"Aku sudah memperingatkan," kata Cakra. "Jangan bertemu lagi dalam keadaan sama, itu berarti kematian bagimu. Kebebasan yang kau anut tidak pernah dilegalkan di tempat ayahmu berguru." "Kau salah besar, kid slebew," sahut Srikiti yang terpesona dengan ketampanannya, meski apapun yang dilakukannya. "Kakakku sudah berubah. Ia tidak pernah lagi inses denganku." "Karena ia inses dengan ibumu. Ia tidak mengindahkan peringatan dariku." Pangeran Penamburan tercengang. Ia yakin Cakra menduga-duga, tapi dugaannya tepat sekali! Ia sudah bosan dengan Srikiti, dan mendapat kompensasi dari ibunya! Pangeran Penamburan memandang dengan pongah untuk menutupi rasa malu, ia bertanya, "Memangnya kau siapa harus kudengar?" "Aku adalah orang yang akan merampas kebebasan mu! Perbuatanmu sudah melampaui batas!" "Mulutmu besar sekali! Kau sama sekali tidak memandang sahabatku!" "Aku justru memandang sahabatmu dari tadi! Aku heran kau bawa kakek dan nenek peot. Kau mau buka panti jompo?" "Kurang ajar!
Permainan golok dan pedang yang diperagakan dua tokoh sakti itu tiada duanya. Tidak ada pendekar yang mampu bertahan sampai puluhan jurus. Tapi Cakra seolah main-main meladeninya. "Kalian jangan merasa dipermainkan." Konde Cinta mengingatkan. "Jurus Hati Di Ranting Cemara diciptakan untuk memancing emosi lawan." Perempuan berkonde emas inilah yang jadi pikiran Cakra. Ia mengetahui karakter setiap jurusnya. Apakah Ki Gendeng Sejagat pernah melanglang buana di kerajaan Utara dan sempat bentrok dengannya? Tokoh sakti mandraguna itu pasti menciptakan jurus untuk menandingi kehebatannya. Tapi Cakra tidak gentar. Golok Setan dan Pedang Asmara melompat mundur. Mereka membuka jurus baru. Angin menderu laksana topan dan cahaya kemerahan menari-nari laksana pita. "Keluarkan senjatamu, kid slebew!"teriak Golok Setan. "Aku ingin mengambil nyawamu secara terhormat dengan jurus pamungkas ku!" "Senjata?" Cakra pura-pura bingung. "Aku bersedia mengeluarkan senjataku kalau mulut kalian celangap u
Ki Gendeng Sejagat berbisik di telinga Cakra, "Jangan penuhi permintaannya, aku pasti repot." "Aku justru senang lihat kakek repot." "Dasar murid durhaka!" "Kakek juga guru durhaka! Tiap ketemu pasti kepalaku jadi korban! Kakek songong! Berani menjitak Pangeran Nusa Kencana!" "Aku juga Pangeran Nusa Kencana!" "Siapa?" "Aku!" "Yang nanya!" Konde Cinta tersenyum melihat kekonyolan murid dan guru. Mereka seperti sahabat yang tak pernah akur tapi selalu bersama. "Percuma kita bisik-bisik," kata Cakra. "Konde Cinta mendengar semuanya." "Jadi kau bersedia membantuku?" tanya Konde Cinta. "Tentu saja!" jawab Cakra. "Kau masuk daftar hitam guruku karena perbuatanmu sudah melampaui batas! Kau tetap akan dilenyapkan meski tak diminta!" "Konde Cinta sudah dihapus dari daftar hitamku," ujar Ki Gendeng Sejagat. "Kutulis lagi!" "Aku pikir ada andilku juga ia jadi begitu." "Bukan andil lagi! Kakek pemegang saham terbesar!" "Kau pikir ia kompeni?" "Kompeni itu penjajah negeri kita! Com
"Maafkan aku nenek buyut...!" Cakra terpaksa memenuhi permintaannya. Ia memasang kuda-kuda sejajar, tangan kanan terlipat di dada dengan telapak tegak, tangan kiri mengepal dan bergerak melingkar secara unik, lalu didorong ke depan dengan telapak tangan terbuka. Selarik cahaya putih berkilau melesat dan menghantam Konde Cinta yang lagi tafakur, sekujur tubuhnya diselimuti butiran salju. Ajian Lampus Umur pada serangan ini berfungsi untuk memusnahkan unsur pukulan Badai Salju yang melekat di dalam diri Konde Cinta. "Selamat jalan nenek buyut...!" Kemudian Cakra menarik tangan kiri ke belakang dan mengepal kembali, sekali lagi didorong ke depan dengan telapak tangan terbuka. Ia mengeluarkan ilmu kanuragan paling tinggi yang pernah ada di muka bumi, yaitu ajian Tabur Jiwa. Serangkum angin panas menghantam Konde Cinta, butiran salju yang menyelimuti tubuhnya serta merta lenyap, lalu sosoknya perlahan menjadi butiran debu dan terbang tersapu angin. "Semoga alam memberkatimu nenek b
