“Ampuun … bukan maksudku merahasiakan ini dari kamu, sahabatku. Aku cuma menghindari ledekan dirimu saja. Baiklah akan aku ceritakan semuanya karena sudah terlanjur ketahuan.” Aku sengaja menggunakan bahasa dan nada bicara dibuat-buat seolah di kerajaan zaman dahulu untuk bercanda. Ngeri juga kalau sahabat semata wayangku itu ngambek dan tak menganggapku sahabat lagi.“Udahan dong ngambeknya. Aku jadi gugup nih mau cerita dari mana.” Melihatku yang salah tingkah Ayu pun tertawa dan mulai pasang sikap serius siap mendengarkan. Lalu kuceritakan semuanya tanpa ditutup-tutupi lagi. Ayu meletakkan apel merah yang lagi di makannya ke atas piring. Artinya dia akan bicara serius. Gantian aku yang nyomot swarma sisa sarapan dan melahapnya dengan nikmat.“Perasaan kamu sendiri sebenarnya gimana sama itu mister tampan? Sebenarnya sih dari gelagatnya aku tahu kamu suka sama dia. Tapi akum mau dengar langsung dari mulut kamu.” Mukaku memerah mendengar pertanyaan sahabatku yang tanpa tedeng aling-
Setelah berdiskusi dengan sahabatku, diskusi dengan Ummi Maimunah, lalu aku melakukan istikhoroh beberapa kali. Dan hasilnya hatiku mantap membuka hati untuk Mister Halim. Setelah itu waktu rasanya berlari. Beliau bermusyawarah dengan keluarganya dan aku bermusyawarah dengan keluargaku. Hasilnya adalah setelah lebaran ini Mister Halim mengundang keluargaku untuk ibadah umroh sekaligus mengadakan pertemuan keluarga.“Ya Allah Teteh, Ibu mah asa mimpiini teh. Untuk ibadah umroh satu orang saja harus nabung puluhan tahun, ini diundang umroh sekeluarga. Masya Allah … Alhamdulillah.” Ibu heboh sekali saat kusampaikan kabar gembira ini. “Teteh juga bahagia sekali, Bu. Teteh kira baru bisa ketemu Ibu setelah dua tahun tapi ternyata baru beberapa bulan kalian akan ke sini. Siapa saja yang akan diajak, Bu?”“Lina udah ngelist. Lina bacain ya.” Adikku ikut nimbrung mmebuat Ibu mengucek rambutnya gemas. “Sepuluh orang kan ya? Ibu, Lina, Yusril, Wak Yati, Wak Endo, siapa lagi ya? Mang Dasep ajak
Perlahan kuangkat kepalaku dan memandangi diriku di cermin. “Kamu itu manis sekali. Cantik khas Indonesia. Bentuk wajahmu proporsional. Kalau kubilang sih mirip artis Desy Ratnasari waktu muda. Dulu mungkin kulitmu sering terpapar sinar matahari makanya jadi kusam. Kecantikanmu tertutup penderitaan. Tapi lihat sekarang, putih bersih alami. Awas ya kalau minderan lagi. Lagi pula kalau tak cantik mana mau Mister Ganteng itu nikahin kamu.”Kalimat Ayu membuatku tersipu-sipu, dia sungguh berlebihan. Masa aku dimirip-miripkan sama artis favoritku. Kasihan dianya. “Latifaah, ta’alii!” Suara majikanku menghentikan obrolan kami.“Na’am ya Ummi.” Aku menghampiri majikanku yang tengan duduk selonjoran di atas kasurnya dengan punggung bersandar nyaman pada bantal-bantal empuk. Di nakas samping dipan ada mushaf Alquran yang baru saja ditutup. Aku duduk di pinggir kasur dan mulai memijit-mijit kakinya. “Kamu sudah ngontak keluarga di Indonesia soal pertemuan keluarga itu?”“Sudah, Ummi. Ibu sang
