-Perempuan Pilihan Istriku-
Bab 4. Tolong Mama"Waalaikumsalam. Bagaimana kabarmu, Nak. baik-baik saja 'kan? Nomermu sudah tidak bisa Mama hubungi. Terakhir komunikasi kita, saat kau kirimkan foto wisudamu tahun lalu," ujar wanita anggun itu."Alhamdulillah kabar kami berdua baik, Ma," jawab Rani seraya mengeluarkan kunci untuk membuka pintu rumahnya. "Mari, silakan masuk, Ma ... Mas." Rani mempersilakan Bu Ilmi masuk ke dalam rumah begitu pintu ia buka dengan sempurna.Bu Ilmi mengajak keponakan masuk ke rumah Rani. Si empunya rumah bergegas ke dapur menghidupkan kompor membuatkan minuman untuk kedua tamunya. "Silakan diminum, Ma ... Mas. Maaf? Kalau tidak salah Mas ini, Pamannya Anida bukan," tebak Rani tahu dengan ingatannya. "Iya, dia Umar. Adiknya Aziz, papa Anida." Bu Ilmi meraih lengan Rani. Memintanya untuk duduk di sampingnya. "Mama kangen sekali denganmu, Rani. Padahal jarak Bogor-Jakarta tidaklah berhari-hari di tempuh. Apa, memang harus Mama yang menjengukmu kemari," sindir Bu Ilmi tersenyum simpul."Maaf, bila saya tidak pernah berkirim kabar selama ini. Nomer kemarin sengaja tidak saya pakai lagi, Mama Ilmi."Bu Ilmi membahasakan dirinya 'Mama', karena Ranilah yang merawat dirinya saat sakit stroke hingga sehat kembali. Selama dua tahun Rani bekerja di rumah Bu Ilmi merawatnya, ketika itu dirinya barusan lulus dari SMK.Setelah sembuh, Bu Ilmi menganggap Rani dan Leo bagian dari keluarganya sendiri. Rani diminta melanjutkan sekolah lagi. Demikian juga adiknya Rani, Leo. Beliau yang mengkuliahkan kakak-beradik itu hingga kini."Sekarang kamu bekerja dimana?""Di rumah sakit Muslimat, Ma.""Andai mama memintamu, ikut ke rumah. Apakah kamu bersedia, Ran?"Rani terhenyak dengan permintaan Bu Ilmi. Salah satu alasan dia menganti nomernya adalah tidak ingin terhubung atau berjumpa lagi dengan bagian dari masa lalunya."Maaf, Ma. Kenapa saya harus ikut ke rumah, Mama?" Rani memberanikan diri untuk bertanya."Kakakmu, Felliana saat ini sedang sakit. Mama ingin memintamu untuk merawat kedua anaknya yang masih kecil, Ran."Rani mengernyit, berusaha memahami permintaan Bu Ilmi. Menurutnya aneh, Bu Ilmi meminta dirinya merawat cucu-cucunya. Sementara keluarga mereka pasti gampang saja membayar baby sitter untuk merawat anak dari dokter Felliana tersebut."Maaf, Rani tidak bisa menjawab sekarang, Ma. Saya perlu berbicara dengan Leo. Selain itu, saya terikat kontrak di rumah sakit Muslimat.""Iyalah. Besar harapan mama kamu bisa menolong kami kali ini."Rani tersenyum seraya menganggukan kepala. "InsyaaAllah, Ma ... selagi bisa Rani akan upayakan. Mengingat Mama orang yang berjasa untuk hidup kami berdua, sepeninggal bapak."Bu Ilmi tersenyum menanggapi ucapan Rani. Bukan maksud hatinya meminta balas jasa atas kebaikannya pada Rani dan adiknya. Namun, saat mengetahui sakit putrinya. Bayangan Ranilah yang terlintas untuk merawat kedua cucunya. Ketulusan Rani dalam merawatnya selama sakit dulu. Yang membuat Bu Ilmi meminta Rani merawat kembar. 🌴🌴🌴Dua hari kemudian, saat adiknya Leo menghubungi dirinya. Rani bercerita mengenai kedatangan Bu Ilmi ke rumah mereka tempo hari."Bagaimana menurutmu Leo, apakah kakak harus ke Jakarta memenuhi permintaan Mama Ilmi." Rani meminta pendapat pada adiknya melalui vcall."Kalau aku senyamannya Kak Rani saja. Pastikan kuat bertemu Mas Ryan. Syukur-syukur sudah move on darinya," ujar Leo menasehatinya."Apaan sih, kamu Leo. Pakai acara move on. Kakak sama Mas Ryan enggak pernah ada hubungan, Leo.""Iya, memang enggak ada. Tapi aslinya kalian saling suka 'kan? Mas Ryan begitu frustasi saat Kakak nolak, diajak nikah waktu itu. Padahal Mas Ryan 'kan ingin mengantikan tanggung jawab bapak. Setelah bapak tiada. Kak Rani malah menolaknya mentah-mentah.""Sudah. Jangan dibahas lagi itu. Lagian Kak Felliana dan Mas Ryan adalah pasangan yang serasi dan sekufu." Kata terakhir menyisakan senyum getir pada ekspresi wajah Rani.Leo memandang kakaknya yang mulai berkaca. Sebenarnya Leo sendiri juga belum paham alasan Rani menolak lamaran Ryan waktu