Felliana mengelus lembut rambut sebahu putrinya. Pasmina yang dikenakan tadi tersampir di bahunya.
"Anida, Bunda paham mempertahankan juara itu, lebih sulit daripada meraihnya. Tapi, jangan terlalu memfosir dirimu. Pandai dalam akademik memang membanggakan, Nak. Tapi, Bunda akan lebih bahagia jika putri sulung ayah Aziz ini. Jadi putri yang sholehah, yang selalu dekat dengan Allah.Beragama itu nurut, enggak ada tapinya. Selagi termasuk dalam perintah Allah, itu wajib hukumnya, kita laksanakan. Kakak sebentar lagi sweet seventen. Bagi bunda, Anida sudah bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Segera tutup aurat kakak. Ingat pesan bunda, perempuan dihormati karena bisa menjaga marwahnya.""Iya, Bunda. Anida nunggu hati mantep dulu, untuk pakai jilbab. Supaya tidak pakai-copot.""Lha kenapa harus begitu. Sudah tahu perintah, ya harus dilaksanakan 'kan. Salatnya jangan suka bolong. Besok Kak Rani sudah pulang. Enggak ada lagi yang ingatin terus untuk salat."Anida menatap manik mata bundanya. Entahlah kali ini dia merasakan aura yang lain dari bunda. Bukan sekali ini saja, ia dinasehati oleh Felliana. Namun, nasehat bundanya saat ini. Anida merasa ada yang berbeda.Bu Ilmi dan Umar berada di bangku depan juga ikut menyimak pembicaraan ibu-anak di belakang mereka. Sesekali antara Bu Ilmi dan keponakannya itu juga saling melirik.Tak lama mobil Umar memasuki area parkir kantor Ryan. Felliana keluar dari mobil, menghampiri Bu Ilmi sebentar untuk bersalaman serta mencium kedua pipi ibunya.***Rr***"Assalamualaikum, Papa ... bisa turun ke bawah. Ini, bunda bawakan berkas papa yang tertinggal di atas meja.""Waalaikumsalam, itu berkas itu untuk meeting lusa, Bunda. Makanya sengaja papa tinggal." Ryan tertawa melihat ekspresi manyun istrinya."Ya, dari rumah terbayang suamiku akan berterimakasih padaku. Karena, terselamatkan dari gagalnya meeting penting."Ryan semakin terpingkal dengan celetukan Felliana. "Bunda sudah makan, belum?""Belum, Papa mau traktir bunda.""Ya, kalau Bunda mau ke sini, pasti papa traktir. Kebetulan papa belum makan siang juga. Meeting agak alot pagi ini. Besok masih mau dijadwalkan lagi meeting lanjutan hari ini.""Belum deal, rupanya, Pa.""Sudah tadi. Sisanya besok biar diurusi sama Rayyan. Ini papa tunggu atau bunda langsung pulang saja. Makan siang di rumah.""Bunda ke tempat Papa. Kita makan siang bersama. Udah lama dari dinner waktu itu, kita belum ada keluar berdua.""Bunda yang enggak mau.""Malah berdebat. Ini rumah makannya tempat biasa 'kan?" tanya Felliana memastikan."Iya. Ya, sudah papa pesankan menu untuk kita, sementara menunggu Bunda datang."Pembicaraan keduanya berakhir ketika taksi online yang di pesan oleh Felliana datang. Berkas yang dibawa tadi, Ryan memintanya untuk diserahkan kepada sekretarisnya. Takutnya nanti malah tertinggal di restaurant.***Rr***Begitu Felliana tiba di restaurant, ia langsung menuju meja favorit mereka saat makan di tempat itu. Ryan segera beranjak dari tempat duduknya menyambut kedatangan istrinya. Dikecup kening istrinya dengan lembut, sebelum memberikan sebuah pelukan."Papa pesankan apa untuk makan siang kita kali ini." Felliana mengurai pelukan sang suami, kemudian berjalan perlahan menuju meja makan. Tak lama dari keduanya duduk, makanan datang, siap tersaji di meja bundar itu. Rayyan memilihkan menu iga bakar, cah udang-brokoli, salad buah dan tak ketinggalan jus