Adara melamun begitu lama. Mengulang kembali memori saat-saat bersama dengan Saga dulu, sekaligus mencari penyebab mereka berdua jadi bermusuhan semenjak Adara yang berusia 27 tahun kembali ke masa lalu. "Kak Saga, sebenarnya apa alasan aku kembali ke masa lalu? Apa Tuhan akan memberikan kesempatan kedua bagi percintaan, keluarga maupun impian aku?" Gumam Adara, melemparkan pandangan ke lapangan dimana sekumpulan siswa-siswi sedang melaksanakan ujian olahraga. "Kenapa kak Saga harus pindah sekolah disaat aku membutuhkan semua jawaban atas pertanyaan yang lama kelamaan semakin membuat hatiku bimbang. Kemana lagi aku harus cari kak Saga?" Adara terus menerus mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri. Ia begitu yakin jika Saga adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tanpa akhir itu. Tapi bahkan lelaki itu kini malah pergi tanpa pamit. Bel pulang berbunyi. Adara buru-buru berjalan meninggalkan kelas. Membuat Farah dan Olive saling berpandangan, bingung dengan sikap aneh yang akhir-
"Rell, makasih banyak udah bantuin gue." Lelaki dengan hodie hitam itu adalah Sagara. Entah sejak kapan ia berdiri di sebelah Verrel yang sibuk memperhatikan langkah gadis yang baru saja pergi."Berengsek lo, Ga!" Verrel langsung berdiri memegang hodie Saga di bagian leher. Lelaki itu, walaupun sering gonta-ganti pasangan ternyata mempunyai sisi dimana tidak suka melihat perempuan disakiti. Menurutnya Saga hanya sendang mempermainkan Adara.Sementara lelaki yang dicengkram bagian leher pakaiannya itu hanya memberi senyum yang bagaimanapun jika ditutupi, tetap akan membuat orang mudah tahu kalau senyum itu sepenuhnya adalah palsu. Si ketua OSIS galak dan dingin, nyatanya tak lebih dari seorang lelaki rapuh bila dihadapkan dengan orang yang dicintai."Gue tahu, Ga! Gue tahu kalau lo punya rasa sama Adara. Lo, cowok pengecut tahu nggak?! Kejar, Ga! Kemana Ketos yang punya nyali gede itu?" Melepas cengkraman pada hodie yang dikenakan Saga, lantas menatap tajam lelaki di hadapannya. "Jawab
"Bu, di depan ada anak laki-laki yang berdiri di tengah hujan." Bi Rati selalu asisten rumah tangga di kediaman keluarga Yoshi, berusaha memberitahu Ibu majikannya begitu mengecek kondisi Anak laki-laki yang ia perhatikan melalui cepat gerbang saat tak sengaja sedang menyapu lantai bagian luar rumah. "Anak laki-laki? Kamu udah lama liat anak itu berdiri di bawah guyuran hujan?" "Iya, Bu. Saya baru lihatnya setelah tuan pulang kerja. Anak laki-laki itu seperti seumuran atau beda beberapa tahun dari non Adara." "Ya udah, biar saya coba temuin dia ke dapan. Tolong ambilin payung sama jaket dulu ya, bi." Ucap Athiva. Pasalnya hati seorang Ibu mana yang tak merasa khawatir melihat anak lain yang berdiri di bawah guyuran hujan deras, menahan dingin dengan wajah dan bibir memucat. Pintu gerbang kembali terbuka, tepat sebelum Saga hendak melangkahkan kaki untuk pergi. Ia sempat menyerah untuk menemui Adara dan memberi penjelasan pada gadis itu. Sudah hampir satu jam lebih, lelaki itu berdi
"Sudah saya bilang, kamu lebih baik pergi dari sini. Jangan mengganggu kehidupan putri saya. Lihat, sekarang kamu malah berani-beraninya masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuan saya. Sebenarnya orang tua kamu mendidik kamu seperti apa?"Saga tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya. Jika sudah menyangkut pautkan masalah pribadinya dengan membawa-bawa peran orangtuanya, lelaki itu tidak bisa diam saja."Yah, ayah nggak tahu kalau kak Gara itu...""Diam kamu Adara!" Gadis itu kaget mendengar bentakan sang Ayah. "Berani-beraninya kamu masih ngebela bocah ingusan ini. Mau jadi apa kamu, hah? Mau jadi anak durhaka karena ngebangkang orang tua?"Athiva muncul di balik pintu bersama bi Rati. Lagi-lagi Athiva merasa gagal karena tak bisa memegang ucapannya sendiri. "Mas, sudah..." Perempuan itu berjalan ke samping suaminya, berusaha untuk meredakan emosi lelaki yang memiliki peran sebagai kepala di keluarga mereka."Kamu yang udah ngizinin bocah ini masuk? Buat apa, Athiva?" Giliran Athiva ya
