“Kamu kok sering banget bikin jus kurma, memangnya enak? Kebayang sama aku sih eneg.” Ayu menghampiriku yang tengah ngeblender nabez kurma sukariku. Setelah ini aku akan membawanya kekamar Ummi, siapa tahu majikanku mau nyoba.“Enak banget malahan. Aku awalnya ikutan bikin nabez kayak Ummi. Tapi berhubung aku kurang suka makanan terlalu manis maka coba diblender. Eh ternyata rasanya enak banget. Enggak tahu kenapa berasa ada gurih-gurihnya dikit.” Aku udah kayak lagi ngiklan aja. Sahabatku terlihat penasaran.“Nyicip dikit ya. Jadi penasaran aku. Seenak apa sih.”“Enggak usah dikit, nih aku kasih secangkir. Habiskan ya.”Awalnya dia terlihat ragu meminum jusnya tapi setelah satu tegukan langsung tandas dengan cepat. “Beneran ternyata enak banget. Nanti bikin juga ah. Boleh pakai kurmaapa aja kan?”“Kalau boleh sih boleh aja,siapayang larang. Tapii menurut pengalamanku kurma yang paling enak dijus itu kurma sukari basah. Soalnya
“Justru Teteh tak tahu apa-apa, Bu. Malah Awalnya bingung itu kiriman siapa. Tapi kalau dibiarkan kurmanya bisa busuk kan Bu. Akhirnya Teteh beranikan diri memastikan sama Ummi dan beliau ngasih tahu yang sebenarnya.”“Sebentar, kok teteh bisa curiga kalau yang ngirim kurma mahal sebanyak itu Mister Halim?” pertanyaan Ibu memojokanku. Mau tak mau aku harus membongkar semuanya sekarang juga.“Ibu jangan kaget ya. Bulan lalu Mister Halim ngasih hadiah kalung dengan liontin permata. Meski enggak ngerti perhiasan tapi Teteh yakin kalau itu mahal sekali. Jadi teteh tolak dengan halus karena tak mau berhutang budi. Teteh belum bisa menjanjikan apa pun untuk beliau sehingga merasa tak pantas menerima hadiah mahalnya itu. Apa sikap Teteh itu keliru, Bu?”“Teteh justru sudah bersikap benar. Jangan sampai menyetujui menikah dengannya hanya karena tak enak sudah menerima hadiahnya. Tapi ini kurma bagaimana cara ngembalikannya? Ibu jadi bingung.” Kulihat Ibu
Seminggu menjelang Ramadhan kesibukan mulai meningkat di rumah majikan kami. Ummi sama Madam gemar sekali membuat makanan untuk di bagikan ke berbagai tempat. Jauh-jauh hari juga Ummi sudah transfer uanh untuk kegiatan gebyar Ramadhan di kampungku juga kampung Ayu. Tak ketinggalan Mister Halim juga ingin ikut andil dengan mengirimkan kurma sekarung. Ummi dan Madam senang sekali dengan hasil kerja Lina dan kawan-kawannya tahun lalu, sehingga dengan senang hati mereka menyumbang lebih banyak.“Pastikan acaranya sukses dan jangan lupa dokumentasikan dengan baik. Itu untuk menjaga kepercayaan dari majikan teteh.” Pesanku pada Lina.Pagi ini kami akan menghadiri kegiatan Tarhib Ramadhan di masjid Nabawi. Kami sudah siap dengan gamis dan pashmina rapid dan sedikit wangi. Ummi sudah cantik dengan abaya hijau tua dan pashmina senada, sedangkan Madam Hindun memakai pakaian berwarna marun kesukaannya. Aku dan Ayu memakai pakaian berwarna biru senada, sudah seperti
“Kamu pasti lagi enggak fokus gara-gara tadi ketemu sama pangeran. Ngaku!” Ayu masih berbisik. Kutempelkan telunjuk di depan mulut menyuruhnya diam. Gawat kalau Ummi atau Madam yang duduk di depan kami mendengar.“Cie ciee OTW jadi madam nih roman-romannya.” Ih pengen nimpuk dia pakai sandal jadinya.Malam hari setelah semua pekerjaan selesai hatiku terasa gelisah. Wajahnya yang basah air wudlu terus terbayang di pelupuk mataku. Biasanya sebelum masuk ke alam mimpi aku akan mengontak keluargaku di kampung atau sekadar mencari hiburan di dunia maya. Tapi saat ini apa pun yang kulakukan hanya dia yang muncul di pikiranku.Astaghfirulloh. Ini tak boleh dibiarkan. Meski sudah jatuh talak dari suamiku tapi akta cerai belum kuterima. Lagi pula masa iddahku belum habis yang artinya aku belum boleh menerima perhatian lelaki mana pun. Bergegas aku mengambil air wudlu dan qiyamullail untuk menenangkan hatiku. Rasanya belum tepat bila saat ini aku salat is