sirsak.Mereka berdua makan dengan serius, sesekali terlontar kalimat-kalimat pujian pada hidangan yang mereka nikmati."Apakah tadi jadi ke makam ayah Anida?"Ryan buka suara sambil menyapu bibir dengan tisu yang dibentuk seperti segitiga. Usai ia menyantap habis hidangan dalam piringnya."Iya. Seperti yang bunda katakan semalam. Kami tadi diantar Umar."Felliana meletakkan sendok dalam posisi terbalik. Kemudian meneguk beberapa tegukan mineral dalam botol kecil yang tersedia di mereka."Alhamdulillah ... maaf, kali ini papa tidak bisa mengantar kalian berziarah.""Santai saja. Kebetulan sepulangnya Umar dari Jepang belum berziarah ke makam mas Aziz."Hening sesaat karena keduanya sama-sama menyedot jus sirsak yang sejak tadi belum tersentuh."Pa, boleh bunda meminta sesuatu.""Apa?""Bersikap baiklah pada Rani. Ingatlah kedatangan ia ke rumah untuk membantu kita mengasuh kembar. Apa Papa tak perhatikan. Makin lama kedua anak kita itu, enggak mau pisah dengannya. Entahlah, besok kalau ia jadi pulang bareng Leo. Apa enggak kangen anak-anak nanti.""Jangan khawatir, itu hanya sesaat. Selama masih ada kita berdua, anak-anak tidak akan pernah kekurangan kasih sayang.""Pa, maaf sebelumnya. Bunda sudah tahu alasan Papa membenci Rani. Foto di laci meja paling atas, sudah menjawab semuanya. Aslinya Papa masih marah pada Rani, karena dulu ia tolak lamaran Papa, 'kan?"Kedua mata Ryan membulat. "Apakah dia yang mengatakan itu semua pada Bunda?" Jelas sekali, ada nada kekecewaan dalam pertanyaan Ryan barusan.Felliana tersenyum. "Bunda yang minta dia jujur untuk mengatakan hal sebenarnya tentang kalian berdua.""Itu hanya masa lalu," ketus Ryan menghembuskan napasnya dengan kasar."Masa lalu. Tapi, begitu membekas dalam hati Papa.""Karena itulah, mas tidak ingin bertemu dengannya lagi, Dik.""Siapa tahu. Ini malah takdirnya kalian menyelesaikan masalah itu. Dengan kalian menikah, mungkin.""LIANA!" Ryan menggebrak meja tak terima dengan ucapan istrinya.Air mata Felliana tak dapat terbendung kali ini. Selama menjadi ibu dari anak-anak Ryan. Baru kali ini, Ryan memanggil namanya kembali. Itu pun dengan wajah memerah marah."Mas berjanjilah. Setelah aku tiada nanti, hanya dia perempuan yang akan kau nikahi.""Cukup! Kau berbicara kematian seolah-olah kau akan meninggalkan kami besok. Siapa yang tahu, aku yang akan mati duluan. Jangan berbicara mendahului takdir, Liana.""MAS!" "Kenapa sekarang membentakku,""Jangan berbicara seperti itu. Kau akan menemani anak-anak hingga dewasa, Mas. Baiklah, aku minta maaf, kalau ucapanku tadi melukai perasaanmu.""Percuma minta maaf. Kalau kau tetap melakukannya lagi. Bisa kau tidak membahas lagi, tentang penyakitmu, penggantimu dan Rani," tegas Ryan beranjak dari tempat duduknya. "Kita pulang sekarang!"Felliana menarik napas panjang lalu mengembuskan perlahan-lahan. Ia ikuti langkah panjang sang suami menuju kasir, membayar makan siang mereka. Begitu melakukan pembayaran Ryan kembali menghampiri istrinya yang tertinggal di belakangnya. Diraihnya pinggang Felliana, dikecup lama keningnya. "Maaf, Sayang, bicara Mas sangat kasar tadi."Felliana membalas pelukan suaminya. Air mata kembali berjatuhan membasahi kemeja putih Ryan.