Adara masih menangis setelah kepergian Saga. Barulah setelah ia mulai merasa tenang, memutuskan untuk menemui ayahnya di ruang kerja. Lihat bagaimana reaksi sang Ayah kalau anak sematawayangnya mencoba menentang keinginan Yoshi. Perlu diingat bahwa Adara yang sekarang adalah sosok perempuan yang sudah dewasa, sudah puas menerima banyak pukulan dan masalah bertubi-tubi."Yah!" Dengan tak sopannya gadis itu masuk ke ruang kerja. Mengabaikan peraturan sang Ayah, yang mana jika hendak masuk harus mengetuk pintu terlebih dahulu."Kenapa nggak ngetuk pintu, Adara?!""Yah, Ayah tahu kalau Kak Gara itu siapa? Kenapa ayah bicara seperti itu sama Kak Gara?" Bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Adara justru melemparkan balik pertanyaan, mengutarakan kekesalan isi hatinya."Adara! Bagus ya sekarang gara-gara bocah ingusan itu, kamu jadi berani ngelawan Ayah. Ayah nggak peduli mau dia anak presiden sekalipun, kalau dia udah berani ngeganggu kehidupan Ayah, Ayah nggak akan tinggal diam,""Kak G
Harta berharga yang melebihi kekayaan di dunia itu adalah keluarganya. Ayah, Ibu dan keempat adiknya telah mempertaruhkan hidup mereka demi kesuksesan yang saat ini Yoshi capai. Saat itu, ketika Yoshi genap berusia tujuh belas tahun. Usai menerima kartu tanda pengenal, ia meminta izin pada sang Ayah untuk berangkat ke Ibu kota guna mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, pekerjaan yang akan lebih mempercepat perubahan bagi keluarganya. Lagipula hanya tinggal beberapa minggu lagi dirinya akan mendapatkan kelulusan di Sekolah menengah akhir. Dengan hasil yang selalu luar biasa, selalu menjadi juara umum berkat kerja kerasnya selama ini."Biar Ayah sama Ibu dan adik-adik ikut mengantar kamu ke perbatasan kota. Biarlah nanti Ayah pinjam mobil milik pakde untuk kita diperjalanan. Ayah tidak tenang jika harus melepaskan kamu berangkat sendirian ke Ibu kota. Bagaimanapun usia kamu masih kecil dan baru pertama kali keluar dari perkampungan ini." Ucap sang Ayah malam itu, berjanji akan mengan
Bagaimanapun caranya, saat itu yang ada dipikiran anak remaja yang baru menginjak tujuh belas tahun adalah tentang keluarganya yang terpecah belah dan mimpinya yang sudah berada di ambang kegagalan. Untuk pertama kalinya, Yoshi membuat keputusan paling sulit di hidupnya. Ia merelakan ketiga adiknya untuk diadopsi oleh keluarga yang berbeda-beda. Anak remaja laki-laki itu juga mengikhlaskan ibunya untuk mendapatkan perawatan dan perlindungan di rumah sakit jiwa. Kini Yoshi menggenggam satu hal yang harus selalu ia percaya, yaitu harus ada hal berharga yang di korbankan untuk mencapai suatu hal yang paling lebih berharga daripada yang telah hilang."Mas, coba kamu yang bujuk Dara." Ucapan Athiva lagi-lagi membuyarkan renungan Yoshi.Pasalnya hingga detik ini lelaki paruh baya itu tak bisa bertemu dengan sang ibu ataupun ketiga saudara laki-laki nya. Sudah jelas, tidak berselang lama setelah keberangkatan Yoshi ke Ibu kota. Tiba-tiba saja pihak rumah sakit mengabari kalau Sang Ibu dinyat
Adara berjalan tertatih menyusuri jalan menuju rumahnya. Gadis itu telah membulatkan tekad untuk melupakan Sagara. Apapun alasannya, bagi dirinya Sagara bukan lagi hal yang harus diprioritaskan untuk saat ini. Setelah perlakuan yang ia dapatkan dari anak laki-laki itu, Adara memutuskan untuk belajar melupakan Saga. Entah itu untuk saat ini, atau ketika ia sudah berhasil menemukan cara kembali ke masa depan. Itu yang paling penting baginya mulai saat ini.Tiba di depan pintu gerbang, sang ibu Athiva sudah menunggu dengan raut cemas. Meski begitu beliau tetap tersenyum menyambut kedatangan putrinya. Tidak ingin membuat kondisi Adara menjadi lebih murung lagi. Walaupun Athiva juga sedikit lebih lega, karena sang suami Yoshi, sudah mau berubah untuk keluarga kecilnya sekarang. Terlihat bagaimana kemarin malam, Athiva melihat Yoshi meminta maaf pada Adara."Makan dulu ya, Ra. Ibu udah masakin makanan kesukaan Dara." Ucapan Athiva yak digubris oleh Adara, gadis itu malah tampak merenung di