Malam semakin sunyi dan dingin yang semakin menusuk tulang. Rasa dingin membuat orang-orang enggan untuk keluar dari rumahnya. Begitu juga yang terjadi di Perguruan Julang Emas. Sebuah Perguruan tingkat satu di wilayah barat Negara Angin.
Semua orang nyaman di balik selimut mereka. Hanya beberapa murid jaga saja yang berpatroli keliling wilayah perguruan. Beberapa lagi berjaga di dua menara pengawas yang ada di gerbang Perguruan. Malam itu di wilayah barat Negara Angin benar-benar terasa sangat dingin tak biasanya. Tanpa di sadari oleh para penjaga, di balik pepohonan terlihat puluhan orang berpakaian hitam mengawasi pergerakan para penjaga itu. Jumlah mereka sangat banyak! Saat empat murid Perguruan Julang Emas melewati pepohonan tersebut, tiba-tiba sebuah belati terbang mengarah salah satu penjaga. Crash! Satu orang tumbang dengan leher menganga. Darah pun mengalir membasahi tanah yang bersalju. Tiga murid yang lain terkejut. Saat salah satu dari mereka akan menembakkan suar sebagai tanda bahaya, namun beberapa bayangan hitam telah melesat dengan cepat dan dengan beberapa kali gerakan, ketiga orang tersebut roboh di atas tanah dengan tubuh terpotong beberapa bagian. Darah mengalir dari potongan-potongan tubuh itu mengeluarkan bau anyir di malam hari. Salah satu bayangan memberi kode kepada teman-temannya yang lain agar mereka segera membereskan empat penjaga menara yang sedang berdiri dengan terkantuk-kantuk. "Lepaskan panah!" bisik salah satu orang memberi perintah. Panah pun di lepaskan ke arah penjaga menara.Tanpa suara, panah itu melesat dan menembus leher penjaga. Saat satu temannya yang lain melihat mayat kawannya, dia tak sempat teriak. Satu tangan kekar mencengkram lehernya. Lalu dengan sekali tarik, kerongkongan penjaga itu pun keluar dari leher nya membuat darah mengalir deras dari luka yang mengerikan itu. Sementara itu di menara yang lain, dua penjaga menara tidak menyadari adanya bahaya yang mengincar nyawa mereka. Mereka sibuk berkeliling di atas menara mereka sambil sesekali mengibarkan bendera merah ke arah menara seberang. Orang berpakaian hitam membalas dengan kibaran bendera untuk mengecoh penjaga yang di seberang. Ternyata kibaran bendera dari penjaga itu mengandung sebuah kode. Dan si pembunuh bertubuh kekar yang ada di seberang tidak tahu jika kibaran itu adalah sebuah kode rahasia Perguruan. Sontak saja penjaga menara terkejut dan langsung menyadari bahwa bahaya telah datang dan mengincar keamanan Perguruan. Dia segera mendatangi kawannya. Namun dia terkejut melihat kawannya yang ternyata tengah sekarat dengan leher hampir putus. Penjaga tersebut tak sempat berpikir, karena tanpa dia sadari satu tebasan membuat kepalanya terlepas dari badannya. Tubuhnya roboh tanpa kepala. Darah mengucur deras dari lubang di lehernya yang buntung. "Penjaga sudah kita amankan, segera masuk dan bunuh siapa saja yang ada di Perguruan Julang Emas!" ucap orang yang berada di atas menara. Dari balik pepohonan berkelebat puluhan orang berseragam hitam. Mereka semua menggunakan pedang panjang. "Hari ini, kita hapus Perguruan Julang Emas dari peta Negara Angin!" ucap pemimpin mereka dengan penuh ambisi. Bimasena terbangun dari tidurnya saat mendengar suara gaduh di luar rumahnya. Dia segera memakai pakaiannya dan mengambil pedangnya. Saat dia akan keluar, pintu nya telah di dobrak dari luar. Dua orang masuk langsung menyerang dengan sabetan pedang. Bimasena segera menangkis dan membalas serangan. Pertarungan pun terjadi di dalam kamar yang sempit itu. Bimasena menoleh ke belakang saat mendengar sebuah benda masuk kedalam kamarnya. Ternyata itu adalah benda bulat hitam yang masuk melalui jendelanya. Asap tipis keluar dari benda tersebut. Bima