Dalam hidup kita, pasti ada satu nama yang selalu terkenang. Bukan karena tak ingin melupakan, tetapi Tuhan memang menciptakan kenangan itu untuk menetap.
Bahkan terkadang waktu tak mampu memainkan perannya, menghapus angan akan kenangan itu. Ingatan kita masih saja tetap segar tentangnya. Tentang semua kebaikannya.Tak dapat dipungkiri saat di ujung kenangan itu hadir. Si empunya kenangan akan menangis berharap semua kembali di waktu itu. Andaikan dulu berkata bersedia, akankah sekarang diri akan berbahagia. Hidup bersama dengannya, saling menjaga dan mencintai.Dan Rani berusaha mengikhlaskan semua itu. Berharap jika suatu waktu dipertemukan kembali dengan Ryan. Keduanya dalam keadaan hati yang terjaga dan baik-baik saja. "Ran, bisa kau jelaskan. Maksud tulisan mas Ryan ini." Untuk kedua kalinya Felliana menanyakan hal yang sama."Ada baiknya masa lalu tidak perlu untuk diungkit kembali. Toh, kita tidak mungkin kembali ke masa itu, Kak.""Masih tidak mau menjawab," pancing Felliana lagi."Kurang bijak rasanya kita membicarakan ini. Bilang orang, hanya cari penyakit. Yang semula baik-baik saja, bisa jadi akan jadi beban pikiran.""Apakah mas Ryan pernah bilang mencintaimu," tebakan Felliana membuat Rani terbungkam. "Diam berarti iya, jangan-jangan ungkapan pengecut dan penghianat ini ia tunjukkan padamu, Rani.Ayo, ada baiknya kamu cerita. Bisa jadi ada kesalahpahaman di sini. Selama jadi istrinya, baru kali ini, lo, Ran. Kakak melihat mas Ryan tidak suka pada orang. Anehnya, yang tak disukai adalah gadis sebaik kamu.""Baiklah. Aku akan cerita, Kak. Tapi, kakak harus janji padaku. Enggak akan merubah perasaan kakak pada mas Ryan.""Tentu. Katakanlah ada apa sebenarnya.""Kakak pasti ingat, saat bapak meninggal. Waktu itu, mama sudah berangsur membaik kondisinya. Empat puluh hari setelah meninggalnya bapak, mas Ryan memintaku menjadi istrinya. Dia ingin mengambil tanggung jawab bapak sebagai kepala keluarga di rumah. Kondisi mas Sigit, saya dan Leo yang masih sekolah waktu itu.""Kalau jadi kamu, kakak akan senang hati menerima tawaran mas Ryan. Kenapa kamu nolak?"Rani memaksa untuk tersenyum. "Ibunya mas Ryan datang. Tidak setuju kami menikah.""Hanya itu.""Ya, intinya seperti itu. Aku menulis surat, isinya tidak bisa menerima lamarannya. Surat itu kutitipkan sama mas Radit. Untuk cerita selanjutnya, kakak pasti sudah tahu. Karena Kak Liana dan Mas Umar yang bantu carikan kami kontrakan yang dekat dengan kampus waktu itu.""Oh, sudah ketemu benang merahnya. Sikapmu waktu itu memang pengecut, Ran. Harusnya kalau nolak kau bisa bicara langsung 'kan, tanpa melibatkan Radit. Tapi, ungkapan penghianat ini. Apakah ditujukan untuk Radit."Rani mengedikkan bahunya. "Entahnya aku tidak tahu, Kak. Bisa jadi, ibu dan saudaranya mas Ryan fitnah aku sama mas Radit." Rani menarik napasnya, kemudian memandang ke arah Felliana. "Tapi, sudahlah. Enggak penting juga hal ini, dibahas sekarang. Kak Liana sudah tahu cerita tentang kami. Benar kakak enggak apa-apa?"Felliana tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Rani. "Aku mau jujur tentang sakitku. Di rumah ini, hanya mama dan mas Ryan yang