Mata Bimasena terbuka perlahan. Apa yang di lihatnya pertama kali adalah sebuah langit-langit yang terbuat dari daun rumbia.
Dia masih merasakan punggungnya yang berdenyut sakit. Dengan perlahan dicobanya menggeser tubuhnya agar bisa duduk di atas balai-balai bambu tersebut. Terdengar bunyi berderit dari balai-balai bambu tua itu. Matanya menatap satu cangkir yang terbuat dari bambu berisi entah air apa. Namun air itu masih mengeluarkan uap panas pertanda minuman itu belum lama di seduh. Terdengar suara kayu yang di potong di luar gubuk. Dengan sekuat tenaga sambil menahan sakit, Bima berjalan sambil berpegangan pada dinding gubuk. Wajahnya mengernyit kesakitan. Namun karena penasaran yang tinggi mengalahkan rasa sakitnya, dia tetap berjalan ke arah pintu. Sesampainya di depan pintu, Bima terkejut. Karena gubuk yang dia tempati berada di atas pohon yang tinggi. Matanya menatap ke arah bawah sana, dimana terdengar suara orang yang tengah memotong kayu. Terlihat asap tipis di samping orang berkepala plontos yang tengah asik memotong kayu bakar. Asap tipis itu adalah masakan yang tengah dimasak oleh orang plontos itu. "Siapa dia... Apakah dia orang yang menolongku semalam?" batin Bima bertanya-tanya. Lelaki plontos dan sudah tua itu menoleh ke arah gubuk. Seketika Bima merunduk agar tak kelihatan dirinya sedang memantau orang tua tersebut. Namun karena tiba-tiba merunduk itu membuat lukanya bergesekan dengan dinding bambu. Bima menjerit lirih kesakitan. "Hehehe, anak muda... Kau kira aku tidak tahu kalau dirimu sudah bangun!?" ucap lelaki tua itu sambil melanjutkan pekerjaannya. Bimasena tersentak kaget si orang plontos itu mengetahui dirinya tengah memantaunya. "Hebat, siapa dia sebenarnya...?" batin Bima sambil kembali berdiri. Wajahnya mengernyit menahan sakit saat punggungnya terasa kencang akibat dia berjongkok tadi. "Kalau sudah bangun, minum air di cangkir itu agar lukamu lekas membaik!" ucap orang tua itu sambil terus memotong kayu. Dia taruh kapaknya lalu mengaduk masakan jamur dan sayuran yang hampir matang tersebut. Sesaat mata si kakek tua ini melirik ke arah gubuk yang berada di atas sana. Lalu tanpa menggunakan pelindung tangan, dia angkat wajan dari besi yang selalu dipakainya untuk memasak. Tanpa merasakan panas sama sekali, dia taruh wajan itu di atas meja bambu. Lalu dengan cekatan kakek ini menuang masakan itu di sebuah mangkuk yang terbuat dari batok kelapa besar. Nasi sudah siap tersaji di atas daun pisang. Si kakek segera berseru memanggil Bimasena. "Cah lanang! Turun! Sarapan dulu!" Bimasena yang baru saja selesai meminum cairan pahit di dalam cangkir segera keluar dengan perlahan. Dia menatap ke bawah. "Bagaimana caraku turun dari sini kakek?" tanya Bima sambil celingukan. "Lompat!" jawab si kakek enteng sambil menyuapi mulutnya dengan sendok kayu yang dia buat sendiri. "Hah!? Lompat!? Yang benar saja kek!? Kau mau membunuhku!?" ucap Bima kesal. Si kakek tak menjawab dan malah asik makan. "Kalau kamu tidak buruan turun, makanan ini akan habis aku makan sendiri. Cepat turun!" jawab si Kakek tak pedulikan Bima yang sedang kalut mencari sesuatu untuk turun ke bawah. Dan, mata Bima yang jeli menatap sesuatu di sudut teras gubuk tersebut. Dia melihat seutas tali. Lalu di tariknya tali itu. Dari bawah meluncur sebuah kurungan kayu yang cukup muat satu orang. Bima tersenyum kecil. "Si kakek ini orang cerdas juga," batin Bima sambil berjalan menuju kurungan kayu yang ada di sebelah gubuk. Ternyata memang sudah ada di sana sejak tadi. Mata Bimasena kurang awas karena panik. Makanya tidak tahu itu pintu untuk apa. Bima membuka pintu lalu masuk ke dalam kurungan kayu. Dia tarik tali itu secara perlahan hingga secara perlahan dia turun ke bawah sana.