Share

3.Berlatih

Author: Gibran
last update Last Updated: 2024-11-27 09:15:44

Pendeta Barata tersenyum kepada Bimasena yang sangat berhasrat ingin tahu tentang para penjahat yang membantai satu Perguruan dimana Bima tinggal.

"Jika kau tahu, apa yang akan kau perbuat? Kemampuanmu saja sangat lemah. Menghindari lemparan batu kecil saja tidak bisa, apa lagi menahan tebasan Pedang dari pendekar hebat? Sudah tewas kau!" ucap Pendeta Barata membuat wajah Bima memerah karena malu dan kesal.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan kakek?" tanya Bima.

"Kau harus melatih dirimu sendiri. Jika kau mau berlatih padaku, ada tiga tahap yang harus kau lalui untuk menjadi pendekar kelas tengah. Itu saja masih belum cukup untukmu bisa melawan mereka," kata Pendeta Barata sambil mengelus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang.

"Apakah kakek benar-benar mau mengajariku?" tanya Bima penuh harap.

Mata si kakek itu melotot membuat Bima merasa ngeri.

"Sudah di tolong, sudah di kasih obat, sudah di beri makan, malah sekarang minta di ajari ilmu! Anak siapa kau cah lanang!? Bisa-bisanya kau menawar tanpa membayar! Huh!" umpat Pendeta Barata membuat hati Bima kecut seketika.

Melihat wajah masam dari pemuda itu membuat si kakek tersenyum.

"Sekarang apakah kau masih merasakan sakit?" tanya kakek.

Bimasena menggeleng.

"Sedikit tapi bukan apa-apa." jawabnya singkat.

"Kalau begitu, ambil kapak itu. Kau potong sama persis dengan kayu yang sudah dipotong itu,jangan sampai kepanjangan atau kependekan," perintah si kakek sambil menunjuk ke arah kayu.

"Sekarang kek?" tanya Bima dengan wajah terkejut.

"Besok bocah geblek! Ya sekarang lah! Orang itu kayu akan di jual ke pasar untuk beli beras dan kebutuhan obat mu!" bentak Pendeta Barata kesal.

Dengan berat hati Bima melangkah dan mengambil kapak.

"Ingat, harus sama ukurannya. Jika gagal satu tebasan, jatah makan di kurangi satu porsi!" ucap kakek itu membuat Bima menggenggam kapaknya erat-erat menahan emosi yang telah memuncak.

"Sebaiknya kau gunakan amarahmu untuk banyak membelah kayu! Biar amarahmu lebih berguna ketimbang tubuhmu!" kata Pendeta Barata semakin membuat Bima kesal saja.

Dengan sekali ayun, Bima membelah kayu itu. Dia tersenyum kecil.

"Ini sih sangat mudah kek." ucap Bima lalu membelah lagi.

Pendeta Barata berdiri dan mengambil potongan kayu yang Bima kerjakan.

Matanya melotot. Lalu di lemparnya kayu itu ke tanah.

"Aku bilang ukurannya sama persis dengan potongan yang telah aku kerjakan! Kamu ini tolol apa bodoh! Dasar tidak berguna!"

Bima hanya bisa diam dan menahan amarah. Di maki habis-habisan, dia sudah terbiasa menerima semua itu saat berada di Perguruan Julang Emas.

Waktu itu, Anggoro lah yang paling sering menjahili dirinya. Ada saja yang Anggoro lakukan untuk membuat Bimasena kesusahan. Karena Anggoro adalah murid berbakat dan dia murid yang lambat.

Mengingat kejadian itu, dengan kesal Bima mulai memotong kayu-kayu tersebut. Sedangkan Pendeta Barata menjadi penilai pas dan tidaknya kayu dengan ukuran yang kakek itu minta.

Banyak kegagalan saat Bima memotong kayu tersebut. Dari dua ratus potong kayu, seratus enam puluh potong kayu berbeda dengan milik Pendeta Barata.

