Share

Pengecut

Bisa-biasanya Sagara mengatakan hal tersebut. Wajar buka, jika pikiran aneh melintas di benak Adara. Bagaimanapun di masa depan ia sudah menjadi seorang Ibu, sudah paham pemikiran mengenai hal-hal dewasa.

"Ra, ayo masuk. Nanti lo masuk angin." Adara akhir ya berjalan mengekor di belakang Sagara menuju ruang tengah rumahnya.

Meskipun tampilan depan rumah ini sangat mungil. Ketika memasuki bagian dalam, melihat bagaimana tertata nya setiap hiasan serta dekorasi seisi rumah, sudah bisa dipastikan jika Ibunya Sagara adalah perempuan yang bijaksana dan rajin.

"Nih, ganti dulu pakai baju Bunda." Ucap Sagara seraya meletakkan secangkir coklat panas di meja.

Gadis itupun segera berjalan ke kamar yang ditunjuk oleh lelaki yang kini beralih ke dapur. Dalam hati Adara, ia semakin terkagum-kagum melihat sisi Ketua OSIS yang di terkenal galak di Sekolah.

"Kak, ada tamu ya?"

Tiba-tiba sosok perempuan anggun yang kerap dipanggil Bunda oleh Sagara muncul dengan raut wajah terheran-heran. Pasalnya anak lelakinya satu ini, tak pernah sekalipun membawa teman dekat ke rumah. Alasannya karena Sagara terlalu sibuk dengan tugas-tugas sekolah dan tugas sebagai ketua OSIS.

"Temen, Bun. Tadi Gara pinjem baju bunda, nggak apa-apa kan?"

"Loh temen kamu perempuan, Kak? Apa dia perempuan yang..." Belum juga melanjutkan perkataannya, Sagara langsung memotong dengan pura-pura bertanya tentang apa saja bahan yang diperlukan Ibunya untuk memasak.

"Selamat sore, tante. Maaf tadi seragam aku basah, jadi kak Sagara pinjemin dulu baju tante." Ucap Adara, sungkan.

"Aduh cantiknya. Lucu banget Dara pakai baju Bunda." Siapa sangka beliau menyebut nama Adara. Seperti seseorang yang sudah mengenal lama. "Gitu dong, nanti kamu sering-sering ya main ke rumah ini. Biar Bunda ada temennya."

"Bun, udah dulu. Katanya mau masak. Nanti lanjutin ngobrol lagi sama Adara nya ya, Bun." Sagara memberi kode supaya ibunya mengakhiri percakapannya dengan gadis yang kini sudah terlihat seperti orang kebingungan. Jikapun percakapan terus berlanjut, bisa saja seluruh rahasia yang ia tutup-tutupi langsung terbongkar.

"Iya deh. Dara tunggu dulu di ruang depan ya. Bunda masak dulu. Nanti kita makan sama-sama, habis itu temenin Bunda ngobrol ya, cantik?" Ibunya Sagara seperti memiliki kepribadian yang berbanding terbalik dengan sikapnya yang anggun. Beliau terlalu humble dan juga seperti gadis remaja. Pantas saja wajah beliau tampak awet muda dan cantik.

"Iya tante, Dara tinggal ke depan ya." Menggeleng-gelengkan kepala tanda tak paham dengan sikap Ibu Sagara.

"Kak Gara,"

"Hmm?"

"Kok Bunda nya kak Gara bisa tahu nama aku sih? Kakak sering cerita ya?"

Sudah bisa di tebak. Sagara mengelak dengan memberi tatapan sinis. "GR banget lo. Bisa aja Bunda lihat di tas lo. Bukannya masih ada gantungan kunci nametag?"

Setelah berpikir sesaat kemudian gadis itu menganggukkan kepala. "Iya juga sih. Tapi kak..."

"Haduh. Bawel banget, Ra. Udah minum dulu coklat nya, keburu dingin tuh!"

"Ish dasar galak!" Umpat Adara

"Apa, Ra? Kurang keras,"

"Nggak. Bukan apa-apa." Wajah gadis itu tertekuk, menahan kesal. Sementara lelaki yang duduk di sebelahnya diam-diam menahan senyum.

"Habis makan, gue langsung anterin lo pulang Ra. Keburu malam nanti orang tua lo khawatir. Sekarang udah dikabarin dulu kalau pulang setelah hujan reda kan?"

