Hujan malam itu tak juga membuat pria yang berdiri di depan rumah untuk lekas masuk ke dalam. Tangannya tak henti menekan beberapa tombol angka pada benda pipih yang melingkar di pergelangan tangan, sementara matanya tak henti menatap gerbang depan berharap seseorang yang ia tunggu segera datang. Di balik jendela juga tampak sepasang mata cantik milik gadis kecil yang tengah merengek menunggu Ibunya datang.
"Dek, Risa tidur sama ayah saja ya. Ibun nya lagi beli susu dulu buat Risa. Nggak apa-apa kan?"Gadis kecil berusia 5 tahun itu menunduk, mengangguk walau tampak dipaksakan.Haykal. Pria yang telah terbiasa berperan ganda dalam keluarga mereka. Ia tahu semenjak pernikahan ia dan sang istri, mereka berdua hanya berperan sebagai pasangan harmonis di saat acara keluarga saja.Yap, karena perjodohan.Entah apa yang ada dipikiran Adara, hingga ia akhirnya rela melahirkan seorang bayi cantik yang bahkan semenjak pertama kalinya melihat Dunia tak ada sedikitpun menerima pelukan dan kepedulian dari sang Ibu. Seperti halnya malam ini, lagi-lagi gadis kecil itu merengek merindukan Ibunya. Meskipun Risa tak pernah mendapat pelukan, namun ia selalu terlihat bahagia begitu Adara pulang entah dari mana. Lantas berujung Haykal yang berusaha membujuk buah hatinya."Ra, habis dari mana? kenapa baru pulang? kasihan Risa." Ucap Haykal berusaha memegang pergelangan tangan istrinya.Menghempas tangan Haykal "Bukan urusan kamu." Lantas berjalan menuju dapur."Ra, please. Kita ini udah 6 tahun nikah. Kamu itu sudah menjadi tanggung jawab saya.""Stop ya. Sebelum nikah kan aku juga sudah bilang. Hubungan ini ada cuma karena perjodohan yang dipaksakan. Nggak usah saling mencampuri privasi dan urusan satu sama lain! Kita nikah bukan berarti hidup aku milik kamu!" Tukas Adara."Dan untuk urusan anak, Ayah dan Ibu yang menginginkan sementara aku cuma mewujudkan keinginan mereka, selebihnya bukan lagi menjadi urusanku."Setelah itu Adara berlari ke dalam kamar, meninggalkan Haykal yang mematung mendengar kejujuran yang baru kali ini keluar dari mulut Adara. Kalimat yang sudah ia duga tapi tak disangka akan diucapkan secara langsung membuat dadanya terasa sakit dan sesak."Ternyata saya tidak memiliki peran apapun dalam hidup kamu, Ra."Disaat Haykal sedang merenung di ruang tengah, tiba-tiba saja Adara membuka pintu sembari membawa tas dan koper. Tanpa sepatah kata, perempuan itu tetap bersikeras pergi meski ditahan oleh Haykal."Saya mohon Ra, kasihan Risa. Dia membutuhkan sosok Ibu, dia membutuhkan kamu di sampingnya, Ra." Lelaki itu menahan isak sembari tetap menggenggam tangan perempuannya dengan erat."Kamu boleh maki saya. Atau sampai kamu bisa mencintai dan menerima saya, kita bisa pisah rumah untuk sementara. Tapi jangan tinggalin Risa, Ra.""Udah. Aku mohon sama kamu, Haykal. Berhenti perjuangin pernikahan ini. Sampai kapanpun aku nggak akan pernah bisa menerima kamu.""Beri saya alasan, Ra?! Jangan jadikan Risa korban dari keegoisan kita sebagai orang tuanya. Kalaupun kamu nggak bisa menerima saya, kamu tetap Ibu kandungnya.""Aku nggak bisa hidup sama laki-laki yang aku sayang, karena kamu. Aku nggak bisa kejar impian aku, karena kamu. Dan bahkan aku harus melahirkan anak yang nggak aku inginkan dari kamu, Haykal Bachtiar Janu. Itu alasannya, sekarang berhenti perjuangin aku!"Tangan Haykal terlepas. Lagi-lagi rasanya begitu menyakitkan mendengar kalimat yang tak seharusnya ia dengar. Nyatanya selama ini ia tak pernah bisa membohongi mata dan hatinya kalau apa yang ia terima dari perlakuan Adara adalah hal yang masih bisa ditolerir."Saya jahat ya, Ra. Saya jahat karena mengambil posisi lelaki yang kamu sayang dan juga menghapus impian kamu. Maafin saya, Ra."Setelah kepergian Adara, lelaki itu kembali merenung di dalam kamar Risa. Memperhatikan bagaimana gadis kecilnya itu tertidur. Adara bilang ia tidak menginginkan Risa. Bagaimana mungkin seorang Ibu yang bersusah-payah