Tanpa butuh waktu lama, pintu baja itu lenyap jadi butiran debu dan tersapu angin panas. "Kepala cecunguk yang gemar merusak kehormatan perempuan itu rupa-rupanya bersembunyi di sini," geram Gagak Betina. "Apakah kau sudah siap menerima kematian?" Rabi Wahidi tersenyum sinis. "Aku sudah siap menyambut pendekar body goal yang mengantarkan kematian. Kau tinggal pilih, mati di atas ranjang, atau di atas pangkuanku?" "Bedebah!" Gagak Betina hendak maju menyerang, tapi Iblis Penabur Cinta mencegahnya: "Jangan gegabah. Pengawal kesatu mempunyai ilmu Jasad Ngumpul yang membuatnya sulit untuk mati." "Menurut lembaran suci kerajaan, ilmu Jasad Ngumpul hanya bisa dikalahkan oleh ajian Tabur jiwa dengan chi paripurna," kata Mahameru. "Jadi sang pangeran lah harapan kita satu-satunya." "Aku akan mencari Ki Gendeng Sejagat," jawab Cakra. "Guru mata keranjang itu sudah kebablasan dalam menjalankan tugas." "Biarlah aku mencari Pangeran Wiraswara," ujar Mahameru. "Sekalian membantu puteri mahk
"Ratu Nusa Kencana dan Ratu Bunian sama-sama tidak rela rakyatnya jadi korban," kata Cakra. "Aku dan sahabatku berada di Bukit Penamburan untuk memenuhi keinginan mereka." "Lalu kenapa kau menyuruhku untuk pulang?" tanya Bidasari tidak senang. "Aku berada di sini sebagai wakil kerajaan Bunian." "Aku justru curiga kau berada di sini sebagai wakil hatimu," sindir Gagak Betina. "Jangan nething." "Setelah urusanku di Curug Satu selesai, aku akan beristirahat di penginapan sekitar bukit sambil menunggu purnama depan," ujar Cakra. "Kau bisa kembali beberapa pekan lagi." "Kenapa menunggu purnama depan? Bukankah makin cepat makin baik?" Padahal Bidasari senang bukan main. Ia bisa lebih lama berada di dekat Cakra, dan banyak kesempatan untuk melumpuhkan hatinya. "Tidak semua urusan makin cepat makin baik," bantah Ranggaslawi. "Apa misalnya?" tanya Bidasari. "Bercinta." "Aku serius!" "Jadi menurutmu bercinta tidak serius? Pantas betah menjomblo!" Semua pendekar bangkotan tertawa. "U
"Bagaimana istana Curug Satu dapat dilumpuhkan dalam satu malam?" Tapak Mega sangat terkejut. Ia kenal tokoh sakti mandraguna yang membantu kerajaan. Ranggaslawi dan Ranggaslawe adalah sepasang pendekar yang mengegerkan dunia perkelahian, tapi belum cukup untuk mengalahkan pendekar kerempeng. "Ilmu Jasad Ngumpul hanya bisa dikalahkan oleh ajian Tabur Jiwa dengan chi paripurna. Lalu siapa di antara mereka yang menguasai ilmu yang sudah musnah itu?" "Apakah kau belum mendengar kabar kalau pangeran kedelapan adalah calon Raja Agung?" tanya Renggana, si ahli nujum. "Sebagian dari mereka mengatakan ia mewarisi ilmu yang sudah musnah." "Pendekar Lembah Cemara adalah murid Ki Gendeng Sejagat. Bagaimana mungkin ia menguasai ilmu yang tidak dimiliki gurunya? Aku curiga Pangeran Restusanga keluar dari alam roh untuk membantu mereka." "Berarti hanya Tuan Agung yang mampu menandingi. Tapi ia lagi ada keperluan dan baru bisa berkunjung pada purnama ketujuh." "Nah, sebelum Tuan Agung datang,
Tiga serangkai itu membelot dan menjual nama Tapak Mega. Mereka keluar dari rombongan Pangeran Penamburan, dengan alasan mendapat perintah mendadak untuk bergabung dengan pendekar bayaran yang hendak menyerbu istana. Padahal mereka ingin memanfaatkan situasi untuk merampok bangsawan terkaya di Kadipaten Barat. Cakra selesai tafakur di Curug Satu menjelang fajar manakala cahaya putih datang melingkari tubuhnya. Ia segera membagi tugas begitu mendapat laporan dari gurunya kalau Tapak Mega mengerahkan anak buahnya untuk berbuat kekacauan di berbagai tempat. Cakra mencegat Renggana dan komplotannya di jalan setapak menuju kaki bukit. "Ya ya ya!" kata Cakra. "Guruku pernah cerita kalau ada beruk lari terkencing-kencing dan berak di celana saat berhadapan dengannya!" "Berani sekali seekor kunyuk bertingkah di depanku!" geram Renggana. "Seekor kunyuk pasti berani bertingkah di depan seekor beruk!" balas Cakra sambil tiduran dengan tumpang kaki di tengah jalan. "Aku tidak menaruh dendam
