Gundukan tanah merah di depan mereka menjadi saksi kesedihan anggota keluarga Felliana dan Ryan. Banyak rekan kerja dan sejawat Felliana yang hadir dalam pemakaman. Semua sedih, karena harus kehilangan rekan kerja sekaligus sahabat yang solid juga baik hati."Mengikhlaskan memang butuh waktu, Nak. Namun, janganlah sampai kau meratap. Kasihan Liana yang melihat keputusasaan kita yang ditinggalkannya. Ingatlah Fatih dan Fathiya sudah kehilangan bunda. Jangan sampai, merasa kehilangan kedua orangtuanya." Nasehat Bu Ilmi sembari menepuk bahu menantunya.Saat kita bilang 'aku ikhlas', penegasan kalimat itu bukan berarti rasa itu akan seketika muncul.Hal ini, hampir terjadi di semua orang. Apa lagi kehilangan seorang istri, itu yang dirasakan Ryan.Sedangkan Rani cukup tahu diri, akan posisinya di rumah Bu Ilmi. Kehadirannya tidak lebih sebagai pengasuh. Untuk kedua anak Felliana dan Ryan yang masih membutuhkan perhatian seorang ibu.Kecelakaan yang dialami oleh Felliana mengurungkan niatn
"Tamara!"Seorang pria berseru memanggil Tamara. Kebetulan Tamara berjalan paling belakang saat keluar dari mobilnya tadi.Keluarganya ingin melihat kantor, karena Faiq diminta Pak Faiz untuk melihat keadaan perusahaan. Karena pemiliknya tidak pergi hampir dua bulan."Rayyan," gumam Tamara tersenyum senang. Namun, senyumnya memudar saat disadarinya ada sosok lain di belakang pria itu. "Aku sangat muak dengan kelakuanmu ini. Kuperingatkan, ini terakhir kali kau mengganggu hidupku. Apakah aku perlu adukan perbuatmu ini pada Pak Ryan. Supaya jelas, siapa yang bakal dipertahankan di perusahaannya ini. Aku atau kamu?" Berondong Rayyan sembari mengarahkan telunjuk pada Tamara.Bu Syarifah yang berjalan di depan Tamara. Beriringan dengan Aida, berbalik menghampiri mereka bertiga."Ada apa ini?" tanya Bu Syarifah menyela, berupaya menengahi Rayyan dan Tamara.Tamara tampak tak nyaman dengan pertanyaan mamanya. Apalagi diharapannya ada Faiq dan Aisha. Mau ditaruh mana mukanya, saat keluargan
Hari itu seperti biasanya, usai sarapan dengan keluarga, Ryan menuju ke ruang kerjanya. Bu Ilmi memberi isyarat Rani untuk mengikuti suaminya itu. Semalam mama dari Felliana itu telah berbicara kepada Rani untuk mengingatkan Ryan pada tanggungjawab dia di perusahaan dan sebagai kepala rumah tangga."Mas Ryan boleh aku bicara sebentar," pinta Rani menyeimbangkan langkah lebar suaminya menuju ruang kerja yang bersebelahan dengan kamar tamu, tempatnya beristirahat selama ini."Memang siapa yang melarangmu untuk berbicara," balas Ryan sinis melirik sembari tetap melangkah pintu ruang kerja."Aku ingin berbicara dengan Mas Ryan.""Oiya. Mau bicara di kamar atau masuk ke dalam," balas Ryan melirik ke arah Rani yang berdiri di sebelahnya."Di ruang kerja, Mas Ryan saja."Ryan membuka pintu, kemudian masuk ke dalam. Rani mengikuti masuk, setelah itu menutup pintu."Kunci saja sekalian.""Enggak perlu. Cukup ditutup, orang akan mengetuk pintu jika mencari keberadaan kita berdua.""Terserah kau
Rani memberanikan diri memasuki ruang kerja yang bersebelahan dengan kamarnya. Ia ingin menemui Ryan. Nampak pria itu fokus menatap layar laptop yang diletakkan di meja depannya dan sesekali melihat ponselnya. "Mungkin sebaiknya, hubungi Mama saja, supaya mampir dibelikan susu dan diapers untuk Fatih dan Fathiya," batin Rani bersuara.Sejak meninggalnya Liana, Ryan seperti trauma untuk belanja kebutuhan kedua anaknya di baby shop Queen. Semua kebutuhan kembar biasanya Bu Ilmi, Anida atau bahkan Umar yang diminta untuk membelanjakannya. Rani mengurungkan niatnya, berbalik dan hendak pergi, tapi suara Ryan menghentikan langkahnya."Ada apa, Ran?""Maaf, sepertinya saya mengganggu.""Dengan kau pergi, tanpa mengatakan sesuatu itu malah jadinya kamu menggangguku. Cepat, katakan! Ada perlu apa denganku.""Susu dan diapers Kembar mungkin hanya cukup sampai sore ini, Mas.""Ya tinggal pesan, biar diantar nanti."Rani terdiam, kalau bicara soal teknis seperti itu. Diapun bisa, masalahnya unt
