Sesuai kesepakatan dengan majikanku, aku hanya mudik sebulan. Meski hati sunguh berat tapi aku tak bisa menyalahi perjanjian itu. Melihat anak semata wayangku menangis meronta-ronta nyaris meruntuhkan pertahananku. Hatiku iba melihat dia jauh dari ibu juga ayahnya. Aku janji setelah masa kerjaku habis dua tahun akan segera pulang untuk mengasuhnya. Semoga saat itu tabunganku sudah terkumpul untuk membangun sebuah rumah.“Pergilah, insya Allah Yusril tak akan kekurangan kasih sayang dari Ibu dan keluarga kita.” Wanita terkasihku menguatkan langkahku saat mataku taklepas dari buah hatiku.“Titip Yusril juga Ibu ya, lin. Teteh percaya sama kamu.” Aku merangkul badan adikku yang berpostur lebih tinggi. Lina mengangguk sambil mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir. Setelah Bapak meninggalkan kami, otomatis kami bertiga saling mengandalkan satu sama lain. Aku, Ibu, dan Lina adikku.Aku sudah pamitan pada Mama mertua kemarin sore ditemani adikku tentu saja. Beliau memelukku erat den
“Tapi kamu enggak kangen-kangenan dulu kan sama suamimu? Ya kali aja, terus jadi anak tuh.” Bisik gadis Jawa itu.Wajahku pias seketika. Ayu mengingatkanku pada kemungkinan itu. Tapi tentu saja aku malu sekali untuk mengakui hal itu. Pasti wajahku sudah semerah tomat saat ini. dengan lirih aku berguman, “Ya enggak lah, ada-ada aja.”Majikanku penasaran apa yang kami bisikan dalam Bahasa Indonesia. Kusikut lengan Ayu. “Enggak apa-apa, cuman tanya mau masak apa hehe,” jawab Ayu ngarang.Setelah itu pikiran tentang kemungkinan hami terlupakan karena kesibukan merawat majikan. Selain itu otakku masih harus memikirkan bisnis kurma agar ramai seperti tahun lalu mengingat ini sudah hamper dekat Ramadhan. Hingga suatu siang setelah membantu Ummi salat Zuhur aku Melihat sahabatku tengah asik membaca novel online.“Enggak salat kamu?” tanyaku.“Lagi datang bulan. Memang kamu belum datang bulan? Biasanya kita barengan.” Eh, betul juga. Biasany
Bohong bila kukatakan aku tak bersedih kehilangan suami. Rasanya seperti ada lubang tak kasat mata yang menganga di dalam sini. Tapi di sisi lain hatiku pun lega, karena setatusku kini jelas. Tak seperti beberapa waktu lalu saat Mas Agi tak ada kabar berita. “Aku senang lihat kamu sekarang penuh semangat.” Ayu tersenyum ke arahku.“Memang dulu aku loyo ya?”“Nggak juga sih. Kamu tetap cekatan saat bekerja. Tapi sering bengong pas waktunya rehat. Aura kecantikanmu sekarang makin menguar gitcuuu hehe. Pantesan Mister Halim makin kesengsem.”“Hush kamu ini. Nggak baik ah ngomongin suami orang. Lagian kamu dapat gosip dari mana?”“Lala … Lala … kamu belum kenal sahabatmu ini rupanya. udah lama kali aku tahu kalau Mister Halim itu naksir kamu. Dan lagi ….”“Aku tak mau suamiku punya istri kedua, bagaimana mungkin aku mau jadi istri kedua orang lain. Itu namanya tidak konsisten.” Aku memotong kalimat Ayu.“Pake motong kalimatku sih. Makanya dengerin dulu kalau orang ngomong. Mister Halim se
“Saya merasa sangat tersanjung Mister Halim dan juga Ummi memiliki niat yang baik pada saya. Tapi terus terang saya masih merasa trauma dengan pernikahan sebelumnya. Ummi tahu bagaimana pahitnya pernikahan saya. Meski saya tahu tak adil menyamakan mereka.”Ummi Maimunah tersenyum. “Kami tidak memaksa. Halim juga bersedia menunggumu mendapatkan kemantapan hati. Asal jangan terlalu lama membuatnya menunggu. Saran Ummi kamu istikhoroh. Allah tahu yang terbaik. Jika Dia melihat ini yang terbaik, Dia yang akan membuat segala keraguan hilang dari hatimu.”Majikanku benar. Aku tak boleh mendahului takdir. Aku harus meminta petunjuk pada Sang Pemilik Hidupku. Rasanya aku juga harus bicara dengan Ibu. “Bicaralah dengan ibumu. Aku yakin beliau mengharapkan kebahagianmu juga,” Ummi Maimunah tersenyum. “Aku mau shalat dhuha dan tilawah dulu. Telponlah ibumu, di Jawa sekarang menjelang Dzuhur ya.”Setelah membantu Ummi bersiap untuk shalat, aku pamitan keluar kamar untuk menghubungi Ibu. Rumah sa
