Share

Bab 1. Permintaan Seorang Istri 

Ryan menghampiri Felliana yang melamun di balkon kamar mereka. Hatinya merasa beberapa hari ini, sang istri kerap berlaku aneh. Sering didapati termenung dengan mata berkaca-kaca. Jika ditanya, Felliana menjawab dengan seulas senyum.

"Sebenarnya ada apa, Bun?" tanya Ryan melingkarkan tangan pada pinggang istrinya.

Felliana sedikit kaget namun berusaha untuk tetap tenang. Dagu Ryan menempel pada pundaknya. "Bunda seperti bukan seseorang yang sangat Ayah kenal selama ini. Ada apa? Apa Ayah telah melakukan kesalahan?" 

Hembusan napas Ryan membuat bulu-bulu halus di leher Felliana memang. Ryan membalik tubuh istrinya, saat ia menunduk hendak memberikan kecupan di bibir. Felliana menggeleng, menaruh keempat jari ada bibir suaminya.

"Kenapa beberapa hari ini, Bunda selalu menolak Ayah sentuh?" pertanyaan Ryan dijawab gelengan kepala istrinya. Sepasang mata itu tiba-tiba berkaca. Mengusap wajah sang suami perlahan, kemudian mendekap erat disertai tangisannya di dada. 

"Aku sangat mencintaimu, Mas," ujar Felliana di antara sedu sedan. Istrinya tidak membahasakan Ayah padanya melainkan panggilan seorang kekasih pada pasangannya.

Ryan tersenyum mendengarnya. Tentu hal yang sangat membahagiakan saat istrinya mengungkapkan perasaan cinta padanya. Ryan pun mengusap-usap punggung wanita terkasihnya, "Iya, Mas tahu itu. Mas juga sangat mencintaimu, Dik. Tapi … bukan karena itu 'kan, kamu agak lain belakangan ini?"

Felliana masih terdiam. Tak ada jawaban apapun keluar dari bibir itu. Bahkan ketika Ryan mencoba merayu dengan sentuhan seperti biasanya. Ia kembali mengelak. 

"Maaf, aku tidak bisa melayanimu lagi, Mas."

Ryan mengernyit kemudian memicingkan matanya. "Boleh mas tahu alasannya. Kalau saat ini lagi berhalangan. Jangan memakai kata tidak bisa melayani mas lagi, Sayang."

"Mas, maukah memenuhi permintaanku?"

"Apa itu?"

"Berjanjilah dulu, Mas."

"Iya, tapi apa dulu? Enggak mungkin mas berjanji jika tidak mampu melakukan."

Felliana mendongak, lantas perlahan mendorong tubuh Ryan. "Aku sudah memikirkan dengan matang. Berjanjilah, Mas, kamu akan memenuhi permintaanku ini," pintanya kembali.

"Iya, tapi dalam hal apa dulu, Sayang?" Ryan makin tidak mengerti dengan apa yang Felliana  maksudkan.

Ryan berpikir sejenak, lalu berkata, "Baiklah, kalau mas berjanji memenuhi permintaanmu. Kau akan jujur membagi masalahmu dengan suamimu ini, Dik?"

Felliana tersenyum. Lantas perlahan mencium kedua pipi suaminya. "Aku ingin Mas Ryan menikah lagi. Demi masa depan anak-anak, supaya mereka mendapatkan kasih sayang yang lengkap. Mas Ryan juga perlu seorang pendamping untuk menjaga Anida dan kembar."

"Sebentar. Apa tadi, meminta suamimu ini menikah lagi, Dik. Terus apa tadi alasanmu memintaku menikah, untuk anak-anak dan aku." Ryan menggelengkan kepala tak percaya dengan permintaan istrinya barusan.

"Iya, Mas. Menikahlah lagi dengan perempuan yang tulus bisa menyayangi anak-anak kita," mohon Felliana kemudian.

"Enggak, permintaanmu ini diluar dugaanku, Dik. Mana mungkin ada seorang istri yang meminta hal ini pada suaminya." Ryan mengguncangkan bahu Felliana.

"Mas Ryan sudah berjanji tadi."

"Permintaanmu pengecualian. Aku tidak akan pernah menduakanmu, Dik." Ryan merengkuh tubuh istrinya kembali. "Katakan yang sejujurnya. Apa yang membuatmu meminta hal seperti tadi. Anak-anak akan lebih baik dijaga oleh ibu kandungnya sendiri. Dan itu kamu sendiri."

"Sebesar apapun cintaku pada kalian. Nyatanya takdir berkata lain. Dan aku harus mempersiapkan diri dari sekarang. Membantumu memilih wanita yang tepat untuk menjaga anak-anak kita."

