Share

3.Berlatih

Penulis: Gibran
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-27 09:15:44

Pendeta Barata tersenyum kepada Bimasena yang sangat berhasrat ingin tahu tentang para penjahat yang membantai satu Perguruan dimana Bima tinggal.

"Jika kau tahu, apa yang akan kau perbuat? Kemampuanmu saja sangat lemah. Menghindari lemparan batu kecil saja tidak bisa, apa lagi menahan tebasan Pedang dari pendekar hebat? Sudah tewas kau!" ucap Pendeta Barata membuat wajah Bima memerah karena malu dan kesal.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan kakek?" tanya Bima.

"Kau harus melatih dirimu sendiri. Jika kau mau berlatih padaku, ada tiga tahap yang harus kau lalui untuk menjadi pendekar kelas tengah. Itu saja masih belum cukup untukmu bisa melawan mereka," kata Pendeta Barata sambil mengelus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang.

"Apakah kakek benar-benar mau mengajariku?" tanya Bima penuh harap.

Mata si kakek itu melotot membuat Bima merasa ngeri.

"Sudah di tolong, sudah di kasih obat, sudah di beri makan, malah sekarang minta di ajari ilmu! Anak siapa kau cah lanang!? Bisa-bisanya kau menawar tanpa membayar! Huh!" umpat Pendeta Barata membuat hati Bima kecut seketika.

Melihat wajah masam dari pemuda itu membuat si kakek tersenyum.

"Sekarang apakah kau masih merasakan sakit?" tanya kakek.

Bimasena menggeleng.

"Sedikit tapi bukan apa-apa." jawabnya singkat.

"Kalau begitu, ambil kapak itu. Kau potong sama persis dengan kayu yang sudah dipotong itu,jangan sampai kepanjangan atau kependekan," perintah si kakek sambil menunjuk ke arah kayu.

"Sekarang kek?" tanya Bima dengan wajah terkejut.

"Besok bocah geblek! Ya sekarang lah! Orang itu kayu akan di jual ke pasar untuk beli beras dan kebutuhan obat mu!" bentak Pendeta Barata kesal.

Dengan berat hati Bima melangkah dan mengambil kapak.

"Ingat, harus sama ukurannya. Jika gagal satu tebasan, jatah makan di kurangi satu porsi!" ucap kakek itu membuat Bima menggenggam kapaknya erat-erat menahan emosi yang telah memuncak.

"Sebaiknya kau gunakan amarahmu untuk banyak membelah kayu! Biar amarahmu lebih berguna ketimbang tubuhmu!" kata Pendeta Barata semakin membuat Bima kesal saja.

Dengan sekali ayun, Bima membelah kayu itu. Dia tersenyum kecil.

"Ini sih sangat mudah kek." ucap Bima lalu membelah lagi.

Pendeta Barata berdiri dan mengambil potongan kayu yang Bima kerjakan.

Matanya melotot. Lalu di lemparnya kayu itu ke tanah.

"Aku bilang ukurannya sama persis dengan potongan yang telah aku kerjakan! Kamu ini tolol apa bodoh! Dasar tidak berguna!"

Bima hanya bisa diam dan menahan amarah. Di maki habis-habisan, dia sudah terbiasa menerima semua itu saat berada di Perguruan Julang Emas.

Waktu itu, Anggoro lah yang paling sering menjahili dirinya. Ada saja yang Anggoro lakukan untuk membuat Bimasena kesusahan. Karena Anggoro adalah murid berbakat dan dia murid yang lambat.

Mengingat kejadian itu, dengan kesal Bima mulai memotong kayu-kayu tersebut. Sedangkan Pendeta Barata menjadi penilai pas dan tidaknya kayu dengan ukuran yang kakek itu minta.

Banyak kegagalan saat Bima memotong kayu tersebut. Dari dua ratus potong kayu, seratus enam puluh potong kayu berbeda dengan milik Pendeta Barata.

"Ingat, dalam seratus enam puluh hari, jatah makan-mu berkurang satu porsi setiap harinya," kata Pendeta Barata membuat Bimasena geram.

Tapi Bima tidak bisa menyangkal. Dia hanya menurut saja karena dia memang menumpang di tempat orang.

