Ruangan yang tadi sepi dan syahdu kini berubah menjadi penuh tawa bahagia. Ibu memelukku erat sekali sambil terisak-isak. Aku mengerti apa yang dirasakan Ibu karena persis apa yang kurasakan. Kami bahagia dengan pernikahan yang menjadi anugerah luar biasa dalam hidup kami. Namun ada sedih terselip andai Bapak masih ada dan menyaksikan kebahagiaan luar biasa ini.“Setelah ini Ibu harap Teteh tidak lagi banyak mengucurkan air mata. Sungguh Allah Maha Baik, Dia memberikan kebahagiaan tak terkira setelah berbagai ujian yang Teteh alami. Semoga kalian terus bersama dan saling menyayangi hingga tutup usia.” Doa Ibu seakan tak akan ada akhirnya untuk pernikahan kami. Dan memang demikian adanya. Aku yakin itu hanya sebagian dari doanya, karena doa lain akan terus teruntai dalam sujud panjang wanita terkasihku itu.“Selamat bergabung di keluarga kami, Sayangku. Halim benar-benar beruntung mendapatkanmu. Wanita yang cantil lahir batinnya.” Ummi Maimunah memelukku dengan senyuman. Aku merasa te
Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah Ummi Maimunah yang luas dan megah. Hatiku hangat dan disesaki rasa haru yang luar biasa. Rasanya seperti mimpi melihat keluargaku makan minum dan bercengkrama dengan santai di rumah majikanku. Semua menikmati makanan yang buat mereka mewah ini dengan gembira. “Sayang, suamimu menunggu di kamar yang dekat kamar Ummi.” Suara Ummi Maimunah menghentikan senyumanku berganti rasa gugup yang luar biasa.Kudengar para sesepuh berembuk waktu walimah dan akhirnya sepakat walimah akan diselenggarakan lusa supaya keluargaku bisa menghadiri. Aku pamit sebentar pada Ibu akan menjumpaisuamiku. Dengan tersenyum lembut Ibu mengangguk.Ummi menggandeng tanganku dan membawaku ke kamar yang dimaksud. Kuhela napas beberapa kali untuk menghilangkan kegugupan.Ummi mmebuka pintu dan tersenyum pada ponakannya lalu meninggalkan kami berdua dalam kecanggungan. Mister Halim mengahampiriku yang berdiri tertunduk di depan pintu. Tersenyum dan menyapaku dengan lembut
Aku terbangun saat mendengar adzan Subuh dari pengeras suara di sudut kamar. Sejenak aku tertegun mengingat-ingat di mana diriku saat ini. “Sudah Subuh, ayo katanya ingin salat Subuh di Masjid Nabawi.” Suara bariton seorang laki-laki yang baru keluar dari kamar mandi menyadarkanku. Wajahnya yang basah oleh air wudlu memancarkan pesona yang membuatku tersipu. Wajah memesona itu tersenyum sambil mengerling saat menyadari mataku terpaku padanya. Rupanya aku ketiduran setelah mandi dan tahajud.Rasanya bagaikan mimpi, semalam kami melaksanakan walimah di hotel yang tak jauh dari masjid Nabawi. Lalu aku dan suamiku menginap di kamar terbaiknya. Kami hanya mengundang seluruh rombongan umroh yang bersama keluargaku juga keluarga serta relasi terbatas Mister Halim. Menurut suamiku ini pesta yang sederhana karena hanya mengundang ratusan orang. Tapi bagiku ini pesta yang amat mewah dilihat dari tempat, dekorasi, serta hidangannya.“Sudah dua puluh tahun saya bolak balik membimbing jama’ah umro
“Aku menikahimu untuk memuliakanmu dan membuatmu bahagia. Biarlah pekerjaan rumah dikerjakan orang lain sekaligus berbagi rejeki. Habibati boleh memilih siapa yang ingin dipekerjakan di rumah kita.” Perkataan suamiku membuatku berkaca-kaca. Semoga kebaikan Mister Halim bukan hanya saat awal pernikahan, doaku dalam hati.“Ya Habibati, hati-hati berjalan. Jangan banyak melamun, suami gantengmu ada di sini bersamamu.” Aku tersipu kedapatan melamun selama perjalanan menuju masjid Nabawi, hampir saja jatuh bila tanganku tak digenggamnya.Pulang dari masjid kami berjalan-jalan di seputar masjid yang amat indah ini. Aku senyum-senyum saat ingat menjelang kajian tarhib Ramadhan yang lalu. Segerombolan merpati yang bermain di pelataran masjid menarikperhatianku. Aku menghambur ke arah mereka yang berusaha menangkapnya namun gagal. Suamiku tertawa melihat kelakuanku. Sambil berjalan-jalan kami mengobrol apa saja. Kami begitu haus informasi mengenai satu sama lain. “Setelah selesai ibadah haj