"Ingat, dalam seratus enam puluh hari, jatah makan-mu berkurang satu porsi setiap harinya," kata Pendeta Barata membuat Bimasena geram.

Tapi Bima tidak bisa menyangkal. Dia hanya menurut saja karena dia memang menumpang di tempat orang.

"Besok, antar aku ke pasar. Ingat, sebelum ayam jantan berkokok, kau harus sudah bangun dan menyiapkan kayu," kata Pendeta Barata.

Bima hanya bisa mengangguk.

"Sekarang, kau ambil air di sungai dan kau penuhi wadah besar itu hingga penuh." ucap Kakek lagi membuat Bima melongo.

Rasa lelah belum hilang, sudah ada perintah lain yang lebih melelahkan.

"Saat kau tidur di atas sana dan aku merawat-mu, aku setiap hari mengisi wadah itu dua kali, sendirian tak ada yang membantu. Kebutuhan air meningkat. Jadi jangan tanya kenapa aku menyuruhmu mengambil air di sungai," kata kakek membuat Bima diam tak berkata apapun.

Dengan berat hati Bima mengambil sebuah wadah yang terbuat dari kulit binatang. Lalu dia mulai menimba air di sungai.

Dua jam kemudian wadah air besar itu telah penuh. Bima menyeka keringat yang menetes banyak di dahinya itu.

"Bagus, hari ini kau sudah bekerja dengan baik. Beristirahatlah sejenak. Aku masih ingin minta pertolonganmu." kata Pendeta Barata membuat wajah Bima semakin masam saja.

Pemuda itu tiduran di bawah pohon. Karena rasa lelah dan mengantuk, membuat tubuhnya semakin bersandar pada pohon itu. Hingga tiba-tiba...

"Duk!" kaki Bimasena ada yang menendang.

Sontak pemuda itu terkejut lalu segera bangkit berdiri.

Pendeta Barata tertawa melihat Bima yang marah karena kakinya sengaja dia tendang.

"Hei cah lanang! Jika itu pedang yang menghampiri-mu, pasti kakimu sudah buntung. Mungkin juga lehermu sudah robek!" ucap orang tua yang tak lain Pendeta Barata.

Bima merasa kesal dan malu. Dia benar-benar merasa menjadi pemuda yang lemah. Hawa keberadaan orang lain saja dia tak bisa mengetahui. Jika ada orang berniat buruk, sudah pasti dia akan celaka.

"Jangan terlalu banyak melamun, itu akan menurunkan konsentrasi-mu. Ayo ikut aku, aku butuh bantuan-mu!" ucap si kakek sambil meletakkan kantong kain di hadapan Bima.

Sesaat Bima merasa dirinya di jadikan budak. Namun mengingat apa yang Pendeta Barata lakukan untuk menyelamatkan hidupnya, hal ini sangat kecil untuk membalas budi si kakek tua tersebut.

Akhirnya Bima melangkah mengikuti si kakek ke dalam hutan. Dia tidak tahu, apa yang akan dia kerjakan.

Sesampainya di kaki tebing, kakek Barata berhenti. Kepalanya mendongak ke atas mencari sesuatu. Akhirnya matanya yang jeli terlihat berbinar-binar.

"Nah, coba kamu tengok ke atas sana! Kamu lihat ada satu batu kecil berwarna hijau?"

Bima menatap sesuai arah telunjuk si kakek. Matanya silau terkena sinar matahari. Tapi sekilas dia melihat batu kecil bersinar hijau.

"Aku melihatnya kek!" ucap Bima.

"Benarkah!? Padahal aku hanya berbohong karena mata tuaku ini tak mungkin melihat batu hijau sejauh itu!" kata Pendeta Barata membuat Bima tercengang.

"Berarti tadi kakek hanya menebak!?" tanya Bima tak percaya. Si kakek hanya tertawa kecil.

