Mata Bimasena terbuka perlahan. Apa yang di lihatnya pertama kali adalah sebuah langit-langit yang terbuat dari daun rumbia.
Dia masih merasakan punggungnya yang berdenyut sakit. Dengan perlahan dicobanya menggeser tubuhnya agar bisa duduk di atas balai-balai bambu tersebut. Terdengar bunyi berderit dari balai-balai bambu tua itu. Matanya menatap satu cangkir yang terbuat dari bambu berisi entah air apa. Namun air itu masih mengeluarkan uap panas pertanda minuman itu belum lama di seduh. Terdengar suara kayu yang di potong di luar gubuk. Dengan sekuat tenaga sambil menahan sakit, Bima berjalan sambil berpegangan pada dinding gubuk. Wajahnya mengernyit kesakitan. Namun karena penasaran yang tinggi mengalahkan rasa sakitnya, dia tetap berjalan ke arah pintu. Sesampainya di depan pintu, Bima terkejut. Karena gubuk yang dia tempati berada di atas pohon yang tinggi. Matanya menatap ke arah bawah sana, dimana terdengar suara orang yang tengah memotong kayu. Terlihat asap tipis di samping orang berkepala plontos yang tengah asik memotong kayu bakar. Asap tipis itu adalah masakan yang tengah dimasak oleh orang plontos itu. "Siapa dia... Apakah dia orang yang menolongku semalam?" batin Bima bertanya-tanya. Lelaki plontos dan sudah tua itu menoleh ke arah gubuk. Seketika Bima merunduk agar tak kelihatan dirinya sedang memantau orang tua tersebut. Namun karena tiba-tiba merunduk itu membuat lukanya bergesekan dengan dinding bambu. Bima menjerit lirih kesakitan. "Hehehe, anak muda... Kau kira aku tidak tahu kalau dirimu sudah bangun!?" ucap lelaki tua itu sambil melanjutkan pekerjaannya. Bimasena tersentak kaget si orang plontos itu mengetahui dirinya tengah memantaunya. "Hebat, siapa dia sebenarnya...?" batin Bima sambil kembali berdiri. Wajahnya mengernyit menahan sakit saat punggungnya terasa kencang akibat dia berjongkok tadi. "Kalau sudah bangun, minum air di cangkir itu agar lukamu lekas membaik!" ucap orang tua itu sambil terus memotong kayu. Dia taruh kapaknya lalu mengaduk masakan jamur dan sayuran yang hampir matang tersebut. Sesaat mata si kakek tua ini melirik ke arah gubuk yang berada di atas sana. Lalu tanpa menggunakan pelindung tangan, dia angkat wajan dari besi yang selalu dipakainya untuk memasak. Tanpa merasakan panas sama sekali, dia taruh wajan itu di atas meja bambu. Lalu dengan cekatan kakek ini menuang masakan itu di sebuah mangkuk yang terbuat dari batok kelapa besar. Nasi sudah siap tersaji di atas daun pisang. Si kakek segera berseru memanggil Bimasena. "Cah lanang! Turun! Sarapan dulu!" Bimasena yang baru saja selesai meminum cairan pahit di dalam cangkir segera keluar dengan perlahan. Dia menatap ke bawah. "Bagaimana caraku turun dari sini kakek?" tanya Bima sambil celingukan. "Lompat!" jawab si kakek enteng sambil menyuapi mulutnya dengan sendok kayu yang dia buat sendiri. "Hah!? Lompat!? Yang benar saja kek!? Kau mau membunuhku!?" ucap Bima kesal. Si kakek tak menjawab dan malah asik makan. "Kalau kamu tidak buruan turun, makanan ini akan habis aku makan sendiri. Cepat turun!" jawab si Kakek tak pedulikan Bima yang sedang kalut mencari sesuatu untuk turun ke bawah. Dan, mata Bima yang jeli menatap sesuatu di sudut teras gubuk tersebut. Dia melihat seutas tali. Lalu di tariknya tali itu. Dari bawah meluncur sebuah kurungan kayu yang cukup muat satu orang. Bima tersenyum kecil. "Si kakek ini orang cerdas juga," batin Bima sambil berjalan menuju kurungan kayu yang ada di sebelah gubuk. Ternyata memang sudah ada di sana sejak tadi. Mata Bimasena kurang awas karena panik. Makanya tidak tahu itu pintu untuk apa. Bima membuka pintu lalu masuk ke dalam kurungan kayu. Dia tarik tali itu secara perlahan hingga secara perlahan dia turun ke bawah sana.