itu. Setiap ditanya alasannya, sang kakak hanya menggelengkan kepala."Menurutku, Kakak pergi saja ke rumah Mama Ilmi. Minta cuti seminggu, silaturahmi menenggok kak Felliana. Sakit apa sebenarnya, sampai mama Ilmi ke rumah mencari kakak. Bisa saja 'kan. Beliau kirim orang untuk datang ke rumah kita."Rani terdiam. Yang dikatakan adiknya semuanya tepat. Egois dan tidak tahu diri sekali, kalau sampai ia tidak memenuhi permintaan Bu Ilmi untuk sekedar mengunjungi ibu angkatnya itu."Ya udah, besok kakak mau minta Dian gantiin piket dulu. Dah, bersiaplah pergi bimbingan terakhirmu, Leo. Kakak doakan lancar. Tahun ini bisa ikutan wisuda."Pembicaraan keduanya berakhir setelah saling berbalas salam. Rani berguling ke kanan hingga berada di pinggir ranjang. Tangannya meraih laci meja belajarnya. Dia mengambil album foto kenangan bersama bapaknya saat masih mengajar bela diri di sanggar. Diambilnya salah satu foto. Ia menatap salah satu foto favoritnya. Dimana ia menjuarai turnamen bela diri. Dirinya berpose di tengah memamerkan mendali dan piala. Di samping kiri-kanannya ada Ryan dan Radit. Sedangkan bapaknya tepat berada di belakangnya. Kedua tangan Pak Bagas merangkul bahu Ryan dan Radit.Seakrab itu mereka saat itu. Dirinya amat dijaga murid bapaknya yang belajar di Sanggar. Terutama Radit dan Ryan. Selain keduanya sahabat sekolah dari SMA hingga kuliah, mungkin juga hingga saat ini."Bagaimana caraku, menghilangkan dirimu dari hatiku, Mas Ryan. Sekian lama menjauh dan menghindar. Kenapa takdir harus mempertemukan kita kembali." Rani memejamkan matanya nampak bulir bening berjatuhan dari kedua matanya.Lima tahun yang lalu"Jauhi kakakku Ryan. Kamu tidak pantas bersanding dengannya. Dasar gadis miskin, tidak tahu diri!" bentak Lucia, putri dari ibu tiri Ryan."Lihat kakakmu itu. Kami tidak ingin ada keturunan kami bernasib seperti dia," imbuh Bu Neli, ibu tiri Ryan. Ia memandang jijik ke arah Sigit, kakak sulung Rani. Ketika bayi, Sigit mengalami demam tinggi, hingga kejang. Karena tidak ketahuan ibunya, ia diurutkan. Hingga menyebabkan kelumpuhan pada kakinya, keterbelakangan mental, mata kirinya juling dan kedua tangannya selalu bergetar (tremor).Teringat hinaan dari ibu tiri dan adik Ryan membuat Rani menghela nafas beratnya. Mereka datang menghina dan memaki dirinya, sehari setelah Ryan datang melamarnya. Tepat 40 hari setelah kepergian Pak Bagas."Kalian berdua segera enyah dari sini. Sebelum habis kesabaran saya. Jangan khawatir, saya juga tidak sudi menjadi menantu Anda. Camkan ini, kakak saya yang kalian hina. Tiada mendapat hisab dari Allah karena dia tidak memiliki dosa seperti kalian. Pergi!" teriak Rani mengusir keduanya waktu itu."Dasar gadis kere! Seenaknya mau numpang hidup pada Ryan. Awas saja, sampai kutahu kalian bertemu lagi. Akan kusuruh orang membakar rumahmu. Biar kalian jadi pengemis di jalanan." Sebuah notifikasi pesan w******p masuk dalam ponsel Rani. Memutuskan ingatan buruknya di masa lalu.[Aku besok, diminta Tante Ilmi menjemputmu. Bersiaplah. Umar]☘☘Next ....Rani baru selesai mandi pagi, bersiap membeli sarapan nasi uduk di warung depan. Saat sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Nampak seorang berjaket hitam keluar dari pintu mobil bagian kemudi."Assalamualaikum." Umar mengucap salam, begitu dilihatnya Rani termanggu di samping motornya."Waalaikumsalam, sepagi ini sudah sampai kemari, Mas Umar." Rani menelisik penampilan Umar dari atas hingga ujung kaki."Kemarin saat dihubungi tante Ilmi. Kebetulan ada kegiatan di daerah Bogor. Makanya langsung kemari.""Oh, begitu. Tapi, maaf saya tidak bisa mempersilakan masuk. Karena mau pergi beli sarapan.""Sekalian kalau gitu, aku dibelikan. Belum kemasukan nasi dari semalam."Rani menganggukan kepala. Kemudian menyalakan motor meninggalkan Umar sendirian di teras rumahnya.Tak sampai sepuluh menit. Rani telah kembali dengan membawa bungkusan kresek berisi nasi uduk untuk sarapan keduanya.Sejenak Umar memperhatikan sekeliling."Kamu sendirian?"Rani mengangguk. "Ayo silakan sarapannya.