Pangeran Penamburan dan Srikiti menghela kuda cukup cepat melewati jalan setapak di tengah perkebunan wilayah barat daya, di belakang mereka mengikuti belasan tokoh golongan hitam. Mereka hendak menyerbu ke Pondok Asmara dan Puri Mentari, sebagai balasan terhadap pemiliknya yang telah campur tangan dalam meruntuhkan istana Curug Satu. Mereka sengaja tidak mengambil jalan umum, untuk menghindari kecurigaan warga dan mengurangi rintangan jika ada pendekar kampung berani menghadang. Tapi pasti pikir-pikir, kecuali sudah bosan hidup. "Kita berpisah di ujung perkebunan," kata Srikiti. "Kau pergi ke Pondok Asmara, aku pergi ke Puri Mentari." Perkebunan itu sangat luas seolah tak berujung. Satu-satunya perkebunan kayu langka di wilayah Nusa Kencana. Kayu langka itu sangat digemari kaum bangsawan dan saudagar kaya untuk bangunan dan perabotan. Harganya tidak terjangkau oleh rakyat biasa. Belum pernah terjadi penebangan liar karena hukuman berat menanti. Perkebunan ini merupakan jalur pin
"Aku sudah memperingatkan," kata Cakra. "Jangan bertemu lagi dalam keadaan sama, itu berarti kematian bagimu. Kebebasan yang kau anut tidak pernah dilegalkan di tempat ayahmu berguru." "Kau salah besar, kid slebew," sahut Srikiti yang terpesona dengan ketampanannya, meski apapun yang dilakukannya. "Kakakku sudah berubah. Ia tidak pernah lagi inses denganku." "Karena ia inses dengan ibumu. Ia tidak mengindahkan peringatan dariku." Pangeran Penamburan tercengang. Ia yakin Cakra menduga-duga, tapi dugaannya tepat sekali! Ia sudah bosan dengan Srikiti, dan mendapat kompensasi dari ibunya! Pangeran Penamburan memandang dengan pongah untuk menutupi rasa malu, ia bertanya, "Memangnya kau siapa harus kudengar?" "Aku adalah orang yang akan merampas kebebasan mu! Perbuatanmu sudah melampaui batas!" "Mulutmu besar sekali! Kau sama sekali tidak memandang sahabatku!" "Aku justru memandang sahabatmu dari tadi! Aku heran kau bawa kakek dan nenek peot. Kau mau buka panti jompo?" "Kurang ajar!
Permainan golok dan pedang yang diperagakan dua tokoh sakti itu tiada duanya. Tidak ada pendekar yang mampu bertahan sampai puluhan jurus. Tapi Cakra seolah main-main meladeninya. "Kalian jangan merasa dipermainkan." Konde Cinta mengingatkan. "Jurus Hati Di Ranting Cemara diciptakan untuk memancing emosi lawan." Perempuan berkonde emas inilah yang jadi pikiran Cakra. Ia mengetahui karakter setiap jurusnya. Apakah Ki Gendeng Sejagat pernah melanglang buana di kerajaan Utara dan sempat bentrok dengannya? Tokoh sakti mandraguna itu pasti menciptakan jurus untuk menandingi kehebatannya. Tapi Cakra tidak gentar. Golok Setan dan Pedang Asmara melompat mundur. Mereka membuka jurus baru. Angin menderu laksana topan dan cahaya kemerahan menari-nari laksana pita. "Keluarkan senjatamu, kid slebew!"teriak Golok Setan. "Aku ingin mengambil nyawamu secara terhormat dengan jurus pamungkas ku!" "Senjata?" Cakra pura-pura bingung. "Aku bersedia mengeluarkan senjataku kalau mulut kalian celangap u
Ki Gendeng Sejagat berbisik di telinga Cakra, "Jangan penuhi permintaannya, aku pasti repot." "Aku justru senang lihat kakek repot." "Dasar murid durhaka!" "Kakek juga guru durhaka! Tiap ketemu pasti kepalaku jadi korban! Kakek songong! Berani menjitak Pangeran Nusa Kencana!" "Aku juga Pangeran Nusa Kencana!" "Siapa?" "Aku!" "Yang nanya!" Konde Cinta tersenyum melihat kekonyolan murid dan guru. Mereka seperti sahabat yang tak pernah akur tapi selalu bersama. "Percuma kita bisik-bisik," kata Cakra. "Konde Cinta mendengar semuanya." "Jadi kau bersedia membantuku?" tanya Konde Cinta. "Tentu saja!" jawab Cakra. "Kau masuk daftar hitam guruku karena perbuatanmu sudah melampaui batas! Kau tetap akan dilenyapkan meski tak diminta!" "Konde Cinta sudah dihapus dari daftar hitamku," ujar Ki Gendeng Sejagat. "Kutulis lagi!" "Aku pikir ada andilku juga ia jadi begitu." "Bukan andil lagi! Kakek pemegang saham terbesar!" "Kau pikir ia kompeni?" "Kompeni itu penjajah negeri kita! Com