~ Bima duduk di hadapan si kakek yang sudah selesai makan. Setelah minum menggunakan gayung batok, kakek ini melanjutkan memotong kayu. Bima makan sambil memperhatikan apa yang kakek kerjakan. Saat dia memakan nasi yang dicampur dengan sayuran jamur itu, dia terdiam sejenak. "Hm, ini enak sekali!" batin Bima lalu dia segera melahap makanannya itu dengan cepat. Selesai makan Bima menghampiri si kakek. Dan kakek itu menoleh ke arah Bima. Wajahnya tidak bersahabat sama sekali. "Heh, cah lanang! Kalau habis makan cuci peralatan makannya! Sudah tidak bayar, sekarang dengan santainya kau datang padaku." ucap si Kakek itu membuat Bima berhenti melangkah. Dengan wajah kesal Bima mengambil semua peralatan makan tadi dan membawanya ke sungai kecil di belakang pohon besar tempat tinggal si kakek. Langkahnya masih terpincang-pincang karena sakitnya masih terasa. Bima melihat bahwa tempat di sekelilingnya itu adalah hutan lebat. Dia merasa bingung dengan tempat tinggal kakek tersebut. "Sebenarnya dimana aku ini... Apakah ada yang selamat orang-orang dari Perguruan Julang Emas selain diriku? Kinanti...Aku tak kabar dia bagaimana..." batin Bima sambil mencuci peralatan makannya. Setelah selesai, dia segera beranjak dan kembali ke tempat si kakek memotong kayu. Sesampainya di sana dia tidak melihat kakek plontos tadi. Bima mengarahkan pandangannya ke berbagai arah. Kakek itu seperti hilang di telan bumi. Tiba-tiba satu batu kecil melesat ke arah kepala Bimasena. Dan... Tuk! Kepala pemuda itu terkena lemparan batu kecil. Seketika bekas lemparan itu menjadi benjol kecil di kepala Bima. "Aduh! Sialan!" pekik Bima menahan sakit di kepalanya. Meski batu itu mengenai kepalanya dengan keras, tapi tidak ada darah yang keluar dari lukanya. "Respon-mu sangat lambat, bahkan kau tidak menyadari adanya serangan! Apa kau benar-benar seorang murid Perguruan Julang Emas!?" sebuah suara muncul tepat di belakang Bima. Pemuda itu menoleh. "Kakek! Apa yang kamu lakukan!? Sakit tahu!" teriak Bima kesal. Si kakek tertawa saja tanpa dosa. "Huh, ternyata murid Julang Emas hanya segini saja! Memalukan! Katanya Perguruan tingkat Satu di Negara Angin!? tapi hanya lemparan kecil saja sudah berteriak macam bayi minta susu hikhikhik! Pantas saja dalam semalam kalian keteteran oleh musuh!" ucap si kakek membuat Bima semakin kesal. Tapi dia tak berani memaki. Takutnya, si kakek marah dan dia akan di lempari pakai kerikil lagi. "Aku memang murid dari Perguruan Julang Emas. Mengenai tingkat pertama di Negara Angin ini aku kurang paham kek. Karena di Perguruan itu sendiri aku masih berada di tingkat dasar ayunan pedang selama dua tahun..." ucap Bima sambil mengelus kepalanya yang benjol. Mata si kakek melotot besar. "Hah!? Ayunan Pedang tingkat Dasar selama dua tahun!? Sampah macam apa yang di pelihara Julang Emas ini!? Pantas saja Perguruan itu musnah dalam semalam. Murid-muridnya dungu semua sepertimu!" ucap si Kakek terdengar pedas di telinga Bimasena. "Apakah tidak ada yang lolos atau selamat seperti diriku kek? Aku masih sedikit ingat kejadian semalam..." Tiba-tiba kakek plontos itu berdiri dari duduknya. Matanya membesar. Bima merinding melihat tatapan mata kakek itu. "Semalam gundul-mu! Aku merawat tubuhmu sudah lebih dari tujuh hari dan kau bilang kejadian semalam!? Benar-benar gundul-mu mau