“Ya, Habibi, serius kita hanya bawa baju sekoper kecil ini?” Aku menepuk-nepuk koper hitam nan keren itu.“Sangat serius. Biarlah kita bawa baju sedikit biar tak repot di jalan. Gampanglah di Indonesia nanti kita ngeborong baju buat di rumahmu.”Ah, aku selalu lupa kalau suamiku seorang sultan. “Lala, kamu tega banget sih enggak ngajakin aku mudik.” Ayu sahabatku merajuk.Aku tertawa melihatnya memanyunkan bibir dengan maksimal. “Ish, konsisikan itu bibir. Kalau saja bisa, sungguh aku ingin sekali ngajak kamu mudik bareng. Apa daya Madam lagi sakit jadi kamu tak mungkin ninggalin beliau kan?” Aku menepuk-nepuk lengannya menunjukkan rasa empati.“Kamu mau titip salam sama keluargamu, Na?” Aku bertanya pada Erna yang merawat Ummi menggantikanku.Erna tersenyum dengan segan. Padahal kami berasal dari latar belakang yang sama. Rumah kami pun tak terlalu jauh. Tapi Erna segan padaku hanya karena aku menikah sama sultan. Kok jadi tak enak gini.“Salam sama Ibu dan keluargamu. Sampaikan per
"Ya Habibatii, kenapa wajahmu sekelam malam. Padahal tadi wajahmu masih secerah matahari." Suami tampanku menghentikan jalannya dan memandang penuh rasa khawatir."Orang-orang itu menggunjing kita. Mereka menyanjungmu dan mencemoohku." Aku mengisyaratkan dengan pandangan mataku.Rasanya menyesal mengikuti saran suamiku untuk tak memakai cadar. Coba kalau tetap bercadar seperti kebiasaan di Arab mungkin aku tak akan sakit hati begini."Kamu bilang di Indonesia orang masih menganggap aneh orang bercadar. Tak apa buka saja, yang penting tak ada aurat yang kau perlihatkan," kata beliau saat aku minta pendapatnya saat di pesawat."Apa yang mereka bilang?" suamiku memang belum mengerti Bahasa Indonesia kecuali sedikit saja yang umum seperti terima kasih, tolong, saya, kamu, dan yang seperti itu.Aku mengatakan semua yang kudengar. Sebenarnya aku bukan seorang pengadu, tapi untuk hal yang satu ini rasanya aku ingin beliau menenangkan hatiku."Ucapan mereka tentangmu semuanya salah. Kita lebih
“Tak repot sama sekali. Kamu sedang halangan kan? Jadi nanti bisa menunggui barang ini selagi aku shalat. Selagi bisa aku ingin selalu menyambut panggilannya di awal waktu, sebagaimana aku suka bila Dia mengabulkan doaku dengan segera. Kamu juga begitu kan?” Tanyanya dengan senyum lembut yang sangat teduh. Dia memang seperti itu, tak pernah menasihatiku dengan cara menggurui.Taxi yang kami pesan melaju meninggalkan udara Jakarta yang sangat panas setelah Dzuhur. Rasa lelah setelah perjalanan ditambah keliling mall kini terasa saat duduk bersandar dengan nyaman dalam mobil ber-AC. Mobil yang bergerak di jalanan yang mulus membuat kami seakan diayun-ayun. Kulihat suamiku menutup mata sejak beberapa menit masuk mobil. Aku pun mulai menguap dan kepala kusandarkan ke bahu tegap lelaki halalku.Rasanya baru sebentar memejamkan mata saat kudengar suamiku berulang kali mengatakan kalimat masya Allah dengan nada takjub. Aku membuka mata karena rasa penasaran juga karena rasa kantuk sudah sete
Aku kasihan sekali melihatnya yang nampak tersiksa. Apalagi mobil yang kami tumpangi agak terlalu pendek untuk tubuh jangkungnya. Kuusap-usap bagian yang kejedot dan kini lebih waspada memandang jalan. Setiap ada jalan di depan yang rusak atau berlubang aku segera memperingatkan agar dia waspada. “Nanti kita perbaiki jalan menuju rumahmu ini supaya nyaman.” Apa katanya, memperbaiki jalan? Ah, sultan mah bebasKami tiba di rumah berbarengan dengan adzan Maghrib. Ah, untunglah. Coba kalau kami tiba sore hari, sudah pasti banyak tetangga yang menonton karena kepo pada suamiku. Apalagi di depan warung Ibu sekarang ada bangku-bangku. Biasa dipakai orang yang makan jajanan buatan Ibu. Selain rujak dan pecel, Ibu juga bikin seblak serta jajanan lainnya dibantu oleh Imah. Membuat warung Ibu tambah ramai. Apalagi sore hari, banyak ibu-ibu yang duduk makan jajanan sambil ngajak main anak-anak balita mereka. Itu yang kudengar dari Lina saat dia nelpon. Tak terbayang seheboh apa kalau pas mereka
