2. Terus Terang
Bu Ilmi mengurai pelukan pada putrinya. Sedih sudah pasti, apalagi Felliana adalah putri satu-satunya. Tempat bergantung di hari tua. Namun, semua harus pasrah dan ikhlas atas kehendak Sang Pencipta. "Ryan harus tahu tentang sakitmu, Liana. Setidaknya untuk menjawab pertanyaannya kenapa beberapa hari ini, kau menghindarinya. Sebulan kalian tidak bersua, akan aneh rasanya tiba-tiba kau menghindarinya terus.""Aku juga meminta Mas Ryan menikah lagi, Ma. Tapi, dia enggak mau.""Bukannya kalau dia langsung setuju, malah akan membuatmu sakit hati. Jangan gegabah dalam bertindak, pikirankan anak-anak. Tidak sulit bagi Ryan untuk menikah lagi. Tapi, bisa tidak istrinya nanti jadi ibu yang baik buat anak-anakmu.""Mungkin aku yang akan mencari perempuan penggantiku nanti, Ma.""Jangan menambah bebanmu dengan memikirkan hal itu. Bicara dulu dengan suamimu, mengenai sakitmu ini. Beristirahatlah, mama akan melihat kembar." Setelah berkata demikian Bu Ilmi mencium pucuk kepala putrinya. Memberikan waktu Felliana untuk beristirahat.🌹🌹🌹"Sebenarnya ada apa dengan Liana, Ma?" tanya Ryan begitu Bu Ilmi menghampiri dirinya di ruang belakang. Ruang yang difungsikan untuk area bermain anak-anak."Istrimu sedang sakit," jawab Bu Ilmi."Sakit? Liana sakit apa, Ma?""Nanti juga akan diberitahukan oleh istrimu. Bagaimana pekerjaanmu, Nak. Apakah lancar?""Alhamdulillah. Proyek sedang berjalan, tinggal diawasi. Sudah ada Tamara yang bertanggungjawab di sana.""Baguslah kalau begitu. Mama turut senang mendengarnya.""Rencananya minggu depan, saya akan ajak Liana berlibur ke sana. Dia pasti akan bahagia diajak pergi merayakan ulang lahirnya. Sekalian merayakan hari kasih sayang.""Lakukanlah semua hal yang menyenangkan untuk Liana, Nak. Selagi kalian masih bersama," gumam Bu Ilmi namun suaranya tenggelam oleh celoteh kedua cucu kembarnya.☘☘☘Malamnya Ryan berusaha mengambil hati Liana. Mengajaknya dinner di tempat favorit mereka berdua. Felliana menggenakan gaun terbaiknya malam itu. Dia ingin memberitahukan penyakitnya kepada Ryan. Makanan baru saja dihidangkan. Masing-masing mendapatkan salmon steak dengan saus barbeque, salad sayuran, jus dan air mineral. Mereka makan dengan serius, hanya sesekali saling melirik namun tidak dalam waktu yang bersamaan."Apakah ada sesuatu yang perlu kita bahas, Mas?"Felliana buka suara sambil menyapu bibir dengan tisu yang dibentuk seperti segitiga. Steak dalam piringnya telah tandas. Ryan baru saja selesai dengan steak di piringnya. Sendok ia letakkan dalam posisi terbalik setelahnya. Sementara istrinya telah meneguk habis air mineral dalam botol kecil yang terdapat di depannya."Tentu, sebentar lagi ulang tahunmu, Sayang. Seperti tahun sebelumnya, aku akan mengajakmu pergi merayakannya. Aku masih ingat, karena hamil kembar tahun lalu. Kita hanya merayakan di Bali. Kali ini aku ingin mengajakmu ke Istambul, sekalian melihat proyek yang ditangani perusahaan kita di sana.""Wah kedengarannya sangat menarik. Apakah kau akan mengajak serta Rayyan untuk berbulan madu ke sana.""Oh, tidak. Dia hanya kuizinkan cuti seminggu. Lusa, hari Senin ini. Dia sudah masuk kerja. Banyak presentasi yang harus dia siapkan.""Kau tega sekali dengannya, Sayang. Masak orang kepercayaan menikah. Hanya diberi cuti seminggu.""Ya, bagaimana lagi. Untuk sementara hanya dia, yang bisa mas percaya. Menanggani semua proyek di sini. Sudahlah, akan tiba waktunya. Giliran dia bisa berlibur mengajak istrinya ke luar negeri juga."Felliana menatap