'Kak Gara, Dara minta maaf ya. Maaf karena selalu jadi beban dan jadi musuh kak Gara selama dua tahun. Dan untuk apa yang aku ucapin soal Kak Gara yang ngejar-ngejar aku, semuanya bohong. Itu semua aku lakuin supaya kak Gara dibenci aja. Tapi sekarang aku sadar dan benar-benar menyesal. Jadi berhenti ngatain Kak Sagara cowok nggak baik.'
"Gar, bukannya tuh anak bebal banget ya kalau disuruh-suruh sama lo. Tumben banget kali ini dia langsung nurut, lo nggak macem-macem ke tuh anak kan?" Ungkap Jordan, siswa berkulit putih pucat dengan rambut pirang, blasteran Korea-prancis.Pasalnya tatkala mereka berdua tengah mengantri di kantin terdengar suara Adara yang mengatakan semua hal yang Sagara suruh. Termasuk permintaan maaf atas perlakuannya selama ini."Aku nggak nyangka, dulu sebodoh dan sebebal itu aku di sekolah. Pantas saja Ayah sering marah." Air mata Adara menetes, mengingat bagaimana dulu dirinya selalu menjadi beban bagi keluarga dan orang lain."Kak Adara, ya?" Seseorang menepuk pundak Adara. Siswi dengan bando merah yang ia ketahui adalah adik kelas, mengulurkan sebuah gulungan kertas."Dari siapa ya, dek?" Bukannya menjawab, siswi itu langsung berpamitan pergi. "Aneh,"'Nanti gue tunggu di taman sekolah usai bel pulang.'Gadis itu mencoba menerka-nerka, mengingat apa dulu ia juga pernah menerima surat dari orang yang tak dikenal. Bagaimanapun Adara harus mengetahui alasan ia kembali pergi ke masa lalu. Entah itu untuk mengubah takdir menjadi lebih baik atau sebaliknya.Sepanjang pelajaran, tak satupun materi yang mampu ia serap. Bukan karena usia yang membuat dirinya kesulitan, melainkan pikirannya terus menumbuhkan berbagai pertanyaan yang semakin lama ia berada di masa kini, semua pertanyaan itu semakin bercabang dan beranak pinak."Farah, boleh tanya sesuatu?" Pertanyaan Adara disambut Farah dengan alis berkerut."Tumben minta izin, Ra. Biasanya juga lo kan langsung to the poin, langsung ceplas-ceplos.""Kira-kira dulu... Eh, maksudnya kamu tahu kalau ada temen cowok yang keliatan naksir aku?""Jadi crush lo maksudnya?" Adara mengangguk cepat. Tak lupa ia juga melihat Pak Kang tae ha yang sedang menjelaskan di depan sana."Temen cowok di kelas kita mana ada yang berani suka lo diem-diem gitu, belum juga mulai perjuangin langsung pada kabur karena ulah lo sendiri yang sama Ketos galak aja berani cari mati.""Asli aku kayak gitu, Far?""Asli, gue aja sekarang nggak percaya kalau lo malah berubah drastis. Bisa-bisanya sekarang lo nurut ucapan kak Saga. Udah nyerah, Ra?""Farah, Adara! Kalian dengerin penjelasan saya tidak?" Pak Tae ha memberi tatapan tajam kepada dua anak didiknya yang semakin memperkeras suara obrolan mereka."Iya, Pak.""Kalau gitu maju ke depan! Jawab soal nomor dua, kasih penjelasan setelah itu bapak kasih izin pulang." Kebetulan Bel pulang akan berbunyi sepuluh menit lagi. Selama itu Farah dan Adara berdiskusi sampai tidak menyadari waktu berlalu cepat."Loh, Ra. Lo yakin mau maju? Biasanya lo paling anti kalau disuruh ngerjain soal di depan."Itu dulu, Adara yang Farah kenal dulu. Sepuluh tahun yang gadis itu lalui tidak hanya terasa manis-manisnya saja. Banyak kesulitan yang merenggut banyak hal berharga dari hidupnya. Sekarang, Pak Tae ha saja sampai melongo tidak percaya atas jawaban yang ditulis Adara."Saya boleh