Dua minggu berlalu semenjak Adara memutuskan untuk tidak bertemu dengan Sagara. Gadis itu terlalu bingung dengan perubahan keadaan setiap momen yang terekam dalam kenangan, jika dibandingkan dengan keadaan yang kini sedang ia jalani. Sehingga akhirnya ia tak begitu terlalu memikirkan lelaki tak punya perasaan yang menyuruhnya untuk menjauh.
"Ra, lo di suruh bu Sisi minta tanda tangan Ketos buat tambah syarat pengajuan Eskul seni." Bianca, siswi yang menjabat sebagai bendahara mengatakan amanat dari pembina ekstrakurikuler Kesenian. "Harus aku ya?" Bianca menghela napas "Kan lo ketua dikelas kita." "Ya udah deh. Nanti aku ke ruang OSIS." Baru juga dua minggu, takdir seolah membuat dirinya harus bertemu dengan Sagara. Saat bel istirahat berbunyi, Adara dengan terpaksa melangkahkan kakinya menuju ruang OSIS. "Adara!" Bram memanggil Adara yang berjalan di depannya. "Eh, iya Kak Bram. Gimana?" "Jarang-jarang lo kesini, Ra? Udah lama juga sih, biasanya si paling langganan dipanggil ketos." Ucap Bram, diselingi tawa meledek. "Hehe iya nih. Udah sadar sekarang. Eum, mau ketemu ketos. Ada gak ya?" Adara tersenyum seraya memperlihatkan selembaran map yang ia bawa. "Lah, lo belum tahu atau ketinggalan info Ra?" "Maksudnya?" "Lo mau ketemu gue, Ra? Ada yang perlu gue bantu?" Adara mengernyitkan alis. "Sekarang kamu jadi ketos, Kak? Terus kak Sagara nya?" "Sagara udah lama pindah sekolah, Ra. Masa lo baru tahu. Setelah berhenti jadi musuh, lo juga berhenti ngikutin Saga?" Jadi ini, alasan laki-laki itu menyuruh Adara untuk menjauhi dan melupakan dirinya? Karena lelaki itu pindah sekolah. 'Kenapa nggak pamit baik-baik sih, kak? Apa sesulit itu ngucapin selamat tinggal?' Gumam Adara. "Udah nggak apa-apa, Ra. Tuh anak juga palingan sekarang lagi seneng-seneng sama temen barunya." "Apa sih, Kak?" "Kelihatan kalau lo sedih, Ra. Sorry banget, gue juga bukannya nggak mau bilang langsung. Ya gue kira lo udah tau kalau Saga pindah. Lagian tuh bocah juga mendadak, ada urusan keluarga juga. Nggak usah terlalu dipikirin ya Ra, berhenti sedih juga." "Lebay banget sih, kak. Aku nggak sedih kok." "Itu pesan dari Saga, Ra." Bram tersenyum getir. "Udah sedih nya. Yuk masuk, kayaknya ada yang perlu lo ajuin." Bram membuka pintu ruang OSIS. Usai bertemu dengan ketua OSIS, Adara berjalan menuju taman belakang sekolah. Dimana menjadi tempat terakhir sebelum mereka berdua memutuskan untuk tidak saling berkomunikasi maupun bertatap muka. Hampir sebulan Adara menjalani kehidupan di masa lalu. Namun, baginya semua kejadian yang ia lewati masih berbentuk teka teki. Yang ada di ingatan Adara.... "Kak Gara!" Gadis dengan kucir kuda yang berdiri di pinggir lapangan, berteriak memanggil lelaki yang tengah bermain basket. Sagara tersenyum, setelah mengakhiri permainan ia berjalan ke arah gadis itu. "Jadi kan ke gramed?" Adara mengerjapkan mata, lucu. "Jadi dong. Tunggu di parkiran ya. Gue ke ruang OSIS dulu." Senyuman itu tak pernah terlewat setiap Saga berbicara dengan Adara. "Siap, Pak Ketos." Lagi-lagi hal itu membuat Saga tertawa, lantas mengacak rambut gadis di hadapannya. Sore yang teduh dengan jalanan yang tidak terlalu bising dengan kemacetan di tengah kota. Tahun itu orang-orang lebih senang berjalan kaki ketimbang menaiki kendaraan roda dua dan empat. Kelopak bunga sakura yang terbang berguguran tertiup angin, menambah kesan indah bagi setiap pengguna jalan terutama bagi sepasang remaja yang berboncengan, tampak tertawa bahagia. "Ra, pulang dari gramed mau ketemu Bunda dulu nggak?" "loh emang nggak apa-apa, Kak?" "Ya nggak apa-apa. Lagian Bunda juga kangen katanya." Ucap Sagara, memperhatikan raut wajah Adara dari kaca spion. Laki-laki itu tersenyum, melihat bagaimana banyak perubahan dari raut wajah gadis dibelakangnya. Bingung, penasaran, takut, bahagia. Itu