***Rr***"Pa, kok bunda pingin dikasih bunga sama Papa, ya," canda Felliana sembari melirik suaminya."Oiya, mau bunga apa, Bund? Bunga deposito bank?" balas Ryan tertawa."Eh, Pa ... Bunda mau mampir di Queen pingin belikan jaket buat kembar. Papa lanjutkan mobil parkir di toko bunga sana itu, ya.""Baiklah. Masih suka bunga mawar 'kan. Atau mau bunga lainnya?""Mawar saja. Tapi, semua varian yang ada di sana ya, Pa. Beli saja mawar merah, putih, pink dan kuning. Sekalian kalau ada mawar ungu. Bisa minta dua atau tiga tangkai, untuk dirangkai ya, Papa. Langsung dikirim ke rumah, nanti bunda akan minta Anida untuk menaruh di vas kamar kita." "Siap, Permaisuriku!" Ryan menepikan mobilnya di depan baby shop 'Queen'."Bunda turun dulu ya, Pa." Felliana meraih tangan suaminya untuk dicium."Ya sudah. Papa lanjut ke depan. Papa samperi Bunda jalan kaki saja. Karena mobilnya papa parkir di sana." Tunjuk Ryan ke arah toko bunga yang berjarak kira-kira 300 meter dari baby shop."Oke." Felliana keluar dari mobil bergegas masuk ke dalam toko. Setelah melihat istrinya menghilang dari pandangannya. Ryan melambatkan laju mobilnya menuju toko bunga, memenuhi permintaan istrinya.Setibanya di toko bunga, Ryan memilih beberapa tangkai bunga mawar sesuai pesanan Felliana. Setelah selesai ia serahkan pada pegawai yang mengikuti dirinya. "Rangkai yang bagus ya, Mas. Nanti langsung kirim ke rumah kami.""Baik, Pak. Silahkan tulis alamat rumahnya. Nanti saya sendiri yang akan mengantar ke rumah bapak. Oiya, atas nama siapa ini bunga diberikan.""Istri saya. Dokter Felliana Ismail. Dan ini alamat rumah kami."Pegawai kios menerima kertas yang diberikan oleh Ryan. Kemudian membawa ke kasir toko. Setelah mendapat nota dari kasir, Ryan segera melakukan pembayaran secara tunai."Itu anak tadi memang kurang ajar. Sudah tahu trotoar untuk pejalan kaki. Bisa-bisanya mengendarai motor ugal-ugalan gitu. Kasihan wanita tadi karena terkejut dia melompat ke jalan raya. Apesnya malah tertabrak mobil."Jatuh Ryan berdegup kencang, perasaan tidak karuan mendengar pembicaraan pengunjung toko yang baru masuk."Ada kecelakaan, Bu." Kedua ibu muda yang baru masuk toko saling tatap, kemudian mengangguk. "Iya, Mas. Saya ngeri mau mendekat. Itu di depan baby shop Queen."Ryan segera berlari keluar dari toko bunga. Dia melihat kerumunan orang di jalan raya depan baby shop."Yaa Allah ... Liana. Jangan sampai Engkau ambil istriku sekarang, Yaa Rabb. Hambamu belum siap." ☘☘ Next ..."Yaa Allah ... Liana. Jangan sampai Engkau ambil istriku sekarang, Yaa Rabb. Hambamu belum siap." Bumi serasa bergetar bagi Ryan saat menyibak kerumunan. Nampak Felliana tergeletak dengan darah mengalir dari balik jilbabnya. Bersamaan itu datang ambulance. Bisa jadi pemilik baby shop yang menghubungi rumah sakit terdekat. Ryan segera ikut naik ke ambulance. Ambulance melaju cepat menuju RS.Pertamina yang paling dekat dengan lokasi kecelakaan. Ryan tiada berhenti berdoa seraya mencium kedua tangan istrinya.Sesampai di rumah sakit. Felliana segera ditangani rekannya di IGD. Tim medis bertindak sigap. Sedangkan Ryan menunggu di depan ruang IGD dengan kecemasan membuncah. Hingga ia tersadar, ponsel di sakunya bergetar. Panggilan dari Bu Ilmi nampak di sana.Dengan suara serak, Ryan mengabarkan apa yang terjadi kepada ibu mertuanya. Masih dengan tenaga yang tersisa ia bangkit menuju ke kursi pasien yang berjejer di samping pintu masuk IGD."Mungkin kita akan melakukan operasi untuk meng