langsung pulang kan, Pak?" Tanya Adara, dengan ragu Pak Tae ha mengangguk tanda mengiyakan.Berjalan melewati setiap kelas, menuruni beberapa anak tangga untuk sampai di Taman sekolah. Tak ada satupun orang yang terlihat di sekitaran taman. Hanya ada Adara seorang diri. Dia sempat berpikir jika seseorang berusaha menjebaknya, sebelum pikiran itu akhirnya buyar ketika terdengar langkah kaki mendekat."Gue udah maafin lo, Ra." Sagara berdiri tepat di hadapan Adara."Kak Gara?""Ini menjadi kali terakhir kita kenal. Gue harap lo berubah, Ra. Gue tau sebenarnya banyak hal yang lo simpan sendirian.""Maksud kak Gara?""Lo gak mungkin dendam ke gue sebegitu lamanya hanya karena masalah sepele. Lo sebenarnya cuma butuh tempat pelampiasan aja, kan?"Apa yang diucapkan Lelaki itu memang benar adanya. Adara elyzia desan, terlahir bak Putri di negeri dongeng. Anak gadis yang selalu dimanjakan dan begitu diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Di sekolah tak bisa dipungkiri ia juga selalu menjadi pusat perhatian di kalangan para siswa. Tapi lagi-lagi setiap kesempurnaan yang dilihat manusia, selalu tak benar-benar terasa sempurna bagi sang pemeran. Adara bahkan kerap kali merasa tidak bisa bernapas dengan lebih bebas. Segala sesuatu yang ia mau sangat sulit untuk bisa terwujud. Peraturan-peraturan rumah, etika-etika yang harus dijaga dan diterapkan, bahkan jadwal setiap detik saja harus selalu terpantau oleh kedua orang tuanya. Dulu, saat baru pertama kali menapaki jenjang pendidikan menengah, gadis itu selalu membayangkan bilamana ia berhasil menjadi seorang dokter. Akan tetapi, Impian itu malah dihancurkan paksa oleh kedua orang yang ia hormati dan percaya."Ra? Gue harap lo bisa berubah ya. Lo cewek paling berani yang gue kenal. Jangan hanya berani ngelawan gue, lo juga harus berani ngejar impian lo.""Kak Gara tahu dari mana semua itu?""Gue duluan, Ra." Selalu seperti itu. Pergi dan menghilang tanpa penjelasan. "Gue seneng bisa kenal lo, walau cuma jadi musuh.""Kak Gara, aku mohon jawab pertanyaan aku. Kakak tahu semua itu dari mana?" Tapi laki-laki itu tetap berjalan mengacuhkan teriakan Adara.Tiba-tiba saja hujan turun. Seolah menjadi saksi bagaimana bingungnya Adara saat ini. Dia tidak mungkin pulang ke rumah orang tuanya. Dirinya tak ingin membuka luka lama. Akhirnya dengan terpaksa ia berjalan di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Tubuhnya terjatuh karena tak sadar menginjak batu besar."Lo selalu ceroboh, Ra." Sagara berdiri memayungi tubuh gadis yang selalu ia khawatirkan.Semua yang ia katakan pada Adara saat di ruang OSIS adalah kebohongan. Ia terlalu gengsi untuk mengatakan bahwa selama ini tak ada satupun hal yang tak ia ketahui tentang Adara elyzia desan. Gadis pemberani yang tak disangka malah memusuhi dirinya saat pertama kali bertemu. Ia hanya terlalu takut menghadapi berbagai hal kalau sampai Sagara mengenal gadis itu terlalu jauh. Takut kehilangan juga perpisahan."Kak Gara. Kenapa balik lagi sih? Kalau nggak mau jawab pertanyaan aku, seharusnya nggak usah sok-sok an peduli!" Sikap perempuan berusia 27 tahun itu tanpa sadar berubah seperti gadis remaja. Ia tak bisa mengontrol perasaannya. Apalagi Sagara menarik paksa tangannya. Mereka berdua berlari menuju sebuah rumah mungil yang terletak tidak jauh dari