aku lempari batu lagi!?" ucap kakek tidak terima. "Tujuh hari!?" tanya Bima tak percaya. Kakek itu melotot lagi ke arahnya membuat Bima nyengir tak bisa berbuat apa-apa. "Bagaimana aku bisa pingsan selama itu kek!?" tanya Bima akhirnya karena sangat penasaran. "Waktu aku temukan, kamu telah kehabisan banyak darah. Aku meramu obat yang di minum dan di tabur pada lukamu agar kau bisa sedikit bertahan dari masa sekarat-mu. Tujuh hari ini, kau berhasil melewati sekarat dan kembali hidup. Ini berkat obat yang aku minum-kan padamu. Berterimakasih-lah kepada orang tua ini anak muda, berkat diriku kau masih bisa menghirup udara segar! hahaha" ucap kakek tua itu lalu tertawa. Bima tersenyum dengan perasaan bingung. Entah dia harus senang atau malah justru kesal denga tingkah kakek itu. "Aku Bimasena, berterimakasih kepadamu kek. Kalau boleh tahu, siapa nama kakek penolongku ini?" tanya Bima sambil membungkuk hormat. Si kakek tersenyum lebar. "Aku mempunyai julukan tersendiri di dunia persilatan ini. Panggil saja aku Pendeta Barata Kala, Bimasena." jawab si kakek yang bernama Barata Kala tersebut. "Apakah kakek Barata tahu, siapa penjahat yang menyerang Perguruan Julang Emas?" tanya Bima penasaran.Pendeta Barata tersenyum kepada Bimasena yang sangat berhasrat ingin tahu tentang para penjahat yang membantai satu Perguruan dimana Bima tinggal. "Jika kau tahu, apa yang akan kau perbuat? Kemampuanmu saja sangat lemah. Menghindari lemparan batu kecil saja tidak bisa, apa lagi menahan tebasan Pedang dari pendekar hebat? Sudah tewas kau!" ucap Pendeta Barata membuat wajah Bima memerah karena malu dan kesal. "Lalu, apa yang harus aku lakukan kakek?" tanya Bima. "Kau harus melatih dirimu sendiri. Jika kau mau berlatih padaku, ada tiga tahap yang harus kau lalui untuk menjadi pendekar kelas tengah. Itu saja masih belum cukup untukmu bisa melawan mereka," kata Pendeta Barata sambil mengelus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang. "Apakah kakek benar-benar mau mengajariku?" tanya Bima penuh harap. Mata si kakek itu melotot membuat Bima merasa ngeri. "Sudah di tolong, sudah di kasih obat, sudah di beri makan, malah sekarang minta di ajari ilmu! Anak siapa kau cah lanang!? Bisa-bis
Tiga tahun pun berlalu dengan cepat. Bimasena telah menguasai semua jurus dan kekuatan tenaga dalam yang Pendeta Barata ajarkan. Latihan yang Pendeta Barata berikan cukup berat. Namun dia berhasil lulus setelah menyelesaikan latihan tahap akhir,atau tahap ke tiga. Bimasena ingat saat dia awal mulai berlatih . Pendeta Barata menyuruhnya memotong kayu, mengisi air, dan mencari batu mulia. Kata Pendeta Barata, batu mulia tersebut bisa menyalurkan tenaga dalam. Dan harga batu mulia itu sangat mahal. Satu batu berwarna merah bisa menghasilkan ratusan tail emas. Tahap pertama pun dia lalui selama satu tahun, hingga dia bisa memotong seribu potong kayu dengan ukuran yang sama persis. Latihan ini adalah soal keseimbangan. Dan Bima berhasil dengan sempurna. Dia pun mengisi air dengan cepat bahkan sambil berlari.Kegunaan latihan ini adalah untuk memperkuat otot-otot lengan dan otot bahu serta kakinya yang nantinya akan di jadikan kuda-kuda saat bertarung. Semuanya harus kuat. Latihan ini be