kedua manik suaminya. Lelaki yang dipilihkan sang mama untuk menjadi pendampingnya. Ayah sambung untuk putrinya Anida. Empat tahun keduanya mengarungi bahtera rumah tangga. Pria di depannya menjadi sosok begitu manis. Setelah usaha kerasnya memberikan cinta dan perhatikan selama setahun lebih usia pernikahan mereka kala itu. "Sayang, aku tidak pernah menyangka mendapatkan cinta begitu besar darimu. Mengingat pernikahan kita terjadi bukan dasar dari keinginanmu waktu itu. Aku seorang janda anak satu, berusia 35 tahun. Datang melamar pemuda lajang berusia 25 tahun.""Kenapa di bahas hal yang telah berlalu. Andai bisa kembali di masa itu, aku akan langsung mencintaimu, Sayang. Kau begitu sabar menghadapi pria labil sepertiku.""Bagaimana kau yang semanis ini. Mengatai diri sebagai pria labil. Kehadiran kembar dalam rumah tangga kita. Merupakan anugerah terindah dalam hidupku.""Aku juga merasakan hal yang sama, Sayang." Ryan meraih tangan Felliana, diciumnya penuh cinta punggung tangan kanan istrinya itu. "Mas ada hal penting yang ingin aku sampaikan padamu." Felliana bicara sambil meneguk jus sirsak yang sejak tadi belum ia sentuh."Apa?" Ryan tampak penasaran."Ini, mengenai penyakitku. Mas pasti bertanya, kenapa aku selalu menolak dirimu. Sakitku ini menular Mas ...."Kedua mata Ryan membulat. Ia mulai berspekulasi mengenai penyakit istrinya. Hingga tembakannya mengarah pada ...."Benar dugaanmu, Mas Ryan. Istrimu ini positif menderita HIV.""Liana ...."Ryan menyentuh kedua tangan istrinya. "Sebulan yang lalu saat aku menyuntik obat pada pasien. Belum selesai obat yang kusuntikan ia berontak hingga jarum suntik itu tertancap di lenganku sendiri. Dia pasien Aids stadium akhir. Hasil lab seminggu lalu, menyatakan aku positif tertular HIV.""Astaghfirullah, Sayang." Ryan seketika beranjak menghampiri Felliana memeluknya erat.Keduanya saling memeluk diiringi Isak tangis. "Tenanglah pasti ada jalan keluar di setiap masalah. Kita akan melalui ini bersama, Sayang. Semoga ada keajaiban, kamu bisa sembuh seperti sediakala."Felliana mencoba tersenyum. Ia tahu bagaimana kondisi tubuhnya. Bahkan ia sudah berkonsultasi dengan dokter senior di rumah sakit tempatnya bekerja.HIV jika tidak cepat ditangani akan berkembang menjadi AIDS. Dimana kondisi ini merupakan stadium akhir dari infeksi HIV dan tubuh sudah tidak mampu untuk melawan infeksi yang ditimbulkan. Pengidap AIDS dapat bertahan hidup menggunakan perawatan berupa obat-obatan. Kisaran waktunya bisa berbeda-beda. Umumnya hanya berkisar 3 tahun saja, karena tubuh sudah tidak mampu melindungi sel dan jaringan yang sehat.Bukan hendak mendahului takdir. Tapi, dengan vonis yang diberikan Felliana mulai menghitung mundur waktunya. Banyak rencana dan keinginan yang ingin dia wujudkan sebelum ajal menjemputnya. Salah satunya mencarikan ibu untuk ketiga anaknya, terutama kembar yang baru berusia 8 bulan. Yang masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu."Mas, berjanjilah padaku. Suatu saat kau akan memenuhi keinginanku.""Keinginanmu untuk melihatku menikah lagi, Dik? Maaf, mas tidak akan pernah melakukannya. Selagi kau masih ada di sisi mas. Hal itu tidak akan pernah terjadi." Ryan tegas memberikan keputusan. "Anak kita butuh seorang ibu, Mas.""Mereka tidak butuh ibu lagi. Selama kamu masih hidup, Dik.""Tapi, umurku tidak akan lama lagi, Mas.""Vonis dari dokter bukan suatu ketetapan. Takdir bisa diubah dengan doa, Sayang. Selagi napas masih dikandung badan. Kita wajib berikhtiar