sekolah."Masuk, Ra. Gue nggak mungkin ngejelasin semuanya disaat lo udah menggigil kedinginan.""Tapi kak...""Bentar lagi Bunda datang. Lo nggak perlu khawatir. Lagi pula gue nggak nafsu sama bocil kematian kayak lo, Ra." Ucap Sagara, setidaknya disusul dengan senyum mentari yang telah lama tidak gadis itu lihat.Bisa-biasanya Sagara mengatakan hal tersebut. Wajar buka, jika pikiran aneh melintas di benak Adara. Bagaimanapun di masa depan ia sudah menjadi seorang Ibu, sudah paham pemikiran mengenai hal-hal dewasa."Ra, ayo masuk. Nanti lo masuk angin." Adara akhir ya berjalan mengekor di belakang Sagara menuju ruang tengah rumahnya.Meskipun tampilan depan rumah ini sangat mungil. Ketika memasuki bagian dalam, melihat bagaimana tertata nya setiap hiasan serta dekorasi seisi rumah, sudah bisa dipastikan jika Ibunya Sagara adalah perempuan yang bijaksana dan rajin."Nih, ganti dulu pakai baju Bunda." Ucap Sagara seraya meletakkan secangkir coklat panas di meja.Gadis itupun segera berjalan ke kamar yang ditunjuk oleh lelaki yang kini beralih ke dapur. Dalam hati Adara, ia semakin terkagum-kagum melihat sisi Ketua OSIS yang di terkenal galak di Sekolah."Kak, ada tamu ya?"Tiba-tiba sosok perempuan anggun yang kerap dipanggil Bunda oleh Sagara muncul dengan raut wajah terheran-heran. Pasalnya ana
"Gue bilang pergi!"Sagara berjalan meninggalkan gadis yang membentak nya barusan. Tidak ada penyesalan baginya, semoga kali ini Adara sungguh menjauh dari kehidupan dirinya.Tak ada jalan lain selain memutuskan untuk tetap kembali ke rumah orang tuanya dulu. Sudah hampir tujuh tahun Adara tidak pulang ke rumah orang tuanya. Setelah menikah dan memutuskan untuk tinggal berdua dengan Haykal, perempuan itu tidak lagi saling bertukar kabar dengan Sang Ibu. Bagi anak perempuan yang semasa kecilnya selalu menerima luka batin, tertekan oleh banyak tuntutan. Di saat dewasa kelak tidak dapat dihindari jika anak itu akan tumbuh menjadi sosok yang penuh dengan ketakutan pun kebencian terhadap orang-orang yang membuat perasaan trauma itu sendiri muncul. Sayangnya, penawar trauma yang Adara alami telah pergi di malam ini. Malam saat kembali ke sepuluh tahun belakang yang bahkan setiap kejadiannya seperti tidak pernah Adara alami sebelumnya. Mungkinkah jalan hidupnya sedikit demi sedikit telah ber
Dua minggu berlalu semenjak Adara memutuskan untuk tidak bertemu dengan Sagara. Gadis itu terlalu bingung dengan perubahan keadaan setiap momen yang terekam dalam kenangan, jika dibandingkan dengan keadaan yang kini sedang ia jalani. Sehingga akhirnya ia tak begitu terlalu memikirkan lelaki tak punya perasaan yang menyuruhnya untuk menjauh."Ra, lo di suruh bu Sisi minta tanda tangan Ketos buat tambah syarat pengajuan Eskul seni." Bianca, siswi yang menjabat sebagai bendahara mengatakan amanat dari pembina ekstrakurikuler Kesenian."Harus aku ya?"Bianca menghela napas "Kan lo ketua dikelas kita.""Ya udah deh. Nanti aku ke ruang OSIS."Baru juga dua minggu, takdir seolah membuat dirinya harus bertemu dengan Sagara. Saat bel istirahat berbunyi, Adara dengan terpaksa melangkahkan kakinya menuju ruang OSIS."Adara!" Bram memanggil Adara yang berjalan di depannya."Eh, iya Kak Bram. Gimana?""Jarang-jarang lo kesini, Ra? Udah lama juga sih, biasanya si paling langganan dipanggil ketos."