Adara mengangguk. Berbohong.

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Usai makan malam bersama, Sagara benar-benar langsung mengantar Adara pulang. Ia sepertinya sangat ketakutan kalau Ibunya akan meneruskan perbincangannya dengan gadis itu. Ibunya kecewa, sementara Adara sibuk berperang dengan pikirannya lagi. Ia harus segera mencari cara supaya Sagara tidak jadi mengantar dirinya pulang.

"Ayo, Ra! Nih, pake dulu!" Sagara melempar hoodie miliknya yang mendarat tepat di wajah Adara.

"Kak, kasihan dong Adara. Sakit nggak, nak? Maafin anak Bunda ya." Ibu Sagara menepuk pundak anak lelakinya, lain halnya perlakuan yang beliau lakukan kepada Adara adalah dengan mengelus wajah gadis itu.

"Bun, sebenarnya yang anak Bunda itu, aku atau Dara?" Sagara merajuk, lucu.

"Ya kamu, kak. Lagian nggak boleh gitu sama anak gadis. Harus lemah lembut kalau memperlakukan seorang perempuan."

Tak ingin memperpanjang perbincangan dengan Ibunya yang tak kunjung usai, Sagara lagi-lagi menarik lengan Adara.

Di perjalanan, Dara terus melirik ke arah Sagara yang memasang wajah dingin.

"Besok jangan sampai terlambat lagi. Pakai atribut seragam yang bener. Sepatu juga jangan kayak biasanya, harus pakai warna hitam."

"Kak Gara bisa nggak sih, berhenti bahas urusan sekolah di luar waktunya. Nggak capek apa kak terus menerus disiplin. Kak Gara terlalu serius tahu nggak?!"

"Nggak bisa, Ra. Nanti kalau gue main-main sama hidup, gue juga bisa dimainin sama takdir. Lo juga harus belajar serius, Adara. Jangan cuma bisanya langgar aturan."

"Oh iya, masih ingat kan perkataan gue di taman tadi sore? Mulai besok, jadi orang asing ya Ra."

Sagara berhenti melangkah, menatap wajah gadis di hadapannya yang lebih memilih menundukkan kepala. "Kembali lagi kayak dulu. Sebelum kita saling kenal."

"Kenapa harus jadi orang Asing? Bukannya sekarang kita udah baikkan? Kalau gitu kenapa juga kak Gara harus bertindak sejauh tadi? Apa semuanya cuma pura-pura aja? Jawab kak! Jangan diam aja. Jangan menghilang seperti dulu, jangan pergi tanpa penjelasan seperti yang selalu Kakak lakuin. Jangan jadi pengecut!"

Bom, meledak semua pertanyaan yang telah menumpuk. Sagara mematung.

"Kata siapa kita baikkan? Gue emang cuma pura-pura baik sama lo Adara elyzia desan! Gue emang pengecut seperti yang lo kenal. Menjauh dari gue dan jangan pernah tunjukkin wajah lo di depan gue lagi."

Adara tak percaya atas apa yang ia dengar. Kenapa jadi seperti ini? Mana sikap manis Sagara yang dahulu ia kenal?

Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, usai sudah. Dirinya tak kuasa menahan tangis.

"Kalau itu yang Kak Gara mau, sekarang pergi dari hadapan aku. Udah cukup semua sikap pura-pura Kak Gara. Tinggalin gue sendirian!"

Sagara mengacak rambutnya. Sesungguhnya ia tak pernah ingin melihat Adara menangis tepat di depan matanya sendiri.

Gadis itu mungkin benar, bahwa hidup jika terlalu dijalani serius tentu tidak akan pernah dapat menikmati kebahagiaan menjalani waktu dengan perlahan. Tapi jika saja hidupnya tidak dituntut untuk tergesa-gesa. Sagara akan tenang melewati hari demi hari. Ia tak pernah berani bermain dengan setiap detik, karena takdirnya juga bergantung pada waktu yang akan berakhir tanpa bisa diduga.

"Maafin gue, Ra. Gue nggak bisa menukar kebahagiaan gue dengan penderitaan yang akan lo terima seandainya gue mengenal lo lebih jauh. Lo lebih berharga daripada kesakitan yang dialami pengecut ini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status