untuk kesembuhanmu." Ryan penuh harap menyakinkan istrinya. "Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Jangan bersedih, apalagi berputus asa. Aku akan selalu ada untukmu, Sayang." Kembali Ryan merengkuh istrinya. Felliana menarik napas panjang lalu mengembuskan perlahan-lahan. Beban yang terpendam dalam dada, seolah luruh bersama udara yang ia lepaskan. Ada ketenangan dalam batinnya. Kekhawatirannya tidak terjadi. Ryan tidak berpikiran negatif mengenai sakitnya. ☘☘☘Next....3. Raisa Maharani Di sebuah pelataran masjid, seorang gadis berjilbab putih sedang membuka jaketnya. Begitu jaket ditaruh di kepala motor maticnya. Tampaklah stelan atas bawa celana berwarna putih, ciri khas dari pakaian tenaga medis.Iya, gadis itu bernama Raisa Maharani. Seorang perawat yang sudah bekerja selama setahun di rumah sakit swasta. Rumah sakit Muslimat yang letaknya di belakang masjid agung kota kembang."Tolong! Copet!" tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dari dalam masjid. Seorang lelaki gondrong berlari keluar dengan tas di tangannya. Rani berlari menghadang laju lelaki gondrong, lalu ...."Berhenti!" tendangan kaki Rani menghentikan lari lelaki gondrong.Bruk Lelaki gondrong itu roboh. Cepat Rani merebut tas yang dirampas sembari memberikan tiga buah tinju ke perut hingga membuat lawan tak berkutik lagi."Siapa kamu, Kupret?" maki lelaki gondrong marah tak terima atas perlakukan Rani padanya. Rani menyeringai lantas tersenyum sinis. "Kamu bisa baca ini." Tu
-Perempuan Pilihan Istriku-Bab 4. Tolong Mama"Waalaikumsalam. Bagaimana kabarmu, Nak. baik-baik saja 'kan? Nomermu sudah tidak bisa Mama hubungi. Terakhir komunikasi kita, saat kau kirimkan foto wisudamu tahun lalu," ujar wanita anggun itu."Alhamdulillah kabar kami berdua baik, Ma," jawab Rani seraya mengeluarkan kunci untuk membuka pintu rumahnya. "Mari, silakan masuk, Ma ... Mas." Rani mempersilakan Bu Ilmi masuk ke dalam rumah begitu pintu ia buka dengan sempurna.Bu Ilmi mengajak keponakan masuk ke rumah Rani. Si empunya rumah bergegas ke dapur menghidupkan kompor membuatkan minuman untuk kedua tamunya. "Silakan diminum, Ma ... Mas. Maaf? Kalau tidak salah Mas ini, Pamannya Anida bukan," tebak Rani tahu dengan ingatannya. "Iya, dia Umar. Adiknya Aziz, papa Anida." Bu Ilmi meraih lengan Rani. Memintanya untuk duduk di sampingnya. "Mama kangen sekali denganmu, Rani. Padahal jarak Bogor-Jakarta tidaklah berhari-hari di tempuh. Apa, memang harus Mama yang menjengukmu kemari," sin
Rani baru selesai mandi pagi, bersiap membeli sarapan nasi uduk di warung depan. Saat sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Nampak seorang berjaket hitam keluar dari pintu mobil bagian kemudi."Assalamualaikum." Umar mengucap salam, begitu dilihatnya Rani termanggu di samping motornya."Waalaikumsalam, sepagi ini sudah sampai kemari, Mas Umar." Rani menelisik penampilan Umar dari atas hingga ujung kaki."Kemarin saat dihubungi tante Ilmi. Kebetulan ada kegiatan di daerah Bogor. Makanya langsung kemari.""Oh, begitu. Tapi, maaf saya tidak bisa mempersilakan masuk. Karena mau pergi beli sarapan.""Sekalian kalau gitu, aku dibelikan. Belum kemasukan nasi dari semalam."Rani menganggukan kepala. Kemudian menyalakan motor meninggalkan Umar sendirian di teras rumahnya.Tak sampai sepuluh menit. Rani telah kembali dengan membawa bungkusan kresek berisi nasi uduk untuk sarapan keduanya.Sejenak Umar memperhatikan sekeliling."Kamu sendirian?"Rani mengangguk. "Ayo silakan sarapannya.