segera sadar bahwa itu adalah alat peledak! Dengan cepat dia terjang dua orang di hadapannya dengan sabetan pedang. Dan disaat yang tepat dia berhasil keluar dari kamar. Benda itu pun meledak dengan keras membuat kamar itu hancur luluh lantak. Bima dan dua orang berpakaian hitam itu terpental keluar rumah dari lantai atas rumah kayu tersebut. Mereka jatuh berguling di atas tanah. Satu orang tewas terkena pecahan kayu yang menancap di lehernya. Satunya lagi langsung berdiri dan mengambil pedangnya lalu dengan cepat berlari menyerang Bima. Dalam keadaan kesakitan karena punggungnya jatuh menabrak batu di halaman rumah, Bimasena segera mengambil pedangnya dan menangkis setiap serangan lawan. Adu pedang pun terjadi. Dan kali ini karena Bimasena berada di luar ruangan dia bisa bergerak bebas. Jurus-jurus pedang yang dia pelajari selama dua tahun di Perguruan Julang Emas itu dia keluarkan semua. Hingga akhirnya orang berpakaian hitam tewas dalam keadaan tubuh terbelah. Namun Bimasena sendiri mengalami luka parah di bagian punggungnya karena terbentur batu dan terkena bacokan oleh musuh. Darah mengalir deras dari luka bacok di punggungnya itu. Wajah Bimasena mengernyit menahan sakit yang teramat sangat. "Kakang!" terdengar seruan dari arah samping. Bima menoleh kearah sumber suara tersebut. Dilihatnya sosok gadis dengan pakaian berlumuran darah. Dalam remang-remang cahaya api yang ada, Bima langsung tahu siapa gadis tersebut. "Kinanti..." Gadis bernama Kinanti itu berlari dengan tertatih-tatih pertanda dia tengah terluka. Saat gadis itu berlati, dari arah kanan dan kirinya datang dua sosok berpakaian hitam membawa pedang siap untuk menyergap. Bima berteriak keras sambil berlari dengan cepat kearah Kinanti. Pedang di tangannya bergerak cepat menahan satu serangan dari sebelah kiri. Dengan tenaga yang hampir habis dan tubuh terluka parah, Bima berhasil menancapkan Pedangnya di tubuh musuh. Namun dia terkejut saat melihat kearah Kinanti berada, matanya menatap nanar melihat gadis itu terdiam dengan pedang yang menembus tubuhnya dari belakang. "Kakang Bima..." Lirihnya sebelum ambruk ke tanah. "Kinanti..." Bima merasakan sekujur tubuhnya menggigil menahan amarah yang luar biasa. Sambil berteriak keras dia menyerang sosok yang telah menusuk gadis pujaan hatinya tersebut. Duel ganas sempat terjadi di antara mereka berdua sebelum akhirnya Bima berhasil memenggal kepala musuhnya tersebut. Dengan lemas Bima mendatangi tubuh Kinanti. Gadis itu sudah menutup mata untuk selamanya. Peperangan belum berakhir. Suara teriakan kematian dan ledakan terjadi di mana-mana. Dengan berat hati Bima mengambil pedang yang tergeletak di tanah kemudian melangkah dengan gontai kearah aula padepokan yang kini telah porak poranda. Saat itulah matanya tertegun melihat apa yang sedang terjadi di depan sana. Di depan sana terlihat para tetua atau guru padepokan Julang Emas telah diikat dengan rantai oleh para pembunuh misterius tersebut. Namun karena banyaknya musuh, Bima tak langsung kesana mengingat tubuhnya juga sedang terluka parah. Belum lagi tenaganya yang sudah terkuras habis menghadapi beberapa pendekar hebat. Hanya saja, dia terkejut melihat satu sosok yang sangat tidak asing baginya. Seorang pria dengan wajah garang mendatangi tempat tersebut sambil membawa pedang. Para guru yang telah ditangkap itu menatap marah ke arah orang tersebut. "Kau...! Anggoro!" teriak seorang pria melihat salah satu muridnya yang bernama Anggoro ternyata telah menjadi seorang penghianat. Padahal dia adalah salah satu murid paling berbakat di Perguruan Julang Emas. "Heh! Pak tua! Kamu jangan pernah menyebut namaku lagi! Aku sudah muak dengan orang tua macam kalian semua! Hari ini adalah hari dimana