"Nah sekarang, kamu yang sudah melihat batu itu, cobalah kau ambil batu itu!" perintah si kakek.

Bimasena terdiam sesaat. Amarahnya meledak lagi. Tapi dia mencoba untuk menahan amarahnya.

"Jika kau berhasil mengambil batu itu, maka jatah makan-mu yang tadi berkurang seratus enam puluh porsi itu akan di potong seratus dan hukuman menjadi enam puluh porsi saja. Anggap saja yang seratus porsi itu adalah upah karena kau telah mengambil batu hijau itu." kata si kakek membuat Bima berpikir sejenak.

Akhirnya pemuda itu setuju. Dia mulai mendaki tebing curam itu perlahan-lahan. Ini pertama kalinya dia mendaki tebing.

"Sial, batunya licin!" batin Bima merasa kesal karena seharian seolah telah menjadi pekerja keras.

Namun dia mencoba bertahan. Dia kuatkan tekadnya untuk menggapai batu hijau itu.

Pendeta Barata tersenyum melihat kegigihan Bima.

Meski Bima merasakan semua jarinya sakit dan lecet, Bima tetap berusaha mencapai batu hijau itu.

Kesulitan kembali terjadi. Tak ada lagi batu yang bisa digunakan sebagai pegangan tangan. Sementara jarak antara dia dengan batu itu masih sekitar dua belas kaki.

Bima menoleh ke bawah sana. Jika dia turun tanpa hasil, jatah makannya akan tetap berkurang seratus enam puluh porsi.

"Sial... Apakah aku harus loncat?"

Akhirnya setelah berpikir beberapa saat dia pun memutuskan untuk melompat.

Related chapters

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    4.Warisan Pedang Darah

    Tiga tahun pun berlalu dengan cepat. Bimasena telah menguasai semua jurus dan kekuatan tenaga dalam yang Pendeta Barata ajarkan. Latihan yang Pendeta Barata berikan cukup berat. Namun dia berhasil lulus setelah menyelesaikan latihan tahap akhir,atau tahap ke tiga. Bimasena ingat saat dia awal mulai berlatih . Pendeta Barata menyuruhnya memotong kayu, mengisi air, dan mencari batu mulia. Kata Pendeta Barata, batu mulia tersebut bisa menyalurkan tenaga dalam. Dan harga batu mulia itu sangat mahal. Satu batu berwarna merah bisa menghasilkan ratusan tail emas. Tahap pertama pun dia lalui selama satu tahun, hingga dia bisa memotong seribu potong kayu dengan ukuran yang sama persis. Latihan ini adalah soal keseimbangan. Dan Bima berhasil dengan sempurna. Dia pun mengisi air dengan cepat bahkan sambil berlari.Kegunaan latihan ini adalah untuk memperkuat otot-otot lengan dan otot bahu serta kakinya yang nantinya akan di jadikan kuda-kuda saat bertarung. Semuanya harus kuat. Latihan ini be

    Last Updated : 2024-11-27
  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    5.Perguruan Katak Merah

    Hari itu juga setelah Pendeta Barata memberikan petunjuk dan warisan pedang, Bimasena pun pamit undur diri kepada gurunya. Tak henti Bima ucapkan terimakasih kepada kakek gurunya tersebut. Orang yang telah menyelamatkan hidupnya dan mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya selama tiga tahun belakangan ini. Dalam tiga tahun akhirnya Bimasena berhasil menguasai seluruh jurus dan kesaktian Pendeta Barata yang pernah mendapat julukan sebagai Sang Iblis Gila. Julukan itu bukan tanpa sebab, dulu Pendeta Barata adalah seorang pembunuh yang sangat liar. Itu sebabnya dia mendapatkan julukan tersebut. Mengenai asal-usul orang tua tersebut, Bima belum mengetahui nya. Namun seiring berjalannya waktu, semua orang akan tahu bahwa si Iblis Gila itu mempunyai seorang penerus. Yaitu Bimasena. Dengan pedang yang menggantung di punggung Bima pun meninggalkan tempat dimana dia berlatih dengan perasaan sedih. Pendeta Barata hanya melambaikan tangan saja ke arahnya dengan perasaan yang sedih bercampur bangg