Setelah menjadi istri Mister Halim hari-hariku terasa sangat cepat berlalu. Suami tampanku selalu bersikap manis membuatku serasa menjadi perempuan paling bahagia di dunia. Setiap dini hari kami lomba untuk bangun lebih awal untuk salat tahajud dan yang menang boleh meminta hadiah apa pun dari yang kalah. Ini bukan hal mudah bagiku mengingat malamnya selalu kelelahan setelah melakukan ibadah lain. Walhasil aku sering menjadi pihak yang kalah dan dengan penuh kemenangan suamiku akan menagih hadiahnya."Ya Habibi, aku menyerah. Kalau seperti ini terus aku tak akan pernah menang."Suamiku malah tertawa melihatku mengangkat kedua tangan usai dibangunkan untuk yang ke sekian kali."Tapi Habibati sudah menang setiap hari di hatiku," ujarnya seraya menggendongku seolah aku ini gadis kecilnya yang menggemaskan dan membawaku ke kamar mandi.Setelah bersuci kami pun larut dalam sujud dan doa, pada Dia yang telah memberikan selaksa nikmat pada kami."Ya Habibi, apakah aku boleh ikut ke kebun ku
"Masya Allah ini orang-orang sudah seperti semut saja." Spontan aku berkomentar melihat tayangan di YouTube."Lagi lihat apa, ya Habibati?""Ibadah haji. Aku merinding melihatnya."Suamiku mendekat dan ikut menonton. Minggu depan kami akan melakukan ibadah haji dan aku makin giat mengumpulkan ilmu Tara cara ibadah haji. Meski sudah dijelaskan oleh suamiku yang sudah ibadah haji berkali-kali tapi belum terbayang. Menonton video pun tetap tak membuatku hapal seluruhnya."Aduh aku pusing deh. Enggak hafal-hafal pelaksanaannya." Aku mengeluh untuk ke sekian kalinya."Haha ... Kamu itu lucu kalau cemberut. Enggak usah dipikirin, nanti ikuti aja Umar sebagai pemimpin rombongan ibadah haji kita. Sudah siap kopernya belum?""Astaghfirullah aku lupa nyiapin koper. Saking bingungnya enggak hafal-hafal makasik haji. Aku siapin dulu ya Habibi."Aku beranjak mendekati lemari. Tak banyak yang akan kami bawa karena hanya sekitar seminggu kami akan melakukan ibadah haji.Aku ingat pernah mempertanyaka
“Ya, Habibi, serius kita hanya bawa baju sekoper kecil ini?” Aku menepuk-nepuk koper hitam nan keren itu.“Sangat serius. Biarlah kita bawa baju sedikit biar tak repot di jalan. Gampanglah di Indonesia nanti kita ngeborong baju buat di rumahmu.”Ah, aku selalu lupa kalau suamiku seorang sultan. “Lala, kamu tega banget sih enggak ngajakin aku mudik.” Ayu sahabatku merajuk.Aku tertawa melihatnya memanyunkan bibir dengan maksimal. “Ish, konsisikan itu bibir. Kalau saja bisa, sungguh aku ingin sekali ngajak kamu mudik bareng. Apa daya Madam lagi sakit jadi kamu tak mungkin ninggalin beliau kan?” Aku menepuk-nepuk lengannya menunjukkan rasa empati.“Kamu mau titip salam sama keluargamu, Na?” Aku bertanya pada Erna yang merawat Ummi menggantikanku.Erna tersenyum dengan segan. Padahal kami berasal dari latar belakang yang sama. Rumah kami pun tak terlalu jauh. Tapi Erna segan padaku hanya karena aku menikah sama sultan. Kok jadi tak enak gini.“Salam sama Ibu dan keluargamu. Sampaikan per
"Ya Habibatii, kenapa wajahmu sekelam malam. Padahal tadi wajahmu masih secerah matahari." Suami tampanku menghentikan jalannya dan memandang penuh rasa khawatir."Orang-orang itu menggunjing kita. Mereka menyanjungmu dan mencemoohku." Aku mengisyaratkan dengan pandangan mataku.Rasanya menyesal mengikuti saran suamiku untuk tak memakai cadar. Coba kalau tetap bercadar seperti kebiasaan di Arab mungkin aku tak akan sakit hati begini."Kamu bilang di Indonesia orang masih menganggap aneh orang bercadar. Tak apa buka saja, yang penting tak ada aurat yang kau perlihatkan," kata beliau saat aku minta pendapatnya saat di pesawat."Apa yang mereka bilang?" suamiku memang belum mengerti Bahasa Indonesia kecuali sedikit saja yang umum seperti terima kasih, tolong, saya, kamu, dan yang seperti itu.Aku mengatakan semua yang kudengar. Sebenarnya aku bukan seorang pengadu, tapi untuk hal yang satu ini rasanya aku ingin beliau menenangkan hatiku."Ucapan mereka tentangmu semuanya salah. Kita lebih