hamil dan melahirkan seorang bayi cantik, bisa mengatakan hal serupa?"Kamu benar, Ra. Saya sangat jahat." Setetes, dua tetes, kini air mata itu tak lagi terbendung.Haykal Bachtiar Janu, CEO MJ Corporation. Perusahan listrik terbesar di Korea. CEO muda yang terkenal dengan kewibawaan dan disegani oleh semua karyawan, detik ini ia mengaku kalah. Ia adalah sosok yang sangat kompeten dan paling diandalkan dalam mengatur karyawan dan perusahaan, namun detik ini ia mengaku gagal dalam membimbing dan memperjuangkan perempuan yang ia cintai sedari dulu. Jauh sebelum perjodohan direncanakan oleh kedua orang tua mereka."Tuhan, kenapa hidupku harus seperti ini? Apa yang sedang engkau rencanakan atas takdir hidupku? Aku bahkan nggak bisa bersama laki-laki yang aku cintai dan Engkau pun tidak pernah membiarkan hatiku luluh pada lelaki pilihan Ayah. Lantas aku harus bagaimana?"Saat ini, bukan hanya Haykal yang terluka. Perempuan yang berjalan tak tentu arah sembari mengumpat itu juga sama terlukanya. Ia bahkan mempertanyakan banyak hal pada Tuhan, yang entah sejak kapan baru dia sapa lagi. Adara melupakan penciptanya semenjak ia pikir tak dapat mengendalikan takdir sesuai yang dirinya inginkan.Mimpi-mimpi itu, harapan-harapan itu.Lelaki yang sepuluh tahun lalu begitu ia sukai, sosok yang menjadi penyemangat dan memberikan banyak keberanian termasuk juga sosok yang lebih mendekatkannya pada Sang Pencipta.Kini, Adara tak tahu harus melangkahkan kaki kemana. Ia bahkan tidak lagi memiliki tujuan dan tempat untuk pulang. Pikiran memberitahu bahwa semua yang ia katakan pada Haykal dan dengan pergi meninggalkan lelaki baik itu adalah hal paling buruk. Akan tetapi, hatinya seolah tak memberi setitik celah bagi seseorang masuk ke dalam ruang hampa itu. Begitu pula kehadiran buah hati tak bisa merubah keadaan dan perasaan. Semuanya akan tetap berada di titik nol dan kini berakhir kembali dititik nol. Tanpa permulaan, tanpa keinginan dan tidak menghadirkan satupun keistimewaan.Ternyata benar kata pepatah lama, sepuluh tahun lalu ia begitu mencintai seseorang lantas merayu sang Pencipta untuk mendapatkan hati orang itu. Rupanya yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Seharusnya pertama kali yang harus dirinya lakukan ialah berusaha sepenuh hati mencintai Sang Pencipta, baru belajar mendekati ciptaannya."Maafkan aku, Tuhan. Aku mengaku bersalah. Aku gagal mencintaimu, aku gagal mengenal penciptaku."Sepasang mata dengan bulir bening yang berlinang di pipi perempuan yang mulai tampak kerutan halus, akhirnya terpejam. Menutup hari di akhir bulan Februari 2035 dengan berbaring di bangku taman Kota Incheon, menggigil kedinginan di saat semua orang terlelap dibalik hangatnya selimut serta dekapan keluarga.Gadis itu yang memilih jalan hidupnya kini, dengan satu pembelajaran berharga tentang Tuhan, cinta dan takdir."Adara elyzia desan!" Teriakkan lantang menggema di seisi ruangan.Siswa yang mengenakan lencana ketua OSIS itu berjalan menghampiri seorang siswi di tengah riuh anak-anak lain yang mulai sibuk saling berbisik."Ra, sadar dong. Itu kak Saga jalan kesini. Jangan sampai lagi-lagi lo harus kena omelan dia." Oceh Farah, menyikut lengan sahabatnya yang tertidur dengan menyembunyikan kepala di balik tas."Aduh maaf kak, Dara kayaknya kecapean deh. Semalam di asrama ada kegiatan bersih-bersih." Farah menghela napas, memberi alasan supaya Sagara, Ketua OSIS yang terkenal dengan sebutan Ketos galak itu segera pergi menjauhi sahabatnya yang kini tertidur pulas layaknya kebo."Kalau dia bangun, suruh langsung ke ruang OSIS!"Sorot mata tajam, hidung mancung, bibir kecil, alis tebal dan pipi tirus ditambah dengan postur tubuh tegap menjadi keistimewaan dari seorang Sagara Januarta. Kesempurnaan fisik lengkap dengan kemampuan diberbagai bidang pelajaran menjadi daya tarik bagi seluruh siswi Incheo