yang Sagara lihat dan rasakan. "Mau, nggak Ra? Nanti dibeliin ice cream deh." Bujuk lelaki itu, kali ini Adara antusias mengganggukkan kepala. Seperti rencana mereka. Setelah membeli beberapa buku di gramedia, Sagara membawa Adara ke rumahnya. Laki-laki itu benar-benar selalu terlihat bahagia bila bersama Adara. Jika di sekolah, semua orang sudah mengetahui dimana ada Saga maka disitu ada Adara. Begitupula sebaliknya. Beberapa bahkan mempertanyakan kejelasan hubungan mereka berdua secara gamblang. "Ra, hari minggu ada acara?" Sagara menemui Adara di kelasnya saat jam istirahat. "Kayaknya nggak ada deh. Kak Gara mau ngajak dara kemana? Mau main lagi ke danau?" "Boleh. Tapi pakai sepeda, mau nggak?" "Wah. Seru tuh kayaknya, kak. Nanti ketemuan di tempat biasa aja, ya." "Nggak mau di jemput ke rumah, Ra?" Adara terlihat sedang menimbang-nimbang. "Nggak apa-apa deh, kak. Kasian, nanti harus putar balik lagi." ucapnya, tersenyum. "Oke deh, nanti ketemuan di tempat biasa ya." Setelah Saga meninggalkan Adara, Farah dan olive duduk di samping meja gadis itu. "Live, gue bingung deh. Sebenernya hubungan temen lo sama cowok yang barusan keluar, apa sih?" Sindir Farah. "Iya, juga. Kalau nggak ada hubungan kayaknya nggak mungkin. Apalagi denger-denger mau dating. Mana nggak ngajak-ngajak lagi. Tega banget ya, Far?" "Kalian berdua nguping ya?" "Apa sih, Ra?" Ucap Farah dan olive, kompak. Ketiganya terdiam. Hening. "Maaf." Cicit Adara. Olive tampak jengah menanggapi sikap sahabatnya. "Lo itu sebenernya punya hubungan apa sama kak Saga, Ra?" "Sahabatan sama kayak kita bertiga." "Aduh, nih anak. Adara yang manis nan baik. Semua orang juga tahu kalau yang namanya sahabatan antara cowok sama cewek itu nggak pernah ada. Salah satu nya pasti ngelibatin perasaan." Ucap Olive, lagi. "Dengan entengnya lo bilang cuma sahabatan, Adara? Kita ini beneran sahabat bukan sih? Kok lo nggak mau terbuka, cerita-cerita sama gue, sama Olive juga." "Bukan gitu maksud aku. Aku sama kak Gara memang cuma temenan, nggak lebih. Kalian berdua juga tahu, kalau banyak banget yang suka sama kak Gara. Dan mereka semua juga cantik-cantik." "Hellow, Adara elyzia desan. Walaupun banyak yang ngejar Kak Saga. Semua orang juga tahu, gimana sikap itu cowok ke semua perempuan itu. Lo yakin nggak baper sama kak Saga, Ra?" Farah tampak begitu penasaran. "Nggak ada. Kak Gara juga pernah bilang kalau dia ngerasa seperti punya adik perempuan. Mungkin karena itu dia baik sama aku." Adara menunduk. Membuat Farah dan Olive paham akan perubahan sikap Adara. Gadis itu saja yang terlalu bebal, mengabaikan perasaannya sendiri. "Inget, Ra. Kalau hati lo udah ngerasa capek, gue sama Farah bakal selalu ada di sebelah lo." Ucap Olive " Betul tuh. Yang paling penting, jangan memendam semua sendirian. Sekali-kali lo harus berani buat ngungkapin apa yang lo rasa. Orang lain nggak akan tahu, kalau lo milih buat diem aja." Adara mengerti semua yang dikatakan kedua sahabatnya. Tapi, kata Adik yang sempat diucapkan Sagara langsung membuat dirinya tak berani meminta lebih. Walau sekedar meminta setitik ruang di hati Sagara sebagai orang yang lelaki itu cintai. Sebagai perempuan yang terlihat sebagai Wanita. Bukan adik ataupun sahabat.Sabtu malam ketika selesai makan malam bersama, Adara memberanikan diri untuk meminta izin mengenai rencana yang ia buat bersama Sagara. Permintaan yang baru pertama kali ia ucapkan kepada kedua orangtuanya. Awalnya sore tadi disaat sedang membantu ibunya memasak di dapur, gadis itu sempat meminta izin terlebih dahulu. Namun Sang Ibu, sebut saja Athiva. Beliau justru menyuruh Adara untuk meminta izin kepada sang Ayah. Beliau meskipun berperan sebagai seorang Ibu tak pernah berani mewujudkan keinginan anaknya sendiri tanpa persetujuan dari Sang suami, Yoshi. Lelaki yang sudah memasuki kepala empat itu memiliki temperamen buruk. Bertanggung jawab dari segi ekonomi, tapi tidak dengan menjaga perasaan orang di sekitarnya terutama anak dan istrinya. Bayangkan bagaimana tersiksa nya batin Athiva sampai untuk meminta izin dengan berbicara secara langsung di hadapan yoshi, ia sampai tidak berani. Dulu saat Adara berusia 5 tahun, keinginan untuk mengajukan gugatan cerai sempat terlintas di pik