kalian dan semua kebanggaan kalian ini musnah!" ucapnya disusul tawanya yang keras. "Kau bersekongkol dengan orang-orang dari Perguruan Katak Merah untuk memusnahkan tempat yang telah membesarkan namamu! Murid tak tahu diri! Tidak berguna! Cuih! Menyesal aku sudah membesarkan dirimu di tempat ini!" umpat salah satu guru yang bernama Ki Narada. Merah wajah Anggoro mendengar sumpah serapah orang tua itu. Dengan sadis dia langsung memancung kepala gurunya sendiri hingga putus. Ki Narada adalah guru yang paling banyak memberinya ilmu saat dia masih menjadi bagian dari Perguruan Julang Emas. Namun karena masalah sepele yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dendam kesumat didalam hati Anggoro sudah tak terbendung lagi. Setelah membunuh gurunya, matanya nanar mencari-cari seseorang. Namun yang terlihat hanyalah kobaran api yang membakar bangunan-bangunan Perguruan tersebut. Darah mengalir dari leher Ki Narada yang buntung. Para guru yang lain menatap marah kepada Anggoro. "Bajingan kau Anggoro! Inikah balasan mu setelah apa yang kau dapatkan selama ini!?" teriak salah satu guru dengan amarah meluap. Anggoro menoleh ke arah orang tersebut. Senyum sinis tersungging di bibirnya. "Sekarang namaku bukan lagi Anggoro. Aku adalah Serigala Hitam! Camkan itu!" ucap Anggoro yang menamai dirinya sebagai Serigala Hitam. "Pancung semuanya, jangan biarkan satu orang pun hidup. Hari ini, Perguruan Julang Emas telah resmi di hapuskan dari Negara Angin!" ucap Anggoro alias si Serigala Hitam itu dingin. Dia pun berjalan meninggalkan perguruan itu dengan angkuhnya. Para guru dan murid yang tersisa di pancung semua nya tanpa ampun. Bima yang berada di balik reruntuhan rumah kayu tak berdaya melihat pembantaian tersebut. Saat dia hendak bergerak, tiba-tiba pandangan matanya berubah gelap. Bima jatuh tak sadarkan diri. Malam itu darah benar-benar membanjiri Perguruan Julang Emas. Tak ada satu pun yang tersisa dari Perguruan tersebut kecuali puing kayu dan mayat. ~Mata Bimasena terbuka perlahan. Apa yang di lihatnya pertama kali adalah sebuah langit-langit yang terbuat dari daun rumbia. Dia masih merasakan punggungnya yang berdenyut sakit. Dengan perlahan dicobanya menggeser tubuhnya agar bisa duduk di atas balai-balai bambu tersebut. Terdengar bunyi berderit dari balai-balai bambu tua itu. Matanya menatap satu cangkir yang terbuat dari bambu berisi entah air apa. Namun air itu masih mengeluarkan uap panas pertanda minuman itu belum lama di seduh. Terdengar suara kayu yang di potong di luar gubuk. Dengan sekuat tenaga sambil menahan sakit, Bima berjalan sambil berpegangan pada dinding gubuk. Wajahnya mengernyit kesakitan. Namun karena penasaran yang tinggi mengalahkan rasa sakitnya, dia tetap berjalan ke arah pintu. Sesampainya di depan pintu, Bima terkejut. Karena gubuk yang dia tempati berada di atas pohon yang tinggi. Matanya menatap ke arah bawah sana, dimana terdengar suara orang yang tengah memotong kayu. Terlihat asap tipis d
Pendeta Barata tersenyum kepada Bimasena yang sangat berhasrat ingin tahu tentang para penjahat yang membantai satu Perguruan dimana Bima tinggal. "Jika kau tahu, apa yang akan kau perbuat? Kemampuanmu saja sangat lemah. Menghindari lemparan batu kecil saja tidak bisa, apa lagi menahan tebasan Pedang dari pendekar hebat? Sudah tewas kau!" ucap Pendeta Barata membuat wajah Bima memerah karena malu dan kesal. "Lalu, apa yang harus aku lakukan kakek?" tanya Bima. "Kau harus melatih dirimu sendiri. Jika kau mau berlatih padaku, ada tiga tahap yang harus kau lalui untuk menjadi pendekar kelas tengah. Itu saja masih belum cukup untukmu bisa melawan mereka," kata Pendeta Barata sambil mengelus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang. "Apakah kakek benar-benar mau mengajariku?" tanya Bima penuh harap. Mata si kakek itu melotot membuat Bima merasa ngeri. "Sudah di tolong, sudah di kasih obat, sudah di beri makan, malah sekarang minta di ajari ilmu! Anak siapa kau cah lanang!? Bisa-bis