'Kak Gara, Dara minta maaf ya. Maaf karena selalu jadi beban dan jadi musuh kak Gara selama dua tahun. Dan untuk apa yang aku ucapin soal Kak Gara yang ngejar-ngejar aku, semuanya bohong. Itu semua aku lakuin supaya kak Gara dibenci aja. Tapi sekarang aku sadar dan benar-benar menyesal. Jadi berhenti ngatain Kak Sagara cowok nggak baik.'"Gar, bukannya tuh anak bebal banget ya kalau disuruh-suruh sama lo. Tumben banget kali ini dia langsung nurut, lo nggak macem-macem ke tuh anak kan?" Ungkap Jordan, siswa berkulit putih pucat dengan rambut pirang, blasteran Korea-prancis.Pasalnya tatkala mereka berdua tengah mengantri di kantin terdengar suara Adara yang mengatakan semua hal yang Sagara suruh. Termasuk permintaan maaf atas perlakuannya selama ini."Aku nggak nyangka, dulu sebodoh dan sebebal itu aku di sekolah. Pantas saja Ayah sering marah." Air mata Adara menetes, mengingat bagaimana dulu dirinya selalu menjadi beban bagi keluarga dan orang lain."Kak Adara, ya?" Seseorang menepuk
Bisa-biasanya Sagara mengatakan hal tersebut. Wajar buka, jika pikiran aneh melintas di benak Adara. Bagaimanapun di masa depan ia sudah menjadi seorang Ibu, sudah paham pemikiran mengenai hal-hal dewasa."Ra, ayo masuk. Nanti lo masuk angin." Adara akhir ya berjalan mengekor di belakang Sagara menuju ruang tengah rumahnya.Meskipun tampilan depan rumah ini sangat mungil. Ketika memasuki bagian dalam, melihat bagaimana tertata nya setiap hiasan serta dekorasi seisi rumah, sudah bisa dipastikan jika Ibunya Sagara adalah perempuan yang bijaksana dan rajin."Nih, ganti dulu pakai baju Bunda." Ucap Sagara seraya meletakkan secangkir coklat panas di meja.Gadis itupun segera berjalan ke kamar yang ditunjuk oleh lelaki yang kini beralih ke dapur. Dalam hati Adara, ia semakin terkagum-kagum melihat sisi Ketua OSIS yang di terkenal galak di Sekolah."Kak, ada tamu ya?"Tiba-tiba sosok perempuan anggun yang kerap dipanggil Bunda oleh Sagara muncul dengan raut wajah terheran-heran. Pasalnya ana
"Gue bilang pergi!"Sagara berjalan meninggalkan gadis yang membentak nya barusan. Tidak ada penyesalan baginya, semoga kali ini Adara sungguh menjauh dari kehidupan dirinya.Tak ada jalan lain selain memutuskan untuk tetap kembali ke rumah orang tuanya dulu. Sudah hampir tujuh tahun Adara tidak pulang ke rumah orang tuanya. Setelah menikah dan memutuskan untuk tinggal berdua dengan Haykal, perempuan itu tidak lagi saling bertukar kabar dengan Sang Ibu. Bagi anak perempuan yang semasa kecilnya selalu menerima luka batin, tertekan oleh banyak tuntutan. Di saat dewasa kelak tidak dapat dihindari jika anak itu akan tumbuh menjadi sosok yang penuh dengan ketakutan pun kebencian terhadap orang-orang yang membuat perasaan trauma itu sendiri muncul. Sayangnya, penawar trauma yang Adara alami telah pergi di malam ini. Malam saat kembali ke sepuluh tahun belakang yang bahkan setiap kejadiannya seperti tidak pernah Adara alami sebelumnya. Mungkinkah jalan hidupnya sedikit demi sedikit telah ber
Dua minggu berlalu semenjak Adara memutuskan untuk tidak bertemu dengan Sagara. Gadis itu terlalu bingung dengan perubahan keadaan setiap momen yang terekam dalam kenangan, jika dibandingkan dengan keadaan yang kini sedang ia jalani. Sehingga akhirnya ia tak begitu terlalu memikirkan lelaki tak punya perasaan yang menyuruhnya untuk menjauh."Ra, lo di suruh bu Sisi minta tanda tangan Ketos buat tambah syarat pengajuan Eskul seni." Bianca, siswi yang menjabat sebagai bendahara mengatakan amanat dari pembina ekstrakurikuler Kesenian."Harus aku ya?"Bianca menghela napas "Kan lo ketua dikelas kita.""Ya udah deh. Nanti aku ke ruang OSIS."Baru juga dua minggu, takdir seolah membuat dirinya harus bertemu dengan Sagara. Saat bel istirahat berbunyi, Adara dengan terpaksa melangkahkan kakinya menuju ruang OSIS."Adara!" Bram memanggil Adara yang berjalan di depannya."Eh, iya Kak Bram. Gimana?""Jarang-jarang lo kesini, Ra? Udah lama juga sih, biasanya si paling langganan dipanggil ketos."