tahu.""Memangnya kakak sakit apa? Mama sampai memintaku menjaga anak-anak karena kakak sakit.""Aku tertular pasien AIDS stadium akhir, Ran. Bahkan bulan lalu, kakak meminta mas Ryan untuk mencari pendamping lagi.""Astaghfirullahal'azim, Kak ... kenapa meminta sesuatu yang bakalan menyakiti hati kakak."Felliana tersenyum mendengarnya. "Mas Ryan tidak mau. Dan mama pun waktu itu langsung memarahiku. Bilangnya, mudah bagi mas Ryan mencari pengantiku. Tapi, belum tentu bisa menggantikan aku menyayangi kembar.""Benar yang dikatakan mama, Kak. Jangan sembarangan dalam mengambil suatu keputusan yang melibatkan perasaan. Takutnya menyesal tapi sudah terlambat."Felliana terkekeh. "Apakah ini kau bercerita tentang dirimu sendiri, Rani. Kau menyesal, karena dulu tidak berani menerima lamaran Ryan.""Jangan menyimpulkan sesuatu yang bikin hati tambah nyesek, Kak. Enggak ada seperti itu. Bagiku, cerita kami hanya masa lalu. Jujur, akupun turut bahagia menyaksikan kebahagiaan kalian.Setidaknya, pilihanku menolak lamaran mas Ryan waktu itu. Mengantarkan takdir kakak berjodoh dengan mas Ryan. Yang semangat untuk berobat. Insyaallah, selagi kita berupaya. Akan dicatat sebagai amal kebaikan kita. Bahwa kita bukan makhluk Allah yang mudah berputus asa.""Setelah mengajakmu berbicara. Aku semakin yakin, bahwa pilihan mama selalu tepat. Ran, andaikan kakak tidak membersamai tumbuh-kembang Fatih dan Fathiya. Tolong gantikan kakak merawat mereka, ya.""Kak Liana ngomong apa sih, aku jadi merinding," ungkap Rani lirih seraya mengusap kedua sudut matanya. "Oiya, Kak ... besok siang Leo akan mampir kemari. Kita akan pulang. Kurasa sepekan di sini. Cukuplah mengobati rasa rinduku selama ini.""Sekarang aku tahu alasan sebenarnya, kamu membenci Rani, Mas Ryan," gumam Felliana nyaris tak terdengar kecuali olehnya sendiri.***Rr***Sepulang sekolah tidak biasanya Anida langsung mencari mamanya. Biasanya ia akan segera naik ke kamarnya di lantai atas. Karena ia hafal jadwal praktek mamanya. Hari Senin-Sabtu dari jam 08.00-14.00 di RS. Pertamina.Anida tahu, hari ini sang mama mengambil izin sehari. Karena berjanji akan menemaninya mengunjungi makam Aziz, ayah kandungnya."Jadi 'kan, Bund, kita ke makam ayah hari ini?" tanya Anida berlari menemui bundanya."Jadi dong. Kita diantar paman Umar. Kebetulan oma juga mau mengunjungi makam opa Ismail." Jawaban dari Felliana membuat Anida semakin ceria. Bergegas dirinya menaiki tangga menuju kamarnya, untuk berganti pakaian."Sayang, cepatan! Ganti bajunya. Karena bunda juga mau mampir ke kantor papa," ucap Felliana mengikuti langkah Anida."Beres, Bunda!"Di ruang tamu sudah bersiap Umar dan Bu Ilmi. Sedangkan Rani diminta mengawasi kembar karena baby sitter yang biasanya menjaga Fatih minta izin selama tiga hari."Nanti sepulang dari makam. Turunkan kakak di kantor papanya anak-anak ya, Paman.""Siap, Bosque!" jawab Umar seraya mengangkat tangan ke pelipisnya. Felliana terkekeh dengan tingkah sepupu sekaligus adik iparnya itu. Begitu Anida turun dengan setelan baju panjangnya. Mereka segera berangkat menuju pemakaman muslim yang tidak begitu jauh dari tempat tinggal Bu Ilmi.