Sabtu malam ketika selesai makan malam bersama, Adara memberanikan diri untuk meminta izin mengenai rencana yang ia buat bersama Sagara. Permintaan yang baru pertama kali ia ucapkan kepada kedua orangtuanya. Awalnya sore tadi disaat sedang membantu ibunya memasak di dapur, gadis itu sempat meminta izin terlebih dahulu. Namun Sang Ibu, sebut saja Athiva. Beliau justru menyuruh Adara untuk meminta izin kepada sang Ayah. Beliau meskipun berperan sebagai seorang Ibu tak pernah berani mewujudkan keinginan anaknya sendiri tanpa persetujuan dari Sang suami, Yoshi. Lelaki yang sudah memasuki kepala empat itu memiliki temperamen buruk. Bertanggung jawab dari segi ekonomi, tapi tidak dengan menjaga perasaan orang di sekitarnya terutama anak dan istrinya. Bayangkan bagaimana tersiksa nya batin Athiva sampai untuk meminta izin dengan berbicara secara langsung di hadapan yoshi, ia sampai tidak berani. Dulu saat Adara berusia 5 tahun, keinginan untuk mengajukan gugatan cerai sempat terlintas di pik
Hujan tak hentinya mengguyur dengan deras. Lelaki remaja itu akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mengingat waktu yang sudah menjelang sore. Biarlah esok, Sagara bertanya langsung pada gadis yang tidak biasanya mengingkari ucapannya kali ini.Kondisi badan Adara belum sepenuhnya stabil. Namun, pagi ini Yoshi tetap bersikukuh menyuruh putri sematawayangnya untuk tetap berangkat sekolah. Athiva lagi-lagi hanya mampu menghela napas dan mengelus kepala Adara yang tampak terpaksa memasukan suapan nasi ke dalam mulutnya.Sepanjang perjalanan Ayah dan anak itu tetap membisu, tidak ada seorangpun yang berani memulai obrolan setelah perdebatan mereka dua hari lalu. Sikap keras kepala sama-sama mengakar dalam tubuh keduanya. Apalagi di usia Adara yang baru menginjak 16 tahun, ia masih membutuhkan bimbingan dan perlakuan yang lebih lembut terkhusus juga karena ia terlahir sebagai perempuan yang bilamana mendapati perlakuan kasar sedikit saja menjadi gampang sekali menangis. Terlalu perasa
Adara melamun begitu lama. Mengulang kembali memori saat-saat bersama dengan Saga dulu, sekaligus mencari penyebab mereka berdua jadi bermusuhan semenjak Adara yang berusia 27 tahun kembali ke masa lalu. "Kak Saga, sebenarnya apa alasan aku kembali ke masa lalu? Apa Tuhan akan memberikan kesempatan kedua bagi percintaan, keluarga maupun impian aku?" Gumam Adara, melemparkan pandangan ke lapangan dimana sekumpulan siswa-siswi sedang melaksanakan ujian olahraga. "Kenapa kak Saga harus pindah sekolah disaat aku membutuhkan semua jawaban atas pertanyaan yang lama kelamaan semakin membuat hatiku bimbang. Kemana lagi aku harus cari kak Saga?" Adara terus menerus mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri. Ia begitu yakin jika Saga adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tanpa akhir itu. Tapi bahkan lelaki itu kini malah pergi tanpa pamit. Bel pulang berbunyi. Adara buru-buru berjalan meninggalkan kelas. Membuat Farah dan Olive saling berpandangan, bingung dengan sikap aneh yang akhir-
"Rell, makasih banyak udah bantuin gue." Lelaki dengan hodie hitam itu adalah Sagara. Entah sejak kapan ia berdiri di sebelah Verrel yang sibuk memperhatikan langkah gadis yang baru saja pergi."Berengsek lo, Ga!" Verrel langsung berdiri memegang hodie Saga di bagian leher. Lelaki itu, walaupun sering gonta-ganti pasangan ternyata mempunyai sisi dimana tidak suka melihat perempuan disakiti. Menurutnya Saga hanya sendang mempermainkan Adara.Sementara lelaki yang dicengkram bagian leher pakaiannya itu hanya memberi senyum yang bagaimanapun jika ditutupi, tetap akan membuat orang mudah tahu kalau senyum itu sepenuhnya adalah palsu. Si ketua OSIS galak dan dingin, nyatanya tak lebih dari seorang lelaki rapuh bila dihadapkan dengan orang yang dicintai."Gue tahu, Ga! Gue tahu kalau lo punya rasa sama Adara. Lo, cowok pengecut tahu nggak?! Kejar, Ga! Kemana Ketos yang punya nyali gede itu?" Melepas cengkraman pada hodie yang dikenakan Saga, lantas menatap tajam lelaki di hadapannya. "Jawab