    Last Updated : 2024-11-27
  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    6.Sayembara

    Bimasena menatap orang yang baru saja datang itu. Dia merasakan hawa yang berbeda. Lelaki bernama Marga itu sedikit lebih kuat dari pada rombongan pecundang yang dia temui sebelumnya di dalam kedai. "Siapa kau sebenarnya!?" hardik Marga keras. Bimasena hanya menghela nafas menatap orang bertubuh cukup tegap itu. Hanya dengan melihat tubuh Marga, Bimasena langsung tahu beberapa titik lemah di tubuh orang itu. Merasa pertanyaannya tak di hiraukan oleh Bima, Marga pun langsung menyerang dengan cepat ke arah pemuda berikat kepala merah itu. Tinju kanannya melayang dengan kekuatan yang tidak main-main. Jika mengenai tubuh, bisa jadi tulangnya akan langsung patah. Namun dengan mudah Bima mengelak dari serangan tersebut. Dia mengelak ke kanan lalu tangan kirinya bergerak cepat ke arah bahu Marga. Tuk! Dua jari Bimasena bersarang di bahu kanan Marga yang baru saja dia gunakan untuk menyerang. Saat itu juga Marga mer

    Last Updated : 2024-12-18
  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    7.Kerusuhan

    Bimasena melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat pendaftaran peserta sayembara. Ternyata disana sudah di penuhi banyak orang yang mengantri. "Ramai sekali," batin Bima sambil mengamati sekitar. Tiba-tiba ada seorang lelaki berbadan besar menyerobot antrian. Tubuh Bima di tarik keluar dari antrian. "Sampah belakangan! biar aku dulu yang di depan!" teriak lelaki itu. Banyak orang menyingkir karena takut melihat wajahnya yang besar. Lelaki berbadan besar itu akhirnya sampai di urutan pertama. Banyak peserta yang marah karena kejadian itu. Tapi mereka enggan berurusan dengan orang berbadan kekar tersebut. Agaknya mereka tahu siapa lelaki besar itu. Tapi tidak bagi Bimasena. Dia merasa kesal antriannya di serobot di tambah tubuhnya juga di tarik, di tambah lagi lelaki itu menyebutnya sampah. Lelaki besar itu tengah mendaftar kan dirinya untuk mengikuti sayembara. Tiba-tiba satu tangan mencengkram bahu kanannya. Lelaki itu menoleh dan melihat seorang pemuda tampan berpakaian merah

    Last Updated : 2024-12-18
  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    8.Kuda Hitam

    Akhirnya hari yang di tunggu telah tiba. Bimasena segera berkemas dan berangkat menuju gelanggang pertarungan di Perguruan Katak Merah. Sesampainya disana ribuan pengunjung sudah berdatangan untuk melihat jagoan mereka bertarung. Para pendekar kelas bawah dari berbagai penjuru berdatangan untuk ikut meramaikan sayembara. Bima duduk di bangku penonton untuk sementara waktu. Di tempat khusus para tetua perguruan, berjejer beberapa orang yang di anggap paling berpengaruh di perguruan tersebut. Seorang gadis cantik pembawa acara naik ke atas panggung. Dia adalah seorang gadis cantik jelita dengan pakaian minim yang membuat semua mata para penonton terbuka lebar. Para pengunjung bersorak meneriaki gadis tersebut. Si gadis pun mengedipkan sebelah matanya dengan lidah menjulur ke arah penonton. Terdengar suara gemuruh para penonton setelah gadis itu melakukan aksi nya. Bima menutup wajahnya sambil gelengkan kepala. "Gadis aneh," pikir Bima. Si Gadis itu mengambil pengeras suara. "Ha