***Rr***Usai memanjatkan doa untuk papanya. Felliana memperhatikan Anida dan Umar yang masih betah di depan makan Aziz, suami pertamanya."Padahal saat ditinggal mas Aziz, usia Anida baru tujuh tahun. Herannya semua kenangan tentang mas Aziz sangat melekat dalam ingatannya. Semoga saat bundanya pergi. Ia juga tak pernah alfa kirimi doa kita berdua.""Kamu itu ngomong apa, Liana!" sangah Bu Ilmi tidak suka, ditempukkan bahu kiri putrinya.Felliana tersenyum melihat ekspresi wajah sang mama. "Bukankah, di sinilah nanti ... tempat tinggal terakhir kita di dunia ini, Ma. Saat Anida menceritakan mimpinya dua kali berturut-turut bertemu almarhum mas Aziz. Akankah nanti aku akan mendatangi kalian lewat mimpi andai terbersit rasa rindu di alam yang berbeda."Bu Ilmi mengusap sudut air matanya. Sesekali tangannya meratakan bunga yang ditabur bersama Felliana tadi. "Kamu benar, Liana. Terimakasih sudah mengingatkan mama. Terkadang saat diuji sakit, kita akan mengingat kematian. Beribadah lebih baik lagi, mendekatkan diri dengan Allah. Banyak meminta ampun atas segala dosa yang pernah kita lakukan.""Itulah salah hikmah yang kurasakan selama dua bulan ini, Ma. Pasrah dan ikhlas dengan segala takdir Allah. Bisa jadi, dengan sakitku ini sebenarnya Allah sayang padaku. Supaya aku semakin dekat dengan-Nya."Bu Ilmi menatap putrinya tunggalnya yang sedang bercerita masa kecilnya bersama papanya sembari membersih mengusap batu nisan almarhum Pak Ismail.☘☘Next ...Felliana mengelus lembut rambut sebahu putrinya. Pasmina yang dikenakan tadi tersampir di bahunya."Anida, Bunda paham mempertahankan juara itu, lebih sulit daripada meraihnya. Tapi, jangan terlalu memfosir dirimu. Pandai dalam akademik memang membanggakan, Nak. Tapi, Bunda akan lebih bahagia jika putri sulung ayah Aziz ini. Jadi putri yang sholehah, yang selalu dekat dengan Allah.Beragama itu nurut, enggak ada tapinya. Selagi termasuk dalam perintah Allah, itu wajib hukumnya, kita laksanakan. Kakak sebentar lagi sweet seventen. Bagi bunda, Anida sudah bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Segera tutup aurat kakak. Ingat pesan bunda, perempuan dihormati karena bisa menjaga marwahnya.""Iya, Bunda. Anida nunggu hati mantep dulu, untuk pakai jilbab. Supaya tidak pakai-copot.""Lha kenapa harus begitu. Sudah tahu perintah, ya harus dilaksanakan 'kan. Salatnya jangan suka bolong. Besok Kak Rani sudah pulang. Enggak ada lagi yang ingatin terus untuk salat."Anida menatap manik mata bu
"Yaa Allah ... Liana. Jangan sampai Engkau ambil istriku sekarang, Yaa Rabb. Hambamu belum siap." Bumi serasa bergetar bagi Ryan saat menyibak kerumunan. Nampak Felliana tergeletak dengan darah mengalir dari balik jilbabnya. Bersamaan itu datang ambulance. Bisa jadi pemilik baby shop yang menghubungi rumah sakit terdekat. Ryan segera ikut naik ke ambulance. Ambulance melaju cepat menuju RS.Pertamina yang paling dekat dengan lokasi kecelakaan. Ryan tiada berhenti berdoa seraya mencium kedua tangan istrinya.Sesampai di rumah sakit. Felliana segera ditangani rekannya di IGD. Tim medis bertindak sigap. Sedangkan Ryan menunggu di depan ruang IGD dengan kecemasan membuncah. Hingga ia tersadar, ponsel di sakunya bergetar. Panggilan dari Bu Ilmi nampak di sana.Dengan suara serak, Ryan mengabarkan apa yang terjadi kepada ibu mertuanya. Masih dengan tenaga yang tersisa ia bangkit menuju ke kursi pasien yang berjejer di samping pintu masuk IGD."Mungkin kita akan melakukan operasi untuk meng