"Besok, antar aku ke pasar. Ingat, sebelum ayam jantan berkokok, kau harus sudah bangun dan menyiapkan kayu," kata Pendeta Barata.

Bima hanya bisa mengangguk.

"Sekarang, kau ambil air di sungai dan kau penuhi wadah besar itu hingga penuh." ucap Kakek lagi membuat Bima melongo.

Rasa lelah belum hilang, sudah ada perintah lain yang lebih melelahkan.

"Saat kau tidur di atas sana dan aku merawat-mu, aku setiap hari mengisi wadah itu dua kali, sendirian tak ada yang membantu. Kebutuhan air meningkat. Jadi jangan tanya kenapa aku menyuruhmu mengambil air di sungai," kata kakek membuat Bima diam tak berkata apapun.

Dengan berat hati Bima mengambil sebuah wadah yang terbuat dari kulit binatang. Lalu dia mulai menimba air di sungai.

Dua jam kemudian wadah air besar itu telah penuh. Bima menyeka keringat yang menetes banyak di dahinya itu.

"Bagus, hari ini kau sudah bekerja dengan baik. Beristirahatlah sejenak. Aku masih ingin minta pertolonganmu." kata Pendeta Barata membuat wajah Bima semakin masam saja.

Pemuda itu tiduran di bawah pohon. Karena rasa lelah dan mengantuk, membuat tubuhnya semakin bersandar pada pohon itu. Hingga tiba-tiba...

"Duk!" kaki Bimasena ada yang menendang.

Sontak pemuda itu terkejut lalu segera bangkit berdiri.

Pendeta Barata tertawa melihat Bima yang marah karena kakinya sengaja dia tendang.

"Hei cah lanang! Jika itu pedang yang menghampiri-mu, pasti kakimu sudah buntung. Mungkin juga lehermu sudah robek!" ucap orang tua yang tak lain Pendeta Barata.

Bima merasa kesal dan malu. Dia benar-benar merasa menjadi pemuda yang lemah. Hawa keberadaan orang lain saja dia tak bisa mengetahui. Jika ada orang berniat buruk, sudah pasti dia akan celaka.

"Jangan terlalu banyak melamun, itu akan menurunkan konsentrasi-mu. Ayo ikut aku, aku butuh bantuan-mu!" ucap si kakek sambil meletakkan kantong kain di hadapan Bima.

Sesaat Bima merasa dirinya di jadikan budak. Namun mengingat apa yang Pendeta Barata lakukan untuk menyelamatkan hidupnya, hal ini sangat kecil untuk membalas budi si kakek tua tersebut.

Akhirnya Bima melangkah mengikuti si kakek ke dalam hutan. Dia tidak tahu, apa yang akan dia kerjakan.

Sesampainya di kaki tebing, kakek Barata berhenti. Kepalanya mendongak ke atas mencari sesuatu. Akhirnya matanya yang jeli terlihat berbinar-binar.

"Nah, coba kamu tengok ke atas sana! Kamu lihat ada satu batu kecil berwarna hijau?"

Bima menatap sesuai arah telunjuk si kakek. Matanya silau terkena sinar matahari. Tapi sekilas dia melihat batu kecil bersinar hijau.

"Aku melihatnya kek!" ucap Bima.

"Benarkah!? Padahal aku hanya berbohong karena mata tuaku ini tak mungkin melihat batu hijau sejauh itu!" kata Pendeta Barata membuat Bima tercengang.

"Berarti tadi kakek hanya menebak!?" tanya Bima tak percaya. Si kakek hanya tertawa kecil.

"Nah sekarang, kamu yang sudah melihat batu itu, cobalah kau ambil batu itu!" perintah si kakek.

Bimasena terdiam sesaat. Amarahnya meledak lagi. Tapi dia mencoba untuk menahan amarahnya.

"Jika kau berhasil mengambil batu itu, maka jatah makan-mu yang tadi berkurang seratus enam puluh porsi itu akan di potong seratus dan hukuman menjadi enam puluh porsi saja. Anggap saja yang seratus porsi itu adalah upah karena kau telah mengambil batu hijau itu." kata si kakek membuat Bima berpikir sejenak.