Hari itu juga setelah Pendeta Barata memberikan petunjuk dan warisan pedang, Bimasena pun pamit undur diri kepada gurunya. Tak henti Bima ucapkan terimakasih kepada kakek gurunya tersebut. Orang yang telah menyelamatkan hidupnya dan mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya selama tiga tahun belakangan ini. Dalam tiga tahun akhirnya Bimasena berhasil menguasai seluruh jurus dan kesaktian Pendeta Barata yang pernah mendapat julukan sebagai Sang Iblis Gila. Julukan itu bukan tanpa sebab, dulu Pendeta Barata adalah seorang pembunuh yang sangat liar. Itu sebabnya dia mendapatkan julukan tersebut. Mengenai asal-usul orang tua tersebut, Bima belum mengetahui nya. Namun seiring berjalannya waktu, semua orang akan tahu bahwa si Iblis Gila itu mempunyai seorang penerus. Yaitu Bimasena. Dengan pedang yang menggantung di punggung Bima pun meninggalkan tempat dimana dia berlatih dengan perasaan sedih. Pendeta Barata hanya melambaikan tangan saja ke arahnya dengan perasaan yang sedih bercampur bangg
Bimasena menatap orang yang baru saja datang itu. Dia merasakan hawa yang berbeda. Lelaki bernama Marga itu sedikit lebih kuat dari pada rombongan pecundang yang dia temui sebelumnya di dalam kedai. "Siapa kau sebenarnya!?" hardik Marga keras. Bimasena hanya menghela nafas menatap orang bertubuh cukup tegap itu. Hanya dengan melihat tubuh Marga, Bimasena langsung tahu beberapa titik lemah di tubuh orang itu. Merasa pertanyaannya tak di hiraukan oleh Bima, Marga pun langsung menyerang dengan cepat ke arah pemuda berikat kepala merah itu. Tinju kanannya melayang dengan kekuatan yang tidak main-main. Jika mengenai tubuh, bisa jadi tulangnya akan langsung patah. Namun dengan mudah Bima mengelak dari serangan tersebut. Dia mengelak ke kanan lalu tangan kirinya bergerak cepat ke arah bahu Marga. Tuk! Dua jari Bimasena bersarang di bahu kanan Marga yang baru saja dia gunakan untuk menyerang. Saat itu juga Marga mer
Bimasena melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat pendaftaran peserta sayembara. Ternyata disana sudah di penuhi banyak orang yang mengantri. "Ramai sekali," batin Bima sambil mengamati sekitar. Tiba-tiba ada seorang lelaki berbadan besar menyerobot antrian. Tubuh Bima di tarik keluar dari antrian. "Sampah belakangan! biar aku dulu yang di depan!" teriak lelaki itu. Banyak orang menyingkir karena takut melihat wajahnya yang besar. Lelaki berbadan besar itu akhirnya sampai di urutan pertama. Banyak peserta yang marah karena kejadian itu. Tapi mereka enggan berurusan dengan orang berbadan kekar tersebut. Agaknya mereka tahu siapa lelaki besar itu. Tapi tidak bagi Bimasena. Dia merasa kesal antriannya di serobot di tambah tubuhnya juga di tarik, di tambah lagi lelaki itu menyebutnya sampah. Lelaki besar itu tengah mendaftar kan dirinya untuk mengikuti sayembara. Tiba-tiba satu tangan mencengkram bahu kanannya. Lelaki itu menoleh dan melihat seorang pemuda tampan berpakaian merah
Malam semakin sunyi dan dingin yang semakin menusuk tulang. Rasa dingin membuat orang-orang enggan untuk keluar dari rumahnya. Begitu juga yang terjadi di Perguruan Julang Emas. Sebuah Perguruan tingkat satu di wilayah barat Negara Angin. Semua orang nyaman di balik selimut mereka. Hanya beberapa murid jaga saja yang berpatroli keliling wilayah perguruan. Beberapa lagi berjaga di dua menara pengawas yang ada di gerbang Perguruan. Malam itu di wilayah barat Negara Angin benar-benar terasa sangat dingin tak biasanya. Tanpa di sadari oleh para penjaga, di balik pepohonan terlihat puluhan orang berpakaian hitam mengawasi pergerakan para penjaga itu. Jumlah mereka sangat banyak! Saat empat murid Perguruan Julang Emas melewati pepohonan tersebut, tiba-tiba sebuah belati terbang mengarah salah satu penjaga. Crash! Satu orang tumbang dengan leher menganga. Darah pun mengalir membasahi tanah yang bersalju. Tiga murid yang lain terkejut. Saat salah satu dari mereka akan menembakkan