Siang ini saat istirahat aku tengah tertunduk di atas dipan menekuri ponsel pintar. Di dipannya kulihat juga sahabatku tengah melakukan hal yang sama. Serius sekali dia menulis di ponselnya. Pasti bikin bab baru lagi di aplikasi menulis. Teman-teman TKW yang lain kadang terlihat iri pada keberuntungan kami. Mereka bilang, bisa memegang ponsel dengan leluasa di siang hari itu merupakan kemewahan buat mereka. Sebuah notifikasi masuk di ponselku. Kubuka aplikasi hijau, dari adikku ternyata. “Gimana hasil istikhorohnya? Enggak sabar aku.”“Enggak jadi istikhoroh, Tetehnya keburu haid.” Kuakhiri dengan emot ketawa berjejer.“Yaa …nunggu lama lagi dong. Kenapa sih mesti haid sekarang?”“Yee suka-suka Allah dong mau ngasih haid kapan. Ada-ada aja kamu ah.”“Udahan ah chatnya enggak asyik.”“Lagian kenapamesti buru-buru, orang masa iddah Teteh aja masih lama.” Lina tak membalas lagi chatku.aku geleng-geleng kepala melihat kelakuannya.Saat mataku beralih pada chat dari akun lain, Mas Agi mel
"Ummi ini nabeznya. Pakai kurma ajwa favorit Ummi seperti biasa." Aku mengangsurkan secangkir nabez. Majikanku menerimanya dan langsung meminum airnya dengan nikmat. Setelah itu beliau mengunyah kurmanya. Kuangsurkan air putih setelah beliau selesai mengunyah kurmanya."Alhamdulillah. Nabez bikinan Latifah memang lezat," katanya sambil tersenyum."Hehe Ummi bisa aja. Siapa pun yang bikin nabez udah pasti lezat kalau pakai kurma ajwa. ""Buktinya waktu pertama diminta bikin nabez kamu malah bingung. Dikasih tahu kurma campur air eh bijinya enggak dibuang dan kurmanya hanya satu biji hehe." Majikanku terkekeh geli, aku ikut tertawa malu saat ingat kelakuanku dulu.Dulu aku asing sekali mendengar umi minta dibikinin nabez. Lalu beliau mengatakan kurma direndam barulah aku ngerti itu semacam infused water. Aku mengira-ngira aja, maka kusiapkan secangkir air matang dan kumasukkan sebutir kurma. Untunglah pagi hari saat kuberikan nabez itu majikanku tidak marah. Madam Hindun yang menden
Dua bulan menjelang Ramadhan kesibukanku menanjak tajam. Apalagi penyebabnya kalau bukan bisnis kurma yang kurintis tahun lalu. Saran-saran Bu Mulia sebagai mentor bisnis benar-benar kami jalankan dan hasilnya sungguh luar biasa. Adik semata wayangku kini dibantu tiga orang sahabatnya yang membantu dalam urusan online. Satu orang menjadi admin di medsos, satu orang admin di market place dan satu orang khusus membuat konten. Para remaja itu bekerja dengan sangat baik. Foto-foto yang kukirimkan di kebun kurma, di pasar kurma, bahkan keseharianku menjadi konten yang menarik di tangan mereka.“Kirim terus foto-foto Teteh ya, kata Bu Mulia itu bagus untuk meningkatkan branding. Jadi orang-orang yakin bahwa kurma yang kita jual itu langsung dikirim dari Madinah.” Chat Lina suatu hari yang membuatku semakin suka jepret sana jepret sini. Sahabatku yang semanis madu tak lupa menjadi fotomodelku saat dia memasak masakan khas Timur Tengah.“Kamu harus bayar royalty sama aku. Karena di masa depan
Semoga saja Bu Mulia yang ngirim kurma segitu banyak ke rumahku. Tapi aneh juga kalau tiba-tiba beliau mengirim tanpa dipesan. Di Indonesia harga kurma ajwa alias kurma nabi itu sekilonya ratsan ribu. Semakin bagus kualitasnya akan semakin tinggi harganya. Tak mungkin beliau mau ngirim tanpa kesepakatan dulu. Ah aku jadi bingung, kalau bukan Bu Mulia lalu siapa?“Bengong aja. Eh, tahu enggak, ayam tetanggaku kemaren kan bengong terus, eh hari ini dia mati.” Ayu cekikikan sambil menjawil pipiku seenaknya.“Sembarangan, secant kini disamain sama ayam.” Aku pura-pura marah.“Ck iya yang cantik jelitaa. Lala Latifah dambaan Mister Halim.” Ayu makin cekikikan.“Hush! Jangan kenceng-kenceng, malu tahu.”“Hahaha Lala mukanya kayak kepiting rebus. Lagian ngapain sih bengong terus, mikirin Mister Halim ya?”“Enak aja. Aku tuh bingung tiba-tiba ada orang ngirim kurma ajwa berdus-dus. Kamu tahu kan harga sekilonya aja ratusan ribu, itu totalnya pasti puluhan juta.” Kuperlihatkan foto-foto kurma