah melanggar kehendak ketua langit?" "Janganlah berpikir terlalu jauh, ananda," tegur Ratu Liliput lembut. "Belum tentu apa yang ananda pikirkan itu kejadian.""Bagaimana kalau kejadian, ibunda? Aku pasti disalahkan permaisuri pertama."Puteri Liliput segera meninggalkan pesanggrahan untuk menjumpai calon suaminya.Penjaga bilik tirakat segera berlutut dengan sebelah kaki menyentuh lantai begitu puteri mahkota dan baginda ratu tiba di hadapannya."Bukalah pintu bilik, Paman," pinta Puteri Liliput. "Aku mau masuk.""Patik mohon ampun sebelumnya, Gusti Puteri ... gust
"Ceesss...!"Bunyi pergesekan ujung Tongkat Petir dengan leher Puteri Liliput berkumandang menyerupai bunyi besi panas dicelupkan ke dalam air, seiring mengepulnya asap hitam tebal beraroma busuk.Keringat mengucur deras dari kening Cakra. Tongkat Petir bergetar keras sampai tangannya turut bergetar.Asap hitam tebal menyelimuti pesanggrahan, sehingga menghalangi pandangan sri ratu, ia tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka."Semoga tidak terjadi apa-apa...."Baginda ratu menutup pintu pesanggrahan karena tidak tahan menghirup bau busuk yang sangat menyengat.Ratu Liliput menunggu dengan cemas di depan pintu pesanggrahan.Pangeran Nusa Kencana sungguh nekat mengobati Puteri Liliput, ia tak sepatutnya mengorbankan nyawa untuk hal percuma."Hanya Nyi Ratu Kencana yang dapat menghilangkan kutukan itu," kata Ratu Liliput lemas. "Kesalahan diriku telah membuat murka para ketua langit."Ratu Liliput membuka pintu sedikit, asap tebal menerobos keluar.Ratu Liliput segera menutup pintu kem
Hari menjelang senja ketika Cakra tiba di istana Liliput. Ia diterima langsung oleh baginda ratu di pesanggrahan utama."Puteriku menolak untuk bertemu denganmu."Ratu Liliput bertutur dengan lembut untuk menghibur kekecewaan Cakra.Padahal pesona sri ratu sudah cukup menghibur kepenatan hatinya akibat perjalanan sepanjang siang.Perawakan sang ratu sebagaimana perempuan Asia Timur; berpostur semanpai, tinggi rata-rata, tidak kerdil seperti bayangan Cakra."Kau sudah tahu apa alasannya."Mendung berarak di wajah jelita itu. Sinar matanya meredup tersapu kesedihan mendalam.Mata itu seakan bercerita kalau ia siap menebus dengan apapun demi kesembuhan puterinya.Puteri mahkota mengurung diri di pesanggrahan meski sri ratu mendesaknya untuk keluar."Aku datang untuk menyembuhkan penyakitnya," ucap Cakra. "Jadi tidak ada alasan ia menolak kedatanganku.""Tiada kekuatan dapat menghilangkan kutukan itu, selain kemurahan hati ketua langit. Puteriku hanya mempermalukan diri sendiri jika mener
Bantuan untuk menanggulangi bencana alam dari empat kerajaan besar membuat Ratu Dublek murka. Bantuan itu bermaksud merongrong tahta yang didudukinya. Pangeran Nusa Kencana mengambil simpati rakyat dengan pengiriman beberapa kebutuhan pokok. Cakra mengetahui perkembangan terkini kota Dublek dari Ratu Sihir. Ia tampak resah dengan peristiwa yang terjadi. "Rinjani pergi ke Nusa Kencana untuk membahas ancaman Ratu Dublek," kata Ratu Sihir. "Aku kuatir mereka mengambil keputusan ekstrem dan berpengaruh terhadap moralitas perserikatan kerajaan." "Aku tidak mengira kalian sudah menyerahkan separuh kekuasaan kepada mereka," keluh Cakra. "Mereka jelas ingin membubarkan perserikatan dan mengganti dengan persemakmuran di bawah kendali puteri mahkota Nusa Kencana." "Bukankah hal itu keinginan dirimu?" "Aku pikir kebutuhan mendesak bukan mempersatukan seluruh kerajaan yang ada, tapi memakmurkan seluruh rakyat di jazirah bentala." "Kau menyelewengkan titah Nyi Ratu Kencana dalam babad