"Bu, di depan ada anak laki-laki yang berdiri di tengah hujan." Bi Rati selalu asisten rumah tangga di kediaman keluarga Yoshi, berusaha memberitahu Ibu majikannya begitu mengecek kondisi Anak laki-laki yang ia perhatikan melalui cepat gerbang saat tak sengaja sedang menyapu lantai bagian luar rumah. "Anak laki-laki? Kamu udah lama liat anak itu berdiri di bawah guyuran hujan?" "Iya, Bu. Saya baru lihatnya setelah tuan pulang kerja. Anak laki-laki itu seperti seumuran atau beda beberapa tahun dari non Adara." "Ya udah, biar saya coba temuin dia ke dapan. Tolong ambilin payung sama jaket dulu ya, bi." Ucap Athiva. Pasalnya hati seorang Ibu mana yang tak merasa khawatir melihat anak lain yang berdiri di bawah guyuran hujan deras, menahan dingin dengan wajah dan bibir memucat. Pintu gerbang kembali terbuka, tepat sebelum Saga hendak melangkahkan kaki untuk pergi. Ia sempat menyerah untuk menemui Adara dan memberi penjelasan pada gadis itu. Sudah hampir satu jam lebih, lelaki itu berdi
teks naratif, biasanya dalam bentuk prosa panjang yang mendeskripsikan cerita fiksi berurutanBahasaPantauSuntingNovel adalah salah satu genre karya sastra yang berbentuk prosa. Kisah di dalam novel merupakan hasil karya imajinasi yang membahas tentang permasalahan kehidupan seseorang atau berbagai tokoh. Cerita di dalam novel dimulai dengan munculnya persoalan yang dialami oleh tokoh dan diakhiri dengan penyelesaian masalahnya. Novel memiliki cerita yang lebih rumit dibandingkan dengan cerita pendek. Tokoh dan tempat yang diceritakan di dalam novel sangat beragam dan membahas waktu yang lama dalam penceritaan.[1] Penokohan di dalam novel menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku dalam kisah yang diceritakan. Novel terdiri dari bab dan sub-bab tertentu sesuai dengan kisah ceritanya.Penulis novel disebut novelis atau ceritawan.Genre novel digambarkan memiliki "sejarah yang berkelanjutan dan komprehensif selama sekitar dua ribu tahun".[2] Pandangan ini melihat novel berawal dari Yu
Angkasa terdiam melihat senyum yang terukir di wajah Devira. “Manis."“Apa, Ka?” Ucap Vira, begitu mendengar gumaman Angkasa.Angkasa kelimpungan mencari alasan yang tepat “I-itu nanti kita beli es cream manis, Lo mau kan?” Sambil menepuk mulutnya dengan sebelah tangan.‘Bodoh lagi, kenapa gue selalu keceplosan sih kalau ngomong di depan nih cewek?’ Batin Angkasa menggerutu atas kesalahannya.Angkasa meneguk ludah susah payah, sedangkan Vira masih terlelap di jok belakang. Dia bingung apakah harus membangunkan tidur Vira yang terlihat sangat damai atau harus menggendong gadis itu sampai kamar.Tanpa sadar Angkasa sedari tadi mengamati wajah Vira yang membuat Adrian menepuk bahu itu cukup keras.“Ngapain?” tanya Adrian setelahnya dengan tatapan penuh intimidasi.Mendengkus, Angkasa buru-buru menutup pintu mobil perlahan, lalu membawa Adrian agar menjauh.Adrian bersidekap dada menantikan kalimat yang akan Angkasa sampaikan. Laki-laki itu menghela napas, lalu berdecak. Melihat Angkasa y
