"Ran," panggil Ryan membuat si empunya nama kaget dan menoleh."Iya, Mas." Rani bersiap menuangkan sop yang ia buat ke dalam wadah saat Ryan berdiri di sisi meja makan seraya menatapnya.Di tangan Ryan ada amplop yang kemudian dia taruh di meja depan Rani. "Gunakan uang ini untuk membayar belanjaan yang dipesan. Sepertinya, salah aku memberimu ATM kemarin. Karena kuperhatikan anak-anak tidak bisa lama kau tinggal pergi."Rani mengangguk. "Mas Ryan mau kusiapkan makan siang. Apa mau pesan makanan seperti kemarin.""Aku tidak suka sop.""Ya sudah, Mas Ryan pesan saja.""Apa kau tidak mau memasak untukku?""Saya tidak tahu selera Mas Ryan.""Kau bisa bertanya, kalau tidak tahu."Rani mengulas senyum tipis. Baginya lebih baik menghindari debat dengan pria di depannya. Fisiknya sudah lelah mengurus pekerjaan rumah, jadi lebih memilih menjaga kewarasan batinnya.Ryan berjalan memutar meja, mendekati Rani. Pria yang memakai kaos merah dan celana sebetis berwarna coklat itu meraih sendok, men
Ryan memijit pelipisnya yang terasa begitu berat. Barusan ia menguyur kepala seluruh tubuhnya, untuk memadamkan hasrat yang hampir tak bisa dibendung.Ia memejamkan mata kuat-kuat. Ingin membuang jauh-jauh tentang kejadian tadi. Rani mengakui dirinya pengecut, tapi tidak terima dikatakan seorang pengkhianat. Karena sebelum ia melamar perempuan itu. Antara mereka berdua tidak ada komitmen untuk jalinan hubungan antara dua sejoli.Ryan berjalan menuju meja yang dipakai untuk menaruh berkas dan semua peralatan kerjanya. Ia tarik laci bagian atas, kembali dia ambil foto dirinya berempat dengan Radit, Rani, dan Pak Bagas. Meja kerjanya memang sengaja dibawa pindah, karena malas memindahkan barang yang ada di laci. Selain itu, meja itu ia membeli dengan desain sesuai dengan kebutuhannya sebagai seorang arsitek. "Pada akhirnya saya hanyalah perempuan yang akan Mas campakkan. Yang membedakannya adalah ...." Rani menarik napas, menyadari akan begitu sesak jika dia melanjutkan kata-katanya. "
"Maaf, saya enggak kenal."Ucapan dan tatapan dingin Ryan bagai belati yang mengiris pedih hati Rani. Dia mengerjapkan mata, menahan genangan air yang mulai membendung di pelupuk mata. Diremasnya map di tangan dengan sedih.Ryan menatap tajam pada Hani."Kamu juga Hani, berapa kali saya bilang, kalau tidak ada kepentingan untuk a-- .""Ran ... kamu sudah sampai?" Tamara tiba-tiba muncul dari arah belakang. Berjalan dengan cepat-cepat hingga berdiri di sisi Rani."Maaf, aku yang salah Mas. Tadi, rencana habis laporan. Aku mau izin ke Bogor. Makanya langsung minta Rani kasih berkasnya ke Mas Ryan. Ya, udah ke ruanganku dulu, yuk," ajak Tamara merangkul bahu Rani.Beberapa eksekutif itu mulai meninggalkan lobi dan kembali berbincang satu sama lain setelah dirasa tidak terlalu penasaran lagi dengan kehadiran Rani.Tinggal Ryan yang membeku di tempat. Menatap Tamara yang merangkul bahu istrinya menuju ke lift.***Rr***"Raisa Maharani, apakah itu nama lengkapmu, Ran?" tanya Tamara begitu k
Pagi itu Ryan terlihat sudah sehat, duduk di meja makan menikmati sarapan paginya. Dirinya sarapan ditemani Mbak Ninik seperti hari sebelumnya."Yan, kapan kamu daftarkan pernikahan kalian?""Rencananya aku akan menikah lagi saja.""Hah! Apa, enggak salah dengar Mbak ini.""Maksudku, nikah ulang di KUA. Kemungkinan setelah lebaran. Pernikahan kami kemarin hanya Mama, Umar dan Leo saja yang tahu. Anida saja, enggak kami beritahu. Tamara kemarin menduga, tapi tepat dugaannya. Demikian juga Mbak Ninik 'kan, yang tahunya pernikahan kami karena berasumsi.""Tunggu, memang Rani belum ada tanda-tanda ...." Mbak Ninik melanjutkan ucapan dengan menggerakkan telapak tangan di depan perutnya.Bukannya menjawab, Ryan malah terkekeh. Mbak Ninik membulatkan matanya, atas prasangka sendiri."Pantesan dianya mau nyerah jadi istrimu. Cepat perbaiki sikapmu, Yan. Jangan sampai Kembar beradaptasi lagi dengan ibu tiri yang lain.""Memang aku ada tampang, suami enggak setia, Mbak? Selama masih ada Rani un
