“Mas juga sama terima kasih untuk segala pengorbananmu untuk keluarga kita. Mas juga minta maaf untuk semua kesalahan Mas selama ini. Sekarang mari kita lupakan yang sudah lalu dan fokus kedepan. Mas janji akan berusaha menjadi suami yang lebih baik untukmu juga ayah yang lebih baik untuk Yusril. Kita berjuang bersama ya, Sayang,” kata Mas Agi sambil mengenggam tanganku. Kubiarkan saja karena dia masih berhak melakukannya. Nampaknya dia masih percaya diri kalau aku akan tetap bertahan bersamanya, setelah apa yang kami lakukan semalam.“Lala mohon maaf karena tidak bisa lagi berjuang bersama Mas. Rasanya cukup hampir tiga tahun Lala berjuang sendiri dan sekarang ingin berhenti. Apalagi saat ini kedudukanku sudah tergantikan, dengan wanita yang lebih segalanya dari diri yang hina dina ini.” Lirih suaraku tapi membuat suamiku mendongak menatapku tajam.“Apa maksudmu? Kau jangan menakuti Mas.”“Maksudku sangat jelas, Mas. Aku sudah lelah berjuang sendrian. Kemarin aku sudah berusaha memaa
“Lin, kamu masih libur kuliah?” Kudengar suara Ibu memanggil Lina. Aku kembali bergelung di bawah selimut sambil memeluk anakku setelah salat Subuh tadi. Rutinitas yang sama kulakukan selama beberapa hari ini. Tak ada gairah melakukan apa pun.“Masih, Bu. Kenapa?”“Ajak Teteh jalan-jalan. Di rumah murung terus, kasihan.”Tak kudengar jawaban adikku, tahu-tahu dia duduk di sampingku. “Teh, katanya mau ketemu Bu Mulia. Beliau nanyain terus lho kapan kita mau kesana. Mau Lina temenin mumpung libur kuliah?”Sebenarnya aku tak punya semangat melakukan apa pun. Tapi dari pada murung terus di rumah tak ada salahnya mengikuti ajakan Lina. Kusibakkan selimut dan memaksakan tersenyum,“Teteh mandi dulu ya. Kamu bangunin Yusril ya.”Setelah mandi dan sarapan rasanya lebih segar dari sebelumnya. Baru sadar kalau dari kemarin aku belum mandi. Anakku terlihat senang sekali saat tahu akan diajak jalan-jalan. Kami berangkat naik angkutan pedesaan disambung naik bis Budiman trayek Tasik-Bandung. Aku t
Sesuai kesepakatan dengan majikanku, aku hanya mudik sebulan. Meski hati sunguh berat tapi aku tak bisa menyalahi perjanjian itu. Melihat anak semata wayangku menangis meronta-ronta nyaris meruntuhkan pertahananku. Hatiku iba melihat dia jauh dari ibu juga ayahnya. Aku janji setelah masa kerjaku habis dua tahun akan segera pulang untuk mengasuhnya. Semoga saat itu tabunganku sudah terkumpul untuk membangun sebuah rumah.“Pergilah, insya Allah Yusril tak akan kekurangan kasih sayang dari Ibu dan keluarga kita.” Wanita terkasihku menguatkan langkahku saat mataku taklepas dari buah hatiku.“Titip Yusril juga Ibu ya, lin. Teteh percaya sama kamu.” Aku merangkul badan adikku yang berpostur lebih tinggi. Lina mengangguk sambil mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir. Setelah Bapak meninggalkan kami, otomatis kami bertiga saling mengandalkan satu sama lain. Aku, Ibu, dan Lina adikku.Aku sudah pamitan pada Mama mertua kemarin sore ditemani adikku tentu saja. Beliau memelukku erat den
“Tapi kamu enggak kangen-kangenan dulu kan sama suamimu? Ya kali aja, terus jadi anak tuh.” Bisik gadis Jawa itu.Wajahku pias seketika. Ayu mengingatkanku pada kemungkinan itu. Tapi tentu saja aku malu sekali untuk mengakui hal itu. Pasti wajahku sudah semerah tomat saat ini. dengan lirih aku berguman, “Ya enggak lah, ada-ada aja.”Majikanku penasaran apa yang kami bisikan dalam Bahasa Indonesia. Kusikut lengan Ayu. “Enggak apa-apa, cuman tanya mau masak apa hehe,” jawab Ayu ngarang.Setelah itu pikiran tentang kemungkinan hami terlupakan karena kesibukan merawat majikan. Selain itu otakku masih harus memikirkan bisnis kurma agar ramai seperti tahun lalu mengingat ini sudah hamper dekat Ramadhan. Hingga suatu siang setelah membantu Ummi salat Zuhur aku Melihat sahabatku tengah asik membaca novel online.“Enggak salat kamu?” tanyaku.“Lagi datang bulan. Memang kamu belum datang bulan? Biasanya kita barengan.” Eh, betul juga. Biasany
