Hari ketiga dirawat di rumah sakit. Rani meminta Ryan untuk menguruskan kepulangan. Ia sudah merindukan kedua anak mereka."Mas tidak berani memutuskan sendiri. Kita tunggu apa kata dokter. Setelah itu pertimbangan dari mama Ilmi.""Kurasa aku sudah cukup istirahatnya, Mas. Di sini aku tak melakukan aktivitas apapun. Nanti Mas Ryan bantu aku ngomong sama Mama, ya."Rani merasa kesehatannya telah pulih, kondisi badannya kembali fit pasca keguguran. Di rumah sakit dirinya memang dia diperbolehkan beraktivitas berlebihan. Kondisinya pun terus mendapat pantauan langsung dari dokter kandungan."Mau ke rumah kita atau tetap ke rumah mama Ilmi?" tanya Ryan seraya membelai pipi wanitanya itu."Senyamannya Mas Ryan saja. Aku ikut.""Kalau pemeriksaan dokter menyatakan sudah pulih. Kita pulang ke rumah kita saja, ya.""Hu um." Rani mengangguk seraya tersenyum menatap pria di depannya itu."Sayang, Mas tanya sekali lagi. Benar, kamu tidak mau mengusut kasus ini. Atau sebenarnya kamu sudah tahu.
"Sungguh aku iri padamu. Ingin aku menggantikan posisimu sekarang. Dan itu tidak akan terwujud kalau kau masih bernyawa, Rani."Setelah berkata demikian Lucia bangkit dari duduknya menerjang tubuh Rani. Hingga keduanya terjatuh ke karpet. Lucia berada di atas tubuh Rani."Kalau gagal membunuhmu dengan tangan orang lain. Mungkin sudah saatnya kau mati di tanganku sendiri." Lucia mencekik kuat leher Rani dengan kedua tangannya.Rani yang tidak menyangka akan diserang demikian. Napasnya tersenggal, lidahnya hampir terjulur.Hingga"Anak kurang ajar!" teriak seseorang yang membuat Lucia merenggangkan cekikannya.Kepala wanita itu dihantam sekuat tenaga oleh tas yang dibawa seseorang yang terlihat samar oleh penglihatan Rani. Namun, ia hafal suara sosok yang datang menyelamatkannya barusan."Kak Rani!" seru Aida panik. Sepupu Lucia itu menghampiri Rani yang terbaik berkali-kali dengan nafas terengah-engah."Nenek pastikan kali ini, kamu meringkuk dalam penjara, Lucia." Bu Dewi memukulkan t
Tiga tahun kemudian "Papa, berangkat dulu ya, Farraz. Baik-baik sama Mama." Ryan menciumi wajah batita dalam gendongannya. Bocah yang sebentar lagi menjadi kakak itu, terkekeh geli dengan ulah papanya. Farraz Putra Edogawa, putra ketiga Ryan."Mas sudah bikinkan janji periksa untuk nanti sore. Semoga dedeknya enggak malu lagi, dilihat identitinya." Ryan beralih mencium kening Rani. Istrinya itu tersenyum seraya mengangsurkan tas kerja milik suaminya."Iya, Mas. Hati-hati bawa mobilnya, ya," balas Rani meraih tangan kanan suaminya untuk salim lantas diciumnya dengan takzim."Mas jadi pingin makan rujak, ya," ujar Ryan sembari mengecap dan mendesis mirip ekspresi orang makan rujak manis, asam, pedas.Rani tertawa geli melihat ekspresi suaminya. Diraihnya tubuh Farraz dari gendongan Ryan. Kemudian menggendong putranya itu, di sisi pinggang kanan."Assalamualaikum," sapa Tamara mengandeng bocah sepantaran Farraz. Disusul Radit dibelakang mereka berdua."Dari bangun Subuh tadi. Sudah heb
Peri menatap nanar map di atas meja tamu kediaman Umi Hanifah. Angan yang dia harapkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang didengarnya barusan.Barusan Umi Hanifah menyampaikan, proses ta'aruf antara dirinya dan Umar ada kemungkinan tidak bisa dilanjutkan.Umar sebelum bertemu dengan Peri, telah bercerita semuanya dengan Ustad Mukhlis, alasan tidak dapat melanjutkan ta'aruf. Bahwa dia dijodohkan dengan anak sahabat bapaknya. Dirinya tidak dilibatkan, dengan kata lain dia tidak mengetahui perihal perjodohan ini."Maaf, tidak ada maksud saya mempermainkan perasaan anti, Ukh .... " ucap Umar sebelum beranjak meninggalkan ruang tamu kediaman ustadzah Hanifah."Tak mengapa, Akh ... semoga kita berdua dipertemukan dengan jodoh terbaik," balas Peri lirih. Umi Hanifah selaku murabbi Peri, sekaligus kepala sekolah TA Al Furqon itu mengelus punggung binaannya seraya memberi dukungan untuk sabar dan ikhlas."Aamiin."Dengan perasaan bersalah, Umar menatap getir ke arah perempuan yang ta