"Ran," panggil Ryan membuat si empunya nama kaget dan menoleh."Iya, Mas." Rani bersiap menuangkan sop yang ia buat ke dalam wadah saat Ryan berdiri di sisi meja makan seraya menatapnya.Di tangan Ryan ada amplop yang kemudian dia taruh di meja depan Rani. "Gunakan uang ini untuk membayar belanjaan yang dipesan. Sepertinya, salah aku memberimu ATM kemarin. Karena kuperhatikan anak-anak tidak bisa lama kau tinggal pergi."Rani mengangguk. "Mas Ryan mau kusiapkan makan siang. Apa mau pesan makanan seperti kemarin.""Aku tidak suka sop.""Ya sudah, Mas Ryan pesan saja.""Apa kau tidak mau memasak untukku?""Saya tidak tahu selera Mas Ryan.""Kau bisa bertanya, kalau tidak tahu."Rani mengulas senyum tipis. Baginya lebih baik menghindari debat dengan pria di depannya. Fisiknya sudah lelah mengurus pekerjaan rumah, jadi lebih memilih menjaga kewarasan batinnya.Ryan berjalan memutar meja, mendekati Rani. Pria yang memakai kaos merah dan celana sebetis berwarna coklat itu meraih sendok, men
Ryan memijit pelipisnya yang terasa begitu berat. Barusan ia menguyur kepala seluruh tubuhnya, untuk memadamkan hasrat yang hampir tak bisa dibendung.Ia memejamkan mata kuat-kuat. Ingin membuang jauh-jauh tentang kejadian tadi. Rani mengakui dirinya pengecut, tapi tidak terima dikatakan seorang pengkhianat. Karena sebelum ia melamar perempuan itu. Antara mereka berdua tidak ada komitmen untuk jalinan hubungan antara dua sejoli.Ryan berjalan menuju meja yang dipakai untuk menaruh berkas dan semua peralatan kerjanya. Ia tarik laci bagian atas, kembali dia ambil foto dirinya berempat dengan Radit, Rani, dan Pak Bagas. Meja kerjanya memang sengaja dibawa pindah, karena malas memindahkan barang yang ada di laci. Selain itu, meja itu ia membeli dengan desain sesuai dengan kebutuhannya sebagai seorang arsitek. "Pada akhirnya saya hanyalah perempuan yang akan Mas campakkan. Yang membedakannya adalah ...." Rani menarik napas, menyadari akan begitu sesak jika dia melanjutkan kata-katanya. "
"Maaf, saya enggak kenal."Ucapan dan tatapan dingin Ryan bagai belati yang mengiris pedih hati Rani. Dia mengerjapkan mata, menahan genangan air yang mulai membendung di pelupuk mata. Diremasnya map di tangan dengan sedih.Ryan menatap tajam pada Hani."Kamu juga Hani, berapa kali saya bilang, kalau tidak ada kepentingan untuk a-- .""Ran ... kamu sudah sampai?" Tamara tiba-tiba muncul dari arah belakang. Berjalan dengan cepat-cepat hingga berdiri di sisi Rani."Maaf, aku yang salah Mas. Tadi, rencana habis laporan. Aku mau izin ke Bogor. Makanya langsung minta Rani kasih berkasnya ke Mas Ryan. Ya, udah ke ruanganku dulu, yuk," ajak Tamara merangkul bahu Rani.Beberapa eksekutif itu mulai meninggalkan lobi dan kembali berbincang satu sama lain setelah dirasa tidak terlalu penasaran lagi dengan kehadiran Rani.Tinggal Ryan yang membeku di tempat. Menatap Tamara yang merangkul bahu istrinya menuju ke lift.***Rr***"Raisa Maharani, apakah itu nama lengkapmu, Ran?" tanya Tamara begitu k
Pagi itu Ryan terlihat sudah sehat, duduk di meja makan menikmati sarapan paginya. Dirinya sarapan ditemani Mbak Ninik seperti hari sebelumnya."Yan, kapan kamu daftarkan pernikahan kalian?""Rencananya aku akan menikah lagi saja.""Hah! Apa, enggak salah dengar Mbak ini.""Maksudku, nikah ulang di KUA. Kemungkinan setelah lebaran. Pernikahan kami kemarin hanya Mama, Umar dan Leo saja yang tahu. Anida saja, enggak kami beritahu. Tamara kemarin menduga, tapi tepat dugaannya. Demikian juga Mbak Ninik 'kan, yang tahunya pernikahan kami karena berasumsi.""Tunggu, memang Rani belum ada tanda-tanda ...." Mbak Ninik melanjutkan ucapan dengan menggerakkan telapak tangan di depan perutnya.Bukannya menjawab, Ryan malah terkekeh. Mbak Ninik membulatkan matanya, atas prasangka sendiri."Pantesan dianya mau nyerah jadi istrimu. Cepat perbaiki sikapmu, Yan. Jangan sampai Kembar beradaptasi lagi dengan ibu tiri yang lain.""Memang aku ada tampang, suami enggak setia, Mbak? Selama masih ada Rani un