Bimasena melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat pendaftaran peserta sayembara. Ternyata disana sudah di penuhi banyak orang yang mengantri. "Ramai sekali," batin Bima sambil mengamati sekitar. Tiba-tiba ada seorang lelaki berbadan besar menyerobot antrian. Tubuh Bima di tarik keluar dari antrian. "Sampah belakangan! biar aku dulu yang di depan!" teriak lelaki itu. Banyak orang menyingkir karena takut melihat wajahnya yang besar. Lelaki berbadan besar itu akhirnya sampai di urutan pertama. Banyak peserta yang marah karena kejadian itu. Tapi mereka enggan berurusan dengan orang berbadan kekar tersebut. Agaknya mereka tahu siapa lelaki besar itu. Tapi tidak bagi Bimasena. Dia merasa kesal antriannya di serobot di tambah tubuhnya juga di tarik, di tambah lagi lelaki itu menyebutnya sampah. Lelaki besar itu tengah mendaftar kan dirinya untuk mengikuti sayembara. Tiba-tiba satu tangan mencengkram bahu kanannya. Lelaki itu menoleh dan melihat seorang pemuda tampan berpakaian merah
Bimasena menatap orang yang baru saja datang itu. Dia merasakan hawa yang berbeda. Lelaki bernama Marga itu sedikit lebih kuat dari pada rombongan pecundang yang dia temui sebelumnya di dalam kedai. "Siapa kau sebenarnya!?" hardik Marga keras. Bimasena hanya menghela nafas menatap orang bertubuh cukup tegap itu. Hanya dengan melihat tubuh Marga, Bimasena langsung tahu beberapa titik lemah di tubuh orang itu. Merasa pertanyaannya tak di hiraukan oleh Bima, Marga pun langsung menyerang dengan cepat ke arah pemuda berikat kepala merah itu. Tinju kanannya melayang dengan kekuatan yang tidak main-main. Jika mengenai tubuh, bisa jadi tulangnya akan langsung patah. Namun dengan mudah Bima mengelak dari serangan tersebut. Dia mengelak ke kanan lalu tangan kirinya bergerak cepat ke arah bahu Marga. Tuk! Dua jari Bimasena bersarang di bahu kanan Marga yang baru saja dia gunakan untuk menyerang. Saat itu juga Marga mer
Hari itu juga setelah Pendeta Barata memberikan petunjuk dan warisan pedang, Bimasena pun pamit undur diri kepada gurunya. Tak henti Bima ucapkan terimakasih kepada kakek gurunya tersebut. Orang yang telah menyelamatkan hidupnya dan mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya selama tiga tahun belakangan ini. Dalam tiga tahun akhirnya Bimasena berhasil menguasai seluruh jurus dan kesaktian Pendeta Barata yang pernah mendapat julukan sebagai Sang Iblis Gila. Julukan itu bukan tanpa sebab, dulu Pendeta Barata adalah seorang pembunuh yang sangat liar. Itu sebabnya dia mendapatkan julukan tersebut. Mengenai asal-usul orang tua tersebut, Bima belum mengetahui nya. Namun seiring berjalannya waktu, semua orang akan tahu bahwa si Iblis Gila itu mempunyai seorang penerus. Yaitu Bimasena. Dengan pedang yang menggantung di punggung Bima pun meninggalkan tempat dimana dia berlatih dengan perasaan sedih. Pendeta Barata hanya melambaikan tangan saja ke arahnya dengan perasaan yang sedih bercampur bangg
