Ryan meninggalkan Rani tanpa menoleh lagi. Bahkan sekedar basa-basi memberikan ongkos taksi pun tidak. Bersyukur Rani bawa tasnya tadi. Menghembuskan napas sesaat sebelum akhirnya berjalan menuju trotoar.
"Andai Mas Ryan tahu kebenarannya. Alasanku dulu menolaknya. Apakah sikapnya akan berubah padaku," batin Rani bersuara.Tetiba seolah tersadar dari lamunannya Rani menggelengkan kepalanya. Saat itulah beberapa langkah di depannya nampak Umar bersandar di pintu mobil seraya bersedekap memperhatikan dirinya."Sadar enggak, dari tadi kuperhatikan dirimu kayak orang stress tingkat dewa." Umar melompat kecil naik ke trotoar untuk menghadang Rani.Rani terkekeh mendengar ucapan Umar. Setidaknya hanya Ryan saja yang tidak menyukai kehadirannya di rumah Bu Ilmi. Namun demikian, Rani merasa tidak nyaman bila harus tinggal terlalu lama."Aku besok pulang, Mas Umar. Pamit sekalian mumpung kita ketemu di sini. Aku duluan, ya," ujar Rani melambai ke arah ojek online yang telah dipesannya. "Eh, tunggu!" Umar mengejar Rani yang sudah menerima helm dari pria ojek online.Umar merebut helm dari tangan Rani, kemudian mengangguk menyerahkan kembali pada empunya."Maaf, enggak jadi, Bang." Dirogohnya dompetnya, kemudian diangsur uang seratus ribu pada pria itu. "Apa-apaan sih, kamu ini. Orang sudah di tungguin juga masak naik ojek.""Lha, Mas Umar yang apa-apaan. Itu ojek kupesan sejak keluar dari baby shop tadi. Ya, mana tahu Mas bakalan mangkal di sini.""Hah? Sekate-kate memang kalau ngomong. Dibilang kita mangkal lagi. Tadi, tante bilang kamunya beli susu di baby shop biasanya tempat belanja kebutuhan si kembar. Kemarin kubilang bakal ke rumah. Makanya, diminta samperin kamu sekalian. Ini kan sejalan mau ke rumah tante Ilmi.""Perasaan, tiap hari mampir ke rumah.""Ya, gue 'kan apelin lu. Masak situ enggak merasa, sih.""Hah?""Sok kaget lagi. Hai, Non ... dengar ya, aku tuh bukan pengangguran. Jadi, saat aku main ke rumah tante Ilmi itu statusnya PDKT. Pekerjaan terselubung dalam rangka mencari pendamping hidup."Rani tak bisa menahan tawanya, mendengar penuturan Umar. "Bercandanya kurang lucu. Syukurnya aku bukan tipe cewek baperan. Jadi, biasa saja. Digombalin gitu."Umar membuka pintu depan mobilnya meminta Rani masuk ke dalam. Gadis itupun masuk, memangku belanjaan di atas pahanya."Besok aku antar lagi, ya," tawar Umar melirik gadis di sampingnya. Pandangan sesekali melihat spion karena jalanan mulai padat oleh sesama pengguna jalan raya."Gosah, Mas. Terimakasih! Aku pulang bareng Leo, adikku. Kebetulan dianya ingin pulang ke rumah kami.""Adikmu itu, sudah bekerja?" "Kemarin perusahaan tempatnya magang. Begitu selesai wisuda diminta masuk ke sana lagi. Langsung ditawari sebagai pegawai tetap bilangnya.""Syukurlah. Saat sebagian orang sibuk mencari kerja. Dianya sudah punya kerjaan," ucap Umar sok bijak.Rani memicingkan mata, melirik ke arah Umar. "Mas Umar tiap hari ke rumah. Apa pengangguran?""Ck, tadi udah kubilang 'kan. Aku tuh bukan pengangguran. Memang benar tidak kerja kantoran seperti menantu kesayangan tante Ilmi itu. Tapi, ada juga kerjaanku kok, amanlah bisa nafkahi kamu.""Mulai deh, ngegombal.""Aku harus kerja cepat ini. Takutnya kalah cepat dengan dokter Radit.""Hah?""Nah, kan pura-pura lagi. Itu dokter juga naksir kamu. Masak kamunya enggak tahu.""Tahulah. Orang dia pernah bilang," gumam Rani seraya tersenyum.