Hujan tak hentinya mengguyur dengan deras. Lelaki remaja itu akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mengingat waktu yang sudah menjelang sore. Biarlah esok, Sagara bertanya langsung pada gadis yang tidak biasanya mengingkari ucapannya kali ini.Kondisi badan Adara belum sepenuhnya stabil. Namun, pagi ini Yoshi tetap bersikukuh menyuruh putri sematawayangnya untuk tetap berangkat sekolah. Athiva lagi-lagi hanya mampu menghela napas dan mengelus kepala Adara yang tampak terpaksa memasukan suapan nasi ke dalam mulutnya.Sepanjang perjalanan Ayah dan anak itu tetap membisu, tidak ada seorangpun yang berani memulai obrolan setelah perdebatan mereka dua hari lalu. Sikap keras kepala sama-sama mengakar dalam tubuh keduanya. Apalagi di usia Adara yang baru menginjak 16 tahun, ia masih membutuhkan bimbingan dan perlakuan yang lebih lembut terkhusus juga karena ia terlahir sebagai perempuan yang bilamana mendapati perlakuan kasar sedikit saja menjadi gampang sekali menangis. Terlalu perasa
Adara melamun begitu lama. Mengulang kembali memori saat-saat bersama dengan Saga dulu, sekaligus mencari penyebab mereka berdua jadi bermusuhan semenjak Adara yang berusia 27 tahun kembali ke masa lalu. "Kak Saga, sebenarnya apa alasan aku kembali ke masa lalu? Apa Tuhan akan memberikan kesempatan kedua bagi percintaan, keluarga maupun impian aku?" Gumam Adara, melemparkan pandangan ke lapangan dimana sekumpulan siswa-siswi sedang melaksanakan ujian olahraga. "Kenapa kak Saga harus pindah sekolah disaat aku membutuhkan semua jawaban atas pertanyaan yang lama kelamaan semakin membuat hatiku bimbang. Kemana lagi aku harus cari kak Saga?" Adara terus menerus mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri. Ia begitu yakin jika Saga adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tanpa akhir itu. Tapi bahkan lelaki itu kini malah pergi tanpa pamit. Bel pulang berbunyi. Adara buru-buru berjalan meninggalkan kelas. Membuat Farah dan Olive saling berpandangan, bingung dengan sikap aneh yang akhir-
"Rell, makasih banyak udah bantuin gue." Lelaki dengan hodie hitam itu adalah Sagara. Entah sejak kapan ia berdiri di sebelah Verrel yang sibuk memperhatikan langkah gadis yang baru saja pergi."Berengsek lo, Ga!" Verrel langsung berdiri memegang hodie Saga di bagian leher. Lelaki itu, walaupun sering gonta-ganti pasangan ternyata mempunyai sisi dimana tidak suka melihat perempuan disakiti. Menurutnya Saga hanya sendang mempermainkan Adara.Sementara lelaki yang dicengkram bagian leher pakaiannya itu hanya memberi senyum yang bagaimanapun jika ditutupi, tetap akan membuat orang mudah tahu kalau senyum itu sepenuhnya adalah palsu. Si ketua OSIS galak dan dingin, nyatanya tak lebih dari seorang lelaki rapuh bila dihadapkan dengan orang yang dicintai."Gue tahu, Ga! Gue tahu kalau lo punya rasa sama Adara. Lo, cowok pengecut tahu nggak?! Kejar, Ga! Kemana Ketos yang punya nyali gede itu?" Melepas cengkraman pada hodie yang dikenakan Saga, lantas menatap tajam lelaki di hadapannya. "Jawab