    Last Updated : 2024-12-19
  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    9.Bukan Lawan Sebanding

    Kirana Dewi pun berteriak dengan lantang. "Pendekar yang akan bertanding melawan Pendekar Merah adalah Cong Wei dari Perguruan Naga Air!" ucap Kirana Dewi keras. Pendekar berambut gimbal tersenyum. "Takdir sudah memilihmu, Cong Wei, kau memang sudah ditakdirkan melawan dia," ucapnya kepada Pendekar ceking yang ternyata bernama Cong Wei dari perguruan Naga Air. "Aku tidak takut! Lihat saja nanti, siapa yang akan berlutut!" ucap Cong Wei dengan penuh percaya diri."Baguslah kalau kau tak takut. Paling tidak kau tidak membuat malu perguruan besarmu itu," Cong Wei tak menanggapi ucapan si gimbal. Dia segera berkelebat ke atas arena. Bima menatap Pendekar ceking itu. Tak ada senyum di bibirnya. Malah Cong Wei lah yang menyunggingkan senyum sinis kepadanya. "Baru mengalahkan para sampah sudah banyak sekali lagak, aku akan membuatmu memohon ampun padaku," ucap Cong Wei lalu memasang kuda-kuda. Bima hanya melirik gerakan kuda-kuda lawan sekilas. Suara lonceng tanda pertandingan di mu

    Last Updated : 2024-12-19
  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    10.Peraturan Tidak Adil

    Bima kembali berdiri di atas panggung. Kali ini dia akan melawan satu Pendekar dari Perguruan kelas bawah, yaitu Perguruan Kuda Putih. Bima pernah mendengar nama Perguruan itu. Tapi dia tidak begitu paham jurus-jurus mereka. Ini yang membuat Bima merasa tertantang. Pemuda bernama Jinggo itu berdiri dengan gagah. Dia adalah salah satu senior terkuat di Perguruan Kuda Putih. "Aku sudah menyiapkan semuanya untuk bisa bertemu dengan salah satu perwakilan Julang Emas yang katanya jago-jago dalam pertarungan! Tapi sialnya Perguruan lemah itu sudah hancur terlebih dulu sebelum aku menginjak-injak nya! Aku akan jadikan kamu sebagai alat pelampiasan amarahku!" ucap Jinggo berapi-api. Mata Bima berkilat marah. Kedua tinjunya terkepal erat. "Beraninya menghina Perguruan ku... kamu akan tahu akibat dari ucapan mu..." ucap Bima perlahan. Saat lonceng berbunyi, Bima langsung berinisiatif menyerang lebih dulu. Dia berlari cepat. Sangat cepat! Jinggo menatapnya dengan terkejut. Dia segera saol

    Last Updated : 2024-12-19
  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    11.Weling Ireng & Jalak Saksono

    Bima menatap kedua pendekar yang sudah berdiri di depannya itu. Matanya yang jeli merasa ada sedikit kejanggalan. Waktu di babak penyisihan tadi dia tidak melihat dua orang tersebut di antara sembilan belas peserta yang lain. Bima mulai curiga ada sesuatu yang tidak beres dengan peraturan kali ini. Dia yakin ada yang disembunyikan oleh penyelenggara sayembara. Tapi Bima tak gentar sedikit pun. Meski dia menyadari dua lawannya bukan pendekar lemah, di tambah jumlah yang tidak seimbang. Yaitu dua lawan satu. Ini adalah pertarungan yang sulit bagi Bima. "Jalak Sasono, jangan biarkan dia banyak bergerak. Lumpuhkan salah satu tangannya," ucap pendekar dari Perguruan Ular Hitam. "Aku paham Weling Ireng, pemuda ini sudah menunjukkan beberapa teknik miliknya, kita bisa dengan mudah memperhitungkan arah serangan dan gerakan jurusnya, jangan khawatir, gerakan lincahku akan menyulitkan pandangan matanya," ucap Jalak Sasono, Pendekar dari Perguruan Jalak Perak. Weling Ireng dari Perguruan Ula