***Rr***Setibanya di rumah Bu Ilmi. Rani langsung membawa belanjaan ke ruang belakang. Dimana ada meja khusus untuk menaruh dan membuatkan susu untuk kembar."Aduh, duh ... mau gendong ya, Sayang. Sebentar ya, tante cuci tangan dulu," sapa Rani pada Fatih yang merangkak cepat ke arahnya."Nanti, kita bikin anak kembar kek mereka," celetuk Umar saat Rani mengendong Fatih.Rani tidak menanggapi serius ucapan Umar. Dirinya berjalan mendekati Fathiya yang heboh minta untuk digendong dirinya. Padahal baby sitternya masih sibuk membujuk untuk duduk anteng menghabiskan makannya."Ran, ikut kakak sebentar ,yuk," ajak Felliana seraya menepuk bahu Rani. Rani menganggukan kemudian mengikuti kakak angkatnya itu meninggalkan ruang belakang.Felliana mengajak Rani ke ruang kerja almarhum papanya. Sekarang tetap difungsikan sebagai ruang kerja Ryan dan tempat penyimpanan peralatan medisnya.Keduanya duduk di sofa berbentuk L. Felliana duduk tepat di siku sofa, sedangkan Rani berada di sebelah kanannya."Sekarang jujur sama kakak. Apakah antara kamu dan Mas Ryan dulu ada hubungan?" Felliana langsung to the point menanyakan pertanyaan yang disimpannya selama hampir sepekan ini.Dengan tegas Rani menggelengkan kepala karena memang diantara mereka berdua tidak ada komitmen hubungan apapun. Selain ia tolak, lamaran Ryan waktu itu."Tapi, kalian sudah kenal sebelumnya."Rani mengangguk. "Mas Ryan salah satu murid almarhum bapak di Sanggar.""Oh, begitu. Sudah terhubung sekarang dengan foto yang kakak lihat di kamarnya mas Ryan. Waktu kami berkunjung ke rumah Oma Dewi.""Foto apa, Kak?""Sebentar, seingat kakak, foto itu kakak ambil. Karena waktu beberes, kakak pikir foto itu salah satu barang yang wajib dibawa kemari." Felliana berjalan menuju meja kerja suaminya. Ada laci paling bawah yang biasanya jarang dibuka oleh Ryan. Karena di sana tersimpan album foto dan berkas lama. Istri Ryan itu berharap menemukan foto berbingkai yang diceritakan pada Rani tadi.Namun ia tidak menemukan apa yang dicarinya di sana. Padahal ia yakin pernah membawa foto itu dan menaruhnya di laci paling bawah. Mencoba membuka laci nomer dua dari bawah, lanjut ke atasnya hingga laci paling atas. Dan tidak disangka foto itu berada di laci paling atas. "Dapat, Ran!" pekik Felliana senang. "Tapi, kemana figuranya, ya."Rani beranjak dari tempat duduknya menghampiri Felliana. Rupanya itu foto yang sama yang dilihat olehnya kemarin. Bisa jadi memang Radit mencetak lebih dari satu waktu itu. Karena saat turnamen, Radit yang membawa camera untuk mengabadikan momens pertandingannya. Waktu itu dirinya duduk di bangku kelas 2 SMK."Gadis di foto ini, kamu 'kan. Sekarang kamu menjadi perempuan yang cantik dan sholehah. Enggak kebayang, tomboynya kamu waktu itu, ya Ran." "Sekarangpun masih. Enggak banyak yang berubah, Kak. Yang membedakan dengan yang difoto hanya hijabnya doang. Inipun awalnya karena tuntutan magang di rumah sakit Muslimat dua tahun lalu.""Harus disyukuri itu bisa istiqomah hingga sekarang. Lebih baik, memaksakan suatu kebaikan, bukan. Biar nantinya akan menjadi kebiasaan.""Hu um, Kak. Alhamdulillah lingkungan kerja juga mendukung sih, makanya saya setelah lulus aku melamar jadi perawat di sana.""Oh iya. Enggak terasa ya, waktu begitu cepat berlalu. Kakak masih ingat lo, mengantar kamu daftar masuk kuliah perawatan lima tahun yang lalu." "Rencana mama dulu. Kalau kakak buka praktek aku yang jadi asistennya," sambung Rani.Keduanya langsung tertawa mengingat momens itu. Hingga Felliana refleks membalikkan foto. Keduanya saling pandang saat membaca tulisan di balik foto itu. Tiada maaf untuk seorang pengecut dan penghianat "Bisa kau jelaskan maksud, kenapa mas Ryan bisa menulis ini foto kalian?"🌾🌾 Next ...Dalam hidup kita, pasti ada satu nama yang selalu terkenang. Bukan karena tak ingin melupakan, tetapi Tuhan memang menciptakan kenangan itu untuk menetap.Bahkan terkadang waktu tak mampu memainkan perannya, menghapus angan akan kenangan itu. Ingatan kita masih saja tetap segar tentangnya. Tentang semua kebaikannya.Tak dapat dipungkiri saat di ujung kenangan itu hadir. Si empunya kenangan akan menangis berharap semua kembali di waktu itu. Andaikan dulu berkata bersedia, akankah sekarang diri akan berbahagia. Hidup bersama dengannya, saling menjaga dan mencintai.Dan Rani berusaha mengikhlaskan semua itu. Berharap jika suatu waktu dipertemukan kembali dengan Ryan. Keduanya dalam keadaan hati yang terjaga dan baik-baik saja. "Ran, bisa kau jelaskan. Maksud tulisan mas Ryan ini." Untuk kedua kalinya Felliana menanyakan hal yang sama."Ada baiknya masa lalu tidak perlu untuk diungkit kembali. Toh, kita tidak mungkin kembali ke masa itu, Kak.""Masih tidak mau menjawab," pancing Felliana