"Eh Paman, serius dengan perjodohan ini. Ntu sekalinya betulan ABG. Baru masuk kelas 12. Hari ini dilamar, baru nikahnya tahun depan gitu," ucap Anida melirik ke arah pamannya. "Mana, Paman tahu." Umar menatap lekat Denok yang berjalan di depan mereka.Setelah menaruh barang bawaan mereka. Anida menghampiri Denok meminta izin untuk ke belakang."Paman tungguin ya, sekalian ajak pedekate calon bibiku." Kerling Anida sebelum berlalu. Ingin rasanya Umar menjitak anak semata wayang kakaknya itu.Denok mengangguk sopan berjalan ke arah Umar. Gadis basa-basi menyapa sebelum berlalu meninggalkan kedua tamu."Maaf, saya tinggal masuk dulu ya, Mas. Mau bantu nyiapin makan siang." Pamit Denok ketika akan melewati Umar."Tunggu!" cegah Umar.Denok berhenti sekitar tiga langkah dari Umar."Iya, Mas."HuufftsUmar menghembuskan nafas, untuk mengurangi sesak di dadanya sedari tadi."Maaf sebelumnya, tapi saya harus mengatakan ini. Saya pribadi keberatan dengan perjodohan ini. Beberapa minggu yang
PrologRyan mencengkeram lengan tangan Rani, menatap tajam seraya berkata, "Kau memang pernah menjadi wanita yang kucintai. Tapi jangan bermimpi bisa mengantikan posisi seorang Felliana di hatiku. Dia tidak pernah bisa tergantikan oleh siapapun."Ryan hempaskan lengan Rani dengan kasar kemudian bergegas masuk ke rumah. Rani menatap punggung suaminya dengan hati nestapa. Ia berharap hatinya membatu oleh perlakukan kasar Ryan."Sesungguhnya Allah lebih mengetahui segalanya. Teruskan berdoa. Jangan pernah menyerah saat doa-doamu belum terjawab. Jika kamu mampu bersabar, Allah mampu memberikan lebih dari apa yang kamu minta."Nasehat serta kasih sayang dari Bu Ilmi yang membuatnya mampu bertahan. Selama seratus hari ini menjadi istri seorang Ryan Edogawa. Pria yang pernah ditolak lima tahun lalu saat hendak meminangnya."Ingat, Nak! Dosa dzolim mengabaikan istri, terlebih berperilaku kasar. Jangan kau kira mama tidak tahu apa yang kau lakukan pada Rani. Selama kalian tinggal di rumah mama
Ryan menghampiri Felliana yang melamun di balkon kamar mereka. Hatinya merasa beberapa hari ini, sang istri kerap berlaku aneh. Sering didapati termenung dengan mata berkaca-kaca. Jika ditanya, Felliana menjawab dengan seulas senyum."Sebenarnya ada apa, Bun?" tanya Ryan melingkarkan tangan pada pinggang istrinya.Felliana sedikit kaget namun berusaha untuk tetap tenang. Dagu Ryan menempel pada pundaknya. "Bunda seperti bukan seseorang yang sangat Ayah kenal selama ini. Ada apa? Apa Ayah telah melakukan kesalahan?" Hembusan napas Ryan membuat bulu-bulu halus di leher Felliana memang. Ryan membalik tubuh istrinya, saat ia menunduk hendak memberikan kecupan di bibir. Felliana menggeleng, menaruh keempat jari ada bibir suaminya."Kenapa beberapa hari ini, Bunda selalu menolak Ayah sentuh?" pertanyaan Ryan dijawab gelengan kepala istrinya. Sepasang mata itu tiba-tiba berkaca. Mengusap wajah sang suami perlahan, kemudian mendekap erat disertai tangisannya di dada. "Aku sangat mencintaimu
2. Terus Terang Bu Ilmi mengurai pelukan pada putrinya. Sedih sudah pasti, apalagi Felliana adalah putri satu-satunya. Tempat bergantung di hari tua. Namun, semua harus pasrah dan ikhlas atas kehendak Sang Pencipta. "Ryan harus tahu tentang sakitmu, Liana. Setidaknya untuk menjawab pertanyaannya kenapa beberapa hari ini, kau menghindarinya. Sebulan kalian tidak bersua, akan aneh rasanya tiba-tiba kau menghindarinya terus.""Aku juga meminta Mas Ryan menikah lagi, Ma. Tapi, dia enggak mau.""Bukannya kalau dia langsung setuju, malah akan membuatmu sakit hati. Jangan gegabah dalam bertindak, pikirankan anak-anak. Tidak sulit bagi Ryan untuk menikah lagi. Tapi, bisa tidak istrinya nanti jadi ibu yang baik buat anak-anakmu.""Mungkin aku yang akan mencari perempuan penggantiku nanti, Ma.""Jangan menambah bebanmu dengan memikirkan hal itu. Bicara dulu dengan suamimu, mengenai sakitmu ini. Beristirahatlah, mama akan melihat kembar." Setelah berkata demikian Bu Ilmi mencium pucuk kepala p