Gundukan tanah merah di depan mereka menjadi saksi kesedihan anggota keluarga Felliana dan Ryan. Banyak rekan kerja dan sejawat Felliana yang hadir dalam pemakaman. Semua sedih, karena harus kehilangan rekan kerja sekaligus sahabat yang solid juga baik hati."Mengikhlaskan memang butuh waktu, Nak. Namun, janganlah sampai kau meratap. Kasihan Liana yang melihat keputusasaan kita yang ditinggalkannya. Ingatlah Fatih dan Fathiya sudah kehilangan bunda. Jangan sampai, merasa kehilangan kedua orangtuanya." Nasehat Bu Ilmi sembari menepuk bahu menantunya.Saat kita bilang 'aku ikhlas', penegasan kalimat itu bukan berarti rasa itu akan seketika muncul.Hal ini, hampir terjadi di semua orang. Apa lagi kehilangan seorang istri, itu yang dirasakan Ryan.Sedangkan Rani cukup tahu diri, akan posisinya di rumah Bu Ilmi. Kehadirannya tidak lebih sebagai pengasuh. Untuk kedua anak Felliana dan Ryan yang masih membutuhkan perhatian seorang ibu.Kecelakaan yang dialami oleh Felliana mengurungkan niatn
"Tamara!"Seorang pria berseru memanggil Tamara. Kebetulan Tamara berjalan paling belakang saat keluar dari mobilnya tadi.Keluarganya ingin melihat kantor, karena Faiq diminta Pak Faiz untuk melihat keadaan perusahaan. Karena pemiliknya tidak pergi hampir dua bulan."Rayyan," gumam Tamara tersenyum senang. Namun, senyumnya memudar saat disadarinya ada sosok lain di belakang pria itu. "Aku sangat muak dengan kelakuanmu ini. Kuperingatkan, ini terakhir kali kau mengganggu hidupku. Apakah aku perlu adukan perbuatmu ini pada Pak Ryan. Supaya jelas, siapa yang bakal dipertahankan di perusahaannya ini. Aku atau kamu?" Berondong Rayyan sembari mengarahkan telunjuk pada Tamara.Bu Syarifah yang berjalan di depan Tamara. Beriringan dengan Aida, berbalik menghampiri mereka bertiga."Ada apa ini?" tanya Bu Syarifah menyela, berupaya menengahi Rayyan dan Tamara.Tamara tampak tak nyaman dengan pertanyaan mamanya. Apalagi diharapannya ada Faiq dan Aisha. Mau ditaruh mana mukanya, saat keluargan
Hari itu seperti biasanya, usai sarapan dengan keluarga, Ryan menuju ke ruang kerjanya. Bu Ilmi memberi isyarat Rani untuk mengikuti suaminya itu. Semalam mama dari Felliana itu telah berbicara kepada Rani untuk mengingatkan Ryan pada tanggungjawab dia di perusahaan dan sebagai kepala rumah tangga."Mas Ryan boleh aku bicara sebentar," pinta Rani menyeimbangkan langkah lebar suaminya menuju ruang kerja yang bersebelahan dengan kamar tamu, tempatnya beristirahat selama ini."Memang siapa yang melarangmu untuk berbicara," balas Ryan sinis melirik sembari tetap melangkah pintu ruang kerja."Aku ingin berbicara dengan Mas Ryan.""Oiya. Mau bicara di kamar atau masuk ke dalam," balas Ryan melirik ke arah Rani yang berdiri di sebelahnya."Di ruang kerja, Mas Ryan saja."Ryan membuka pintu, kemudian masuk ke dalam. Rani mengikuti masuk, setelah itu menutup pintu."Kunci saja sekalian.""Enggak perlu. Cukup ditutup, orang akan mengetuk pintu jika mencari keberadaan kita berdua.""Terserah kau