    Last Updated : 2024-12-20

Latest chapter

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    56.Ki Kalam

    Mendengar ucapan di belakangnya, Ki Kalam pun menoleh. Matanya menatap sosok pemuda dengan pakaian serba merah dan tengah menatapnya dengan tajam. "Semua orang Perguruan Ular Hitam itu terlalu sombong, tapi kemampuan tak ada. Seperti Weling Ireng, Manik, Wicaksono... Apakah seseorang yang berada di Ranah Keabadian juga sama? Menindas gadis lemah yang berada jauh di bawahnya, ckckck... Macam taik kau orang tua!" kembali terdengar makian dari Bima. Marah Ki Kalam mendengar makian yang belum pernah dia dapatkan selama hidupnya menjadi Pemimpin Perguruan. "Beraninya kau bajingan! Aku akan robek mulut kotormu itu!" teriaknya kemudian melempar tubuh Arimbi hingga menabrak rumah kayu. Brak! Rumah itu terlihat hampir roboh. Bima dengan cepat bergerak. Namun Ki Kalam menghalanginya. Pedang Bima berkelebat ke arah leher Ki Kalam. Namun Ki Kalam dengan cepat menghindar. Saat itulah, Bima meledakkan tenaga dalamnya hingga tubuh Ki Kalam terpental namun tidak sampai jatuh. Dengan kecepatan

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    55.Arimbi Dalam Bahaya

    Arimbi mendengar derap kaki kuda. Dia segera mengintip dari balik pagar rumah yang hancur sebagian tersebut. Matanya yang indah itu melihat sosok orang tua berkuda. Orang itu sempat berputar-putar di sekitar gapura. Arimbi yakin orang itu adalah musuh yang mengejarnya saat bersama Bima. Orang yang tak lain adalah Ki Kalam turun dari kudanya. Matanya menyapu seantero tempat. Dia menatap kuda yang terparkir di bawah pendopo itu. "Woe, penjahat! Keluar kau!" teriaknya menggema. Ki Kalam melangkah masuk ke dalam Perguruan yang sudah hancur itu. Seketika dia teringat Perguruan tersebut. "Perguruan sampah memang tak layak berada di dunia ini, selalu berbuat curang untuk bisa berada di atas, cuih!" ucap Ki Kalam. Arimbi tak melihat apa yang orang tua itu lakukan. Apalagi ucapannya yang sangat tidak sopan itu. "Dia orang tua tapi sungguh tak bisa menjadi contoh yang baik! Aku akan beri dia pelajaran!" batin Arimbi. Ki Kalam menoleh saat mendengar langkah kaki Arimbi. Dia menatap gadi

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    54.Jurus Ilusi

    Ki Kalam menghentikan kudanya saat dia melihat seekor kuda yang tengah makan rumput di pinggir hutan. Ki Kalam menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari keberadaan si penunggang kuda. "Aneh... Kenapa kuda ini sendiri? Dimana penunggang kudanya?" batin Ki Kalam. Dia duduk di atas batu untuk menunggu. Setelah cukup lama menunggu dia memutuskan utnuk mencari orang tersebut. "Dia pasti menyadari aku mengejarnya sehingga dia turun dan lebih memilih untuk kabur ke arah hutan... hmmm..."Setelah mempertimbangkan sejenak, Ki Kalam akhirnya memilih ke arah hutan sebelah kiri dimana ada jalan setapak kecil. Dan jalan itu adalah jalan yang tembus ke Perguruan Julang Emas, dimana Arimbi tengah menanti Bima di sana. Ki Sura menangkis semua serangan cepat yang Bima lancarkan. Kali ini Iblis Es di dalam tubuh Bima semakin terlihat. Serangan pun semakin cepat Bima layangkan. Setiap pedangnya mengandung kekuatan ledakan es. Membuat Ki Suta sedikit kelabakan melawan anak muda. "Bagus! Kau sudah