"Ran, kenalkan inilah papanya kembar." Felliana menarik lengan Ryan menghampiri dirinya yang mengerjap, seolah tersadar Rani hanya mengangguk mengulas senyum.Rani mengatupkan kedua tangan seraya tersenyum. Sedangkan Ryan hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Pandangan mereka berempat tiba-tiba teralihkan dengan gelak tawa Fathiya merangkak ke arah papanya."Ulu, ulu anak papa memang ini ya," ucap Bu Ilmi diamini Felliana dan kedua baby sitter yang berada di ruangan itu. Umar beranjak dari sofa mendekati mereka. "Tante hari ini masak apa, kalau enak ... aku maulah makan siang di sini. Kalau enggak, izin bawa Rani makan siang di luar ya,"Melihat sekilas ekspresi Ryan saat berjumpa Rani. Takut menimbulkan canggung pada anak angkatnya, Bu Ilmi memperbolehkan Rani diajak makan siang di luar oleh keponakannya."Ya, udah bawa saja Rani makan di luar. Sekalian antar ke mini market membeli keperluan selama tinggal di sini.""Siap, Nyonya. Titah dilaksanakan!" Bu Ilmi mengantar keduanya s
"Bunda, berkas di map Papa ma- ... Kenapa, kau lancang masuk kamar kami. Hah!" bentak Ryan menunjuk ke arah Rani. "E ... ak- ... maaf," ucap Rani terbata karena dirinya pun terkejut tiba-tiba Ryan masuk dalam kamarnya.Bergegas dia taruh setumpuk pakaian yang dibawa ke atas ranjang. Lantas dia meninggalkan kamar Felliana. Syukur pintu tadi dia buka, jadi tidak akan timbul prasangka. "Ada apa, Pa. Kenapa marah-marah begitu. Rani tadi bantuin bunda angkat pakaian kita yang sudah disetrika mbak Nur." Felliana muncul dari balik pintu kamar mandi."Lain kali. Enggak usah suruh masuk kamar kita.""Papa kenapa, sih. Kok kayaknya benci banget sama Rani. Apa jangan-jangan, Papa sudah kenal ya, dengannya. Atau kalian mantan, ya," tebak Felliana bermaksud mengajak suaminya bergurau."Enggak lucu. Yaa Tuhan ... jangan berprasangka yang tidak-tidak. Mas 'kan, pernah bilang tidak pernah pacaran." Ryan memeluk tubuh istrinya."Asli. Papa lucu, deh. Sekarang, mudah emosi. Kek perempuan mau PMS saja
Ryan meninggalkan Rani tanpa menoleh lagi. Bahkan sekedar basa-basi memberikan ongkos taksi pun tidak. Bersyukur Rani bawa tasnya tadi. Menghembuskan napas sesaat sebelum akhirnya berjalan menuju trotoar."Andai Mas Ryan tahu kebenarannya. Alasanku dulu menolaknya. Apakah sikapnya akan berubah padaku," batin Rani bersuara.Tetiba seolah tersadar dari lamunannya Rani menggelengkan kepalanya. Saat itulah beberapa langkah di depannya nampak Umar bersandar di pintu mobil seraya bersedekap memperhatikan dirinya."Sadar enggak, dari tadi kuperhatikan dirimu kayak orang stress tingkat dewa." Umar melompat kecil naik ke trotoar untuk menghadang Rani.Rani terkekeh mendengar ucapan Umar. Setidaknya hanya Ryan saja yang tidak menyukai kehadirannya di rumah Bu Ilmi. Namun demikian, Rani merasa tidak nyaman bila harus tinggal terlalu lama."Aku besok pulang, Mas Umar. Pamit sekalian mumpung kita ketemu di sini. Aku duluan, ya," ujar Rani melambai ke arah ojek online yang telah dipesannya. "Eh, t
Dalam hidup kita, pasti ada satu nama yang selalu terkenang. Bukan karena tak ingin melupakan, tetapi Tuhan memang menciptakan kenangan itu untuk menetap.Bahkan terkadang waktu tak mampu memainkan perannya, menghapus angan akan kenangan itu. Ingatan kita masih saja tetap segar tentangnya. Tentang semua kebaikannya.Tak dapat dipungkiri saat di ujung kenangan itu hadir. Si empunya kenangan akan menangis berharap semua kembali di waktu itu. Andaikan dulu berkata bersedia, akankah sekarang diri akan berbahagia. Hidup bersama dengannya, saling menjaga dan mencintai.Dan Rani berusaha mengikhlaskan semua itu. Berharap jika suatu waktu dipertemukan kembali dengan Ryan. Keduanya dalam keadaan hati yang terjaga dan baik-baik saja. "Ran, bisa kau jelaskan. Maksud tulisan mas Ryan ini." Untuk kedua kalinya Felliana menanyakan hal yang sama."Ada baiknya masa lalu tidak perlu untuk diungkit kembali. Toh, kita tidak mungkin kembali ke masa itu, Kak.""Masih tidak mau menjawab," pancing Felliana
Felliana mengelus lembut rambut sebahu putrinya. Pasmina yang dikenakan tadi tersampir di bahunya."Anida, Bunda paham mempertahankan juara itu, lebih sulit daripada meraihnya. Tapi, jangan terlalu memfosir dirimu. Pandai dalam akademik memang membanggakan, Nak. Tapi, Bunda akan lebih bahagia jika putri sulung ayah Aziz ini. Jadi putri yang sholehah, yang selalu dekat dengan Allah.Beragama itu nurut, enggak ada tapinya. Selagi termasuk dalam perintah Allah, itu wajib hukumnya, kita laksanakan. Kakak sebentar lagi sweet seventen. Bagi bunda, Anida sudah bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Segera tutup aurat kakak. Ingat pesan bunda, perempuan dihormati karena bisa menjaga marwahnya.""Iya, Bunda. Anida nunggu hati mantep dulu, untuk pakai jilbab. Supaya tidak pakai-copot.""Lha kenapa harus begitu. Sudah tahu perintah, ya harus dilaksanakan 'kan. Salatnya jangan suka bolong. Besok Kak Rani sudah pulang. Enggak ada lagi yang ingatin terus untuk salat."Anida menatap manik mata bu