Tiga tahun pun berlalu dengan cepat. Bimasena telah menguasai semua jurus dan kekuatan tenaga dalam yang Pendeta Barata ajarkan. Latihan yang Pendeta Barata berikan cukup berat. Namun dia berhasil lulus setelah menyelesaikan latihan tahap akhir,atau tahap ke tiga. Bimasena ingat saat dia awal mulai berlatih . Pendeta Barata menyuruhnya memotong kayu, mengisi air, dan mencari batu mulia. Kata Pendeta Barata, batu mulia tersebut bisa menyalurkan tenaga dalam. Dan harga batu mulia itu sangat mahal. Satu batu berwarna merah bisa menghasilkan ratusan tail emas. Tahap pertama pun dia lalui selama satu tahun, hingga dia bisa memotong seribu potong kayu dengan ukuran yang sama persis. Latihan ini adalah soal keseimbangan. Dan Bima berhasil dengan sempurna. Dia pun mengisi air dengan cepat bahkan sambil berlari.Kegunaan latihan ini adalah untuk memperkuat otot-otot lengan dan otot bahu serta kakinya yang nantinya akan di jadikan kuda-kuda saat bertarung. Semuanya harus kuat. Latihan ini be
Hari itu juga setelah Pendeta Barata memberikan petunjuk dan warisan pedang, Bimasena pun pamit undur diri kepada gurunya. Tak henti Bima ucapkan terimakasih kepada kakek gurunya tersebut. Orang yang telah menyelamatkan hidupnya dan mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya selama tiga tahun belakangan ini. Dalam tiga tahun akhirnya Bimasena berhasil menguasai seluruh jurus dan kesaktian Pendeta Barata yang pernah mendapat julukan sebagai Sang Iblis Gila. Julukan itu bukan tanpa sebab, dulu Pendeta Barata adalah seorang pembunuh yang sangat liar. Itu sebabnya dia mendapatkan julukan tersebut. Mengenai asal-usul orang tua tersebut, Bima belum mengetahui nya. Namun seiring berjalannya waktu, semua orang akan tahu bahwa si Iblis Gila itu mempunyai seorang penerus. Yaitu Bimasena. Dengan pedang yang menggantung di punggung Bima pun meninggalkan tempat dimana dia berlatih dengan perasaan sedih. Pendeta Barata hanya melambaikan tangan saja ke arahnya dengan perasaan yang sedih bercampur bangg
Bimasena menatap orang yang baru saja datang itu. Dia merasakan hawa yang berbeda. Lelaki bernama Marga itu sedikit lebih kuat dari pada rombongan pecundang yang dia temui sebelumnya di dalam kedai. "Siapa kau sebenarnya!?" hardik Marga keras. Bimasena hanya menghela nafas menatap orang bertubuh cukup tegap itu. Hanya dengan melihat tubuh Marga, Bimasena langsung tahu beberapa titik lemah di tubuh orang itu. Merasa pertanyaannya tak di hiraukan oleh Bima, Marga pun langsung menyerang dengan cepat ke arah pemuda berikat kepala merah itu. Tinju kanannya melayang dengan kekuatan yang tidak main-main. Jika mengenai tubuh, bisa jadi tulangnya akan langsung patah. Namun dengan mudah Bima mengelak dari serangan tersebut. Dia mengelak ke kanan lalu tangan kirinya bergerak cepat ke arah bahu Marga. Tuk! Dua jari Bimasena bersarang di bahu kanan Marga yang baru saja dia gunakan untuk menyerang. Saat itu juga Marga mer
Bimasena melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat pendaftaran peserta sayembara. Ternyata disana sudah di penuhi banyak orang yang mengantri. "Ramai sekali," batin Bima sambil mengamati sekitar. Tiba-tiba ada seorang lelaki berbadan besar menyerobot antrian. Tubuh Bima di tarik keluar dari antrian. "Sampah belakangan! biar aku dulu yang di depan!" teriak lelaki itu. Banyak orang menyingkir karena takut melihat wajahnya yang besar. Lelaki berbadan besar itu akhirnya sampai di urutan pertama. Banyak peserta yang marah karena kejadian itu. Tapi mereka enggan berurusan dengan orang berbadan kekar tersebut. Agaknya mereka tahu siapa lelaki besar itu. Tapi tidak bagi Bimasena. Dia merasa kesal antriannya di serobot di tambah tubuhnya juga di tarik, di tambah lagi lelaki itu menyebutnya sampah. Lelaki besar itu tengah mendaftar kan dirinya untuk mengikuti sayembara. Tiba-tiba satu tangan mencengkram bahu kanannya. Lelaki itu menoleh dan melihat seorang pemuda tampan berpakaian merah