Tiga tahun pun berlalu dengan cepat. Bimasena telah menguasai semua jurus dan kekuatan tenaga dalam yang Pendeta Barata ajarkan. Latihan yang Pendeta Barata berikan cukup berat. Namun dia berhasil lulus setelah menyelesaikan latihan tahap akhir,atau tahap ke tiga. Bimasena ingat saat dia awal mulai berlatih . Pendeta Barata menyuruhnya memotong kayu, mengisi air, dan mencari batu mulia. Kata Pendeta Barata, batu mulia tersebut bisa menyalurkan tenaga dalam. Dan harga batu mulia itu sangat mahal. Satu batu berwarna merah bisa menghasilkan ratusan tail emas. Tahap pertama pun dia lalui selama satu tahun, hingga dia bisa memotong seribu potong kayu dengan ukuran yang sama persis. Latihan ini adalah soal keseimbangan. Dan Bima berhasil dengan sempurna. Dia pun mengisi air dengan cepat bahkan sambil berlari.Kegunaan latihan ini adalah untuk memperkuat otot-otot lengan dan otot bahu serta kakinya yang nantinya akan di jadikan kuda-kuda saat bertarung. Semuanya harus kuat. Latihan ini be
Pendeta Barata tersenyum kepada Bimasena yang sangat berhasrat ingin tahu tentang para penjahat yang membantai satu Perguruan dimana Bima tinggal. "Jika kau tahu, apa yang akan kau perbuat? Kemampuanmu saja sangat lemah. Menghindari lemparan batu kecil saja tidak bisa, apa lagi menahan tebasan Pedang dari pendekar hebat? Sudah tewas kau!" ucap Pendeta Barata membuat wajah Bima memerah karena malu dan kesal. "Lalu, apa yang harus aku lakukan kakek?" tanya Bima. "Kau harus melatih dirimu sendiri. Jika kau mau berlatih padaku, ada tiga tahap yang harus kau lalui untuk menjadi pendekar kelas tengah. Itu saja masih belum cukup untukmu bisa melawan mereka," kata Pendeta Barata sambil mengelus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang. "Apakah kakek benar-benar mau mengajariku?" tanya Bima penuh harap. Mata si kakek itu melotot membuat Bima merasa ngeri. "Sudah di tolong, sudah di kasih obat, sudah di beri makan, malah sekarang minta di ajari ilmu! Anak siapa kau cah lanang!? Bisa-bis
Mata Bimasena terbuka perlahan. Apa yang di lihatnya pertama kali adalah sebuah langit-langit yang terbuat dari daun rumbia. Dia masih merasakan punggungnya yang berdenyut sakit. Dengan perlahan dicobanya menggeser tubuhnya agar bisa duduk di atas balai-balai bambu tersebut. Terdengar bunyi berderit dari balai-balai bambu tua itu. Matanya menatap satu cangkir yang terbuat dari bambu berisi entah air apa. Namun air itu masih mengeluarkan uap panas pertanda minuman itu belum lama di seduh. Terdengar suara kayu yang di potong di luar gubuk. Dengan sekuat tenaga sambil menahan sakit, Bima berjalan sambil berpegangan pada dinding gubuk. Wajahnya mengernyit kesakitan. Namun karena penasaran yang tinggi mengalahkan rasa sakitnya, dia tetap berjalan ke arah pintu. Sesampainya di depan pintu, Bima terkejut. Karena gubuk yang dia tempati berada di atas pohon yang tinggi. Matanya menatap ke arah bawah sana, dimana terdengar suara orang yang tengah memotong kayu. Terlihat asap tipis d
Malam semakin sunyi dan dingin yang semakin menusuk tulang. Rasa dingin membuat orang-orang enggan untuk keluar dari rumahnya. Begitu juga yang terjadi di Perguruan Julang Emas. Sebuah Perguruan tingkat satu di wilayah barat Negara Angin. Semua orang nyaman di balik selimut mereka. Hanya beberapa murid jaga saja yang berpatroli keliling wilayah perguruan. Beberapa lagi berjaga di dua menara pengawas yang ada di gerbang Perguruan. Malam itu di wilayah barat Negara Angin benar-benar terasa sangat dingin tak biasanya. Tanpa di sadari oleh para penjaga, di balik pepohonan terlihat puluhan orang berpakaian hitam mengawasi pergerakan para penjaga itu. Jumlah mereka sangat banyak! Saat empat murid Perguruan Julang Emas melewati pepohonan tersebut, tiba-tiba sebuah belati terbang mengarah salah satu penjaga. Crash! Satu orang tumbang dengan leher menganga. Darah pun mengalir membasahi tanah yang bersalju. Tiga murid yang lain terkejut. Saat salah satu dari mereka akan menembakkan