Ratu Purbasari sengaja mengirim Cakra ke daerah konflik, dan tak ada air mata seandainya ia menemui kematian. "Menantu kurang ajar itu sudah membuat kegaduhan di istana," gerundel Ratu Purbasari kala duduk sendiri. "Merubah protokoler seenaknya, mengeluarkan perintah tanpa aturan. Dan yang paling aku murka, ia sering mengintip ku mandi dengan ajian Tembus Pandang Paripurna." Tiada satu pun ilmu kanuragan yang dapat membentengi diri dari keliaran ilmu yang telah dimusnahkan itu! "Aku tidak mengerti apa alasan leluhurku mewariskan ilmu kontroversial pada pemuda mata keranjang!" Cakra adalah pangeran yang paling dibencinya! Pangeran Wiraswara yang menjadi gurunya sudah terhapus dari kemurkaan karena telah tiada. "Tapi di sisi lain, aku membutuhkan dirinya untuk memimpin pasukan dalam menumpas pemberontak di Bukit Penamburan, mengingat Pangeran Wikudara tidak mempunyai ilmu kanuragan," keluh Ratu Purbasari dengan kepala hampir pecah. Berdasarkan laporan telik sandi, pasukan dari Utar
Penginapan sepi. Tamu berbondong-bondong keluar sejak tersiar kabar prajurit pemberontak hendak menyerang perkampungan. Mereka tak mau ambil risiko meski penginapan ini sudah membayar upeti kepada Tapak Mega untuk keamanan tamu. Ranggaslawi menyeruput kopi mandheling yang masih mengepul untuk menghalau kegelisahan yang menjerat. Pandangannya terlempar ke luar jendela restoran. "Mengapa Cakra belum muncul juga?" desah Ranggaslawi khawatir. Sepotong penganan hangat jadi korban mulutnya. "Apakah ketiga curut itu membuatnya kesulitan?" "Aku kira Pendekar Lembah Cemara senang bermain-main dengan mereka sehingga lupa waktu," sahut Ranggaslawe. "Kau semakin gelisah semakin senang pelayan." "Tapi sekarang bukan saatnya bermain-main. Ratusan prajurit sebentar lagi turun bukit, sahabat kita di istana adipati hampir kewalahan karena jumlah musuh sangat banyak." "Aku kira urusan Cakra sudah selesai. Barangkali ia sekarang lagi memerintahkan penduduk untuk mengungsi sebelum prajurit pembero
Cakra menghentak-hentakkan tubuh mengikuti musik berirama keras di halaman penginapan. Prajurit pemberontak bermunculan dari lereng bukit dan menari mengikuti gerakannya. Ranggaslawi terpana, sampai hampir salah memasukkan penganan ke hidung. "Aku jadi teringat saat holiday di Oakland," katanya. "Seorang perempuan mengajakku menari di jalanan." "Kayak orang edan," sahut Ranggaslawe. "Jadi tontonan banyak orang. Aku begitu waktu di Oklahoma." "Cakra jago sekali popping dance," puji Ranggaslawe. "Aku jadi gatal." "Aku juga." Mereka melompat ke luar jendela restoran, meninggalkan kopi yang tersisa separuh, bergabung bersama prajurit yang membentuk beberapa barisan. Prajurit muncul secara berkelompok. Mereka membentuk barisan dan menari. Kelompok prajurit terakhir membentuk barisan paling belakang. Mereka menari dengan bersemangat mengikuti gerakan temannya di depan. Semua prajurit sudah berkumpul di halaman penginapan. Ranggaslawi dan Ranggaslawe terlihat paling gemoy. Mereka seo
Ketika kereta pedati dari kadipaten belum muncul sampai menjelang senja, Cakra terpaksa meminjam kereta wisata milik puteri mahkota untuk mengangkut tawanan. "Sekalian kalian kukirim ke kota baru supaya tidak iri pemberontak mendapat fasilitas mewah," kata Cakra kepada Ranggaslawi dan Ranggaslawe. "No no no," tolak Ranggaslawi. "Kopi mandheling menungguku." "Pastry jengkol juga," tambah Ranggaslawe. "Aku sudah terlanjur pesan." "Lalu siapa yang memandu sais ke kota baru? Mereka tidak tahu jalan. Kalian mau dihukum pipis berani membantah perintah pangeran?" "Bukan hukum pipis," ralat Ranggaslawi. "Hukum picis." "Oh, jadi kalian mau dihukum picis? Baik! Kalian akan dijadikan rica-rica untuk santapan kuda kereta! Yang pertama dijadikan rica-rica adalah perabot kalian!" "Waduh!" Ranggaslawi langsung memegang benda pusakanya. "Lagi pula, mereka pasti kesulitan melewati pos penjagaan di kota baru kalau kalian tidak ikut," ujar Bidasari. "Aku kirim tiga dayangku untuk teman perjalanan