Bimasena melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat pendaftaran peserta sayembara. Ternyata disana sudah di penuhi banyak orang yang mengantri. "Ramai sekali," batin Bima sambil mengamati sekitar. Tiba-tiba ada seorang lelaki berbadan besar menyerobot antrian. Tubuh Bima di tarik keluar dari antrian. "Sampah belakangan! biar aku dulu yang di depan!" teriak lelaki itu. Banyak orang menyingkir karena takut melihat wajahnya yang besar. Lelaki berbadan besar itu akhirnya sampai di urutan pertama. Banyak peserta yang marah karena kejadian itu. Tapi mereka enggan berurusan dengan orang berbadan kekar tersebut. Agaknya mereka tahu siapa lelaki besar itu. Tapi tidak bagi Bimasena. Dia merasa kesal antriannya di serobot di tambah tubuhnya juga di tarik, di tambah lagi lelaki itu menyebutnya sampah. Lelaki besar itu tengah mendaftar kan dirinya untuk mengikuti sayembara. Tiba-tiba satu tangan mencengkram bahu kanannya. Lelaki itu menoleh dan melihat seorang pemuda tampan berpakaian merah
Bimasena menatap orang yang baru saja datang itu. Dia merasakan hawa yang berbeda. Lelaki bernama Marga itu sedikit lebih kuat dari pada rombongan pecundang yang dia temui sebelumnya di dalam kedai. "Siapa kau sebenarnya!?" hardik Marga keras. Bimasena hanya menghela nafas menatap orang bertubuh cukup tegap itu. Hanya dengan melihat tubuh Marga, Bimasena langsung tahu beberapa titik lemah di tubuh orang itu. Merasa pertanyaannya tak di hiraukan oleh Bima, Marga pun langsung menyerang dengan cepat ke arah pemuda berikat kepala merah itu. Tinju kanannya melayang dengan kekuatan yang tidak main-main. Jika mengenai tubuh, bisa jadi tulangnya akan langsung patah. Namun dengan mudah Bima mengelak dari serangan tersebut. Dia mengelak ke kanan lalu tangan kirinya bergerak cepat ke arah bahu Marga. Tuk! Dua jari Bimasena bersarang di bahu kanan Marga yang baru saja dia gunakan untuk menyerang. Saat itu juga Marga mer
Hari itu juga setelah Pendeta Barata memberikan petunjuk dan warisan pedang, Bimasena pun pamit undur diri kepada gurunya. Tak henti Bima ucapkan terimakasih kepada kakek gurunya tersebut. Orang yang telah menyelamatkan hidupnya dan mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya selama tiga tahun belakangan ini. Dalam tiga tahun akhirnya Bimasena berhasil menguasai seluruh jurus dan kesaktian Pendeta Barata yang pernah mendapat julukan sebagai Sang Iblis Gila. Julukan itu bukan tanpa sebab, dulu Pendeta Barata adalah seorang pembunuh yang sangat liar. Itu sebabnya dia mendapatkan julukan tersebut. Mengenai asal-usul orang tua tersebut, Bima belum mengetahui nya. Namun seiring berjalannya waktu, semua orang akan tahu bahwa si Iblis Gila itu mempunyai seorang penerus. Yaitu Bimasena. Dengan pedang yang menggantung di punggung Bima pun meninggalkan tempat dimana dia berlatih dengan perasaan sedih. Pendeta Barata hanya melambaikan tangan saja ke arahnya dengan perasaan yang sedih bercampur bangg
