Cakra dan Ranggaslawi menuruni tangga batu dengan waspada. Tidak ada senjata rahasia terpasang di lantai, dinding, dan atap granit. Mereka tiba di dasar goa tanpa rintangan. Goa itu adalah markas prajurit Curug Satu, terdiri dari satu ruangan luas untuk tidur menggeletak di lantai, dan beberapa kamar untuk panglima dan komandan pleton, tapi kelihatannya jarang dipakai. Ada satu ruangan kecil untuk gudang senjata. Semua ruangan kosong. Tidak ada prajurit tersisa. "Aku heran tidak ada tuak dan wanita," kata Ranggaslawi. "Bagaimana prajurit bertahan hidup di udara dingin tanpa dua kenikmatan itu?" "Mereka adalah prajurit tak berharga, sekedar untuk tameng dalam menghadapi pasukan kerajaan," sahut Cakra. "Maka itu gusti ratu melarang untuk dibunuh." Cakra dan Ranggaslawi keluar dari goa setelah memastikan tidak ada tawanan yang perlu diselamatkan. "Goa ini kosong," kata Cakra kepada sahabatnya yang menunggu di luar. "Kita lanjutkan perjalanan." "Iblis Cinta dan Ranggaslawe mana?"
"Istana Curug Satu terlihat dari kejauhan untuk menarik perhatian dan mengundang musuh datang untuk menjemput maut," kata Cakra. "Sebuah jebakan sempurna." Penguasa Curug Satu sengaja memancing pasukan kadipaten untuk datang menyerbu ke istana, dan berakhir dengan terpanggang batu runcing yang bertebaran di dasar jurang dan memiliki kedalaman ratusan hasta. Kekuatan apa yang mampu menciptakan rekayasa tanpa cela? "Keadaan ini sudah cukup memberi gambaran kenapa beberapa tokoh istana hilang tanpa jejak." "Jurang ini terlalu dalam untuk dituruni," komentar Iblis Cinta. "Aku tidak bisa mendarat di atas batu runcing tanpa cedera." "Kita bisa mendarat di telaga," tukas Ranggaslawe. "Apakah kau yakin di dalam air tidak ada jebakan?" balik Golok Santet. "Aku tidak takut mati, tapi tidak mau mati konyol." "Lagi pula, istana Curug Satu belum tentu ada di dasar lembah," timpal Minarti. "Jadi buat apa kita cari mati?" Cakra pikir ilmu Tapak Layang dapat mengatasi situasi ini, mendarat di
"Aku heran kalian bisa bersantap malam dengan nikmat, sementara musuh menunggu di atas tebing." Lelaki berpakaian rabi bernama Wahidi duduk dengan tegang di kursi berlapis emas, ditemani sembilan pendekar yang asyik menikmati hidangan penutup makan malam. "Seharusnya kalian berpikir bagaimana menghadapi para tokoh istana." "Sejak kapan kita menganggap mereka sebagai rintangan?" balik pengawal ceking yang berilmu paling tinggi. "Tokoh istana itu hanyalah curut yang akan mati dengan sendirinya kalau dibiarkan." "Aku kira mereka bukan tokoh istana," sanggah pengawal berkumis yang duduk di sampingnya. "Mereka berpakaian ala pendekar dari dunia perkelahian." "Siapapun mereka, sejak kapan kita memperhitungkan mereka?" potong pengawal ceking acuh tak acuh. "Apa kau mulai takut dengan musuh yang datang?" "Aku kira mereka memiliki kemampuan berbeda dari lawan sebelumnya," tukas pengawal berbadan bulat, persis bola bekel. "Mereka bisa mengatasi tabir kepalsuan ciptaan Tuan Agung." "Kirany
Cakra mondar-mandir dengan gelisah, memikirkan bagaimana menolong Ki Gendeng Sejagat untuk menembus tabir kepalsuan. "Kenapa tidak kau coba membantunya dengan Tongkat Petir?" usul Bidadari Penabur Cinta. "Bukankah tongkat sakti itu dikendalikan oleh pikiranmu? Berarti bisa dikendalikan dari jarak jauh." "Betul juga," seru Cakra seakan lolos dari lubang jarum. "Aku coba mengendalikan Tongkat Petir dari jarak jauh." Cakra duduk bersila, kemudian memejamkan mata dan memusatkan pikiran. Tongkat Petir sekonyong-konyong muncul di angkasa dan melesat ke dalam jurang. Ki Gendeng Sejagat yang tengah kebingungan serentak bersorak gembira melihat tongkat pusaka meluncur ke arahnya, kemudian melayang rebah di depan tebing karang dengan ujung menyentuh tabir kepalsuan. Percikan listrik muncul akibat persentuhan itu, secara perlahan tabir bening lenyap, dan nampaklah pintu besar terbuat dari besi tebal menutup dinding karang. "Tongkat apakah itu? Dari mana datangnya?" Rabi Wahidi terkejut men