Akhirnya pemuda itu setuju. Dia mulai mendaki tebing curam itu perlahan-lahan. Ini pertama kalinya dia mendaki tebing.

"Sial, batunya licin!" batin Bima merasa kesal karena seharian seolah telah menjadi pekerja keras.

Namun dia mencoba bertahan. Dia kuatkan tekadnya untuk menggapai batu hijau itu.

Pendeta Barata tersenyum melihat kegigihan Bima.

Meski Bima merasakan semua jarinya sakit dan lecet, Bima tetap berusaha mencapai batu hijau itu.

Kesulitan kembali terjadi. Tak ada lagi batu yang bisa digunakan sebagai pegangan tangan. Sementara jarak antara dia dengan batu itu masih sekitar dua belas kaki.

Bima menoleh ke bawah sana. Jika dia turun tanpa hasil, jatah makannya akan tetap berkurang seratus enam puluh porsi.

"Sial... Apakah aku harus loncat?"

Akhirnya setelah berpikir beberapa saat dia pun memutuskan untuk melompat.

Bab terkait

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    4.Warisan Pedang Darah

    Tiga tahun pun berlalu dengan cepat. Bimasena telah menguasai semua jurus dan kekuatan tenaga dalam yang Pendeta Barata ajarkan. Latihan yang Pendeta Barata berikan cukup berat. Namun dia berhasil lulus setelah menyelesaikan latihan tahap akhir,atau tahap ke tiga. Bimasena ingat saat dia awal mulai berlatih . Pendeta Barata menyuruhnya memotong kayu, mengisi air, dan mencari batu mulia. Kata Pendeta Barata, batu mulia tersebut bisa menyalurkan tenaga dalam. Dan harga batu mulia itu sangat mahal. Satu batu berwarna merah bisa menghasilkan ratusan tail emas. Tahap pertama pun dia lalui selama satu tahun, hingga dia bisa memotong seribu potong kayu dengan ukuran yang sama persis. Latihan ini adalah soal keseimbangan. Dan Bima berhasil dengan sempurna. Dia pun mengisi air dengan cepat bahkan sambil berlari.Kegunaan latihan ini adalah untuk memperkuat otot-otot lengan dan otot bahu serta kakinya yang nantinya akan di jadikan kuda-kuda saat bertarung. Semuanya harus kuat. Latihan ini be

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    5.Perguruan Katak Merah

    Hari itu juga setelah Pendeta Barata memberikan petunjuk dan warisan pedang, Bimasena pun pamit undur diri kepada gurunya. Tak henti Bima ucapkan terimakasih kepada kakek gurunya tersebut. Orang yang telah menyelamatkan hidupnya dan mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya selama tiga tahun belakangan ini. Dalam tiga tahun akhirnya Bimasena berhasil menguasai seluruh jurus dan kesaktian Pendeta Barata yang pernah mendapat julukan sebagai Sang Iblis Gila. Julukan itu bukan tanpa sebab, dulu Pendeta Barata adalah seorang pembunuh yang sangat liar. Itu sebabnya dia mendapatkan julukan tersebut. Mengenai asal-usul orang tua tersebut, Bima belum mengetahui nya. Namun seiring berjalannya waktu, semua orang akan tahu bahwa si Iblis Gila itu mempunyai seorang penerus. Yaitu Bimasena. Dengan pedang yang menggantung di punggung Bima pun meninggalkan tempat dimana dia berlatih dengan perasaan sedih. Pendeta Barata hanya melambaikan tangan saja ke arahnya dengan perasaan yang sedih bercampur bangg

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    6.Sayembara

    Bimasena menatap orang yang baru saja datang itu. Dia merasakan hawa yang berbeda. Lelaki bernama Marga itu sedikit lebih kuat dari pada rombongan pecundang yang dia temui sebelumnya di dalam kedai. "Siapa kau sebenarnya!?" hardik Marga keras. Bimasena hanya menghela nafas menatap orang bertubuh cukup tegap itu. Hanya dengan melihat tubuh Marga, Bimasena langsung tahu beberapa titik lemah di tubuh orang itu. Merasa pertanyaannya tak di hiraukan oleh Bima, Marga pun langsung menyerang dengan cepat ke arah pemuda berikat kepala merah itu. Tinju kanannya melayang dengan kekuatan yang tidak main-main. Jika mengenai tubuh, bisa jadi tulangnya akan langsung patah. Namun dengan mudah Bima mengelak dari serangan tersebut. Dia mengelak ke kanan lalu tangan kirinya bergerak cepat ke arah bahu Marga. Tuk! Dua jari Bimasena bersarang di bahu kanan Marga yang baru saja dia gunakan untuk menyerang. Saat itu juga Marga mer