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    53.Bola Iblis & Pemotong Roh

    Ki Sura tertawa puas. Dia berdiri setengah terbungkuk karena efek serangan tenaga dalam Bima. "Bagaimana? Apakah kau bisa membandingkan seranganmu sebelumnya dengan yang baru aku katakan?" tanya Ki Sura. Bima menatap orang tua itu dengan heran. Dia merasa tengah di ajari seorang guru. Tapi dia tak tahu harus bersikap apa karena ini baginya adalah pertarungan. "Nama jurus yang baru kau dapat itu adalah Jurus Menarik Matahari," kata Ki Sura. "Sebenarnya apa maksudmu Ki mengajarkan jurus ini padaku?" tanya Bima. "Hei! Siapa yang mengajarimu! Bahkan muridku butuh waktu enam purnama untuk bisa menguasai jurus itu! Kau hanya dalam kejapan mata saja sudah bisa melakukan nya! Kau terlalu berbakat menjadi muridku!" ucap Ki Sura. Bima masih tak mengerti dengan maksud Ki Sura. Tapi dia tak peduli lagi. Dengan cepat dia menyerang kembali. Ki Sura tak diam saja. Dengan kekuatan yang dia miliki dengan mudah Ki Sura mengumpulkan kekuatan angin di tangannya. "Nah, makan ini!" kata Ki Sura sam

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    52.Saling Membayar

    "Sekarang aku sudah katakan padamu, perkara kamu masih dendam pada Perguruan ku itu bukan masalah lagi. Yang jelas, aku pun mempunyai dendam yang sama dengan dirimu, karena semua muridku kau bunuh secara keji," kata Ki Sura. Bima tersenyum. "Terimakasih Ki, sudah berkata jujur padaku, memberitahu rahasia yang aku tak tahu, tapi apa pun itu alasannya, aku tetap akan memusnahkan semua Perguruan yang ikut andil dalam pembantaian, dan ceritamu tadi tidak akan bisa menghentikan langkahku..." sahut Bima dengan tatapan dingin. Kini tujuannya semakin kuat. Menghancurkan semuanya, bahkan negara Angin Barat sekali pun! Ki Sura tersenyum dengan tekat kuat yang di miliki oleh Bima. Bahkan di dalam Perguruan nya tak ada satu pun murid yang mempunyai jiwa kesatria dan kesetiaan yang begitu besar seperti yang Bima tunjukkan. "Itu terserah kamu anak muda, kamu punya jalan sendiri, begitu juga diriku, kita akan selesai kan semua ini sekarang," kata Ki Sura. Bima menyeringai. "Aku kasih tahu kau

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    51.Ki Sura

    Keesokan harinya, Arimbi menyediakan sarapan untuk Bima. Dia sengaja memasak bersama pemilik penginapan. Dulu sebelum Arimbi turun gunung dari tempat dia menimba ilmu, dia sering memasak nasi bakar yang di campur dengan bumbu ikan dan kemangi. Kata gurunya makanan buatannya itu sangatlah enak. Itu sebabnya pagi itu Arimbi membuatkannya untuk Bima. Itu adalah pertama kalinya dia membuat makanan untuk seorang pria. Bima menatap nasi yang berada di dalam bambu. Melihat sekilas dia merasa nasi itu enak. Arimbi mengambil nasi itu ke dalam piring tanah beralas daun pisang. "Silahkan kakang, ini adalah makanan buatanku..." ucap Arimbi dengan senyum semringah. Bima menyelupkan tangannya ke dalam mangkuk berisi air. Lalu dia pun menyuapi mulutnya dengan nasi bakar buatan Arimbi. Gadis yang masih diam-diam mencintainya. Mata Bima membesar membuat Arimbi panik seketika. "Ada apa kakang? Apakah tidak enak? atau ada sesua

