"Gue bilang pergi!"
Sagara berjalan meninggalkan gadis yang membentak nya barusan. Tidak ada penyesalan baginya, semoga kali ini Adara sungguh menjauh dari kehidupan dirinya.Tak ada jalan lain selain memutuskan untuk tetap kembali ke rumah orang tuanya dulu. Sudah hampir tujuh tahun Adara tidak pulang ke rumah orang tuanya. Setelah menikah dan memutuskan untuk tinggal berdua dengan Haykal, perempuan itu tidak lagi saling bertukar kabar dengan Sang Ibu. Bagi anak perempuan yang semasa kecilnya selalu menerima luka batin, tertekan oleh banyak tuntutan. Di saat dewasa kelak tidak dapat dihindari jika anak itu akan tumbuh menjadi sosok yang penuh dengan ketakutan pun kebencian terhadap orang-orang yang membuat perasaan trauma itu sendiri muncul. Sayangnya, penawar trauma yang Adara alami telah pergi di malam ini. Malam saat kembali ke sepuluh tahun belakang yang bahkan setiap kejadiannya seperti tidak pernah Adara alami sebelumnya. Mungkinkah jalan hidupnya sedikit demi sedikit telah berubah saat pertama kali ke masa lalu?Beruntung Adara masih mengingat dengan jelas jalan menuju rumah orang tuanya. Dari kejauhan sudah terlihat dengan jelas sang Ayah, tengah berdiri di depan pintu gerbang sembari berkacak pinggang."Kenapa baru pulang jam segini?""Maafin Adara, Yah. Tadi Adara ada kerja kelompok dulu." Elaknya, mencoba menghindari tatapan tajam dari sang ayah dengan menundukkan kepala."Kenapa nggak hubungin orang rumah kalau pulang telat?" Ayahnya masih mendesak dengan serentetan pertanyaan."Dara lupa bawa handphone, yah. Maaf.""Kamu itu udah besar, Dara. Ibumu lagi sakit, bukannya jagain atau paling enggak kabarin orang rumah. Pinjam Handphone temen kamu, jangan cuma bisa nya selalu buat khawatir."Dimarahi di depan orang yang melewati sekitaran rumah mereka bukanlah hal yang menyenangkan bagi Adara. Hal ini lah salah satu penyebab Adara membenci mereka terutama Sang Ayah. Sikap menyepelekan, perlakuan serta ucapan yang beliau katakan malam ini terasa sangat keterlaluan. Adara merasa dipermalukan di depan semua orang. Dia tahu bahwa ini terjadi karena kesalahannya. Ayah nya pantas marah, namun keinginan gadis itu adalah keharusan ayahnya untuk tahu tempat jika hendak marah. Kali ini Kejadian yang ia alami benar-benar serupa dengan masa lalu. Tuhan seakan memperluas teka-teki takdir yang entah sedang direncanakan menjadi seperti apa.Malam berakhir, Adara menangis di sudut kamar. Memeluk lutut sambil berusaha menahan kantuk. Di satu sisi dirinya ingin kembali ke masa depan, menjalani hidup meskipun harus tinggal sebatang kara. Di sisi lain, Adara juga tidak ingin pergi terburu-buru. Ia masih ingin mengetahui alasan dirinya melakukan perjalanan waktu, ia juga tak ingin meninggalkan penawar luka nya_Pemilik senyum mentari. Kini gadis itu hanya takut memejamkan mata, hanya itu saja.Keesokan hari, Adara diantar sang ayah ke sekolah. Siap tak siap menjalani satu hari yang menyesakkan."Selamat Pagi Om." Di gerbang sekolah, Farah menyambut Adara. Gadis itu juga baru turun dari mobil pengantarnya."Farah kemarin kerja kelompok sama Adara?" Terkejut bukan main. Adara tidak menyangka jika ayahnya begitu tidak mempercayai setiap kalimat yang ia ucapkan. Sampai-sampai melontarkan pertanyaan kepada sahabatnya.Farah melirik Adara sekilas, yang dibalas tatapan permohonan lebih tepatnya meminta bantuan Farah untuk berpura-pura mengatakan iya."Iya Om, kebetulan kemarin juga hujan deras jadi Ibu Farah nahan dulu Adara supaya tinggal sampai hujan reda."Lelaki paruh baya dengan setelan kemeja dan jas itu hanya tersenyum simpul. Mengelus puncak kepala sang anak, kemudian pergi meninggalkan dua gadis remaja yang akhirnya bisa bernapas lega."Emangnya kemarin lo kemana, Ra? Nggak mungkin bokap lo sampai nanyain kayak gitu kalau bukan karena lo pulang kemalaman?""Kemarin..." Sagara mengendarai sepeda motor, melewati Adara dan Farah. Membuat Adara menghentikan ucapannya, memalingkan wajah berharap Sagara tak melihat ia ada disini. Bukankah itu adalah keinginan mereka berdua? Ralat, itu hanyalah keinginan Sagara."Eh Ra. Tungguin, Ya elah. Ra!" Farah berteriak kencang, berlari mengikuti langkah kaki Adara yang berjalan cepat.Sementara Sagara melihat sekeliling, mencari