Share

Bab 3. Raisa Maharani

3. Raisa Maharani 

Di sebuah pelataran masjid, seorang gadis berjilbab putih sedang membuka jaketnya. Begitu jaket ditaruh di kepala motor maticnya. Tampaklah stelan atas bawa celana berwarna putih, ciri khas dari pakaian tenaga medis.

Iya, gadis itu bernama Raisa Maharani. Seorang perawat yang sudah bekerja selama setahun di rumah sakit swasta. Rumah sakit Muslimat yang letaknya di belakang masjid agung kota kembang.

"Tolong! Copet!" tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dari dalam masjid. Seorang lelaki gondrong berlari keluar dengan tas di tangannya. Rani berlari menghadang laju lelaki gondrong, lalu ....

"Berhenti!" tendangan kaki Rani menghentikan lari lelaki gondrong.

Bruk 

Lelaki gondrong itu roboh. Cepat Rani merebut tas yang dirampas sembari memberikan tiga buah tinju ke perut hingga membuat lawan tak berkutik lagi.

"Siapa kamu, Kupret?" maki lelaki gondrong marah tak terima atas perlakukan Rani padanya. 

Rani menyeringai lantas tersenyum sinis. "Kamu bisa baca ini." Tunjuk Rani pada name tag yang terpasang di bajunya. "Cepat pergi, sebelum kesabaranku habis! Andai tidak ingat dosa ingin kupuntir lehermu tadi. Nyopet kok di masjid. Dasar, manusia kurang adab!"

Lelaki gondrong mundur perlahan, lalu secepat kilat berlari. Bisa habis dia dihakimi masa. Saat dilihatnya beberapa orang mulai mendekat ke arah dirinya.

Rani menimang-nimang tas itu, lalu berbalik, tersenyum kepada dua wanita berjilbab yang menatapnya.

"Ini tas, Ibu?" tanya Rani seraya mengulurkan tas kepada wanita yang lebih tua.

"Alhamdulillah ...." si ibu menerimanya dengan paras sumringah.

"Terimakasih, ya. Dan ini," sambung si ibu sembari membuka tas, mengeluarkan dompet, mengambil tiga lembar seratus ribu. "Sebagai rasa syukur kami, terimalah ...."

Rani menggeleng. "Enggak perlu, Bu."

"Lho?" tanya si ibu binggung karena Rani hanya mengangguk tersenyum kemudian berbalik, pergi menuju motornya.

"Kak ... Kak tunggu!" teriak perempuan muda di samping ibu tadi. Rani berhenti membalikkan badannya.

"Maaf, apa kurang banyak, Kak? Mama saya sangat berhutang budi pada Kakak. Ayolah mohon diterima. Maaf, sebelumnya hanya segini uang cass dalam dompet kami."

Rani mengulum senyum, melihat beberapa lembar uang merah di telapak perempuan muda itu. "Enggak usah, Dik. Beneran saya ikhlas nolong tadi. Kebetulan saja premannya tadi larinya ke arah saya."

"Baiklah. Boleh aku minta nomer telponnya, Kak. Kenalkan namaku Aida. Wanita yang bersamaku tadi mamaku." Aida mengeluarkan ponselnya, menunggu Rani menyebutkan sederet angka nomer telponnya.

"Untuk apa? Belum tentu juga kita akan berjumpa lagi, Dik. Sudah ya, saya permisi dulu. Maaf, mau menunaikan salat Dzuhur dulu." Rani kemudian berlalu diikuti tatapan tak rela dari Aida.

"Sayangnya. Padahal aku hanya ingin berteman. Syukur-syukur bisa minta diajari bela diri," gumam Aida sebelum berbalik ke arah Bu Syarifah, mamanya.

"Bagaimana, mau dia nerima uangnya, Da?" tanya Bu Syarifah pada putrinya.