Bangun tidur aku langsung mandi wajib karena baru selesai haid. Saat selesai berganti baju ternyata anakku juga sudah bangun. “Ucil mau ikut ke mesjid sama Bubun,” katanya saat melihatku memakai mukena.Di kampung kami shalat Subuh dan Maghrib memang selalu ramai bukan hanya oleh bapak-bapak tapi juga ibu-ibu dan anak-anak. Bahkan sebagian mereka setelah shalat Maghrib duduk menunggu shalat Isya sekalian.“Anak saleh. Yuk Bubun bantu ambil air wudlu.” Aku menggendongnya dan membawanya ke kamar mandi.Azan Subuh terdengar dari masjid dekat rumah saat kami keluar dari kamar mandi. Di ruang tengah Ibu, Lina, juga suamiku sudah siap dengan pakainan shalat. Kami beriringan menuju masjid yang hanya berjarak seratus meter. Subuh yang dingin tapi hatiku hangat.Ibu membawa setermos air panas serta serenceng kopi. Tanganku langsung menyambar sekaleng kue yang kami bawa kemarin. Kadang-kadang warga di sini memang berinisiatif membawa apa saja yang mereka punya untuk sarapan bersama setelah sh
Aku memandang takjub pada lelaki menawan itu. Apakah dia benar-benar manusia ataukah malaikat yang menyamar untuk membalut hatiku yang penuh luka?“Sayang, apakah engkau ada rencana membangun ulang masjid ini? Aku rasanya malu membangun rumah megah sementara di dekatnya ada masjid yang bangunannya nyaris roboh.”Mister Halim menghentikan langkahnya dan memandangku dalam.“Masya Allah, engkau sungguh wanita salehah. Tenang saja, ya Habibati, aku sudah memikirkan hal ini. Insya Allah setelah Zuhur nanti aku akan berbicara serius dengan Ustadz Mukhlis dan ayahnya, kami sudah membuat janji tadi Subuh.”Saat bersantai sambil makan kudapan di ruang tengah, terdengar suara pintu diketuk orang.”Cargo!” teriaknya. “Biar sama Lina.” Adikku yang tengah libur kuliah beranjak ke pintu. “Aduh enggak kuat, paketnya besar dan banyak banget.” Teriakan Lina membuatku kami semua mendekat.“Abang ngargo apa aja sampai sebanyak ini?” Aku memandang pada sang tersangka utama. Yang ditanya malah garuk-garuk
Kami sepakat untuk menggunakan jasa WO temannya Lina. Setelah itu kami mengobrolkan banyak hal seputar persiapan walimah. Sebenarnya aku malu harus walimahan yang kedua kali, cukup syukuran keluarga. Tapi suamiku tetap pada pendiriannya ingin mengadakan walimahan sekalian mengenal handai tolan kami katanya. Betul juga sih, kalau mengunjungi satu-satu kapan waktunya. Hari ini kami akan berbelanja kebutuhan walimah ke kota. Aku, Ibu, Lina, Yusril, Wak Yati, dan Imah, Kami menggunakan jasa rental mobil plus sopirnya. Sengaja kami menggunakan mobil yang agak besar karena nanti akan berbelanja cukup banyak. Suamiku yang kaya dan baik hati itu memberikan uang rupiah dalam kartu ATM-ku.“Ajak Ibu dan siapa pun yang Adik mau untuk berbelanja ke kota. Terserah mau belanja apa pun yang Adik inginkan dan butuhkan terutama untuk walimah kita. Kalian bersenang-senanglah sesekali. Makan di restoran, perawatan di salon, apa pun. Abang ingin Adik bahagia dengan keluarga. Seharian ini Abang akan sibu
“Anak Ibu sama ponakan Ibu sama-sama cantiknya. Apalagi cantiknya keluar dari hati, makinlah keluar aura cantiknya.” Ibu menepuk-nepuk lengan kami. Kulihat Wak Yati tertawa dengan wajah berseri meski juga tak dapat menyembunyikan kelelahan setelah seharian keliling kota.Ucil yang tertidur dalam pelukan Wak Yati menggeliat-geliat. Sepertinya dia kelelahan dan merasa kurang nyaman tidurnya. Akhirnya kami memutuskan untuk segera pulang. Tak lupa mampir sebentar membeli ikan bakar untuk makan malam di rumah. Rasanya hari ini banyak orang bertingkah lucu. Dimulai dengan pagi-pagi ada tamu teman sekolahku. Sebenarnya kami dulu tidak bisa dibilang dekat, dia yang lumayan kaya bergaul dengan teman selevelnya. Entah angina apa yang membawanya kemari. Dia tak sendiir, membawa dua orang temannya yang tinggal di desa sebelah juga katanya. Dan kedua temannya itu masing-masing membawa dua temannya juga. Jadilah pagi ini aku menerima tamu rombongan dadakan yang sebenarnya tak kukenal. Ibu yang men