sosok gadis yang baru saja ia dengar namanya."Akhirnya lo benar-benar harus lupain gue, Ra." Gumam lelaki itu sembari menundukkan kepalanya. Sungguh ia merasa tidak menyimpan satupun penyesalan terhadap Adara.Untuk apapun yang akan terjadi, baik ataupun buruk. Ke depannya dalam kehidupan Sagara, tak ada satupun orang yang harus ia renggut kebahagiaannya. Baginya, sudah cukup menyaksikan Sang Ibu yang menangis histeris begitu diberitahu oleh pihak medis kalau Sagara menderita penyakit jantung koroner. Dimana gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah karena penyumbatan atau penyempitan pada pembuluh darah koroner akibat kerusakan lapisan dinding pembuluh darah (Aterosklerosis). Tak ada satupun pencegahan cepat yang bisa dirinya lakukan selain menjaga pola hidup sehat dan membebaskan pikiran. Awalnya hanya terlambat menyadari saat mengalami ciri-ciri yang diucapkan dokter ketika memasuki stadium dua. Pada akhirnya, Anak laki-laki itu menyesal sebab tak pernah sekalipun mengeluh atas setiap hal kecil yang tubuhnya rasakan. Hidupnya saat ini tinggal menunggu waktu saja."Ga, udah bel tuh. Bukannya lo jadwal tugas keliling ya?" Ujar Verrel."Ya elah, nih bocah masih pagi juga udah ngelamun aja. Ga! Woy lah!""Yeh, dasar kulkas. Kebiasaan langsung nyelonong pergi. Untung Ketos lo, Ga." Kali ini giliran Liam yang sewot menanggapi sikap Sagara."Kalau bukan ketos, mau diapain tuh bocah emangnya?" Tukas Bram"Nggak gue apa-apain sih.""Fuck!" Ucap Verrel dan Bram sembari bergiliran menjitak kepala Liam.Dari sini, dengan cara seperti ini, Sagara bisa memperhatikan Adara dari jauh. Untuk area sekolah memang setiap anggota OSIS diberikan tugas untuk bergiliran melakukan patroli di sekolah, gunanya untuk membantu guru bimbingan konseling melakukan pendisiplinan kepada setiap siswa-siswi yang sering melanggar aturan. Biasanya setiap hari, wajah Adara selalu terlihat paling jelas di barisan para siswa-siswi pelanggar aturan. Tapi kali ini, gadis itu telah menepati kesepakatan mereka dengan menuruti setiap perkataan yang Sagara ucapkan kemarin malam.Di atas sana, matahari begitu terik. Membuat siswa-siswi yang sedang diberi hukuman menghormati bendera, berteriak mengeluh. Sialnya, tiba-tiba Sagara merasakan dadanya terasa seperti ditusuk-tusuk. Pandangan matanya pun mulai tampak samar. Pada akhirnya, ia terjatuh di susul dengan teriakkan anggota OSIS dan siswa-siswi yang sedang dihukum. Beberapa siswa menggotong Sagara ke ruang kesehatan.Cukup lama laki-laki itu terbaring tak sadarkan diri. Pembina OSIS juga sudah menghubungi pihak keluarga untuk menjemput Sagara supaya bisa beristirahat di rumah sementara waktu."Bram, tolong bilang ke anak-anak lain jangan ada yang nyebar kejadian tadi. Apalagi sampai Adara tahu. Gue titip tugas dan tanggungjawab gue ke lo, Bram." Ucap Lelaki itu, memberikan tugasnya kepada Bram selalu wakil ketua OSIS.Sagara memutuskan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan ke rumah sakit, walau ia tahu waktu terakhirnya sudah dekat namun ia tetap harus memperjuangkan hidupnya hingga detik terakhir. Untuk Ibu dan keluarga kecilnya, untuk impiannya, untuk kebahagiannya bersama orang yang dia cintai. Adara elyzia desan.Dua minggu berlalu semenjak Adara memutuskan untuk tidak bertemu dengan Sagara. Gadis itu terlalu bingung dengan perubahan keadaan setiap momen yang terekam dalam kenangan, jika dibandingkan dengan keadaan yang kini sedang ia jalani. Sehingga akhirnya ia tak begitu terlalu memikirkan lelaki tak punya perasaan yang menyuruhnya untuk menjauh."Ra, lo di suruh bu Sisi minta tanda tangan Ketos buat tambah syarat pengajuan Eskul seni." Bianca, siswi yang menjabat sebagai bendahara mengatakan amanat dari pembina ekstrakurikuler Kesenian."Harus aku ya?"Bianca menghela napas "Kan lo ketua dikelas kita.""Ya udah deh. Nanti aku ke ruang OSIS."Baru juga dua minggu, takdir seolah membuat dirinya harus bertemu dengan Sagara. Saat bel istirahat berbunyi, Adara dengan terpaksa melangkahkan kakinya menuju ruang OSIS."Adara!" Bram memanggil Adara yang berjalan di depannya."Eh, iya Kak Bram. Gimana?""Jarang-jarang lo kesini, Ra? Udah lama juga sih, biasanya si paling langganan dipanggil ketos."