Aida menggelengkan kepalanya seraya memberikan uang yang digenggam kepada mamanya. "Tetap enggak mau dianya, Ma. Bahkan aku minta nomer telponnya pun enggak dikasihnya." 

"Sudahlah. Kalau enggak mau, mana boleh kita memaksa. Ayo cepatan. Neneknya sudah menunggu, barusan beliau telpon."

Aida mengangguk, hari ini mereka berdua berencana mengunjungi nenek Aida yang tinggalnya di Bogor. Neneknya dari papanya. Aida adalah adalah adik bungsu Faiq. Gadis cantik berusia 20 tahun ini adalah Mahasiswi Fakultas Kedokteran. Jadi, Aida juga sepupu dari Ryan.

🍓🍓🍓

Rani mengendarai motor dengan kecepatan sedang karena ia melalui jalan pintas menuju rumah sakit Muslimat. Sayangnya saat laju motor melambat, sekitar 300 meter lagi ia sampai di area parkir belakang rumah sakit. Tanpa sengaja dirinya menoleh ke gang yang berada di kiri jalan yang dilewatinya.

 

Di tengah lorong gang itu, nampak olehnya seorang remaja berseragam SMA mencoba mempertahankan sebuah tas yang di rebut oleh dua preman jalanan.

"Hey!" teriak Rani melajukan motor ke arah mereka bertiga.

Sontak kedua preman menoleh. Dan kesempatan itu di manfaatkan oleh anak SMA untuk menendangkan kaki ke selakangan salah satu preman di depan. Melihat tawanannya kabur, dua pemuda itu menatap marah pada perempuan di depannya.

Salah satu preman meraih pisau yang terselip di sakunya. Bersiap menyerang Rani. Sedangkan preman satunya, mengikuti di belakangnya sambil sesekali tertunduk meringis memegangi area vitalnya.

Rani selalu teringat kata-kata bapaknya, Pak Bagas. "Meskipun perempuan, kau harus tangguh dan berani, Rani. Bagi bapak, kaulah anak sulung di keluarga ini. Tolonglah orang lain yang memerlukan bantuan. Semampu kamu. Meskipun kita kurang beruntung mengenai harta, jangan miskin empati. Jadilah kamu wanita berbudi pekerti yang memiliki harga diri."

Sejak menjadi piatu di usia 10 tahun. Pak Bagas mendidik Rani menjadi sosok mandiri. Dia harus membantu bapaknya merawat adiknya Leo sekaligus kakaknya Sigit.

Sang bapak adalah pelatih di sanggar bela diri. Rani sendiri dari SMP ikut ekskul taekwondo. Jadi kemampuan bela dirinya, bisa membuat lawan kualahan saat menghadapi serangannya.

Rani menarik gas dengan cepat, hampir saja menabrak dua preman yang mencoba menghalangi. Terasa perih di bahu kanannya. Rupanya saat preman terjatuh ke samping.  Pisau lipat yang digenggam tadi dilemparkan dan mengenai bahu kanan Rani.

🌹🌹🌹🌹

"Na, tolong periksa dulu lukaku," pinta Rani pada Nana temannya yang piket hari ini. Ditariknya rekan kerjanya itu menuju ruang perawatan.

"Kenapa lagi, Non?"

"Tadi ada yang lempar pisau."

"Memang kenapa dia bisa lempar pisau sama kamu, Ran. Pasti kamunya sok jagoan lagi kan. Kebiasaan," omel Nana sambil membersihkan darah pada luka Rani.

"Dalem ya, salahku juga tadi. Jaket enggak kupakai lagi. Malah tak ikatan pinggang. Memang lagi apes."

Dengan gemas Nana menekan luka sahabatnya itu. "Aduh! Sakit lo, Na!" jerit Rani kesakitan.

"Syukurin. Gemes aku." Kembali Nana menepuk bahu Rani usai dipasangkan plester pada lukanya. "Duduk di sini dulu, tak ambilkan baju ganti. Mana kunci lokermu."

