Semerbak wangi rempah khas Arab memenuhi dapur. Aku menghirup aromanya kuat-kuat. Ah, sahabatku memang juaranya masak. “Hei, malah bengong. Cepetan mau bikin apa?” Ayu menegurku.“Hehe … enak banget wanginya. Masakan apa pun yang kamu bikin kayaknya tak pernah tak enak. Batu aja kamu bumbuin bakal enak juga kayaknya hehe. Kenapa enggak bikin vlog memasak aja?”“Memang enak, mau nyoba balado batu bikinanku? Haha … Pernah kepikiran sih. Tapi kemaren-kemaren kan lagi semangat nulis novel. Tapi sepertinya rejekiku bukan di sana deh. Berbulan-bulan rutin nulis belum dapat cuan serupiah pun. Nantilah kupikirkan dulu konsep vlog-nya.”“Ciee gaya banget pake konsep-konsepan segala sekarang.”“Woo iya dong. Aku kan sekarang temennya calon madam, jadi harus ikutan keren.” Ucapnya ngawur. Apa coba hubungannya.“Eh, aku disuruh Ummi ke salon nanti malam, mau ikut enggak?”“Waah asyiiik. Awas aja kalau berani enggak ngajak. Rasanya udah seabad aku enggak ke salon. Apalagi ini salonnya buat sultan
Hari ini keluargaku tiba di kota Mekah. Mereka langsung melaksanakan ibadah umroh dan mengikuti agenda travel."Ya Allah, Teteh ... Lina selama ini tak berani bermimpi akan bisa umroh meski jauh di lubuk hati selalu diam-diam berdoa saat melihat Ka'bah. Ibu juga dikit-dikit ngusap air mata. Terharu sekali sepertinya. Apalagi umrohnya sekeluarga, sekalian ketemu calon besan pula." Chat Lina membuatku tersenyum penuh rasa syukur. Aku memang belum bisa memberikan apapun untuk berbakti pada ibu juga berterima kasih pada keluarga besar. Tapi semoga umroh bersama ini memberikan kebahagiaan untuk semuanya."Teh, Alhamdulillah kami tiba malam hari, istirahat sejenak dan langsung melaksanakan ibadah umroh. Alhamdulillah tidak terlalu padat jamaahnya. Alhamdulillah lagi meski capek tapi kami semua sangat bersemangat. Si Kecil Yusril pun tak rewel, dia mengikuti ibadah umroh dengan riang. Sepertinya dia bahagia banget akan segera ketemu Bubunya." Aku tersenyum lalu menangis lalu tertawa membac
Setelah salat Isya keluarga Mister Halim tiba di rumah majikanku. Aku kaget saat mendengar rombongan mereka sudah tiba. Kok aku malah berpikir keluarga kami yang akan mengunjungi keluarga beliau, aku menepuk kepalaku. Woy, konsentrasi Lala!Ayu yang Melihat kelakuanku lalu menempelkan punggung tangannya dikeningku. “Enggak panas kok,” katanya tanpa merasa bersalah dan membuatku menahan tawa. Iseng banget dia.“Tenang, penampilanmu sudah sangat paripurna. Dua kali ke salon cukup untuk membuat yang tidak terawat jadi kinclong seketika.” Bisikannya di telingaku membuat Lina menoleh pada kami dan bertanya dengan alisnya. “Tetehmu gugup banget, jadi kuhibur dulu.” Sahabatku menunjuk-nunjukku. Lina membulatkan bibirnya.Kami langsung mingkem saat keluarga Mister Halim sudah benar-benar duduk bersama kami. Kutundukkan kepala dalam-dalam. Meski ini bukan pernikahan pertamaku tapi aku merasa sangat gugup. Padahal Ummi Maimunah sudah memperkenalkanku pada sebagian mereka saat kami bertemu di s
Ruangan yang tadi sepi dan syahdu kini berubah menjadi penuh tawa bahagia. Ibu memelukku erat sekali sambil terisak-isak. Aku mengerti apa yang dirasakan Ibu karena persis apa yang kurasakan. Kami bahagia dengan pernikahan yang menjadi anugerah luar biasa dalam hidup kami. Namun ada sedih terselip andai Bapak masih ada dan menyaksikan kebahagiaan luar biasa ini.“Setelah ini Ibu harap Teteh tidak lagi banyak mengucurkan air mata. Sungguh Allah Maha Baik, Dia memberikan kebahagiaan tak terkira setelah berbagai ujian yang Teteh alami. Semoga kalian terus bersama dan saling menyayangi hingga tutup usia.” Doa Ibu seakan tak akan ada akhirnya untuk pernikahan kami. Dan memang demikian adanya. Aku yakin itu hanya sebagian dari doanya, karena doa lain akan terus teruntai dalam sujud panjang wanita terkasihku itu.“Selamat bergabung di keluarga kami, Sayangku. Halim benar-benar beruntung mendapatkanmu. Wanita yang cantil lahir batinnya.” Ummi Maimunah memelukku dengan senyuman. Aku merasa te
Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah Ummi Maimunah yang luas dan megah. Hatiku hangat dan disesaki rasa haru yang luar biasa. Rasanya seperti mimpi melihat keluargaku makan minum dan bercengkrama dengan santai di rumah majikanku. Semua menikmati makanan yang buat mereka mewah ini dengan gembira. “Sayang, suamimu menunggu di kamar yang dekat kamar Ummi.” Suara Ummi Maimunah menghentikan senyumanku berganti rasa gugup yang luar biasa.Kudengar para sesepuh berembuk waktu walimah dan akhirnya sepakat walimah akan diselenggarakan lusa supaya keluargaku bisa menghadiri. Aku pamit sebentar pada Ibu akan menjumpaisuamiku. Dengan tersenyum lembut Ibu mengangguk.Ummi menggandeng tanganku dan membawaku ke kamar yang dimaksud. Kuhela napas beberapa kali untuk menghilangkan kegugupan.Ummi mmebuka pintu dan tersenyum pada ponakannya lalu meninggalkan kami berdua dalam kecanggungan. Mister Halim mengahampiriku yang berdiri tertunduk di depan pintu. Tersenyum dan menyapaku dengan lembut
Aku terbangun saat mendengar adzan Subuh dari pengeras suara di sudut kamar. Sejenak aku tertegun mengingat-ingat di mana diriku saat ini. “Sudah Subuh, ayo katanya ingin salat Subuh di Masjid Nabawi.” Suara bariton seorang laki-laki yang baru keluar dari kamar mandi menyadarkanku. Wajahnya yang basah oleh air wudlu memancarkan pesona yang membuatku tersipu. Wajah memesona itu tersenyum sambil mengerling saat menyadari mataku terpaku padanya. Rupanya aku ketiduran setelah mandi dan tahajud.Rasanya bagaikan mimpi, semalam kami melaksanakan walimah di hotel yang tak jauh dari masjid Nabawi. Lalu aku dan suamiku menginap di kamar terbaiknya. Kami hanya mengundang seluruh rombongan umroh yang bersama keluargaku juga keluarga serta relasi terbatas Mister Halim. Menurut suamiku ini pesta yang sederhana karena hanya mengundang ratusan orang. Tapi bagiku ini pesta yang amat mewah dilihat dari tempat, dekorasi, serta hidangannya.“Sudah dua puluh tahun saya bolak balik membimbing jama’ah umro
“Aku menikahimu untuk memuliakanmu dan membuatmu bahagia. Biarlah pekerjaan rumah dikerjakan orang lain sekaligus berbagi rejeki. Habibati boleh memilih siapa yang ingin dipekerjakan di rumah kita.” Perkataan suamiku membuatku berkaca-kaca. Semoga kebaikan Mister Halim bukan hanya saat awal pernikahan, doaku dalam hati.“Ya Habibati, hati-hati berjalan. Jangan banyak melamun, suami gantengmu ada di sini bersamamu.” Aku tersipu kedapatan melamun selama perjalanan menuju masjid Nabawi, hampir saja jatuh bila tanganku tak digenggamnya.Pulang dari masjid kami berjalan-jalan di seputar masjid yang amat indah ini. Aku senyum-senyum saat ingat menjelang kajian tarhib Ramadhan yang lalu. Segerombolan merpati yang bermain di pelataran masjid menarikperhatianku. Aku menghambur ke arah mereka yang berusaha menangkapnya namun gagal. Suamiku tertawa melihat kelakuanku. Sambil berjalan-jalan kami mengobrol apa saja. Kami begitu haus informasi mengenai satu sama lain. “Setelah selesai ibadah haj
Setelah menjadi istri Mister Halim hari-hariku terasa sangat cepat berlalu. Suami tampanku selalu bersikap manis membuatku serasa menjadi perempuan paling bahagia di dunia. Setiap dini hari kami lomba untuk bangun lebih awal untuk salat tahajud dan yang menang boleh meminta hadiah apa pun dari yang kalah. Ini bukan hal mudah bagiku mengingat malamnya selalu kelelahan setelah melakukan ibadah lain. Walhasil aku sering menjadi pihak yang kalah dan dengan penuh kemenangan suamiku akan menagih hadiahnya."Ya Habibi, aku menyerah. Kalau seperti ini terus aku tak akan pernah menang."Suamiku malah tertawa melihatku mengangkat kedua tangan usai dibangunkan untuk yang ke sekian kali."Tapi Habibati sudah menang setiap hari di hatiku," ujarnya seraya menggendongku seolah aku ini gadis kecilnya yang menggemaskan dan membawaku ke kamar mandi.Setelah bersuci kami pun larut dalam sujud dan doa, pada Dia yang telah memberikan selaksa nikmat pada kami."Ya Habibi, apakah aku boleh ikut ke kebun ku