Ryan memelankan laju mobilnya, menurunkan kaca menyapa satpam yang berjaga di pos gerbang cluster Ganesha."Kenapa?" tanya Ryan kemudian karena dilihatnya Rani menghembuskan nafas beratnya. "Apakah kau tidak akan pernah siap menjadi istriku, Rani. Karena ada pria lain yang kau inginkan menjadi pendampingmu.""Siapa?" pancing Rani bertanya."Radit." Tepat di saat Ryan menyebutkan nama sahabatnya itu. Pandangan keduanya tertuju pada mobil putih yang terparkir di carport rumah Ryan.Rani amat mengenal siapa pemilik mobil itu. Mobil dengan logo rumah sakit Muslimat tempatnya bekerja sebagai perawat di sana."Mas Radit, kenapa bisa sampai kemari," gumam Rani seraya melirik Ryan yang mengernyit. Seolah penasaran dengan tamu yang bertandang ke rumah barunya.Ryan memarkirkan mobil putihnya tepat di sebelah mobil hitam yang terparkir di carport rumahnya."Masuklah dulu, lihat anak-anak ... aku turunkan belanja untuk dibawa ke dapur," pinta Ryan pada Rani karena pastinya anak-anak mencari mam
Ryan memeluk dengan begitu erat. Kedua tangan Rani hanya bisa terkulai bebas di samping badannya."Maafkan aku, Rani. Maaf, maaf, maaf ... untuk semua sikap kasarku selama ini. Aku suami yang sangat dzolim padamu. Radit sudah bercerita semuanya, aku yang salah karena menyimpulkan sendiri tanpa mencari tahu kebenarannya."Ungkapan maaf dari Ryan barusan bagaikan aliran air dingin membasahi dahaga seorang musafir. Begitu menyejukkan, hingga tanpa diminta tangis haru Rani membasahi kedua pipinya. Demikian juga Ryan, tangis sesal juga tak bisa ia bendung."Semoga aku tidak terlambat untuk meminta maaf padamu."Rani menggelengkan kepalanya. Mungkinkah doa-doa panjangnya telah dikabulkan oleh Yang Kuasa. Di saat ia hampir menyerah, Allah kirimkan Radit untuk membuka takbir salah paham Ryan selama lima tahun ini."Mas berangkat ke kantor dulu. Sekali lagi maaf, dan terima kasih sudah bersabar hingga detik ini, dengan segala kedzoliman yang mas lakukan padamu, Ran." Ryan mengurai pelukannya.
Bu Ilmi, Anida dan Wafa mendampingi Rani. Di belakang mereka ada Umar dan kedua orang tuanya. Mereka duduk berseberangan dengan keluarga besar dari Ryan.Dari keluarga Ryan. Ada Faiq berdampingan dengan Aisha. Tak ketinggalan sahabat dari Bu Ilmi yakni Bu Dewi, nenek Ryan yang ditemani oleh Tamara, Aida serta Syarifah mama mereka. Ryan sendiri diapit oleh Azzam, sepupunya dan Faiz. Papa dari Faiq, adik kandung ibu Ryan.Suasana mendadak hening saat Ryan kembali menjabat tangan Leo Bagaskara selaku wali dari Raisa Maharani, istrinya. Bedanya di samping Leo sekarang ada bapak penghulu yang menyertai prosesi ijab kabulnya kali ini.Akad nikah berjalan lancar. Ryan mengucapkan ijab kabul dengan sangat lantang dan tegas dalam satu kali tarikan. Semua orang berada di dalam masjid menyaksikan pernikahan Ryan dan Rani menyuarakan kata 'sah' tak kalah antusias dengan pria yang mengucap akad nikah itu. Setelahnya bapak penghulu memimpin doa untuk kebahagiaan kedua pempelai.Usai akad nikah di m
[Tamara itu Ryan menikah dengan siapa?]Ada pesan masuk, mengomentari status whatsapp yang Tamara unggah pagi tadi.[Dengan adik angkat dokter Felliana, Bibi Neli] Balas Tamara dengan hati berdebar. Lucia, sepupunya pernah bercerita. Istri dari pamannya itu, menentang keras niat Ryan menikahi Rani lima tahun lalu.[Kok, enggak ada yang kasih tahu kami, Tamara]Protes bernada tidak terima terbaca dalam pesan bibi Tamara itu.[Bibi 'kan, sedang menemani paman tour wisata. Jadi tidak mungkin datang. Kami pun baru diberitahu Mas Ryan malam Jumat kemarin 😊] balas Tamara.[Malam Jumat! Baru tidak ada yang mengabari kami] cerca Bi Neli dalam pesannya lagi.Tamara bukannya tidak mau memberitahu bibinya itu. Namun, Bu Dewi sang nenek sudah melarangnya saat akan memberitahu undangan akad nikah Ryan dan Rani. Untuk alasannya, Bu Dewi hanya mengatakan tidak suka kalau bibinya itu hadir di acara bahagia pimpinan Giro Albanna itu.[Andai diberitahu. Bibi tidak bisa hadir juga. Karena baru besok '