PrologRyan mencengkeram lengan tangan Rani, menatap tajam seraya berkata, "Kau memang pernah menjadi wanita yang kucintai. Tapi jangan bermimpi bisa mengantikan posisi seorang Felliana di hatiku. Dia tidak pernah bisa tergantikan oleh siapapun."Ryan hempaskan lengan Rani dengan kasar kemudian bergegas masuk ke rumah. Rani menatap punggung suaminya dengan hati nestapa. Ia berharap hatinya membatu oleh perlakukan kasar Ryan."Sesungguhnya Allah lebih mengetahui segalanya. Teruskan berdoa. Jangan pernah menyerah saat doa-doamu belum terjawab. Jika kamu mampu bersabar, Allah mampu memberikan lebih dari apa yang kamu minta."Nasehat serta kasih sayang dari Bu Ilmi yang membuatnya mampu bertahan. Selama seratus hari ini menjadi istri seorang Ryan Edogawa. Pria yang pernah ditolak lima tahun lalu saat hendak meminangnya."Ingat, Nak! Dosa dzolim mengabaikan istri, terlebih berperilaku kasar. Jangan kau kira mama tidak tahu apa yang kau lakukan pada Rani. Selama kalian tinggal di rumah mama
Ryan menghampiri Felliana yang melamun di balkon kamar mereka. Hatinya merasa beberapa hari ini, sang istri kerap berlaku aneh. Sering didapati termenung dengan mata berkaca-kaca. Jika ditanya, Felliana menjawab dengan seulas senyum."Sebenarnya ada apa, Bun?" tanya Ryan melingkarkan tangan pada pinggang istrinya.Felliana sedikit kaget namun berusaha untuk tetap tenang. Dagu Ryan menempel pada pundaknya. "Bunda seperti bukan seseorang yang sangat Ayah kenal selama ini. Ada apa? Apa Ayah telah melakukan kesalahan?" Hembusan napas Ryan membuat bulu-bulu halus di leher Felliana memang. Ryan membalik tubuh istrinya, saat ia menunduk hendak memberikan kecupan di bibir. Felliana menggeleng, menaruh keempat jari ada bibir suaminya."Kenapa beberapa hari ini, Bunda selalu menolak Ayah sentuh?" pertanyaan Ryan dijawab gelengan kepala istrinya. Sepasang mata itu tiba-tiba berkaca. Mengusap wajah sang suami perlahan, kemudian mendekap erat disertai tangisannya di dada. "Aku sangat mencintaimu
2. Terus Terang Bu Ilmi mengurai pelukan pada putrinya. Sedih sudah pasti, apalagi Felliana adalah putri satu-satunya. Tempat bergantung di hari tua. Namun, semua harus pasrah dan ikhlas atas kehendak Sang Pencipta. "Ryan harus tahu tentang sakitmu, Liana. Setidaknya untuk menjawab pertanyaannya kenapa beberapa hari ini, kau menghindarinya. Sebulan kalian tidak bersua, akan aneh rasanya tiba-tiba kau menghindarinya terus.""Aku juga meminta Mas Ryan menikah lagi, Ma. Tapi, dia enggak mau.""Bukannya kalau dia langsung setuju, malah akan membuatmu sakit hati. Jangan gegabah dalam bertindak, pikirankan anak-anak. Tidak sulit bagi Ryan untuk menikah lagi. Tapi, bisa tidak istrinya nanti jadi ibu yang baik buat anak-anakmu.""Mungkin aku yang akan mencari perempuan penggantiku nanti, Ma.""Jangan menambah bebanmu dengan memikirkan hal itu. Bicara dulu dengan suamimu, mengenai sakitmu ini. Beristirahatlah, mama akan melihat kembar." Setelah berkata demikian Bu Ilmi mencium pucuk kepala p
3. Raisa Maharani Di sebuah pelataran masjid, seorang gadis berjilbab putih sedang membuka jaketnya. Begitu jaket ditaruh di kepala motor maticnya. Tampaklah stelan atas bawa celana berwarna putih, ciri khas dari pakaian tenaga medis.Iya, gadis itu bernama Raisa Maharani. Seorang perawat yang sudah bekerja selama setahun di rumah sakit swasta. Rumah sakit Muslimat yang letaknya di belakang masjid agung kota kembang."Tolong! Copet!" tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dari dalam masjid. Seorang lelaki gondrong berlari keluar dengan tas di tangannya. Rani berlari menghadang laju lelaki gondrong, lalu ...."Berhenti!" tendangan kaki Rani menghentikan lari lelaki gondrong.Bruk Lelaki gondrong itu roboh. Cepat Rani merebut tas yang dirampas sembari memberikan tiga buah tinju ke perut hingga membuat lawan tak berkutik lagi."Siapa kamu, Kupret?" maki lelaki gondrong marah tak terima atas perlakukan Rani padanya. Rani menyeringai lantas tersenyum sinis. "Kamu bisa baca ini." Tu