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    7.Kerusuhan

    Bimasena melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat pendaftaran peserta sayembara. Ternyata disana sudah di penuhi banyak orang yang mengantri. "Ramai sekali," batin Bima sambil mengamati sekitar. Tiba-tiba ada seorang lelaki berbadan besar menyerobot antrian. Tubuh Bima di tarik keluar dari antrian. "Sampah belakangan! biar aku dulu yang di depan!" teriak lelaki itu. Banyak orang menyingkir karena takut melihat wajahnya yang besar. Lelaki berbadan besar itu akhirnya sampai di urutan pertama. Banyak peserta yang marah karena kejadian itu. Tapi mereka enggan berurusan dengan orang berbadan kekar tersebut. Agaknya mereka tahu siapa lelaki besar itu. Tapi tidak bagi Bimasena. Dia merasa kesal antriannya di serobot di tambah tubuhnya juga di tarik, di tambah lagi lelaki itu menyebutnya sampah. Lelaki besar itu tengah mendaftar kan dirinya untuk mengikuti sayembara. Tiba-tiba satu tangan mencengkram bahu kanannya. Lelaki itu menoleh dan melihat seorang pemuda tampan berpakaian merah

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    1.Malam Penuh Darah

    Malam semakin sunyi dan dingin yang semakin menusuk tulang. Rasa dingin membuat orang-orang enggan untuk keluar dari rumahnya. Begitu juga yang terjadi di Perguruan Julang Emas. Sebuah Perguruan tingkat satu di wilayah barat Negara Angin. Semua orang nyaman di balik selimut mereka. Hanya beberapa murid jaga saja yang berpatroli keliling wilayah perguruan. Beberapa lagi berjaga di dua menara pengawas yang ada di gerbang Perguruan. Malam itu di wilayah barat Negara Angin benar-benar terasa sangat dingin tak biasanya. Tanpa di sadari oleh para penjaga, di balik pepohonan terlihat puluhan orang berpakaian hitam mengawasi pergerakan para penjaga itu. Jumlah mereka sangat banyak! Saat empat murid Perguruan Julang Emas melewati pepohonan tersebut, tiba-tiba sebuah belati terbang mengarah salah satu penjaga. Crash! Satu orang tumbang dengan leher menganga. Darah pun mengalir membasahi tanah yang bersalju. Tiga murid yang lain terkejut. Saat salah satu dari mereka akan menembakkan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    2.Barata

    Mata Bimasena terbuka perlahan. Apa yang di lihatnya pertama kali adalah sebuah langit-langit yang terbuat dari daun rumbia. Dia masih merasakan punggungnya yang berdenyut sakit. Dengan perlahan dicobanya menggeser tubuhnya agar bisa duduk di atas balai-balai bambu tersebut. Terdengar bunyi berderit dari balai-balai bambu tua itu. Matanya menatap satu cangkir yang terbuat dari bambu berisi entah air apa. Namun air itu masih mengeluarkan uap panas pertanda minuman itu belum lama di seduh. Terdengar suara kayu yang di potong di luar gubuk. Dengan sekuat tenaga sambil menahan sakit, Bima berjalan sambil berpegangan pada dinding gubuk. Wajahnya mengernyit kesakitan. Namun karena penasaran yang tinggi mengalahkan rasa sakitnya, dia tetap berjalan ke arah pintu. Sesampainya di depan pintu, Bima terkejut. Karena gubuk yang dia tempati berada di atas pohon yang tinggi. Matanya menatap ke arah bawah sana, dimana terdengar suara orang yang tengah memotong kayu. Terlihat asap tipis d