Matahari hampir terbenam, meninggalkan bunga yang bermekaran di sekitar tebing. Cakra duduk merenung sambil bersandar ke batang pohon. Parasnya mendadak berubah. "Celaka!" pekik Cakra. "Ki Gendeng Sejagat terjebak di gerbang utama. Ia tidak dapat keluar terhalang mantera gaib." Para pendekar ternama yang berada di dekatnya kaget. "Kok bisa?" ujar Ranggaslawi. "Semasa hidupnya ia tidak pernah terjebak oleh mantera apapun." "Kecuali mantera cinta," senyum Cakra kecut. "Aku memintanya menyelidiki situasi di dalam istana Curug Satu, tapi ia lupa waktu mengintip perempuan Bunian, akhirnya terlambat keluar." "Apakah sahabatku itu tidak apa-apa?" tanya Ranggaslawe khawatir. "Kau kelihatannya tenang-tenang saja gurumu dalam bahaya." "Bahaya itu untuk kita yang masih hidup," jawab Cakra dengan mata mengantuk diterpa semilir angin senja. "Roh tidak mati dua kali." "Tapi Ki Gendeng Sejagat bisa merasakan sakit seperti kita. Jadi ia pasti sangat menderita karena tidak lagi mengalami kemati
Dua penculik itu adalah pengawal kedelapan dan kesembilan istana Curug Satu. Mereka membawa puteri pertama dan puteri kedua dari kerajaan Bunian, bernama Nilamsari dan Nawangsari. Bidasari adalah puteri tercantik di antara ketiga puteri mahkota kerajaan Bunian. Pengawal kedelapan dan kesembilan berhenti berlari ketika tiba di dekat tebing. "Sekarang kalian tidak bisa lari lagi, bajingan!" geram Bidasari dengan amarah membludak. "Terimalah ajal kalian!" Pengawal kesembilan tertawa liar. "Sebelum ajal menjemput, ijinkanlah aku untuk menikmati tubuhmu!" Bidasari menyerbu dengan pukulan maut, sementara ketiga dayang mengepung pengawal kedelapan. Ketiga dayang itu sebenarnya gentar mengejar penculik sampai ke markasnya. Tapi puteri mahkota sudah gelap mata, sehingga mereka nekat berjibaku sampai titik darah penghabisan. Mereka langsung mengeluarkan jurus andalan agar dapat menghabisi begundal itu secepatnya, sebelum datang teman-temannya. Mereka pasti dalam bahaya besar. "Terimalah
"Kita tunggu sampai awan berarak lewat," kata Gagak Betina. "Tangga bercahaya redup bisa membuat kita terperosok." Gagak Betina tidak akan kesulitan meniti tangga redup karena mempunyai gin kang paling tinggi di antara pendekar wanita. Tapi Gagak Betina memilih menuruni tebing bersama-sama. Menurutnya tidak ada kepentingan mendesak untuk turun ke dasar lembah. Ranggaslawi dan kawan-kawan kelihatannya tidak butuh bantuan meladeni enam pengawal istana Curug Satu. Mereka bahkan berhasil mengirim pengawal gembrot ke alam roh. "Setahuku ada sembilan pengawal," kata Cakra. "Satu lagi berarti berada di dalam istana bersama penguasa Curug Satu." "Mereka terlalu meremehkan kemampuan kita," geram Minarti. "Seandainya mereka keluar semua pun, aku kira tidak dapat menandingi kita." "Pengawal yang berada di dalam adalah pendekar kerempeng," ujar Bidadari Penabur Cinta. "Ilmunya paling tinggi di antara mereka. Aku pernah berurusan dengannya." "Tentu urusan di atas ranjang," sindir Bidasari. "
Tanpa butuh waktu lama, pintu baja itu lenyap jadi butiran debu dan tersapu angin panas. "Kepala cecunguk yang gemar merusak kehormatan perempuan itu rupa-rupanya bersembunyi di sini," geram Gagak Betina. "Apakah kau sudah siap menerima kematian?" Rabi Wahidi tersenyum sinis. "Aku sudah siap menyambut pendekar body goal yang mengantarkan kematian. Kau tinggal pilih, mati di atas ranjang, atau di atas pangkuanku?" "Bedebah!" Gagak Betina hendak maju menyerang, tapi Iblis Penabur Cinta mencegahnya: "Jangan gegabah. Pengawal kesatu mempunyai ilmu Jasad Ngumpul yang membuatnya sulit untuk mati." "Menurut lembaran suci kerajaan, ilmu Jasad Ngumpul hanya bisa dikalahkan oleh ajian Tabur jiwa dengan chi paripurna," kata Mahameru. "Jadi sang pangeran lah harapan kita satu-satunya." "Aku akan mencari Ki Gendeng Sejagat," jawab Cakra. "Guru mata keranjang itu sudah kebablasan dalam menjalankan tugas." "Biarlah aku mencari Pangeran Wiraswara," ujar Mahameru. "Sekalian membantu puteri mahk