“Loh, bukannya dia udah jutek dari orok,” Canda Vano. Namun sama sekali tidak membuat tawa muncul dari Siswa lain, yang ada tatapan tajam lah yang ia dapatkan dari Angkasa. “Nggak deh, bohong, Sa. Bercanda,”Rianty menggelengkan kepala, melihat kelakuan dua sahabat karib itu. Yang satu sering bertingkah konyol dan yang satu nya lagi cuek, dingin kayak kutub es.“Untung sayang.” Eh… cepat cepat Rianty meralat ucapannya. Menengok kanan kiri, takut-takut ada yang mendengar suaranya.Jadwal jam pertama kosong, membuat beberapa murid sibuk dengan keseruannya masing-masing. Ya, walaupun mereka berada di kelas unggulan bukan berarti termasuk murid yang selalu patuh akan peraturan dan disiplin banget, kan? Terbukti dari barisan meja depan yang penghuninya sudah berpindah ke barisan terbelakang. Berkumpul untuk sekedar menonton, bergosip dan menyontek tugas rumah yang belum sempat dikerjakan. Tidak termasuk Angkasa dan teman-temannya, mereka lebih memilih pergi ke Roftoop untuk membahas rencan
Pintu pun terbuka begitu lebar dan menampilkan sosok laki laki yang...Yang tadi itu, kan?Laki laki aneh itu, aku nggak salah lihat?Aku pikir ucapannya tadi hanya bercanda. Sesaat tatapan kami bertemu dan dia langsung memalingkan pandangannya, berjalan ke deretan kursi paling belakang. Berkumpul dengan teman-temannya yang menyoraki dan memanggilnya... RADIT."Hayo!! Ngeliatin siapa, Lo? Sampai segitunya banget,"GLEKKetahuan, deh. Emang paling bisa kalau kepo akutnya Sena kumat."Nghak, kok. Aku nggak lihat siapa-siapa," Balasku mengelak."Masa?" Giliran Renita yang mengajukan pertanyaan menjebak. Sejak awal kita berempat memulai pertemanan, kita sudah membuat sebuah perjanjian untuk tidak menyembunyikan sesuatu hal apapun yang berbau rahasia."Yang itu namanya Raditya Sanjaya, An. Anak pemilik Sekolah ini," Balas Ayudya, menjawab kekepoanku yang terpendam.RADITYA SANJAYA"Kenapa, Lo suka ya?" Ucap Sena, asal."Enggak, kok. sebenarnya tadi tuh, aku telat bareng dia," Ucapku sepela
Hati itu ibarat kertasTergores tinta hitam kan sulit tuk dihapusTergores tinta putih kan sulit tuk dipahamiTergores berulang-ulang akan berubah abstrakTak bisa dipulihkan kembali...Senang bertatap muka denganmu, sampai bertemu kembali dipertemuan-pertemuan selanjutnya...Hah, apa sih maksudnya?Siapa yang naruh surat ini?Ku arahkan pandangan ke sekeliling. Nihil. Hanya ada kondektur bus dan para penumpang yang beehimpit-himpitan, mengantri ingin segera keluar dari bus. Walaupun pikiranku masih bingung, sebisa mungkin ku paksakan pikiranku agar tetap berfikir positif. Tanpa membuang waktu terlalu lama, akupun segera berjalan keluar dari bus. Turun dari bus, dengan menaiki angkutan umum pasti akan secepatnya sampai di Rumah Nenek. Jelas aku masih hafal alamatnya, karena tahun lalu ketika libur semester, Ibu mengajakku ke sini meski dengan sedikit pemaksaan."Berhenti, Pak!" Ucapku ketika tepat di depan sebuah gerbang Rumah bercat hitam"Disini aja, Neng?" Balas sopir angkot yang a
Berubah bukan berarti hilang...Karena yang hilang belum tentu selalu terkenang.JUNI 2025Pagi ini kenangan yang ingin segera ku hilangkan, kembali datang dalam bentuk karangan bunga yang seseorang kirimkan melalui seorang kurir.Kenangan yang mulai terkubur dan tertutup rapat, harus terkuak begitu saja. Tanpa tahu akan keadaan hatiku, kini.Usai menandatangani surat tanda terima, langkah kaki kembali memasuki ruang kamar yang menjadi saksi atas kebisuan ku. Perlahan, ku buka kembali kepingan kenangan yang berserakan di laci kejenuhan. Jenuh akan kesedihan yang tiada hentinya mengusikku serta jenuh akan penantian untuk seseorang yang tak kunjung pula memberi kepastian. Seharusnya dia tak perlu memberi harapan semu pada hatiku yang ragu akan hatinya. Setelah kesetiaan yang aku berikan berujung pada kekecewaan, lantas apa semudah ini dia kembali bersama janji yang tak pernah ditepati?Pikiran dan hatiku saling berdebat menyuarakan Argumen atas apa yang harus dan tak harus aku lakukan.