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    50.Iblis Bayangan

    Mata Arimbi pun terpejam setelah merasa nyaman karena tangannya berada dalam genggaman Bima. Pemuda itu menatap wajah Arimbi tanpa berkedip. Ada perasaan yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang. "Ada apa denganku? Kenapa hanya dengan melihat wajahnya saja aku merasa sangat nyaman?" batin Bima. Tangan kirinya bergerak ingin mengelus pipi Arimbi. Namun saat jarinya hampir menyentuh kulit putih gadis itu tangannya terhenti. Dia mendengar sesuatu dari arah luar. "Aura Iblis...?" batin Bima. Dengan perlahan Bima melepaskan pegangan tangannya pada Arimbi. Dia merasa aura itu sangat kuat. "Ini aura yang sama saat aku berada di gubuk kecil malam itu..." batin Bima lalu perlahan berjalan ke arah pintu. Dia teringat pembicaraan dengan Banu sebelum meninggal. Banu sudah siap melepaskan Iblis miliknya dan memberikannya kepada Bima. Karena hanya Bima lah yang sanggup menerima Iblis itu. Dan benar saja, dari balik pintu terdengar suara menggeram. Bima menghunus pedangnya. Dia melihat

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    49.Kisah Pendekar Iblis Gila

    Kuda-kuda itu berlari cukup kencang. Suaranya terdengar dari kejauhan. Saat rombongan kuda itu melewati rumah-rumah penduduk desa, semua orang menatap dengan penuh rasa penasaran. Kuda-kuda itu membawa kantong-kantong berisi sesuatu. Dan cairan berwarna merah pekat berceceran dari kantong itu menebar bau amis yang membuat mual. Rombongan kuda itu masuk ke dalam Perguruan Ular Hitam. Suaranya terdengar hingga ke rumah Ki Kalam dan Ki Sura. Mereka berdua mengira para guru dan muridnya berhasil menangkap Bima. "Luar biasa, Wicaksono bergerak sangat cepat. Sesuai harapanku!" ucap Ki Kalam. Dengan tergopoh-gopoh mereka pun keluar dari rumah dan menghampiri halaman aula tempat berlatih dimana kuda-kuda itu berhenti. Seketika itu juga mata mereka terkejut melihat kuda-kuda itu tanpa ada penunggangnya. Dan yang membuat mereka semakin terkejut adalah buntalan kantong pada pelana kuda-kuda tersebut. Mereka sudah curiga terjadi sesuatu. Namun Ki Sura masih mencoba berpikir tenang. "Mungki

  • Pendekar Iblis (Warisan Iblis Tanduk Api)    48.Lawan Seratus Pun Siapa Takut?

    Bima melesat dengan cepat dengan penuh semangat. Hingga akhirnya dia sampai di rumah terakhir yang sudah hancur akibat serangan Manik dan para pengikutnya di desa itu. Bima berdiri di tengah jalan menghadang rombongan berkuda dengan jumlah yang cukup banyak. Rombongan itu berhenti. Wicaksono menatap tajam, lalu dengan cepat dia cabut pedangnya. "Hei, kisanak, apa yang kau lakukan di tengah jalan! Menyingkir lah atau mati!" hardik Wicaksono. Bima tersenyum kecil. Dia cabut pedangnya. "Waktunya makan pedangku..." ucap Bima dengan seringainya yang membuat para murid itu tegang. Tanpa babibu lagi Bima melesat kearah rombongan itu. Mata kanan nya memancarkan sinar biru. "Hati-hati! Dia akan menyerang!" teriak Wicaksono. Namun terlambat, Bima sudah melompati nya dan langsung mengarah ke para murid yang ada di belakang. "Mengirim bocah Tubuh Besi padaku? Kalian sangat konyol!" ucap Bima masih den

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status