Share

Beruntung Versus Terkurung

Sabtu malam ketika selesai makan malam bersama, Adara memberanikan diri untuk meminta izin mengenai rencana yang ia buat bersama Sagara. Permintaan yang baru pertama kali ia ucapkan kepada kedua orangtuanya. Awalnya sore tadi disaat sedang membantu ibunya memasak di dapur, gadis itu sempat meminta izin terlebih dahulu. Namun Sang Ibu, sebut saja Athiva. Beliau justru menyuruh Adara untuk meminta izin kepada sang Ayah. Beliau meskipun berperan sebagai seorang Ibu tak pernah berani mewujudkan keinginan anaknya sendiri tanpa persetujuan dari Sang suami, Yoshi. Lelaki yang sudah memasuki kepala empat itu memiliki temperamen buruk. Bertanggung jawab dari segi ekonomi, tapi tidak dengan menjaga perasaan orang di sekitarnya terutama anak dan istrinya. Bayangkan bagaimana tersiksa nya batin Athiva sampai untuk meminta izin dengan berbicara secara langsung di hadapan yoshi, ia sampai tidak berani. Dulu saat Adara berusia 5 tahun, keinginan untuk mengajukan gugatan cerai sempat terlintas di pikiran Athiva. Kalau saja ia tidak ingat bagaimana nasib putri kesayangan nya jika ia dan Yoshi berpisah. Selain kurang memberi kasih sayang, lelaki paruh baya itu juga kurang memberi waktu dikarenakan pekerjaannya sebagai CEO menuntut banyak hal. Membuat Athiva lagi-lagi hanya mampu menghela napas, menambah pasokan rasa sabar atas apa yang tak bisa ia perbuat banyak untuk membuat Adara bahagia.

"Yah, Dara mau minta izin." Ucap gadis itu menunduk, takut menatap manik mata sang Ayah.

Belum juga apa-apa, Yoshi mendentingkan sendok yang ia pegang. Adara gelisah, semakin tidak berani untuk melanjutkan ucapannya.

"Mau apa kamu, Ra?" Walau pelan, jelas setiap kata yang terlontar terdengar penuh penekanan.

"Nanti hari minggu, Dara mau minta izin main ke Danau sama temen dara. Boleh kan, Yah?"

"Nggak boleh. Kamu harus belajar, Dara!"

"Tapi setiap hari Dara udah belajar, Yah. Satu hari aja, Dara minta sama Ayah buat kasih Dara waktu untuk seneng-seneng. Kasih Dara waktu untuk istirahat,"

"Nggak ada Adara. Bukannya di rumah ayah juga udah kasih waktu istirahat. Pokoknya nggak ada acara keluar-keluar nggak jelas. Belajar. Kamu harus bisa banggain Ayah."

"Ayah jahat! Kenapa ayah selalu menuntut banyak hal dari Dara? Dara capek, Yah. Dara mau main juga seperti temen-temen Dara." Adara mulai menangis dan meneriaki Sang Ayah.

Bagaimana pun ini baru permintaan pertama yang ia inginkan, lantas Yoshi langsung menolak mengabulkan keinginan Adara. Gadis itu merasa tidak adil, walau terlahir dan dibesarkan di keluarga kaya. Sejujurnya ia hanya merasa iri pada anak-anak lain di kelasnya. Setiap jam istirahat yang ia dengar dari perbincangan beberapa siswi hanyalah hari-hari dimana mereka healing ataupun melakukan perjalanan ke tempat wisata. Sementara dirinya, hanya berkutat dengan ketebalan buku berisi rumus-rumus.

"Ini semua demi kebaikan kamu, Dara."

"Kebaikan apa nya, Yah? Dara sebenernya tertekan sama sikap ayah." Untuk pertama kalinya, Adara berani menjawab perkataan Yoshi. Hal itu tentu saja membuat wajah laki-laki paruh baya itu memerah, menahan amarah.

"Jangan jadi anak bebal, Adara!" Untuk pertama kalinya juga, sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Adara. Athiva sangat terkejut atas apa yang dilakukan Yoshi terhadap buah hati meraka. Tapi lagi-lagi beliau tak kuasa melakukan apapun untuk melindungi putrinya.

Adara berlari ke kamar, sembari memegangi pipinya yang merah akibat tamparan yang dilayangkan sang Ayah.