“Ummi maaf ya saya jadi sering sibuk sendiri. Ummi kalau perlu apa-apa bilang aja ya khawatirnya saya lupa nawarin sesuatu.” Aku berucap dengan nada bersalah. “Tenang saja, Ummi pasti bilang kalau butuh sesuatu. Latifah jangan banyak pikiran, fokus saja pada persiapan pernikahan.” Majikanku tersenyum menenangkanku.“Ah, Ummi besok kan baru pertemuan keluarga. Nikahnya masih beberapa bulan lagi.” Aku menunduk malu-malu.“Siapa tahu aja kalian mau langsung akad hehe.”Semakin dekat hari kedatangan keluargaku dari Indonesia rasanya aku makin sibuk. Memang secara fisik biasa saja, tapi aku justru sibuk kontakan sana sini untuk keberangkatan keluargaku nanti. Sesekali Mister Halim mengontakku, untuk yanag satu ini sampai sekarang aku belum berani ngontak duluan. Seringnya aku kontakan sama Lina. Dia kuangkat jadi koordinator acara ini.“Teh, bagaimana kalau Bu Mulia jangan dulu diundang, mungkin akan lebih baik bila Bapaknya Imah aja sebagai gantinya. Ibu tak enak kalau beliau tak diajak,
Semerbak wangi rempah khas Arab memenuhi dapur. Aku menghirup aromanya kuat-kuat. Ah, sahabatku memang juaranya masak. “Hei, malah bengong. Cepetan mau bikin apa?” Ayu menegurku.“Hehe … enak banget wanginya. Masakan apa pun yang kamu bikin kayaknya tak pernah tak enak. Batu aja kamu bumbuin bakal enak juga kayaknya hehe. Kenapa enggak bikin vlog memasak aja?”“Memang enak, mau nyoba balado batu bikinanku? Haha … Pernah kepikiran sih. Tapi kemaren-kemaren kan lagi semangat nulis novel. Tapi sepertinya rejekiku bukan di sana deh. Berbulan-bulan rutin nulis belum dapat cuan serupiah pun. Nantilah kupikirkan dulu konsep vlog-nya.”“Ciee gaya banget pake konsep-konsepan segala sekarang.”“Woo iya dong. Aku kan sekarang temennya calon madam, jadi harus ikutan keren.” Ucapnya ngawur. Apa coba hubungannya.“Eh, aku disuruh Ummi ke salon nanti malam, mau ikut enggak?”“Waah asyiiik. Awas aja kalau berani enggak ngajak. Rasanya udah seabad aku enggak ke salon. Apalagi ini salonnya buat sultan
Hari ini keluargaku tiba di kota Mekah. Mereka langsung melaksanakan ibadah umroh dan mengikuti agenda travel."Ya Allah, Teteh ... Lina selama ini tak berani bermimpi akan bisa umroh meski jauh di lubuk hati selalu diam-diam berdoa saat melihat Ka'bah. Ibu juga dikit-dikit ngusap air mata. Terharu sekali sepertinya. Apalagi umrohnya sekeluarga, sekalian ketemu calon besan pula." Chat Lina membuatku tersenyum penuh rasa syukur. Aku memang belum bisa memberikan apapun untuk berbakti pada ibu juga berterima kasih pada keluarga besar. Tapi semoga umroh bersama ini memberikan kebahagiaan untuk semuanya."Teh, Alhamdulillah kami tiba malam hari, istirahat sejenak dan langsung melaksanakan ibadah umroh. Alhamdulillah tidak terlalu padat jamaahnya. Alhamdulillah lagi meski capek tapi kami semua sangat bersemangat. Si Kecil Yusril pun tak rewel, dia mengikuti ibadah umroh dengan riang. Sepertinya dia bahagia banget akan segera ketemu Bubunya." Aku tersenyum lalu menangis lalu tertawa membac
Setelah salat Isya keluarga Mister Halim tiba di rumah majikanku. Aku kaget saat mendengar rombongan mereka sudah tiba. Kok aku malah berpikir keluarga kami yang akan mengunjungi keluarga beliau, aku menepuk kepalaku. Woy, konsentrasi Lala!Ayu yang Melihat kelakuanku lalu menempelkan punggung tangannya dikeningku. “Enggak panas kok,” katanya tanpa merasa bersalah dan membuatku menahan tawa. Iseng banget dia.“Tenang, penampilanmu sudah sangat paripurna. Dua kali ke salon cukup untuk membuat yang tidak terawat jadi kinclong seketika.” Bisikannya di telingaku membuat Lina menoleh pada kami dan bertanya dengan alisnya. “Tetehmu gugup banget, jadi kuhibur dulu.” Sahabatku menunjuk-nunjukku. Lina membulatkan bibirnya.Kami langsung mingkem saat keluarga Mister Halim sudah benar-benar duduk bersama kami. Kutundukkan kepala dalam-dalam. Meski ini bukan pernikahan pertamaku tapi aku merasa sangat gugup. Padahal Ummi Maimunah sudah memperkenalkanku pada sebagian mereka saat kami bertemu di s
