"Nah, sekarang kita bahas rencana kita," kata Cakra. "Aku ingin mengambil air di tujuh air terjun sambil membersihkan kotoran di sekitarnya. Kita mulai dari Curug Satu. Tapi ada yang ingin disampaikan terlebih dahulu. Aku tahu kalian tidak mengharapkan, tapi ibunda ratu memberi perbekalan padaku." "Aku jadi merasa seperti Pendekar Pedang Buntet kalau begini," cetus Iblis Cinta. "Jadi pendekar bayaran." "Dalam pendakian ini, aku tulus ingin membantu murid sahabatku," ujar Ranggaslawe. "Jadi perbekalan aku tolak." "Semua pasti menolak kalau menuruti kata hati," tegas Cakra. "Nah, aku memutuskan kita semua jadi pendekar bayaran, cuma bayarannya murah karena kita pendekar murahan." "Sepasang Pendekar Pedang Buntet jadi turun derajat kalau bayarannya murah!" canda Gagak Betina. "Sekali pengawalan saja seratus keping emas!" "Karena aku pendekar murahan," balas Ranggaslawi. "Saudagar saja gampang tertipu." Mereka tertawa. Cakra melambaikan tangan memanggil pemilik warung. "Ada apa, gus
Semua pelayan tampak ketakutan. "Kami bukan mata-mata, Tuan," kata pelayan kurus. "Kami sekedar cari upahan. Mereka berdua adalah pemilik warung, kakak beradik." "Jangan bohong!" bentak Mahameru. "Kalian akan dihukum picis jika terbukti jadi mata-mata pemberontak!" "Kami tidak bohong, Tuan." "Sudahlah, mahapatih," kata Cakra. "Mereka cuma rakyat kecil." Mahameru terpaksa diam, meski hatinya digantungi rasa curiga. "Tolong kalian bersihkan meja dan singkirkan patung ini," perintah Cakra. "Lalu siapkan makan malam buat kami." "Baik gusti pangeran." Mereka memindahkan Durna dan adiknya ke depan pintu masuk, lalu membersihkan meja dan menyiapkan hidangan makan malam. "Berapa lagi sisa kekuatan di Curug Satu, mahapatih?" tanya Cakra. "Kita baru mengatasi sebagian kecil, pangeran," jawab Mahameru. "Masih ada sekitar seratus lima puluh prajurit, tiga puluh pendekar bayaran, sembilan pengawal utama, dan penguasa Curug Satu." "Aku harap mereka keluar malam ini," cetus Ranggaslawe. "
Durna tampak membungkuk dengan kaku, di belakangnya sang adik memeluk pinggangnya sambil berdiri dengan kaku pula. Mereka laksana patung yang ditempatkan di depan pintu masuk warung. Semua pelayan membersihkan meja bekas makan malam. Cakra dan keempat pendekar wanita duduk santai di dalam warung, sementara Ranggaslawi dan pendekar pria sudah berangkat ke lereng bukit. "Apakah setiap malam pendekar pemberontak berkeliaran ke warung-warung?" tanya Cakra. "Mereka memeriksa warung kalau ada rombongan kabilah baru saja, gusti pangeran," jawab pelayan kurus. "Jadi mereka beroperasi kalau ada laporan dari mata-mata? Di perkampungan juga berarti begitu." Tangan pelayan kurus tampak gemetar saat membersihkan meja Cakra karena takut bernasib sama seperti pemilik warung. "Kau tidak perlu takut padaku, kecuali mata-mata pemberontak," senyum Cakra. "Kau kelola warung karena pemiliknya akan diangkut ke kota mercu suar untuk menjalani pemeriksaan." "Baik, gusti pangeran." "Berapa semuanya?"