Perlahan dia menunduk, surut kesenangannya. “Cantik bagaimana pun kalau buta tetap saja tidak ada artinya.”Entah kenapa mendengarnya membuat Simbok tidak enak hati. Namun, SiMbok tetap tersenyum melihat gadis itu. “Gak apa-apa. Cantik yang sebenarnya apa yang ada di dalam diri kamu. Tapi kamu memang cantik. Kamu---”Breaking news di televisi sontak membuat Simbok menggantung bicaranya.‘Kecelakaan di jalan pertigaan Griya Asih menewaskan dua orang sepasang suami-istri, dan satu orang anak mengalami cidera. Polisi masih mengusut penyebab kecelakaan terjadi. Tidak ada saksi mata yang melihat kejadian langsung.’Ara menggenggam tangannya, menahan isak tangis agar tak lolos dari pelupuk mata. Meski Bundanya selalu mengatakan bahwa hal baik atau buruk harus diterima. Namun, tetap saja rasanya menyakitkan. Bagaimana mungkin Bundanya bisa mengatakan itu setelah pergi meninggalkannya.Simbok melihat Vira iba, lalu ia memeluk gadis itu. Memberi kehangatan meski Devira dalam terjaganya merasa
Adrian terdiam beberapa saat, kesenduan menghias di wajah pias Vira. Sesuatu yang ada di hatinya bergerak. Dia beranjak dari duduk, menghampiri Devira yang tidak melakukan pergerakan setelah kepergian Angkasa.“Vira," Panggil Adrian lembut, sedang Mbok Ratmi yang menuntun jalan gadis itu diminta menjauh oleh Adrian. “Biar saya aja, Mbok.”Mbok Ratmi mengangguk. “Iya, Den.”Adrian mengambil alih tangan Vira. Gadis itu jadi tahu bagaimana cara memperhatikan karakter antara Angkasa dan Adrian. Adrian yang penuh perhatian berlawanan dengan Angkasa.Dan Angkasa bilang dia adalah benalu.‘Siapa yang menginginkan kehidupan seperti ini?’Jantung Devira rasanya ingin melonjak. Sakit, perkataan Angkasa bagai pisau tajam yang menghunus lalu mematikan dirinya seketika. Ah, apa benar dia benalu? Bagaimana bisa seorang benalu bisa tetap tinggal dan bertahan? Dia adalah parasit yang dibasmi.Adrian mengamati, bibir itu bergetar. Namun, dia tahu Vira adalah gadis tegar.Sejenak Adrian mengepalkan tan
"Ini semua gara-gara Lo, Naufal. Gue nggak akan tinggal diam. kalau aja Lo nggak nantangin balapan konyol itu, semuanya nggak akan kayak gini!" Tangan Angkasa mengepal kuat seiring terdengarnya suara benda-benda berjatuhan di kamar sebelah.Terpaksa ia pun beranjak dari kasur king size nya dan berjalan menuju kamar yang kini ditempati oleh Devira. Di lantai atas ini, hanya dua kamar dan itu hanya kamar Angkasa serta kamar yang Vira tempati sekarang. Kamar Adrian dan Mbok Ratmi terletak di lantai bawah, menyebabkan apapun yang terjadi pada Vira saat ini tidak mereka ketahui sama sekali. Lambat laun pintu kamar terbuka, sesosok gadis sedang meringkuk ketakutan di bawah kasur sambil menahan Isak tangis."Lo nggak apa-apa?" Ucap Angkasa pelan, masih berdiri enggan walau untuk mengusap bahu Devira."Kak Adrian, aku takut kak." Lagi-lagi Angkasa terdiam mematung ketika tanpa diduganya Vira kembali memeluknya.Sebelah tangan Angkasa melepas pelukan Vira. Membuat gadis itu terjatuh tepat di a