Gundukan tanah merah di depan mereka menjadi saksi kesedihan anggota keluarga Felliana dan Ryan. Banyak rekan kerja dan sejawat Felliana yang hadir dalam pemakaman. Semua sedih, karena harus kehilangan rekan kerja sekaligus sahabat yang solid juga baik hati."Mengikhlaskan memang butuh waktu, Nak. Namun, janganlah sampai kau meratap. Kasihan Liana yang melihat keputusasaan kita yang ditinggalkannya. Ingatlah Fatih dan Fathiya sudah kehilangan bunda. Jangan sampai, merasa kehilangan kedua orangtuanya." Nasehat Bu Ilmi sembari menepuk bahu menantunya.Saat kita bilang 'aku ikhlas', penegasan kalimat itu bukan berarti rasa itu akan seketika muncul.Hal ini, hampir terjadi di semua orang. Apa lagi kehilangan seorang istri, itu yang dirasakan Ryan.Sedangkan Rani cukup tahu diri, akan posisinya di rumah Bu Ilmi. Kehadirannya tidak lebih sebagai pengasuh. Untuk kedua anak Felliana dan Ryan yang masih membutuhkan perhatian seorang ibu.Kecelakaan yang dialami oleh Felliana mengurungkan niatn
"Tamara!"Seorang pria berseru memanggil Tamara. Kebetulan Tamara berjalan paling belakang saat keluar dari mobilnya tadi.Keluarganya ingin melihat kantor, karena Faiq diminta Pak Faiz untuk melihat keadaan perusahaan. Karena pemiliknya tidak pergi hampir dua bulan."Rayyan," gumam Tamara tersenyum senang. Namun, senyumnya memudar saat disadarinya ada sosok lain di belakang pria itu. "Aku sangat muak dengan kelakuanmu ini. Kuperingatkan, ini terakhir kali kau mengganggu hidupku. Apakah aku perlu adukan perbuatmu ini pada Pak Ryan. Supaya jelas, siapa yang bakal dipertahankan di perusahaannya ini. Aku atau kamu?" Berondong Rayyan sembari mengarahkan telunjuk pada Tamara.Bu Syarifah yang berjalan di depan Tamara. Beriringan dengan Aida, berbalik menghampiri mereka bertiga."Ada apa ini?" tanya Bu Syarifah menyela, berupaya menengahi Rayyan dan Tamara.Tamara tampak tak nyaman dengan pertanyaan mamanya. Apalagi diharapannya ada Faiq dan Aisha. Mau ditaruh mana mukanya, saat keluargan
Hari itu seperti biasanya, usai sarapan dengan keluarga, Ryan menuju ke ruang kerjanya. Bu Ilmi memberi isyarat Rani untuk mengikuti suaminya itu. Semalam mama dari Felliana itu telah berbicara kepada Rani untuk mengingatkan Ryan pada tanggungjawab dia di perusahaan dan sebagai kepala rumah tangga."Mas Ryan boleh aku bicara sebentar," pinta Rani menyeimbangkan langkah lebar suaminya menuju ruang kerja yang bersebelahan dengan kamar tamu, tempatnya beristirahat selama ini."Memang siapa yang melarangmu untuk berbicara," balas Ryan sinis melirik sembari tetap melangkah pintu ruang kerja."Aku ingin berbicara dengan Mas Ryan.""Oiya. Mau bicara di kamar atau masuk ke dalam," balas Ryan melirik ke arah Rani yang berdiri di sebelahnya."Di ruang kerja, Mas Ryan saja."Ryan membuka pintu, kemudian masuk ke dalam. Rani mengikuti masuk, setelah itu menutup pintu."Kunci saja sekalian.""Enggak perlu. Cukup ditutup, orang akan mengetuk pintu jika mencari keberadaan kita berdua.""Terserah kau
Rani memberanikan diri memasuki ruang kerja yang bersebelahan dengan kamarnya. Ia ingin menemui Ryan. Nampak pria itu fokus menatap layar laptop yang diletakkan di meja depannya dan sesekali melihat ponselnya. "Mungkin sebaiknya, hubungi Mama saja, supaya mampir dibelikan susu dan diapers untuk Fatih dan Fathiya," batin Rani bersuara.Sejak meninggalnya Liana, Ryan seperti trauma untuk belanja kebutuhan kedua anaknya di baby shop Queen. Semua kebutuhan kembar biasanya Bu Ilmi, Anida atau bahkan Umar yang diminta untuk membelanjakannya. Rani mengurungkan niatnya, berbalik dan hendak pergi, tapi suara Ryan menghentikan langkahnya."Ada apa, Ran?""Maaf, sepertinya saya mengganggu.""Dengan kau pergi, tanpa mengatakan sesuatu itu malah jadinya kamu menggangguku. Cepat, katakan! Ada perlu apa denganku.""Susu dan diapers Kembar mungkin hanya cukup sampai sore ini, Mas.""Ya tinggal pesan, biar diantar nanti."Rani terdiam, kalau bicara soal teknis seperti itu. Diapun bisa, masalahnya unt