Sabtu malam ketika selesai makan malam bersama, Adara memberanikan diri untuk meminta izin mengenai rencana yang ia buat bersama Sagara. Permintaan yang baru pertama kali ia ucapkan kepada kedua orangtuanya. Awalnya sore tadi disaat sedang membantu ibunya memasak di dapur, gadis itu sempat meminta izin terlebih dahulu. Namun Sang Ibu, sebut saja Athiva. Beliau justru menyuruh Adara untuk meminta izin kepada sang Ayah. Beliau meskipun berperan sebagai seorang Ibu tak pernah berani mewujudkan keinginan anaknya sendiri tanpa persetujuan dari Sang suami, Yoshi. Lelaki yang sudah memasuki kepala empat itu memiliki temperamen buruk. Bertanggung jawab dari segi ekonomi, tapi tidak dengan menjaga perasaan orang di sekitarnya terutama anak dan istrinya. Bayangkan bagaimana tersiksa nya batin Athiva sampai untuk meminta izin dengan berbicara secara langsung di hadapan yoshi, ia sampai tidak berani. Dulu saat Adara berusia 5 tahun, keinginan untuk mengajukan gugatan cerai sempat terlintas di pik
Hujan tak hentinya mengguyur dengan deras. Lelaki remaja itu akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mengingat waktu yang sudah menjelang sore. Biarlah esok, Sagara bertanya langsung pada gadis yang tidak biasanya mengingkari ucapannya kali ini.Kondisi badan Adara belum sepenuhnya stabil. Namun, pagi ini Yoshi tetap bersikukuh menyuruh putri sematawayangnya untuk tetap berangkat sekolah. Athiva lagi-lagi hanya mampu menghela napas dan mengelus kepala Adara yang tampak terpaksa memasukan suapan nasi ke dalam mulutnya.Sepanjang perjalanan Ayah dan anak itu tetap membisu, tidak ada seorangpun yang berani memulai obrolan setelah perdebatan mereka dua hari lalu. Sikap keras kepala sama-sama mengakar dalam tubuh keduanya. Apalagi di usia Adara yang baru menginjak 16 tahun, ia masih membutuhkan bimbingan dan perlakuan yang lebih lembut terkhusus juga karena ia terlahir sebagai perempuan yang bilamana mendapati perlakuan kasar sedikit saja menjadi gampang sekali menangis. Terlalu perasa
Adara melamun begitu lama. Mengulang kembali memori saat-saat bersama dengan Saga dulu, sekaligus mencari penyebab mereka berdua jadi bermusuhan semenjak Adara yang berusia 27 tahun kembali ke masa lalu. "Kak Saga, sebenarnya apa alasan aku kembali ke masa lalu? Apa Tuhan akan memberikan kesempatan kedua bagi percintaan, keluarga maupun impian aku?" Gumam Adara, melemparkan pandangan ke lapangan dimana sekumpulan siswa-siswi sedang melaksanakan ujian olahraga. "Kenapa kak Saga harus pindah sekolah disaat aku membutuhkan semua jawaban atas pertanyaan yang lama kelamaan semakin membuat hatiku bimbang. Kemana lagi aku harus cari kak Saga?" Adara terus menerus mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri. Ia begitu yakin jika Saga adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tanpa akhir itu. Tapi bahkan lelaki itu kini malah pergi tanpa pamit. Bel pulang berbunyi. Adara buru-buru berjalan meninggalkan kelas. Membuat Farah dan Olive saling berpandangan, bingung dengan sikap aneh yang akhir-
"Rell, makasih banyak udah bantuin gue." Lelaki dengan hodie hitam itu adalah Sagara. Entah sejak kapan ia berdiri di sebelah Verrel yang sibuk memperhatikan langkah gadis yang baru saja pergi."Berengsek lo, Ga!" Verrel langsung berdiri memegang hodie Saga di bagian leher. Lelaki itu, walaupun sering gonta-ganti pasangan ternyata mempunyai sisi dimana tidak suka melihat perempuan disakiti. Menurutnya Saga hanya sendang mempermainkan Adara.Sementara lelaki yang dicengkram bagian leher pakaiannya itu hanya memberi senyum yang bagaimanapun jika ditutupi, tetap akan membuat orang mudah tahu kalau senyum itu sepenuhnya adalah palsu. Si ketua OSIS galak dan dingin, nyatanya tak lebih dari seorang lelaki rapuh bila dihadapkan dengan orang yang dicintai."Gue tahu, Ga! Gue tahu kalau lo punya rasa sama Adara. Lo, cowok pengecut tahu nggak?! Kejar, Ga! Kemana Ketos yang punya nyali gede itu?" Melepas cengkraman pada hodie yang dikenakan Saga, lantas menatap tajam lelaki di hadapannya. "Jawab