Mereka mulai mendaki bukit saat embun menetes dari dedaunan. Udara dingin menggigit tubuh. Secangkir kopi panas dan penganan hangat tak mampu mengusir. Mereka terpaksa mengalirkan hawa murni. Mereka berlari di atas pucuk pohon. Mereka memilih lewat angkasa agar bisa memandang ke segala penjuru. Namun musuh juga lebih mudah untuk mengetahui kedatangan mereka. "Perempuan dan tuak adalah obat mujarab untuk menghilangkan dingin," kata Ranggaslawi. "Jadi Ratu Bunian pantas marah karena maraknya kasus penculikan rakyatnya." "Tapi mereka tidur di mana?" balik Pendekar Tak Bernama. "Tujuh istana terlalu sempit untuk menampung ribuan pemberontak." Pendekar bayaran tidak ada yang berkeliaran. Kaki tangan Tapak Mega benar-benar menggunakan waktu siang hari untuk beristirahat, dan beroperasi pada malam hari. "Bagaimana kelompok pemberontak mampu bertahan bertahun-tahun di Bukit Penamburan?" ujar Gagak Jantan. "Di mana mereka tinggal? Tidak ada bangunan lagi di Bukit Penamburan selain tujuh is
Cakra dan Ranggaslawi menuruni tangga batu dengan waspada. Tidak ada senjata rahasia terpasang di lantai, dinding, dan atap granit. Mereka tiba di dasar goa tanpa rintangan. Goa itu adalah markas prajurit Curug Satu, terdiri dari satu ruangan luas untuk tidur menggeletak di lantai, dan beberapa kamar untuk panglima dan komandan pleton, tapi kelihatannya jarang dipakai. Ada satu ruangan kecil untuk gudang senjata. Semua ruangan kosong. Tidak ada prajurit tersisa. "Aku heran tidak ada tuak dan wanita," kata Ranggaslawi. "Bagaimana prajurit bertahan hidup di udara dingin tanpa dua kenikmatan itu?" "Mereka adalah prajurit tak berharga, sekedar untuk tameng dalam menghadapi pasukan kerajaan," sahut Cakra. "Maka itu gusti ratu melarang untuk dibunuh." Cakra dan Ranggaslawi keluar dari goa setelah memastikan tidak ada tawanan yang perlu diselamatkan. "Goa ini kosong," kata Cakra kepada sahabatnya yang menunggu di luar. "Kita lanjutkan perjalanan." "Iblis Cinta dan Ranggaslawe mana?"
"Istana Curug Satu terlihat dari kejauhan untuk menarik perhatian dan mengundang musuh datang untuk menjemput maut," kata Cakra. "Sebuah jebakan sempurna." Penguasa Curug Satu sengaja memancing pasukan kadipaten untuk datang menyerbu ke istana, dan berakhir dengan terpanggang batu runcing yang bertebaran di dasar jurang dan memiliki kedalaman ratusan hasta. Kekuatan apa yang mampu menciptakan rekayasa tanpa cela? "Keadaan ini sudah cukup memberi gambaran kenapa beberapa tokoh istana hilang tanpa jejak." "Jurang ini terlalu dalam untuk dituruni," komentar Iblis Cinta. "Aku tidak bisa mendarat di atas batu runcing tanpa cedera." "Kita bisa mendarat di telaga," tukas Ranggaslawe. "Apakah kau yakin di dalam air tidak ada jebakan?" balik Golok Santet. "Aku tidak takut mati, tapi tidak mau mati konyol." "Lagi pula, istana Curug Satu belum tentu ada di dasar lembah," timpal Minarti. "Jadi buat apa kita cari mati?" Cakra pikir ilmu Tapak Layang dapat mengatasi situasi ini, mendarat di
"Aku heran kalian bisa bersantap malam dengan nikmat, sementara musuh menunggu di atas tebing." Lelaki berpakaian rabi bernama Wahidi duduk dengan tegang di kursi berlapis emas, ditemani sembilan pendekar yang asyik menikmati hidangan penutup makan malam. "Seharusnya kalian berpikir bagaimana menghadapi para tokoh istana." "Sejak kapan kita menganggap mereka sebagai rintangan?" balik pengawal ceking yang berilmu paling tinggi. "Tokoh istana itu hanyalah curut yang akan mati dengan sendirinya kalau dibiarkan." "Aku kira mereka bukan tokoh istana," sanggah pengawal berkumis yang duduk di sampingnya. "Mereka berpakaian ala pendekar dari dunia perkelahian." "Siapapun mereka, sejak kapan kita memperhitungkan mereka?" potong pengawal ceking acuh tak acuh. "Apa kau mulai takut dengan musuh yang datang?" "Aku kira mereka memiliki kemampuan berbeda dari lawan sebelumnya," tukas pengawal berbadan bulat, persis bola bekel. "Mereka bisa mengatasi tabir kepalsuan ciptaan Tuan Agung." "Kirany
Cakra mondar-mandir dengan gelisah, memikirkan bagaimana menolong Ki Gendeng Sejagat untuk menembus tabir kepalsuan. "Kenapa tidak kau coba membantunya dengan Tongkat Petir?" usul Bidadari Penabur Cinta. "Bukankah tongkat sakti itu dikendalikan oleh pikiranmu? Berarti bisa dikendalikan dari jarak jauh." "Betul juga," seru Cakra seakan lolos dari lubang jarum. "Aku coba mengendalikan Tongkat Petir dari jarak jauh." Cakra duduk bersila, kemudian memejamkan mata dan memusatkan pikiran. Tongkat Petir sekonyong-konyong muncul di angkasa dan melesat ke dalam jurang. Ki Gendeng Sejagat yang tengah kebingungan serentak bersorak gembira melihat tongkat pusaka meluncur ke arahnya, kemudian melayang rebah di depan tebing karang dengan ujung menyentuh tabir kepalsuan. Percikan listrik muncul akibat persentuhan itu, secara perlahan tabir bening lenyap, dan nampaklah pintu besar terbuat dari besi tebal menutup dinding karang. "Tongkat apakah itu? Dari mana datangnya?" Rabi Wahidi terkejut men