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24

Bab terbaru

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    7.Kerusuhan

    Bimasena melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat pendaftaran peserta sayembara. Ternyata disana sudah di penuhi banyak orang yang mengantri. "Ramai sekali," batin Bima sambil mengamati sekitar. Tiba-tiba ada seorang lelaki berbadan besar menyerobot antrian. Tubuh Bima di tarik keluar dari antrian. "Sampah belakangan! biar aku dulu yang di depan!" teriak lelaki itu. Banyak orang menyingkir karena takut melihat wajahnya yang besar. Lelaki berbadan besar itu akhirnya sampai di urutan pertama. Banyak peserta yang marah karena kejadian itu. Tapi mereka enggan berurusan dengan orang berbadan kekar tersebut. Agaknya mereka tahu siapa lelaki besar itu. Tapi tidak bagi Bimasena. Dia merasa kesal antriannya di serobot di tambah tubuhnya juga di tarik, di tambah lagi lelaki itu menyebutnya sampah. Lelaki besar itu tengah mendaftar kan dirinya untuk mengikuti sayembara. Tiba-tiba satu tangan mencengkram bahu kanannya. Lelaki itu menoleh dan melihat seorang pemuda tampan berpakaian merah

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    6.Sayembara

    Bimasena menatap orang yang baru saja datang itu. Dia merasakan hawa yang berbeda. Lelaki bernama Marga itu sedikit lebih kuat dari pada rombongan pecundang yang dia temui sebelumnya di dalam kedai. "Siapa kau sebenarnya!?" hardik Marga keras. Bimasena hanya menghela nafas menatap orang bertubuh cukup tegap itu. Hanya dengan melihat tubuh Marga, Bimasena langsung tahu beberapa titik lemah di tubuh orang itu. Merasa pertanyaannya tak di hiraukan oleh Bima, Marga pun langsung menyerang dengan cepat ke arah pemuda berikat kepala merah itu. Tinju kanannya melayang dengan kekuatan yang tidak main-main. Jika mengenai tubuh, bisa jadi tulangnya akan langsung patah. Namun dengan mudah Bima mengelak dari serangan tersebut. Dia mengelak ke kanan lalu tangan kirinya bergerak cepat ke arah bahu Marga. Tuk! Dua jari Bimasena bersarang di bahu kanan Marga yang baru saja dia gunakan untuk menyerang. Saat itu juga Marga mer

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    5.Perguruan Katak Merah

    Hari itu juga setelah Pendeta Barata memberikan petunjuk dan warisan pedang, Bimasena pun pamit undur diri kepada gurunya. Tak henti Bima ucapkan terimakasih kepada kakek gurunya tersebut. Orang yang telah menyelamatkan hidupnya dan mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya selama tiga tahun belakangan ini. Dalam tiga tahun akhirnya Bimasena berhasil menguasai seluruh jurus dan kesaktian Pendeta Barata yang pernah mendapat julukan sebagai Sang Iblis Gila. Julukan itu bukan tanpa sebab, dulu Pendeta Barata adalah seorang pembunuh yang sangat liar. Itu sebabnya dia mendapatkan julukan tersebut. Mengenai asal-usul orang tua tersebut, Bima belum mengetahui nya. Namun seiring berjalannya waktu, semua orang akan tahu bahwa si Iblis Gila itu mempunyai seorang penerus. Yaitu Bimasena. Dengan pedang yang menggantung di punggung Bima pun meninggalkan tempat dimana dia berlatih dengan perasaan sedih. Pendeta Barata hanya melambaikan tangan saja ke arahnya dengan perasaan yang sedih bercampur bangg

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    4.Warisan Pedang Darah

    Tiga tahun pun berlalu dengan cepat. Bimasena telah menguasai semua jurus dan kekuatan tenaga dalam yang Pendeta Barata ajarkan. Latihan yang Pendeta Barata berikan cukup berat. Namun dia berhasil lulus setelah menyelesaikan latihan tahap akhir,atau tahap ke tiga. Bimasena ingat saat dia awal mulai berlatih . Pendeta Barata menyuruhnya memotong kayu, mengisi air, dan mencari batu mulia. Kata Pendeta Barata, batu mulia tersebut bisa menyalurkan tenaga dalam. Dan harga batu mulia itu sangat mahal. Satu batu berwarna merah bisa menghasilkan ratusan tail emas. Tahap pertama pun dia lalui selama satu tahun, hingga dia bisa memotong seribu potong kayu dengan ukuran yang sama persis. Latihan ini adalah soal keseimbangan. Dan Bima berhasil dengan sempurna. Dia pun mengisi air dengan cepat bahkan sambil berlari.Kegunaan latihan ini adalah untuk memperkuat otot-otot lengan dan otot bahu serta kakinya yang nantinya akan di jadikan kuda-kuda saat bertarung. Semuanya harus kuat. Latihan ini be