“Ampuun … bukan maksudku merahasiakan ini dari kamu, sahabatku. Aku cuma menghindari ledekan dirimu saja. Baiklah akan aku ceritakan semuanya karena sudah terlanjur ketahuan.” Aku sengaja menggunakan bahasa dan nada bicara dibuat-buat seolah di kerajaan zaman dahulu untuk bercanda. Ngeri juga kalau sahabat semata wayangku itu ngambek dan tak menganggapku sahabat lagi.“Udahan dong ngambeknya. Aku jadi gugup nih mau cerita dari mana.” Melihatku yang salah tingkah Ayu pun tertawa dan mulai pasang sikap serius siap mendengarkan. Lalu kuceritakan semuanya tanpa ditutup-tutupi lagi. Ayu meletakkan apel merah yang lagi di makannya ke atas piring. Artinya dia akan bicara serius. Gantian aku yang nyomot swarma sisa sarapan dan melahapnya dengan nikmat.“Perasaan kamu sendiri sebenarnya gimana sama itu mister tampan? Sebenarnya sih dari gelagatnya aku tahu kamu suka sama dia. Tapi akum mau dengar langsung dari mulut kamu.” Mukaku memerah mendengar pertanyaan sahabatku yang tanpa tedeng aling-
Setelah berdiskusi dengan sahabatku, diskusi dengan Ummi Maimunah, lalu aku melakukan istikhoroh beberapa kali. Dan hasilnya hatiku mantap membuka hati untuk Mister Halim. Setelah itu waktu rasanya berlari. Beliau bermusyawarah dengan keluarganya dan aku bermusyawarah dengan keluargaku. Hasilnya adalah setelah lebaran ini Mister Halim mengundang keluargaku untuk ibadah umroh sekaligus mengadakan pertemuan keluarga.“Ya Allah Teteh, Ibu mah asa mimpiini teh. Untuk ibadah umroh satu orang saja harus nabung puluhan tahun, ini diundang umroh sekeluarga. Masya Allah … Alhamdulillah.” Ibu heboh sekali saat kusampaikan kabar gembira ini. “Teteh juga bahagia sekali, Bu. Teteh kira baru bisa ketemu Ibu setelah dua tahun tapi ternyata baru beberapa bulan kalian akan ke sini. Siapa saja yang akan diajak, Bu?”“Lina udah ngelist. Lina bacain ya.” Adikku ikut nimbrung mmebuat Ibu mengucek rambutnya gemas. “Sepuluh orang kan ya? Ibu, Lina, Yusril, Wak Yati, Wak Endo, siapa lagi ya? Mang Dasep ajak
Perlahan kuangkat kepalaku dan memandangi diriku di cermin. “Kamu itu manis sekali. Cantik khas Indonesia. Bentuk wajahmu proporsional. Kalau kubilang sih mirip artis Desy Ratnasari waktu muda. Dulu mungkin kulitmu sering terpapar sinar matahari makanya jadi kusam. Kecantikanmu tertutup penderitaan. Tapi lihat sekarang, putih bersih alami. Awas ya kalau minderan lagi. Lagi pula kalau tak cantik mana mau Mister Ganteng itu nikahin kamu.”Kalimat Ayu membuatku tersipu-sipu, dia sungguh berlebihan. Masa aku dimirip-miripkan sama artis favoritku. Kasihan dianya. “Latifaah, ta’alii!” Suara majikanku menghentikan obrolan kami.“Na’am ya Ummi.” Aku menghampiri majikanku yang tengan duduk selonjoran di atas kasurnya dengan punggung bersandar nyaman pada bantal-bantal empuk. Di nakas samping dipan ada mushaf Alquran yang baru saja ditutup. Aku duduk di pinggir kasur dan mulai memijit-mijit kakinya. “Kamu sudah ngontak keluarga di Indonesia soal pertemuan keluarga itu?”“Sudah, Ummi. Ibu sang
“Ummi maaf ya saya jadi sering sibuk sendiri. Ummi kalau perlu apa-apa bilang aja ya khawatirnya saya lupa nawarin sesuatu.” Aku berucap dengan nada bersalah. “Tenang saja, Ummi pasti bilang kalau butuh sesuatu. Latifah jangan banyak pikiran, fokus saja pada persiapan pernikahan.” Majikanku tersenyum menenangkanku.“Ah, Ummi besok kan baru pertemuan keluarga. Nikahnya masih beberapa bulan lagi.” Aku menunduk malu-malu.“Siapa tahu aja kalian mau langsung akad hehe.”Semakin dekat hari kedatangan keluargaku dari Indonesia rasanya aku makin sibuk. Memang secara fisik biasa saja, tapi aku justru sibuk kontakan sana sini untuk keberangkatan keluargaku nanti. Sesekali Mister Halim mengontakku, untuk yanag satu ini sampai sekarang aku belum berani ngontak duluan. Seringnya aku kontakan sama Lina. Dia kuangkat jadi koordinator acara ini.“Teh, bagaimana kalau Bu Mulia jangan dulu diundang, mungkin akan lebih baik bila Bapaknya Imah aja sebagai gantinya. Ibu tak enak kalau beliau tak diajak,