-Perempuan Pilihan Istriku-Bab 4. Tolong Mama"Waalaikumsalam. Bagaimana kabarmu, Nak. baik-baik saja 'kan? Nomermu sudah tidak bisa Mama hubungi. Terakhir komunikasi kita, saat kau kirimkan foto wisudamu tahun lalu," ujar wanita anggun itu."Alhamdulillah kabar kami berdua baik, Ma," jawab Rani seraya mengeluarkan kunci untuk membuka pintu rumahnya. "Mari, silakan masuk, Ma ... Mas." Rani mempersilakan Bu Ilmi masuk ke dalam rumah begitu pintu ia buka dengan sempurna.Bu Ilmi mengajak keponakan masuk ke rumah Rani. Si empunya rumah bergegas ke dapur menghidupkan kompor membuatkan minuman untuk kedua tamunya. "Silakan diminum, Ma ... Mas. Maaf? Kalau tidak salah Mas ini, Pamannya Anida bukan," tebak Rani tahu dengan ingatannya. "Iya, dia Umar. Adiknya Aziz, papa Anida." Bu Ilmi meraih lengan Rani. Memintanya untuk duduk di sampingnya. "Mama kangen sekali denganmu, Rani. Padahal jarak Bogor-Jakarta tidaklah berhari-hari di tempuh. Apa, memang harus Mama yang menjengukmu kemari," sin
Rani baru selesai mandi pagi, bersiap membeli sarapan nasi uduk di warung depan. Saat sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Nampak seorang berjaket hitam keluar dari pintu mobil bagian kemudi."Assalamualaikum." Umar mengucap salam, begitu dilihatnya Rani termanggu di samping motornya."Waalaikumsalam, sepagi ini sudah sampai kemari, Mas Umar." Rani menelisik penampilan Umar dari atas hingga ujung kaki."Kemarin saat dihubungi tante Ilmi. Kebetulan ada kegiatan di daerah Bogor. Makanya langsung kemari.""Oh, begitu. Tapi, maaf saya tidak bisa mempersilakan masuk. Karena mau pergi beli sarapan.""Sekalian kalau gitu, aku dibelikan. Belum kemasukan nasi dari semalam."Rani menganggukan kepala. Kemudian menyalakan motor meninggalkan Umar sendirian di teras rumahnya.Tak sampai sepuluh menit. Rani telah kembali dengan membawa bungkusan kresek berisi nasi uduk untuk sarapan keduanya.Sejenak Umar memperhatikan sekeliling."Kamu sendirian?"Rani mengangguk. "Ayo silakan sarapannya.
"Ran, kenalkan inilah papanya kembar." Felliana menarik lengan Ryan menghampiri dirinya yang mengerjap, seolah tersadar Rani hanya mengangguk mengulas senyum.Rani mengatupkan kedua tangan seraya tersenyum. Sedangkan Ryan hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Pandangan mereka berempat tiba-tiba teralihkan dengan gelak tawa Fathiya merangkak ke arah papanya."Ulu, ulu anak papa memang ini ya," ucap Bu Ilmi diamini Felliana dan kedua baby sitter yang berada di ruangan itu. Umar beranjak dari sofa mendekati mereka. "Tante hari ini masak apa, kalau enak ... aku maulah makan siang di sini. Kalau enggak, izin bawa Rani makan siang di luar ya,"Melihat sekilas ekspresi Ryan saat berjumpa Rani. Takut menimbulkan canggung pada anak angkatnya, Bu Ilmi memperbolehkan Rani diajak makan siang di luar oleh keponakannya."Ya, udah bawa saja Rani makan di luar. Sekalian antar ke mini market membeli keperluan selama tinggal di sini.""Siap, Nyonya. Titah dilaksanakan!" Bu Ilmi mengantar keduanya s
"Bunda, berkas di map Papa ma- ... Kenapa, kau lancang masuk kamar kami. Hah!" bentak Ryan menunjuk ke arah Rani. "E ... ak- ... maaf," ucap Rani terbata karena dirinya pun terkejut tiba-tiba Ryan masuk dalam kamarnya.Bergegas dia taruh setumpuk pakaian yang dibawa ke atas ranjang. Lantas dia meninggalkan kamar Felliana. Syukur pintu tadi dia buka, jadi tidak akan timbul prasangka. "Ada apa, Pa. Kenapa marah-marah begitu. Rani tadi bantuin bunda angkat pakaian kita yang sudah disetrika mbak Nur." Felliana muncul dari balik pintu kamar mandi."Lain kali. Enggak usah suruh masuk kamar kita.""Papa kenapa, sih. Kok kayaknya benci banget sama Rani. Apa jangan-jangan, Papa sudah kenal ya, dengannya. Atau kalian mantan, ya," tebak Felliana bermaksud mengajak suaminya bergurau."Enggak lucu. Yaa Tuhan ... jangan berprasangka yang tidak-tidak. Mas 'kan, pernah bilang tidak pernah pacaran." Ryan memeluk tubuh istrinya."Asli. Papa lucu, deh. Sekarang, mudah emosi. Kek perempuan mau PMS saja