Ruangan yang tadi sepi dan syahdu kini berubah menjadi penuh tawa bahagia. Ibu memelukku erat sekali sambil terisak-isak. Aku mengerti apa yang dirasakan Ibu karena persis apa yang kurasakan. Kami bahagia dengan pernikahan yang menjadi anugerah luar biasa dalam hidup kami. Namun ada sedih terselip andai Bapak masih ada dan menyaksikan kebahagiaan luar biasa ini.“Setelah ini Ibu harap Teteh tidak lagi banyak mengucurkan air mata. Sungguh Allah Maha Baik, Dia memberikan kebahagiaan tak terkira setelah berbagai ujian yang Teteh alami. Semoga kalian terus bersama dan saling menyayangi hingga tutup usia.” Doa Ibu seakan tak akan ada akhirnya untuk pernikahan kami. Dan memang demikian adanya. Aku yakin itu hanya sebagian dari doanya, karena doa lain akan terus teruntai dalam sujud panjang wanita terkasihku itu.“Selamat bergabung di keluarga kami, Sayangku. Halim benar-benar beruntung mendapatkanmu. Wanita yang cantil lahir batinnya.” Ummi Maimunah memelukku dengan senyuman. Aku merasa te
“Aku enggak butuh tanah seluas ini, ya Habibi. Aku tahu uangmu tak berseri. Tapi jangan hamburkan untuk sesuatu yang sia-sia.” Suamiku mengusap-usap tanganku yang memegang lengannya.“Kalau aku tetap mau membelinya, gimana?” senyumnya dengan alis dinaik-turunkan untuk menggodaku.Ah, kadang-kadang sultan Arab ini nyebelin juga. Eh, tapi masa mau dibeliin tanah sepuluh hektar dibilang nyebelin. Tapi buat apa tanah seluas itu coba? Siapa yang mau ngurus?Aku menyimpan nomor ponsel yang tertera atas perintah suamiku tercinta sambil cemberut. Dia malah tertawa sambil mengecup bibirku dan membuat mataku melotot. Kan malu kalau ada orang yang melihat.“Bagaimana menurutmu bila di tempat ini kita bangun sebuah pesantren? Anak-anak akan belajar di sini dengan fasilitas yang baik tanpa dipungut bayaran sepeser pun?”Aku menatap matanya lekat. Itu adalah impian selintasku dulu sekali yang bahkan tak pernah berani kukatakan pada siapa pun. Impian yang muncul saat membaca tentang pesantren tahfidz
Setelah walimah kami memutuskan tinggal di rumah baru kami dengan status visa suami sebagai wisatawan. Setelah masa berlaku bisa hampir habis baru akan kami pikirkan rencana selanjutnya, apakah memperpanjang visa suami atau kami kembali ke kota Madinah. Beliau tak perlu khawatir dengan bisnisnya karena punya beberapa orang kepercayaan. Ada orang yang khusus mengelola hotel, juga ada yang khusus mengelola kebun kurma. Istilahnya mungkin bisnis jalan tapi ownernya jalan-jalan. Ibu, Lina dan Yusril senang sekali bisa berkumpul setiap hari setelah berpisah sekian lama. Rumah kami sekarang selalu hangat dengan kasih sayang dan gelak tawa.“Ucil senang sekali sekarang Ucil bisa main sama Bubu tiap hari. Sama Baba juga Ucil suka main kuda-kudaan.”Anakku selalu riang gembira. Berpindah-pindah dari pangkuanku, ke pangkuan ayah sambungnya, lalu ke pangkuan Ibu, juga ke pangkuan Lina. Dia seolah sedang memuaskan dirinya bermain bersama semua orang yang menyayanginya. Setiap waktu salat dia aka