"Mas, nggak seharusnya kamu lakuin hal keras gitu sama Dara. Ingat Mas, gimana pun Dara itu darah daging kamu. Rasanya udah cukup dari kecil kamu nggak memenuhi tanggung jawab kamu secara sempurna. Kamu nggak memberi Aku kasih sayang, begitu pula dengan Adara. Apa kami masih seberharga itu di hidup kamu, mas!" Athiva lantas menyusul Adara ke kamarnya. Mengetuk pintu beberapa kali, tanpa terdengar sahutan dari dalam kamar.

"Maafin Mamah, Ra. Mamah nggak bisa buat kamu bahagia dan mamah juga nggak bisa buat kasih kamu perlindungan layaknya seorang Ibu."

Yoshi memukul tembok, menahan kemarahan yang memuncak. Egonya benar-benar sedang tidak dapat dikontrol. Ia hanya berpikir jika sang istri dan anaknya hanya belum mengerti bagaimana ia menyalurkan rasa kasih sayang dan kepeduliannya. Yoshi hanya berpikir bahwa dulu sewaktu ia remaja, ia juga selalu mendapat perlakuan dari semua orang yang ia kenal. Sehingga setelah ia membangun keluarga sendiri, hal itu dianggapnya wajar dan lumrah terjadi di setiap keluarga atau antar sesama manusia. Ia hanya sering terluka sampai tidak menyadari bahwa sikap kerasnya telah melukai kedua orang yang selalu ia anggap berharga.

Adara menangis, menutupi wajahnya dengan bantal. Gadis itu bahkan sampai kesulitan bernapas saking banyaknya air mata yang keluar dan suaranya yang terus menerus menahan isak. Ia tahu sang ibu ada di depan pintu kamar, namun ia terlanjur kecewa karena Ibunya selalu bersikap sama. Gadis itu hanya tak tahu kenyataan yang sebenarnya.

Keesokan harinya, tubuh Adara demam. Dengan mata sembab dan badan menggigil, Adara tetap membenamkan tubuhnya di balik selimut tanpa berani keluar dari kamar apalagi menemui kedua orang tuanya. Di balik itu semua, Yoshi belum juga menyadari bahwa tindakan nya adalah kesalahan. Kini ketika hendak sarapan, lelaki itu berulang kali menanyakan Adara. Menyuruh Athiva agar Adara segera bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.

"Dara sakit, Mas. Kasih Dara waktu untuk istirahat sampai sembuh. Kamu nggak kasihan sama Dara, Mas?" Tidak habis fikir, Athiva hampir kehabisan alasan kalau saja salah satu tetangga mereka tiba-tiba datang berkunjung. Sehingga Yoshi dengan cepat, bersiap berangkat ke kantor.

"Bilang ke Dara,  istirahat hanya untuk hari ini aja. Tapi jangan harap besok saya kasih izin buat dia keluar."

Adara sibuk memikirkan alasan yang tepat untuk membatalkan rencana yang ia buat dengan Sagara. Lelaki itu pasti sudah menunggu di tempat biasa mereka bertemu. Sedangkan ia sendiri tidak mendapat izin dari sang ayah , dan tidak mungkin menjadikannya sebagai alasan.

Rintik demi rintik air hujan turun sebelum berubah deras dalam sekejap mata. Dari balik jendela, gadis itu melihat jalanan di balik pagar yang menjadi benteng tempat tinggal keluarganya. Membayangkan bagaimana keadaan Sagara saat ini. Mungkinkah lelaki itu masih di tempat yang sama? Di halte bus, duduk di balik rinai hujan menunggu dirinya dengan sepeda yang sengaja lelaki itu bawa.

Adara benci dengan keadaan seperti ini. Sebagian orang yang mengenal Adara, mengatakan bahwa ia begitu beruntung. Terlahir bak Putri kerajaan. Namun baginya, hidupnya bagai terkurung dalam lingkar peraturan yang Ayahnya buat.

Di tempat lain, Sagara menunggu Adara. Menantikan gadis itu akan tetap datang walau hujan turun begitu deras. Satu jam lebih ia duduk di halte. Dari semula penuh dengan beberapa orang yang menunggu bus tiba, sampai hanya tersisa ia seorang diri.

"Ra, lo kenapa?" Tatapan matanya menerawang, menatap langit dengan awan yang kian mendung disertai kilatan petir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status