"Hai, apa kau sakit?" pertanyaan Ryan membuat istrinya tergugu semakin mengeratkan pelukan.

"Andai benar. Kita akan tetap bersama. Mas akan mendampingimu, Dik. Jangan meminta sesuatu yang nantinya menyakiti perasaanmu."

"Tapi ...."

"Sudah. Kamu tampak kelelahan. Istirahatlah, mas lihat anak-anak dulu." Ryan mengecup lembut kening istrinya. Merangkulnya menuju pembaringan. Membiarkan istrinya beristirahat pilihan terbaik bagi Ryan saat ini.

🌹🌹🌹🌹

"Semalam pulang jam berapa, Nak?" tanya Bu Ilmi pada menantunya saat dilihatnya Ryan keluar dari kamar putrinya.

"Hampir jam dua belas malam, Ma. Pesawatnya delay kemarin."

"Oh, begitu. Nak, apa kau merasakan istrimu berubah akhir-akhir ini." Bu Ilmi menatap wajah menantunya yang juga menyimpan banyak tanya mengenai perubahan putri tunggalnya.

"Entahlah, Ma. Saya sendiri juga binggung. Semoga semuanya baik-baik saja. Permisi, mau melihat kembar, Ma. Kangen rasanya tidak menyapa mereka berdua."

"Iya. Anak-anak diajak main di belakang sama para baby sitternya." Ryan mengangguk kemudian berlalu menuju teras belakang dimana kedua anaknya berada.

Bu Ilmi bergegas menuju kamar putrinya. Setelah mengetuk dua kali. Beliau menggerakkan handle pintu ke bawah. Pintu kamar Felliana terbuka. Begitu pintu dibuka nampak sang putri termenung dengan memeluk kedua lututnya.

"Liana, kamu kenapa, Sayang?Jangan membuat khawatir mama."

Felliana mengusap jejak air matanya. Ia tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala.

"Enggak ada apa-apa, Ma."

"Jangan membohongi mama, Liana. Ayo cerita, sebenarnya ada apa. Ryan barusan mama tanya juga tidak tahu. Jangan membuat kami kebingungan dengan bermacam praduga."

Felliana bergeming dengan pandangan nanar mendongak seolah menahan diri supaya air matanya tidak jadi tumpah.

"Dua hari ini, mama perhatikan kembar minum susu formula. Mama tanya baby sitter, katanya stok asi sudah habis karena kamu sudah lama tidak memompa lagi."

"Iya, Ma. Sudah ada sebulan aku tidak memompa asiku lagi."

Bu Ilmi nampak terkejut, karena putrinya ini seorang dokter, pasti tahu minuman terbaik untuk bayi adalah ASI. Bahkan Felliana dulu berkeinginan memberikan ASI sampai kembar berusia dua tahun. 

"Kenapa, Nak? Apa kamu sakit?" pertanyaan Bu Ilmi membuat putrinya menangis kembali.

"Cerita sama mama. Sebenarnya ada apa? Jika memang kau sakit. Sakit apa?"

"Ma, aku tertular HIV."

"Apa!" pekik Bu Ilmi nyaris histeris. Melihat putrinya mengangguk lemah, dunianya serasa runtuh. 

"Sebulan yang lalu saat aku menyuntik pasien. Belum selesai obat yang kusuntikan ia berontak hingga jarum suntik itu tertancap di lenganku sendiri."

"Astaghfirullah!" Bu Ilmi menutup mulut dengan kedua tangannya. Tangis histeris tak dapat terbendung lagi, sungguh buruk bayangan-bayangan yang berkelebatan dalan benaknya jika harus ditinggal putri tunggalnya. 

"Hasil medisku keluar seminggu yang lalu. Saat tes aku berharap adanya keajaiban. Yang terjadi malah sebaliknya. Virus sudah mulai menyebar karena pasien kemarin positif AIDS stadium akhir." Felliana tergugu dalam pelukan mamanya.

Bu Ilmi mencoba tegar, putrinya sekarang sangat butuh dukungan dari keluarga, terutama dirinya dan Ryan. "Kita akan melewati ini bersama-sama, Nak. Jangan khawatir, yakinlah saat Allah memilihmu menjalani takdir ini. Berarti engkau sanggup melalui ujian dari-Nya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."

Felliana semakin mengeratkan pelukan pada mamanya. Tempat ternyaman baginya membagi segala kesedihan selama ini. Setiap permasalahan yang ia hadapi selalu ada saran dan solusi yang mamanya berikan secara bijaksana. Pun saat ini, dirinya berani berkata jujur karena ingin segala beban pikiran dapat teratasi. Termasuk mencarikan calon pendamping untuk suaminya kelak saat dirinya tak ada.

☘☘ Next ....

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status