"Bu, di depan ada anak laki-laki yang berdiri di tengah hujan." Bi Rati selalu asisten rumah tangga di kediaman keluarga Yoshi, berusaha memberitahu Ibu majikannya begitu mengecek kondisi Anak laki-laki yang ia perhatikan melalui cepat gerbang saat tak sengaja sedang menyapu lantai bagian luar rumah. "Anak laki-laki? Kamu udah lama liat anak itu berdiri di bawah guyuran hujan?" "Iya, Bu. Saya baru lihatnya setelah tuan pulang kerja. Anak laki-laki itu seperti seumuran atau beda beberapa tahun dari non Adara." "Ya udah, biar saya coba temuin dia ke dapan. Tolong ambilin payung sama jaket dulu ya, bi." Ucap Athiva. Pasalnya hati seorang Ibu mana yang tak merasa khawatir melihat anak lain yang berdiri di bawah guyuran hujan deras, menahan dingin dengan wajah dan bibir memucat. Pintu gerbang kembali terbuka, tepat sebelum Saga hendak melangkahkan kaki untuk pergi. Ia sempat menyerah untuk menemui Adara dan memberi penjelasan pada gadis itu. Sudah hampir satu jam lebih, lelaki itu berdi
"Sudah saya bilang, kamu lebih baik pergi dari sini. Jangan mengganggu kehidupan putri saya. Lihat, sekarang kamu malah berani-beraninya masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuan saya. Sebenarnya orang tua kamu mendidik kamu seperti apa?"Saga tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya. Jika sudah menyangkut pautkan masalah pribadinya dengan membawa-bawa peran orangtuanya, lelaki itu tidak bisa diam saja."Yah, ayah nggak tahu kalau kak Gara itu...""Diam kamu Adara!" Gadis itu kaget mendengar bentakan sang Ayah. "Berani-beraninya kamu masih ngebela bocah ingusan ini. Mau jadi apa kamu, hah? Mau jadi anak durhaka karena ngebangkang orang tua?"Athiva muncul di balik pintu bersama bi Rati. Lagi-lagi Athiva merasa gagal karena tak bisa memegang ucapannya sendiri. "Mas, sudah..." Perempuan itu berjalan ke samping suaminya, berusaha untuk meredakan emosi lelaki yang memiliki peran sebagai kepala di keluarga mereka."Kamu yang udah ngizinin bocah ini masuk? Buat apa, Athiva?" Giliran Athiva ya
Adara masih menangis setelah kepergian Saga. Barulah setelah ia mulai merasa tenang, memutuskan untuk menemui ayahnya di ruang kerja. Lihat bagaimana reaksi sang Ayah kalau anak sematawayangnya mencoba menentang keinginan Yoshi. Perlu diingat bahwa Adara yang sekarang adalah sosok perempuan yang sudah dewasa, sudah puas menerima banyak pukulan dan masalah bertubi-tubi."Yah!" Dengan tak sopannya gadis itu masuk ke ruang kerja. Mengabaikan peraturan sang Ayah, yang mana jika hendak masuk harus mengetuk pintu terlebih dahulu."Kenapa nggak ngetuk pintu, Adara?!""Yah, Ayah tahu kalau Kak Gara itu siapa? Kenapa ayah bicara seperti itu sama Kak Gara?" Bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Adara justru melemparkan balik pertanyaan, mengutarakan kekesalan isi hatinya."Adara! Bagus ya sekarang gara-gara bocah ingusan itu, kamu jadi berani ngelawan Ayah. Ayah nggak peduli mau dia anak presiden sekalipun, kalau dia udah berani ngeganggu kehidupan Ayah, Ayah nggak akan tinggal diam,""Kak G