Bohong bila kukatakan aku tak bersedih kehilangan suami. Rasanya seperti ada lubang tak kasat mata yang menganga di dalam sini. Tapi di sisi lain hatiku pun lega, karena setatusku kini jelas. Tak seperti beberapa waktu lalu saat Mas Agi tak ada kabar berita. “Aku senang lihat kamu sekarang penuh semangat.” Ayu tersenyum ke arahku.“Memang dulu aku loyo ya?”“Nggak juga sih. Kamu tetap cekatan saat bekerja. Tapi sering bengong pas waktunya rehat. Aura kecantikanmu sekarang makin menguar gitcuuu hehe. Pantesan Mister Halim makin kesengsem.”“Hush kamu ini. Nggak baik ah ngomongin suami orang. Lagian kamu dapat gosip dari mana?”“Lala … Lala … kamu belum kenal sahabatmu ini rupanya. udah lama kali aku tahu kalau Mister Halim itu naksir kamu. Dan lagi ….”“Aku tak mau suamiku punya istri kedua, bagaimana mungkin aku mau jadi istri kedua orang lain. Itu namanya tidak konsisten.” Aku memotong kalimat Ayu.“Pake motong kalimatku sih. Makanya dengerin dulu kalau orang ngomong. Mister Halim se
“Saya merasa sangat tersanjung Mister Halim dan juga Ummi memiliki niat yang baik pada saya. Tapi terus terang saya masih merasa trauma dengan pernikahan sebelumnya. Ummi tahu bagaimana pahitnya pernikahan saya. Meski saya tahu tak adil menyamakan mereka.”Ummi Maimunah tersenyum. “Kami tidak memaksa. Halim juga bersedia menunggumu mendapatkan kemantapan hati. Asal jangan terlalu lama membuatnya menunggu. Saran Ummi kamu istikhoroh. Allah tahu yang terbaik. Jika Dia melihat ini yang terbaik, Dia yang akan membuat segala keraguan hilang dari hatimu.”Majikanku benar. Aku tak boleh mendahului takdir. Aku harus meminta petunjuk pada Sang Pemilik Hidupku. Rasanya aku juga harus bicara dengan Ibu. “Bicaralah dengan ibumu. Aku yakin beliau mengharapkan kebahagianmu juga,” Ummi Maimunah tersenyum. “Aku mau shalat dhuha dan tilawah dulu. Telponlah ibumu, di Jawa sekarang menjelang Dzuhur ya.”Setelah membantu Ummi bersiap untuk shalat, aku pamitan keluar kamar untuk menghubungi Ibu. Rumah sa
Siang ini saat istirahat aku tengah tertunduk di atas dipan menekuri ponsel pintar. Di dipannya kulihat juga sahabatku tengah melakukan hal yang sama. Serius sekali dia menulis di ponselnya. Pasti bikin bab baru lagi di aplikasi menulis. Teman-teman TKW yang lain kadang terlihat iri pada keberuntungan kami. Mereka bilang, bisa memegang ponsel dengan leluasa di siang hari itu merupakan kemewahan buat mereka. Sebuah notifikasi masuk di ponselku. Kubuka aplikasi hijau, dari adikku ternyata. “Gimana hasil istikhorohnya? Enggak sabar aku.”“Enggak jadi istikhoroh, Tetehnya keburu haid.” Kuakhiri dengan emot ketawa berjejer.“Yaa …nunggu lama lagi dong. Kenapa sih mesti haid sekarang?”“Yee suka-suka Allah dong mau ngasih haid kapan. Ada-ada aja kamu ah.”“Udahan ah chatnya enggak asyik.”“Lagian kenapamesti buru-buru, orang masa iddah Teteh aja masih lama.” Lina tak membalas lagi chatku.aku geleng-geleng kepala melihat kelakuannya.Saat mataku beralih pada chat dari akun lain, Mas Agi mel
"Ummi ini nabeznya. Pakai kurma ajwa favorit Ummi seperti biasa." Aku mengangsurkan secangkir nabez. Majikanku menerimanya dan langsung meminum airnya dengan nikmat. Setelah itu beliau mengunyah kurmanya. Kuangsurkan air putih setelah beliau selesai mengunyah kurmanya."Alhamdulillah. Nabez bikinan Latifah memang lezat," katanya sambil tersenyum."Hehe Ummi bisa aja. Siapa pun yang bikin nabez udah pasti lezat kalau pakai kurma ajwa. ""Buktinya waktu pertama diminta bikin nabez kamu malah bingung. Dikasih tahu kurma campur air eh bijinya enggak dibuang dan kurmanya hanya satu biji hehe." Majikanku terkekeh geli, aku ikut tertawa malu saat ingat kelakuanku dulu.Dulu aku asing sekali mendengar umi minta dibikinin nabez. Lalu beliau mengatakan kurma direndam barulah aku ngerti itu semacam infused water. Aku mengira-ngira aja, maka kusiapkan secangkir air matang dan kumasukkan sebutir kurma. Untunglah pagi hari saat kuberikan nabez itu majikanku tidak marah. Madam Hindun yang menden