Menjelang Ashar tamu masih berdatangan satu-satu. Tapi kami sudah terlalu lelah dan pamit masuk ke rumah untuk beristirahat. Di tenda luar dan ruang tamu masih ada Ibu dan Uwa yang bisa mewakili kami menerima tamu. Kecuali tamu spesial maka kami akan menemuinya sebentar.Saat masuk kamar mataku membola melihat ke arah tempat tidur kami. Besar sekali ukuran kasur ini. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu, suamiku yang berbadan lebih tinggi dari orang Indonesia pasti merasa tak nyaman saat tidur di kasurku. aku merasa bersalah tetapi dia tak protes. Subhanallah, manisnya suamiku."Ekhem, sudah tak sabar menunggu malam, ya Habibati? Lihat kasur terus." Sebuah suara dengan nada menggoda berbisik di telingaku membuat wajahku memerah. "Apaan sih, enggak kok. Aku hanya baru sadar kasur di kamarku kecil banget buatmu. Maaf ya, Habibi, aku kurang peka." Suamiku hanya tersenyum. Dia memang selalu tidur lebih akhir dan bangun lebih awal sehingga aku tak menyadarinya."Mari kubantu melepas baju
Akhirnya tiba juga hari ini. Menjadi ratu sehari dalam pernikahan kedua. Kami duduk di pelaminan yang didekorasi indah di halaman rumah kami yang luas. Aku mengenakan gaun pengantin putih cantik yang dikirim memakai cargo dari Arab sana. Suamiku yang gagah terlihat makin memesona dalam balutan baju pengantin warna putih senada dengan gaunku. Aku di-make up minimalis saja. Ibu dan Wak Endo duduk mendampingi kami. Yusril bergabung bersama kami sebentar tapi kemudian bosan dan memilih main bersama sepupunya."Istriku cantik sekali, Masya Allah. Inginnya kusembunyikan saja di kamar," komentar suamiku saat melihatku selesai didandani."Aku juga malu sekali buat duduk di pelaminan. Betul katamu, sebaiknya aku ngumpet di kamar.""Haha aku bercanda, ya Habibati. Kita harus tetap duduk untuk menyalami tamu. Seperti adat di sini. Lagi pula kelihatannya tamu-tamu di sini sopan-sopan pakaian dan perilakunya."Panggung hiburan berdiri kokoh di sebelah kanan gerbang. Siapa pun boleh ikut berpartisi
Hari ini merupakan salah satu hari paling bahagia dalam hidup Ibuku, dan melihat kebahagiaan beliau adalah salah satu kebahagiaan terbesarku. Sebenarnya aku malu bila harus dipajang lagi di pelaminan sebagai mempelai. Tetapi Ibu ingin berbagi kebahagiaan kami dengan seluruh warga kampung dan kerabat kami, maka aku pun memenuhi keinginannya dengan mengadakan walimah yang meriah untuk ukuran kami.Dua hari sebelum hari-H Alhamdulillah rumah baru kami sudah selesai dibangun dan siap digunakan untuk resepsi. Masjid kampung kami pun meski belum selesai dibangun tapi sudah nampak bangunan utuhnya yang megah. Sehingga kami tidak terlalu merasa bersalah bila memiliki rumah megah tapi masjid diabaikan.Kami memilih tidak memakai jasa catering, dan memberikan kesempatan pada para tetangga untuk berpartisifasi. Para tetangga pun dengan senang hati berkumpul di dapur Ibu untuk membantu memasak. Kue-kue tradisional yang lezat-lezat memenuhi ruang keluarga rumah kontrakan Ibu sejak malam. Sementara
Entah berapa lama aku terjebak di sini hingga tiba-tiba semua orang terdiam dan melihat ke arah yang sama. Aku yang tengah menunduk jadi bingung dan ikut melihat arah tatapan mereka.“Masya Allah Nabi Yusuf lewat.”“Masya Allah ada malaikat di kampung kita.”"Lihat punggungnya, jangan-jangan dia punya sayap."Pria macho dengan wajah ganteng itu kaget sebentar saat melihat gerombolan ibu-ibu, tapi kemudian dengan tenang melewati mereka. Tanpa memandang dan tanpa senyum hanya mengucapkan assalamualaikum dengan suara tegas penuh kharisma. Di Arab sana pasti tak pernah ditemuinya gerombolan ibu-ibu nangkring sore-sore. Aku geleng-geleng kepala saat para ABG putri diam-diam mengambil foto Mister Halim.Menjelang Jum'atan aku sudah siap berangkat bersama Lina menuju rumah mantan mertua. Mengantarkan kartu undangan sebagai alasanku untuk bersilaturahim dengan beliau. Sebenarnya aku kangen sekali dengan mantan mertua yang baik hati itu. Tapi hati selalu bimbang setiap mengingat kemungkinan aka