"Kau bukan tandinganku...!" Cakra mengingatkan Chu Phang Yu yang hendak menyerangnya. "Aku tidak mau kau mati sia-sia...!"Chu Phang Yu adalah tokoh muda sakti mandraguna yang sangat ditakuti di Hutan Utara, sehingga ia memperoleh gelar Ratu Hutan Utara.Tiada pendekar berani berbuat konyol di Hutan Utara, kecuali ingin mengantarkan nyawa.Betapa nekatnya Cakra memandang remeh Chu Phang Yu."Kau sungguh tidak menghormati diriku!" geram Ratu Hutan Utara. "Apakah kau masih memiliki kehormatan?""Bedebah...! Aku ingin tahu seberapa pantas kau merendahkan diriku!""Sangat pantas...!"Cakra melayani serbuan Chu Phang Yu dengan jurus Hati Di Ranting Cemara.Ia berkata, "Aku juga ingin tahu seberapa pantas kau jadi calon permaisuri Raja Agung!""Aku belum memberi jawaban kepada Anjani! Aku berpikir ulang menjadi permaisuri kesebelas melihat kesombongan dirimu!"Dewi Anjani menetapkan lima belas calon permaisuri untuk Pangeran Nusa Kencana, namun hanya sepuluh yang diumumkan dalam testimoni,
Chu Phang Yu mengintip lewat rumpun bunga tulip, rumpun bunga itu terletak di tepi telaga kecil.Chu Phang Yu tersenyum saat kuda coklat mendatangi kuda betina yang lagi makan rumput di seberang telaga."Jebakanku berhasil...!" gumam Chu Phang Yu. "Daging kuda itu pasti sangat lezat.""Kau sedang apa?"Sebuah pertanyaan dari belakang mengejutkan Chu Phang Yu.Ia menoleh dan menemukan bangsawan muda sangat tampan tengah tersenyum.Bagaimana dirinya sampai tidak mengetahui kedatangan pemuda itu?"Aku kira lagi mpup," kata Cakra. "Kok tidak buka cawat? Apa mpup di celana?""Kurang ajar...!" geram Chu Phang Yu. "Makhluk apa kau tidak ketahuan datangnya olehku?""Kau terlalu khusyuk melihat kelamin kudaku, sehingga tidak tahu kedatangan diriku.""Rupanya kau bangsawan cabul...! Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa!""Aku sedang berhadapan dengan perempuan cantik jelita yang mempunyai kegemaran mengintip binatang kawin.""Aku adalah Chu Phang Yu! Penguasa Hutan Utara yang akan menghukum p
"Bersiaplah...!" Cakra menempelkan ujung tongkat pada kening topeng lalu mengalirkan energi roh, asap berbau busuk mengepul dari sela topeng. Ratu Ipritala mengerahkan energi inti untuk membantu proses pengobatan, dan menutup jalur pernafasan, mencegah terhirupnya aroma busuk dan beracun. Ratu Ipritala membuka topeng ketika dirasa wajahnya sudah kembali seperti sediakala, dan mengenakan pakaian. "Aku kagum denganmu," puji Ratu Ipritala. "Kau mampu berkonsentrasi melakukan pengobatan dengan pesonaku terpampang jelas di matamu." "Ada saatnya aku menikmati keindahan perempuan, ada saatnya menutup mata," sahut Cakra. "Aku minta kau memenuhi janji untuk menemui Ratu Purbasari. Permusuhan kalian mesti diakhiri di atas traktat." "Tiada alasan bagiku untuk mengingkari janji. Kutukan akan kembali menimpa diriku jika aku ingkar." Cakra tersenyum miris. Ratu Ipritala sudi berdamai bukan atas kesadaran diri sendiri, tapi takut kena karma. Kiranya sulit melupakan masa lalu, padahal