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    3.Berlatih

    Pendeta Barata tersenyum kepada Bimasena yang sangat berhasrat ingin tahu tentang para penjahat yang membantai satu Perguruan dimana Bima tinggal. "Jika kau tahu, apa yang akan kau perbuat? Kemampuanmu saja sangat lemah. Menghindari lemparan batu kecil saja tidak bisa, apa lagi menahan tebasan Pedang dari pendekar hebat? Sudah tewas kau!" ucap Pendeta Barata membuat wajah Bima memerah karena malu dan kesal. "Lalu, apa yang harus aku lakukan kakek?" tanya Bima. "Kau harus melatih dirimu sendiri. Jika kau mau berlatih padaku, ada tiga tahap yang harus kau lalui untuk menjadi pendekar kelas tengah. Itu saja masih belum cukup untukmu bisa melawan mereka," kata Pendeta Barata sambil mengelus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang. "Apakah kakek benar-benar mau mengajariku?" tanya Bima penuh harap. Mata si kakek itu melotot membuat Bima merasa ngeri. "Sudah di tolong, sudah di kasih obat, sudah di beri makan, malah sekarang minta di ajari ilmu! Anak siapa kau cah lanang!? Bisa-bis

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    2.Barata

    Mata Bimasena terbuka perlahan. Apa yang di lihatnya pertama kali adalah sebuah langit-langit yang terbuat dari daun rumbia. Dia masih merasakan punggungnya yang berdenyut sakit. Dengan perlahan dicobanya menggeser tubuhnya agar bisa duduk di atas balai-balai bambu tersebut. Terdengar bunyi berderit dari balai-balai bambu tua itu. Matanya menatap satu cangkir yang terbuat dari bambu berisi entah air apa. Namun air itu masih mengeluarkan uap panas pertanda minuman itu belum lama di seduh. Terdengar suara kayu yang di potong di luar gubuk. Dengan sekuat tenaga sambil menahan sakit, Bima berjalan sambil berpegangan pada dinding gubuk. Wajahnya mengernyit kesakitan. Namun karena penasaran yang tinggi mengalahkan rasa sakitnya, dia tetap berjalan ke arah pintu. Sesampainya di depan pintu, Bima terkejut. Karena gubuk yang dia tempati berada di atas pohon yang tinggi. Matanya menatap ke arah bawah sana, dimana terdengar suara orang yang tengah memotong kayu. Terlihat asap tipis d

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    1.Malam Penuh Darah

    Malam semakin sunyi dan dingin yang semakin menusuk tulang. Rasa dingin membuat orang-orang enggan untuk keluar dari rumahnya. Begitu juga yang terjadi di Perguruan Julang Emas. Sebuah Perguruan tingkat satu di wilayah barat Negara Angin. Semua orang nyaman di balik selimut mereka. Hanya beberapa murid jaga saja yang berpatroli keliling wilayah perguruan. Beberapa lagi berjaga di dua menara pengawas yang ada di gerbang Perguruan. Malam itu di wilayah barat Negara Angin benar-benar terasa sangat dingin tak biasanya. Tanpa di sadari oleh para penjaga, di balik pepohonan terlihat puluhan orang berpakaian hitam mengawasi pergerakan para penjaga itu. Jumlah mereka sangat banyak! Saat empat murid Perguruan Julang Emas melewati pepohonan tersebut, tiba-tiba sebuah belati terbang mengarah salah satu penjaga. Crash! Satu orang tumbang dengan leher menganga. Darah pun mengalir membasahi tanah yang bersalju. Tiga murid yang lain terkejut. Saat salah satu dari mereka akan menembakkan

DMCA.com Protection Status