Tiga tahun pun berlalu dengan cepat. Bimasena telah menguasai semua jurus dan kekuatan tenaga dalam yang Pendeta Barata ajarkan. Latihan yang Pendeta Barata berikan cukup berat. Namun dia berhasil lulus setelah menyelesaikan latihan tahap akhir,atau tahap ke tiga. Bimasena ingat saat dia awal mulai berlatih . Pendeta Barata menyuruhnya memotong kayu, mengisi air, dan mencari batu mulia. Kata Pendeta Barata, batu mulia tersebut bisa menyalurkan tenaga dalam. Dan harga batu mulia itu sangat mahal. Satu batu berwarna merah bisa menghasilkan ratusan tail emas. Tahap pertama pun dia lalui selama satu tahun, hingga dia bisa memotong seribu potong kayu dengan ukuran yang sama persis. Latihan ini adalah soal keseimbangan. Dan Bima berhasil dengan sempurna. Dia pun mengisi air dengan cepat bahkan sambil berlari.Kegunaan latihan ini adalah untuk memperkuat otot-otot lengan dan otot bahu serta kakinya yang nantinya akan di jadikan kuda-kuda saat bertarung. Semuanya harus kuat. Latihan ini be
Pendeta Barata tersenyum kepada Bimasena yang sangat berhasrat ingin tahu tentang para penjahat yang membantai satu Perguruan dimana Bima tinggal. "Jika kau tahu, apa yang akan kau perbuat? Kemampuanmu saja sangat lemah. Menghindari lemparan batu kecil saja tidak bisa, apa lagi menahan tebasan Pedang dari pendekar hebat? Sudah tewas kau!" ucap Pendeta Barata membuat wajah Bima memerah karena malu dan kesal. "Lalu, apa yang harus aku lakukan kakek?" tanya Bima. "Kau harus melatih dirimu sendiri. Jika kau mau berlatih padaku, ada tiga tahap yang harus kau lalui untuk menjadi pendekar kelas tengah. Itu saja masih belum cukup untukmu bisa melawan mereka," kata Pendeta Barata sambil mengelus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang. "Apakah kakek benar-benar mau mengajariku?" tanya Bima penuh harap. Mata si kakek itu melotot membuat Bima merasa ngeri. "Sudah di tolong, sudah di kasih obat, sudah di beri makan, malah sekarang minta di ajari ilmu! Anak siapa kau cah lanang!? Bisa-bis
Mata Bimasena terbuka perlahan. Apa yang di lihatnya pertama kali adalah sebuah langit-langit yang terbuat dari daun rumbia. Dia masih merasakan punggungnya yang berdenyut sakit. Dengan perlahan dicobanya menggeser tubuhnya agar bisa duduk di atas balai-balai bambu tersebut. Terdengar bunyi berderit dari balai-balai bambu tua itu. Matanya menatap satu cangkir yang terbuat dari bambu berisi entah air apa. Namun air itu masih mengeluarkan uap panas pertanda minuman itu belum lama di seduh. Terdengar suara kayu yang di potong di luar gubuk. Dengan sekuat tenaga sambil menahan sakit, Bima berjalan sambil berpegangan pada dinding gubuk. Wajahnya mengernyit kesakitan. Namun karena penasaran yang tinggi mengalahkan rasa sakitnya, dia tetap berjalan ke arah pintu. Sesampainya di depan pintu, Bima terkejut. Karena gubuk yang dia tempati berada di atas pohon yang tinggi. Matanya menatap ke arah bawah sana, dimana terdengar suara orang yang tengah memotong kayu. Terlihat asap tipis d
Malam semakin sunyi dan dingin yang semakin menusuk tulang. Rasa dingin membuat orang-orang enggan untuk keluar dari rumahnya. Begitu juga yang terjadi di Perguruan Julang Emas. Sebuah Perguruan tingkat satu di wilayah barat Negara Angin. Semua orang nyaman di balik selimut mereka. Hanya beberapa murid jaga saja yang berpatroli keliling wilayah perguruan. Beberapa lagi berjaga di dua menara pengawas yang ada di gerbang Perguruan. Malam itu di wilayah barat Negara Angin benar-benar terasa sangat dingin tak biasanya. Tanpa di sadari oleh para penjaga, di balik pepohonan terlihat puluhan orang berpakaian hitam mengawasi pergerakan para penjaga itu. Jumlah mereka sangat banyak! Saat empat murid Perguruan Julang Emas melewati pepohonan tersebut, tiba-tiba sebuah belati terbang mengarah salah satu penjaga. Crash! Satu orang tumbang dengan leher menganga. Darah pun mengalir membasahi tanah yang bersalju. Tiga murid yang lain terkejut. Saat salah satu dari mereka akan menembakkan