"Ran, kenalkan inilah papanya kembar." Felliana menarik lengan Ryan menghampiri dirinya yang mengerjap, seolah tersadar Rani hanya mengangguk mengulas senyum.Rani mengatupkan kedua tangan seraya tersenyum. Sedangkan Ryan hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Pandangan mereka berempat tiba-tiba teralihkan dengan gelak tawa Fathiya merangkak ke arah papanya."Ulu, ulu anak papa memang ini ya," ucap Bu Ilmi diamini Felliana dan kedua baby sitter yang berada di ruangan itu. Umar beranjak dari sofa mendekati mereka. "Tante hari ini masak apa, kalau enak ... aku maulah makan siang di sini. Kalau enggak, izin bawa Rani makan siang di luar ya,"Melihat sekilas ekspresi Ryan saat berjumpa Rani. Takut menimbulkan canggung pada anak angkatnya, Bu Ilmi memperbolehkan Rani diajak makan siang di luar oleh keponakannya."Ya, udah bawa saja Rani makan di luar. Sekalian antar ke mini market membeli keperluan selama tinggal di sini.""Siap, Nyonya. Titah dilaksanakan!" Bu Ilmi mengantar keduanya s
"Bunda, berkas di map Papa ma- ... Kenapa, kau lancang masuk kamar kami. Hah!" bentak Ryan menunjuk ke arah Rani. "E ... ak- ... maaf," ucap Rani terbata karena dirinya pun terkejut tiba-tiba Ryan masuk dalam kamarnya.Bergegas dia taruh setumpuk pakaian yang dibawa ke atas ranjang. Lantas dia meninggalkan kamar Felliana. Syukur pintu tadi dia buka, jadi tidak akan timbul prasangka. "Ada apa, Pa. Kenapa marah-marah begitu. Rani tadi bantuin bunda angkat pakaian kita yang sudah disetrika mbak Nur." Felliana muncul dari balik pintu kamar mandi."Lain kali. Enggak usah suruh masuk kamar kita.""Papa kenapa, sih. Kok kayaknya benci banget sama Rani. Apa jangan-jangan, Papa sudah kenal ya, dengannya. Atau kalian mantan, ya," tebak Felliana bermaksud mengajak suaminya bergurau."Enggak lucu. Yaa Tuhan ... jangan berprasangka yang tidak-tidak. Mas 'kan, pernah bilang tidak pernah pacaran." Ryan memeluk tubuh istrinya."Asli. Papa lucu, deh. Sekarang, mudah emosi. Kek perempuan mau PMS saja
Ryan meninggalkan Rani tanpa menoleh lagi. Bahkan sekedar basa-basi memberikan ongkos taksi pun tidak. Bersyukur Rani bawa tasnya tadi. Menghembuskan napas sesaat sebelum akhirnya berjalan menuju trotoar."Andai Mas Ryan tahu kebenarannya. Alasanku dulu menolaknya. Apakah sikapnya akan berubah padaku," batin Rani bersuara.Tetiba seolah tersadar dari lamunannya Rani menggelengkan kepalanya. Saat itulah beberapa langkah di depannya nampak Umar bersandar di pintu mobil seraya bersedekap memperhatikan dirinya."Sadar enggak, dari tadi kuperhatikan dirimu kayak orang stress tingkat dewa." Umar melompat kecil naik ke trotoar untuk menghadang Rani.Rani terkekeh mendengar ucapan Umar. Setidaknya hanya Ryan saja yang tidak menyukai kehadirannya di rumah Bu Ilmi. Namun demikian, Rani merasa tidak nyaman bila harus tinggal terlalu lama."Aku besok pulang, Mas Umar. Pamit sekalian mumpung kita ketemu di sini. Aku duluan, ya," ujar Rani melambai ke arah ojek online yang telah dipesannya. "Eh, t
Dalam hidup kita, pasti ada satu nama yang selalu terkenang. Bukan karena tak ingin melupakan, tetapi Tuhan memang menciptakan kenangan itu untuk menetap.Bahkan terkadang waktu tak mampu memainkan perannya, menghapus angan akan kenangan itu. Ingatan kita masih saja tetap segar tentangnya. Tentang semua kebaikannya.Tak dapat dipungkiri saat di ujung kenangan itu hadir. Si empunya kenangan akan menangis berharap semua kembali di waktu itu. Andaikan dulu berkata bersedia, akankah sekarang diri akan berbahagia. Hidup bersama dengannya, saling menjaga dan mencintai.Dan Rani berusaha mengikhlaskan semua itu. Berharap jika suatu waktu dipertemukan kembali dengan Ryan. Keduanya dalam keadaan hati yang terjaga dan baik-baik saja. "Ran, bisa kau jelaskan. Maksud tulisan mas Ryan ini." Untuk kedua kalinya Felliana menanyakan hal yang sama."Ada baiknya masa lalu tidak perlu untuk diungkit kembali. Toh, kita tidak mungkin kembali ke masa itu, Kak.""Masih tidak mau menjawab," pancing Felliana