Felliana mengelus lembut rambut sebahu putrinya. Pasmina yang dikenakan tadi tersampir di bahunya."Anida, Bunda paham mempertahankan juara itu, lebih sulit daripada meraihnya. Tapi, jangan terlalu memfosir dirimu. Pandai dalam akademik memang membanggakan, Nak. Tapi, Bunda akan lebih bahagia jika putri sulung ayah Aziz ini. Jadi putri yang sholehah, yang selalu dekat dengan Allah.Beragama itu nurut, enggak ada tapinya. Selagi termasuk dalam perintah Allah, itu wajib hukumnya, kita laksanakan. Kakak sebentar lagi sweet seventen. Bagi bunda, Anida sudah bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Segera tutup aurat kakak. Ingat pesan bunda, perempuan dihormati karena bisa menjaga marwahnya.""Iya, Bunda. Anida nunggu hati mantep dulu, untuk pakai jilbab. Supaya tidak pakai-copot.""Lha kenapa harus begitu. Sudah tahu perintah, ya harus dilaksanakan 'kan. Salatnya jangan suka bolong. Besok Kak Rani sudah pulang. Enggak ada lagi yang ingatin terus untuk salat."Anida menatap manik mata bu
"Yaa Allah ... Liana. Jangan sampai Engkau ambil istriku sekarang, Yaa Rabb. Hambamu belum siap." Bumi serasa bergetar bagi Ryan saat menyibak kerumunan. Nampak Felliana tergeletak dengan darah mengalir dari balik jilbabnya. Bersamaan itu datang ambulance. Bisa jadi pemilik baby shop yang menghubungi rumah sakit terdekat. Ryan segera ikut naik ke ambulance. Ambulance melaju cepat menuju RS.Pertamina yang paling dekat dengan lokasi kecelakaan. Ryan tiada berhenti berdoa seraya mencium kedua tangan istrinya.Sesampai di rumah sakit. Felliana segera ditangani rekannya di IGD. Tim medis bertindak sigap. Sedangkan Ryan menunggu di depan ruang IGD dengan kecemasan membuncah. Hingga ia tersadar, ponsel di sakunya bergetar. Panggilan dari Bu Ilmi nampak di sana.Dengan suara serak, Ryan mengabarkan apa yang terjadi kepada ibu mertuanya. Masih dengan tenaga yang tersisa ia bangkit menuju ke kursi pasien yang berjejer di samping pintu masuk IGD."Mungkin kita akan melakukan operasi untuk meng
Gundukan tanah merah di depan mereka menjadi saksi kesedihan anggota keluarga Felliana dan Ryan. Banyak rekan kerja dan sejawat Felliana yang hadir dalam pemakaman. Semua sedih, karena harus kehilangan rekan kerja sekaligus sahabat yang solid juga baik hati."Mengikhlaskan memang butuh waktu, Nak. Namun, janganlah sampai kau meratap. Kasihan Liana yang melihat keputusasaan kita yang ditinggalkannya. Ingatlah Fatih dan Fathiya sudah kehilangan bunda. Jangan sampai, merasa kehilangan kedua orangtuanya." Nasehat Bu Ilmi sembari menepuk bahu menantunya.Saat kita bilang 'aku ikhlas', penegasan kalimat itu bukan berarti rasa itu akan seketika muncul.Hal ini, hampir terjadi di semua orang. Apa lagi kehilangan seorang istri, itu yang dirasakan Ryan.Sedangkan Rani cukup tahu diri, akan posisinya di rumah Bu Ilmi. Kehadirannya tidak lebih sebagai pengasuh. Untuk kedua anak Felliana dan Ryan yang masih membutuhkan perhatian seorang ibu.Kecelakaan yang dialami oleh Felliana mengurungkan niatn