Rani memberanikan diri memasuki ruang kerja yang bersebelahan dengan kamarnya. Ia ingin menemui Ryan. Nampak pria itu fokus menatap layar laptop yang diletakkan di meja depannya dan sesekali melihat ponselnya. "Mungkin sebaiknya, hubungi Mama saja, supaya mampir dibelikan susu dan diapers untuk Fatih dan Fathiya," batin Rani bersuara.Sejak meninggalnya Liana, Ryan seperti trauma untuk belanja kebutuhan kedua anaknya di baby shop Queen. Semua kebutuhan kembar biasanya Bu Ilmi, Anida atau bahkan Umar yang diminta untuk membelanjakannya. Rani mengurungkan niatnya, berbalik dan hendak pergi, tapi suara Ryan menghentikan langkahnya."Ada apa, Ran?""Maaf, sepertinya saya mengganggu.""Dengan kau pergi, tanpa mengatakan sesuatu itu malah jadinya kamu menggangguku. Cepat, katakan! Ada perlu apa denganku.""Susu dan diapers Kembar mungkin hanya cukup sampai sore ini, Mas.""Ya tinggal pesan, biar diantar nanti."Rani terdiam, kalau bicara soal teknis seperti itu. Diapun bisa, masalahnya unt
"Ran," panggil Ryan membuat si empunya nama kaget dan menoleh."Iya, Mas." Rani bersiap menuangkan sop yang ia buat ke dalam wadah saat Ryan berdiri di sisi meja makan seraya menatapnya.Di tangan Ryan ada amplop yang kemudian dia taruh di meja depan Rani. "Gunakan uang ini untuk membayar belanjaan yang dipesan. Sepertinya, salah aku memberimu ATM kemarin. Karena kuperhatikan anak-anak tidak bisa lama kau tinggal pergi."Rani mengangguk. "Mas Ryan mau kusiapkan makan siang. Apa mau pesan makanan seperti kemarin.""Aku tidak suka sop.""Ya sudah, Mas Ryan pesan saja.""Apa kau tidak mau memasak untukku?""Saya tidak tahu selera Mas Ryan.""Kau bisa bertanya, kalau tidak tahu."Rani mengulas senyum tipis. Baginya lebih baik menghindari debat dengan pria di depannya. Fisiknya sudah lelah mengurus pekerjaan rumah, jadi lebih memilih menjaga kewarasan batinnya.Ryan berjalan memutar meja, mendekati Rani. Pria yang memakai kaos merah dan celana sebetis berwarna coklat itu meraih sendok, men
Ryan memijit pelipisnya yang terasa begitu berat. Barusan ia menguyur kepala seluruh tubuhnya, untuk memadamkan hasrat yang hampir tak bisa dibendung.Ia memejamkan mata kuat-kuat. Ingin membuang jauh-jauh tentang kejadian tadi. Rani mengakui dirinya pengecut, tapi tidak terima dikatakan seorang pengkhianat. Karena sebelum ia melamar perempuan itu. Antara mereka berdua tidak ada komitmen untuk jalinan hubungan antara dua sejoli.Ryan berjalan menuju meja yang dipakai untuk menaruh berkas dan semua peralatan kerjanya. Ia tarik laci bagian atas, kembali dia ambil foto dirinya berempat dengan Radit, Rani, dan Pak Bagas. Meja kerjanya memang sengaja dibawa pindah, karena malas memindahkan barang yang ada di laci. Selain itu, meja itu ia membeli dengan desain sesuai dengan kebutuhannya sebagai seorang arsitek. "Pada akhirnya saya hanyalah perempuan yang akan Mas campakkan. Yang membedakannya adalah ...." Rani menarik napas, menyadari akan begitu sesak jika dia melanjutkan kata-katanya. "