Rani meraih tasnya memberikan kunci kepada Nana. "Makasih ya, Sayang," canda Rani kemudian.

Setelah Rani mengganti pakaiannya. Mereka berdua keluar dari ruang perawatan. Kembali duduk berjaga di meja resepsionis.

🍎🍎🍎

"Kak Rani. Waduh maaf ya, aku tadi langsung melarikan diri," sapa gadis SMA yang ditolong Rani tadi.

"Memang ada apa, Wafa?" tanya Nana penasaran.

"Jadi, aku tadi di gang sebelah dicegat dua preman. Kayaknya tuh preman suruhan Cindy, biasalah anak kurang seons. Gebetannya kasih aku coklat, dia enggak terima."

"Ada ya, cerita kayak gitu," ketus Rani memicingkan mata seolah tak percaya.

"Kak, coba lihat. Aku ini cantik lo, dah gitu otakku encer. Sayang saja, gebetanku enggak lihat kelebihanku." Wafa mengibaskan ujung rambut dengan telapak tangannya.

Spontan Nana dan Rani tertawa mendengar pujian Wafa pada dirinya. 

"Ada apa ini?" tanya seorang pria memakai jas putih seraya memasukkan kedua tangannya dalam saku celananya.

"Siang, Dokter Radit," sapa Nana diikuti Rani yang mengangguk padanya juga.

"Kalian piket sore?" tanya Radit pada mereka. Namun pandangan matanya tidak lepas dari Rani.

"Iya. Dokter."

"Nah, kan. Baru ingat, syukur bertemu Dokter Radit di sini. Tadi ibu pesan, makan siang Dokter mau dibawakan kemari, apa bagaimana? Dokter kemarin kan pesan dibuatkan cah brokoli-udang sama ibu." Wafa menyampaikan amanat dari ibunya sembari memainkan kedua alisnya.

"Tolong. Bawa ke ruangan saya saja. Maaf, tadi enggak sempat ke kantin. Barusan bantuin Dokter Mahesa operasi."

"Oh, siap." Wafa mengangkat tangan kanan ke pelipisnya. Kemudian berlari menuju ke arah kantin rumah sakit.

"Dasar bocah. Masih sering titip salam untuk Leo rupanya," ujar Nana menyenggol bahu kanan Rani.

Rani mengaduh seraya meringis. Nana seolah lupa, bahu sahabatnya itu barusan terluka. 

Radit memandang bahu yang diusap Rani.

"Kenapa lagi, dia?" tanya Radit melirik Nana, dagunya digerakkan mengarah ke Rani.

"Biasalah, Dok. Ada pisau nyasar bilangnya," jawab Nana sekenanya. 

"Sudah diobati?"

"Sudah. Langsung diobati tadi."

"Serius."

"Iya, Dok." Rani mengangguk, meyakinkan.

"Oke. Lain kali hati-hati. Niatmu memang menolong tapi bisa membahayakan nyawamu sendiri. Ingat itu, Ran."

Rani mengangguk. Radit meninggalkan mereka menuju ke ruangannya saat dilihatnya dari arah berlawanan Wafa membawa nampan berisi makan siangnya.

🍎🍎🍎

Malam itu Rani dengan badan yang terasa pegal. Terutama luka di bahunya, masih terasa ngilu. Segera ia pakai helm, menstater motor, memutar gas motor, dan melaju pulang. 

Sesampai di rumah, ada sebuah mobil putih terparkir di depan rumahnya. Rani sangat hafal plat nomer mobil tersebut. Rani menghela napasnya, setahun lebih ia tidak berjumpa dengan wanita yang berjasa dalam pendidikan dirinya juga adiknya Leo itu.

"Assalamualaikum, Ma," sapa Rani seraya mencium dengan takzim tangan wanita yang berkaca menatapnya malam itu.

☘☘☘ Next ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status