"Bu, di depan ada anak laki-laki yang berdiri di tengah hujan." Bi Rati selalu asisten rumah tangga di kediaman keluarga Yoshi, berusaha memberitahu Ibu majikannya begitu mengecek kondisi Anak laki-laki yang ia perhatikan melalui cepat gerbang saat tak sengaja sedang menyapu lantai bagian luar rumah. "Anak laki-laki? Kamu udah lama liat anak itu berdiri di bawah guyuran hujan?" "Iya, Bu. Saya baru lihatnya setelah tuan pulang kerja. Anak laki-laki itu seperti seumuran atau beda beberapa tahun dari non Adara." "Ya udah, biar saya coba temuin dia ke dapan. Tolong ambilin payung sama jaket dulu ya, bi." Ucap Athiva. Pasalnya hati seorang Ibu mana yang tak merasa khawatir melihat anak lain yang berdiri di bawah guyuran hujan deras, menahan dingin dengan wajah dan bibir memucat. Pintu gerbang kembali terbuka, tepat sebelum Saga hendak melangkahkan kaki untuk pergi. Ia sempat menyerah untuk menemui Adara dan memberi penjelasan pada gadis itu. Sudah hampir satu jam lebih, lelaki itu berdi
"Sudah saya bilang, kamu lebih baik pergi dari sini. Jangan mengganggu kehidupan putri saya. Lihat, sekarang kamu malah berani-beraninya masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuan saya. Sebenarnya orang tua kamu mendidik kamu seperti apa?"Saga tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya. Jika sudah menyangkut pautkan masalah pribadinya dengan membawa-bawa peran orangtuanya, lelaki itu tidak bisa diam saja."Yah, ayah nggak tahu kalau kak Gara itu...""Diam kamu Adara!" Gadis itu kaget mendengar bentakan sang Ayah. "Berani-beraninya kamu masih ngebela bocah ingusan ini. Mau jadi apa kamu, hah? Mau jadi anak durhaka karena ngebangkang orang tua?"Athiva muncul di balik pintu bersama bi Rati. Lagi-lagi Athiva merasa gagal karena tak bisa memegang ucapannya sendiri. "Mas, sudah..." Perempuan itu berjalan ke samping suaminya, berusaha untuk meredakan emosi lelaki yang memiliki peran sebagai kepala di keluarga mereka."Kamu yang udah ngizinin bocah ini masuk? Buat apa, Athiva?" Giliran Athiva ya
Adara masih menangis setelah kepergian Saga. Barulah setelah ia mulai merasa tenang, memutuskan untuk menemui ayahnya di ruang kerja. Lihat bagaimana reaksi sang Ayah kalau anak sematawayangnya mencoba menentang keinginan Yoshi. Perlu diingat bahwa Adara yang sekarang adalah sosok perempuan yang sudah dewasa, sudah puas menerima banyak pukulan dan masalah bertubi-tubi."Yah!" Dengan tak sopannya gadis itu masuk ke ruang kerja. Mengabaikan peraturan sang Ayah, yang mana jika hendak masuk harus mengetuk pintu terlebih dahulu."Kenapa nggak ngetuk pintu, Adara?!""Yah, Ayah tahu kalau Kak Gara itu siapa? Kenapa ayah bicara seperti itu sama Kak Gara?" Bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Adara justru melemparkan balik pertanyaan, mengutarakan kekesalan isi hatinya."Adara! Bagus ya sekarang gara-gara bocah ingusan itu, kamu jadi berani ngelawan Ayah. Ayah nggak peduli mau dia anak presiden sekalipun, kalau dia udah berani ngeganggu kehidupan Ayah, Ayah nggak akan tinggal diam,""Kak G
Harta berharga yang melebihi kekayaan di dunia itu adalah keluarganya. Ayah, Ibu dan keempat adiknya telah mempertaruhkan hidup mereka demi kesuksesan yang saat ini Yoshi capai. Saat itu, ketika Yoshi genap berusia tujuh belas tahun. Usai menerima kartu tanda pengenal, ia meminta izin pada sang Ayah untuk berangkat ke Ibu kota guna mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, pekerjaan yang akan lebih mempercepat perubahan bagi keluarganya. Lagipula hanya tinggal beberapa minggu lagi dirinya akan mendapatkan kelulusan di Sekolah menengah akhir. Dengan hasil yang selalu luar biasa, selalu menjadi juara umum berkat kerja kerasnya selama ini."Biar Ayah sama Ibu dan adik-adik ikut mengantar kamu ke perbatasan kota. Biarlah nanti Ayah pinjam mobil milik pakde untuk kita diperjalanan. Ayah tidak tenang jika harus melepaskan kamu berangkat sendirian ke Ibu kota. Bagaimanapun usia kamu masih kecil dan baru pertama kali keluar dari perkampungan ini." Ucap sang Ayah malam itu, berjanji akan mengan