Felliana mengelus lembut rambut sebahu putrinya. Pasmina yang dikenakan tadi tersampir di bahunya."Anida, Bunda paham mempertahankan juara itu, lebih sulit daripada meraihnya. Tapi, jangan terlalu memfosir dirimu. Pandai dalam akademik memang membanggakan, Nak. Tapi, Bunda akan lebih bahagia jika putri sulung ayah Aziz ini. Jadi putri yang sholehah, yang selalu dekat dengan Allah.Beragama itu nurut, enggak ada tapinya. Selagi termasuk dalam perintah Allah, itu wajib hukumnya, kita laksanakan. Kakak sebentar lagi sweet seventen. Bagi bunda, Anida sudah bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Segera tutup aurat kakak. Ingat pesan bunda, perempuan dihormati karena bisa menjaga marwahnya.""Iya, Bunda. Anida nunggu hati mantep dulu, untuk pakai jilbab. Supaya tidak pakai-copot.""Lha kenapa harus begitu. Sudah tahu perintah, ya harus dilaksanakan 'kan. Salatnya jangan suka bolong. Besok Kak Rani sudah pulang. Enggak ada lagi yang ingatin terus untuk salat."Anida menatap manik mata bu
"Yaa Allah ... Liana. Jangan sampai Engkau ambil istriku sekarang, Yaa Rabb. Hambamu belum siap." Bumi serasa bergetar bagi Ryan saat menyibak kerumunan. Nampak Felliana tergeletak dengan darah mengalir dari balik jilbabnya. Bersamaan itu datang ambulance. Bisa jadi pemilik baby shop yang menghubungi rumah sakit terdekat. Ryan segera ikut naik ke ambulance. Ambulance melaju cepat menuju RS.Pertamina yang paling dekat dengan lokasi kecelakaan. Ryan tiada berhenti berdoa seraya mencium kedua tangan istrinya.Sesampai di rumah sakit. Felliana segera ditangani rekannya di IGD. Tim medis bertindak sigap. Sedangkan Ryan menunggu di depan ruang IGD dengan kecemasan membuncah. Hingga ia tersadar, ponsel di sakunya bergetar. Panggilan dari Bu Ilmi nampak di sana.Dengan suara serak, Ryan mengabarkan apa yang terjadi kepada ibu mertuanya. Masih dengan tenaga yang tersisa ia bangkit menuju ke kursi pasien yang berjejer di samping pintu masuk IGD."Mungkin kita akan melakukan operasi untuk meng
Gundukan tanah merah di depan mereka menjadi saksi kesedihan anggota keluarga Felliana dan Ryan. Banyak rekan kerja dan sejawat Felliana yang hadir dalam pemakaman. Semua sedih, karena harus kehilangan rekan kerja sekaligus sahabat yang solid juga baik hati."Mengikhlaskan memang butuh waktu, Nak. Namun, janganlah sampai kau meratap. Kasihan Liana yang melihat keputusasaan kita yang ditinggalkannya. Ingatlah Fatih dan Fathiya sudah kehilangan bunda. Jangan sampai, merasa kehilangan kedua orangtuanya." Nasehat Bu Ilmi sembari menepuk bahu menantunya.Saat kita bilang 'aku ikhlas', penegasan kalimat itu bukan berarti rasa itu akan seketika muncul.Hal ini, hampir terjadi di semua orang. Apa lagi kehilangan seorang istri, itu yang dirasakan Ryan.Sedangkan Rani cukup tahu diri, akan posisinya di rumah Bu Ilmi. Kehadirannya tidak lebih sebagai pengasuh. Untuk kedua anak Felliana dan Ryan yang masih membutuhkan perhatian seorang ibu.Kecelakaan yang dialami oleh Felliana mengurungkan niatn