"Ran," panggil Ryan membuat si empunya nama kaget dan menoleh."Iya, Mas." Rani bersiap menuangkan sop yang ia buat ke dalam wadah saat Ryan berdiri di sisi meja makan seraya menatapnya.Di tangan Ryan ada amplop yang kemudian dia taruh di meja depan Rani. "Gunakan uang ini untuk membayar belanjaan yang dipesan. Sepertinya, salah aku memberimu ATM kemarin. Karena kuperhatikan anak-anak tidak bisa lama kau tinggal pergi."Rani mengangguk. "Mas Ryan mau kusiapkan makan siang. Apa mau pesan makanan seperti kemarin.""Aku tidak suka sop.""Ya sudah, Mas Ryan pesan saja.""Apa kau tidak mau memasak untukku?""Saya tidak tahu selera Mas Ryan.""Kau bisa bertanya, kalau tidak tahu."Rani mengulas senyum tipis. Baginya lebih baik menghindari debat dengan pria di depannya. Fisiknya sudah lelah mengurus pekerjaan rumah, jadi lebih memilih menjaga kewarasan batinnya.Ryan berjalan memutar meja, mendekati Rani. Pria yang memakai kaos merah dan celana sebetis berwarna coklat itu meraih sendok, men
Ryan memijit pelipisnya yang terasa begitu berat. Barusan ia menguyur kepala seluruh tubuhnya, untuk memadamkan hasrat yang hampir tak bisa dibendung.Ia memejamkan mata kuat-kuat. Ingin membuang jauh-jauh tentang kejadian tadi. Rani mengakui dirinya pengecut, tapi tidak terima dikatakan seorang pengkhianat. Karena sebelum ia melamar perempuan itu. Antara mereka berdua tidak ada komitmen untuk jalinan hubungan antara dua sejoli.Ryan berjalan menuju meja yang dipakai untuk menaruh berkas dan semua peralatan kerjanya. Ia tarik laci bagian atas, kembali dia ambil foto dirinya berempat dengan Radit, Rani, dan Pak Bagas. Meja kerjanya memang sengaja dibawa pindah, karena malas memindahkan barang yang ada di laci. Selain itu, meja itu ia membeli dengan desain sesuai dengan kebutuhannya sebagai seorang arsitek. "Pada akhirnya saya hanyalah perempuan yang akan Mas campakkan. Yang membedakannya adalah ...." Rani menarik napas, menyadari akan begitu sesak jika dia melanjutkan kata-katanya. "
"Maaf, saya enggak kenal."Ucapan dan tatapan dingin Ryan bagai belati yang mengiris pedih hati Rani. Dia mengerjapkan mata, menahan genangan air yang mulai membendung di pelupuk mata. Diremasnya map di tangan dengan sedih.Ryan menatap tajam pada Hani."Kamu juga Hani, berapa kali saya bilang, kalau tidak ada kepentingan untuk a-- .""Ran ... kamu sudah sampai?" Tamara tiba-tiba muncul dari arah belakang. Berjalan dengan cepat-cepat hingga berdiri di sisi Rani."Maaf, aku yang salah Mas. Tadi, rencana habis laporan. Aku mau izin ke Bogor. Makanya langsung minta Rani kasih berkasnya ke Mas Ryan. Ya, udah ke ruanganku dulu, yuk," ajak Tamara merangkul bahu Rani.Beberapa eksekutif itu mulai meninggalkan lobi dan kembali berbincang satu sama lain setelah dirasa tidak terlalu penasaran lagi dengan kehadiran Rani.Tinggal Ryan yang membeku di tempat. Menatap Tamara yang merangkul bahu istrinya menuju ke lift.***Rr***"Raisa Maharani, apakah itu nama lengkapmu, Ran?" tanya Tamara begitu k