"Tamara!"Seorang pria berseru memanggil Tamara. Kebetulan Tamara berjalan paling belakang saat keluar dari mobilnya tadi.Keluarganya ingin melihat kantor, karena Faiq diminta Pak Faiz untuk melihat keadaan perusahaan. Karena pemiliknya tidak pergi hampir dua bulan."Rayyan," gumam Tamara tersenyum senang. Namun, senyumnya memudar saat disadarinya ada sosok lain di belakang pria itu. "Aku sangat muak dengan kelakuanmu ini. Kuperingatkan, ini terakhir kali kau mengganggu hidupku. Apakah aku perlu adukan perbuatmu ini pada Pak Ryan. Supaya jelas, siapa yang bakal dipertahankan di perusahaannya ini. Aku atau kamu?" Berondong Rayyan sembari mengarahkan telunjuk pada Tamara.Bu Syarifah yang berjalan di depan Tamara. Beriringan dengan Aida, berbalik menghampiri mereka bertiga."Ada apa ini?" tanya Bu Syarifah menyela, berupaya menengahi Rayyan dan Tamara.Tamara tampak tak nyaman dengan pertanyaan mamanya. Apalagi diharapannya ada Faiq dan Aisha. Mau ditaruh mana mukanya, saat keluargan
Hari itu seperti biasanya, usai sarapan dengan keluarga, Ryan menuju ke ruang kerjanya. Bu Ilmi memberi isyarat Rani untuk mengikuti suaminya itu. Semalam mama dari Felliana itu telah berbicara kepada Rani untuk mengingatkan Ryan pada tanggungjawab dia di perusahaan dan sebagai kepala rumah tangga."Mas Ryan boleh aku bicara sebentar," pinta Rani menyeimbangkan langkah lebar suaminya menuju ruang kerja yang bersebelahan dengan kamar tamu, tempatnya beristirahat selama ini."Memang siapa yang melarangmu untuk berbicara," balas Ryan sinis melirik sembari tetap melangkah pintu ruang kerja."Aku ingin berbicara dengan Mas Ryan.""Oiya. Mau bicara di kamar atau masuk ke dalam," balas Ryan melirik ke arah Rani yang berdiri di sebelahnya."Di ruang kerja, Mas Ryan saja."Ryan membuka pintu, kemudian masuk ke dalam. Rani mengikuti masuk, setelah itu menutup pintu."Kunci saja sekalian.""Enggak perlu. Cukup ditutup, orang akan mengetuk pintu jika mencari keberadaan kita berdua.""Terserah kau
Rani memberanikan diri memasuki ruang kerja yang bersebelahan dengan kamarnya. Ia ingin menemui Ryan. Nampak pria itu fokus menatap layar laptop yang diletakkan di meja depannya dan sesekali melihat ponselnya. "Mungkin sebaiknya, hubungi Mama saja, supaya mampir dibelikan susu dan diapers untuk Fatih dan Fathiya," batin Rani bersuara.Sejak meninggalnya Liana, Ryan seperti trauma untuk belanja kebutuhan kedua anaknya di baby shop Queen. Semua kebutuhan kembar biasanya Bu Ilmi, Anida atau bahkan Umar yang diminta untuk membelanjakannya. Rani mengurungkan niatnya, berbalik dan hendak pergi, tapi suara Ryan menghentikan langkahnya."Ada apa, Ran?""Maaf, sepertinya saya mengganggu.""Dengan kau pergi, tanpa mengatakan sesuatu itu malah jadinya kamu menggangguku. Cepat, katakan! Ada perlu apa denganku.""Susu dan diapers Kembar mungkin hanya cukup sampai sore ini, Mas.""Ya tinggal pesan, biar diantar nanti."Rani terdiam, kalau bicara soal teknis seperti itu. Diapun bisa, masalahnya unt
"Ran," panggil Ryan membuat si empunya nama kaget dan menoleh."Iya, Mas." Rani bersiap menuangkan sop yang ia buat ke dalam wadah saat Ryan berdiri di sisi meja makan seraya menatapnya.Di tangan Ryan ada amplop yang kemudian dia taruh di meja depan Rani. "Gunakan uang ini untuk membayar belanjaan yang dipesan. Sepertinya, salah aku memberimu ATM kemarin. Karena kuperhatikan anak-anak tidak bisa lama kau tinggal pergi."Rani mengangguk. "Mas Ryan mau kusiapkan makan siang. Apa mau pesan makanan seperti kemarin.""Aku tidak suka sop.""Ya sudah, Mas Ryan pesan saja.""Apa kau tidak mau memasak untukku?""Saya tidak tahu selera Mas Ryan.""Kau bisa bertanya, kalau tidak tahu."Rani mengulas senyum tipis. Baginya lebih baik menghindari debat dengan pria di depannya. Fisiknya sudah lelah mengurus pekerjaan rumah, jadi lebih memilih menjaga kewarasan batinnya.Ryan berjalan memutar meja, mendekati Rani. Pria yang memakai kaos merah dan celana sebetis berwarna coklat itu meraih sendok, men