“Jodoh kan takdir. Yang namanya takdir kan kita bisa berikhtiar enggak pasrah gitu aja. Kayaknya enggak mungkin sultan Arab itu tiba-tiba jatuh hati pada, maaf ya, seorang pembantu.”Jleb! Meski benar aku pembantu di negeri orang, tapi tak usahlah sampai ditegaskan begitu. Pembantu juga manusia yang punya hati. Rasanya malas sekali menghadapi tamu tak diundang ini. Sudah mah minta tips yang aneh-aneh eh malah menghina yang diminta tipsnya pula.“Eh, ada de Linda sama Melin, tumben ke mari. Ada hal penting ya?” Ibu masuk dari warung dan langsung menyapa. “Iya nih, Teh, ada yang mau ditanyakan sama Lala, tapi Lalanya kayak enggak mau berbagi ilmu yang dia punya.” Eh, Bi Linda malah ngadu.“Ooh mau minta ilmu jualan kurma mungkin ya? Kasih tahu atuh, Teh.” Aku jadi ingin ketawa lihat ekspresi melongo Bi Linda.“Sebentar ya, Uwa ambilin rujak, Melin suka rujak, kan?’ Ah, ibu yang selalu baik sama semua orang meski orang itu tak pernah menganggapnya.Setelah Ibu ke warung, Bi Linda dan
“Anak Ibu sama ponakan Ibu sama-sama cantiknya. Apalagi cantiknya keluar dari hati, makinlah keluar aura cantiknya.” Ibu menepuk-nepuk lengan kami. Kulihat Wak Yati tertawa dengan wajah berseri meski juga tak dapat menyembunyikan kelelahan setelah seharian keliling kota.Ucil yang tertidur dalam pelukan Wak Yati menggeliat-geliat. Sepertinya dia kelelahan dan merasa kurang nyaman tidurnya. Akhirnya kami memutuskan untuk segera pulang. Tak lupa mampir sebentar membeli ikan bakar untuk makan malam di rumah. Rasanya hari ini banyak orang bertingkah lucu. Dimulai dengan pagi-pagi ada tamu teman sekolahku. Sebenarnya kami dulu tidak bisa dibilang dekat, dia yang lumayan kaya bergaul dengan teman selevelnya. Entah angina apa yang membawanya kemari. Dia tak sendiir, membawa dua orang temannya yang tinggal di desa sebelah juga katanya. Dan kedua temannya itu masing-masing membawa dua temannya juga. Jadilah pagi ini aku menerima tamu rombongan dadakan yang sebenarnya tak kukenal. Ibu yang men
Kami sepakat untuk menggunakan jasa WO temannya Lina. Setelah itu kami mengobrolkan banyak hal seputar persiapan walimah. Sebenarnya aku malu harus walimahan yang kedua kali, cukup syukuran keluarga. Tapi suamiku tetap pada pendiriannya ingin mengadakan walimahan sekalian mengenal handai tolan kami katanya. Betul juga sih, kalau mengunjungi satu-satu kapan waktunya. Hari ini kami akan berbelanja kebutuhan walimah ke kota. Aku, Ibu, Lina, Yusril, Wak Yati, dan Imah, Kami menggunakan jasa rental mobil plus sopirnya. Sengaja kami menggunakan mobil yang agak besar karena nanti akan berbelanja cukup banyak. Suamiku yang kaya dan baik hati itu memberikan uang rupiah dalam kartu ATM-ku.“Ajak Ibu dan siapa pun yang Adik mau untuk berbelanja ke kota. Terserah mau belanja apa pun yang Adik inginkan dan butuhkan terutama untuk walimah kita. Kalian bersenang-senanglah sesekali. Makan di restoran, perawatan di salon, apa pun. Abang ingin Adik bahagia dengan keluarga. Seharian ini Abang akan sibu