Sabtu malam ketika selesai makan malam bersama, Adara memberanikan diri untuk meminta izin mengenai rencana yang ia buat bersama Sagara. Permintaan yang baru pertama kali ia ucapkan kepada kedua orangtuanya. Awalnya sore tadi disaat sedang membantu ibunya memasak di dapur, gadis itu sempat meminta izin terlebih dahulu. Namun Sang Ibu, sebut saja Athiva. Beliau justru menyuruh Adara untuk meminta izin kepada sang Ayah. Beliau meskipun berperan sebagai seorang Ibu tak pernah berani mewujudkan keinginan anaknya sendiri tanpa persetujuan dari Sang suami, Yoshi. Lelaki yang sudah memasuki kepala empat itu memiliki temperamen buruk. Bertanggung jawab dari segi ekonomi, tapi tidak dengan menjaga perasaan orang di sekitarnya terutama anak dan istrinya. Bayangkan bagaimana tersiksa nya batin Athiva sampai untuk meminta izin dengan berbicara secara langsung di hadapan yoshi, ia sampai tidak berani. Dulu saat Adara berusia 5 tahun, keinginan untuk mengajukan gugatan cerai sempat terlintas di pik
Hujan tak hentinya mengguyur dengan deras. Lelaki remaja itu akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mengingat waktu yang sudah menjelang sore. Biarlah esok, Sagara bertanya langsung pada gadis yang tidak biasanya mengingkari ucapannya kali ini.Kondisi badan Adara belum sepenuhnya stabil. Namun, pagi ini Yoshi tetap bersikukuh menyuruh putri sematawayangnya untuk tetap berangkat sekolah. Athiva lagi-lagi hanya mampu menghela napas dan mengelus kepala Adara yang tampak terpaksa memasukan suapan nasi ke dalam mulutnya.Sepanjang perjalanan Ayah dan anak itu tetap membisu, tidak ada seorangpun yang berani memulai obrolan setelah perdebatan mereka dua hari lalu. Sikap keras kepala sama-sama mengakar dalam tubuh keduanya. Apalagi di usia Adara yang baru menginjak 16 tahun, ia masih membutuhkan bimbingan dan perlakuan yang lebih lembut terkhusus juga karena ia terlahir sebagai perempuan yang bilamana mendapati perlakuan kasar sedikit saja menjadi gampang sekali menangis. Terlalu perasa
Adara melamun begitu lama. Mengulang kembali memori saat-saat bersama dengan Saga dulu, sekaligus mencari penyebab mereka berdua jadi bermusuhan semenjak Adara yang berusia 27 tahun kembali ke masa lalu. "Kak Saga, sebenarnya apa alasan aku kembali ke masa lalu? Apa Tuhan akan memberikan kesempatan kedua bagi percintaan, keluarga maupun impian aku?" Gumam Adara, melemparkan pandangan ke lapangan dimana sekumpulan siswa-siswi sedang melaksanakan ujian olahraga. "Kenapa kak Saga harus pindah sekolah disaat aku membutuhkan semua jawaban atas pertanyaan yang lama kelamaan semakin membuat hatiku bimbang. Kemana lagi aku harus cari kak Saga?" Adara terus menerus mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri. Ia begitu yakin jika Saga adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tanpa akhir itu. Tapi bahkan lelaki itu kini malah pergi tanpa pamit. Bel pulang berbunyi. Adara buru-buru berjalan meninggalkan kelas. Membuat Farah dan Olive saling berpandangan, bingung dengan sikap aneh yang akhir-