~ Bima duduk di hadapan si kakek yang sudah selesai makan. Setelah minum menggunakan gayung batok, kakek ini melanjutkan memotong kayu. Bima makan sambil memperhatikan apa yang kakek kerjakan. Saat dia memakan nasi yang dicampur dengan sayuran jamur itu, dia terdiam sejenak. "Hm, ini enak sekali!" batin Bima lalu dia segera melahap makanannya itu dengan cepat. Selesai makan Bima menghampiri si kakek. Dan kakek itu menoleh ke arah Bima. Wajahnya tidak bersahabat sama sekali. "Heh, cah lanang! Kalau habis makan cuci peralatan makannya! Sudah tidak bayar, sekarang dengan santainya kau datang padaku." ucap si Kakek itu membuat Bima berhenti melangkah. Dengan wajah kesal Bima mengambil semua peralatan makan tadi dan membawanya ke sungai kecil di belakang pohon besar tempat tinggal si kakek. Langkahnya masih terpincang-pincang karena sakitnya masih terasa. Bima melihat bahwa tempat di sekelilingnya itu adalah hutan lebat. Dia merasa bingung dengan tempat tinggal kakek tersebut. "Sebenarnya dimana aku ini... Apakah ada yang selamat orang-orang dari Perguruan Julang Emas selain diriku? Kinanti...Aku tak kabar dia bagaimana..." batin Bima sambil mencuci peralatan makannya. Setelah selesai, dia segera beranjak dan kembali ke tempat si kakek memotong kayu. Sesampainya di sana dia tidak melihat kakek plontos tadi. Bima mengarahkan pandangannya ke berbagai arah. Kakek itu seperti hilang di telan bumi. Tiba-tiba satu batu kecil melesat ke arah kepala Bimasena. Dan... Tuk! Kepala pemuda itu terkena lemparan batu kecil. Seketika bekas lemparan itu menjadi benjol kecil di kepala Bima. "Aduh! Sialan!" pekik Bima menahan sakit di kepalanya. Meski batu itu mengenai kepalanya dengan keras, tapi tidak ada darah yang keluar dari lukanya. "Respon-mu sangat lambat, bahkan kau tidak menyadari adanya serangan! Apa kau benar-benar seorang murid Perguruan Julang Emas!?" sebuah suara muncul tepat di belakang Bima. Pemuda itu menoleh. "Kakek! Apa yang kamu lakukan!? Sakit tahu!" teriak Bima kesal. Si kakek tertawa saja tanpa dosa. "Huh, ternyata murid Julang Emas hanya segini saja! Memalukan! Katanya Perguruan tingkat Satu di Negara Angin!? tapi hanya lemparan kecil saja sudah berteriak macam bayi minta susu hikhikhik! Pantas saja dalam semalam kalian keteteran oleh musuh!" ucap si kakek membuat Bima semakin kesal. Tapi dia tak berani memaki. Takutnya, si kakek marah dan dia akan di lempari pakai kerikil lagi. "Aku memang murid dari Perguruan Julang Emas. Mengenai tingkat pertama di Negara Angin ini aku kurang paham kek. Karena di Perguruan itu sendiri aku masih berada di tingkat dasar ayunan pedang selama dua tahun..." ucap Bima sambil mengelus kepalanya yang benjol. Mata si kakek melotot besar. "Hah!? Ayunan Pedang tingkat Dasar selama dua tahun!? Sampah macam apa yang di pelihara Julang Emas ini!? Pantas saja Perguruan itu musnah dalam semalam. Murid-muridnya dungu semua sepertimu!" ucap si Kakek terdengar pedas di telinga Bimasena. "Apakah tidak ada yang lolos atau selamat seperti diriku kek? Aku masih sedikit ingat kejadian semalam..." Tiba-tiba kakek plontos itu berdiri dari duduknya. Matanya membesar. Bima merinding melihat tatapan mata kakek itu. "Semalam gundul-mu! Aku merawat tubuhmu sudah lebih dari tujuh hari dan kau bilang kejadian semalam!? Benar-benar gundul-mu mau aku lempari batu lagi!?" ucap kakek tidak terima. "Tujuh hari!?" tanya Bima tak percaya. Kakek itu melotot lagi ke arahnya membuat Bima nyengir tak bisa berbuat apa-apa. "Bagaimana aku bisa pingsan selama itu kek!?" tanya Bima akhirnya karena sangat penasaran. "Waktu aku temukan, kamu telah kehabisan banyak darah. Aku meramu obat yang di minum dan di tabur pada lukamu agar kau bisa sedikit bertahan dari masa sekarat-mu. Tujuh hari ini, kau berhasil melewati sekarat dan kembali hidup. Ini berkat obat yang aku minum-kan padamu. Berterimakasih-lah kepada orang tua ini anak muda, berkat diriku kau masih bisa menghirup udara segar! hahaha" ucap kakek tua itu lalu tertawa. Bima tersenyum dengan perasaan bingung. Entah dia harus senang atau malah justru kesal denga tingkah kakek itu. "Aku Bimasena, berterimakasih kepadamu kek. Kalau boleh tahu, siapa nama kakek penolongku ini?" tanya Bima sambil membungkuk hormat. Si kakek tersenyum lebar. "Aku mempunyai julukan tersendiri di dunia persilatan ini. Panggil saja aku Pendeta Barata Kala, Bimasena." jawab si kakek yang bernama Barata Kala tersebut. "Apakah kakek Barata tahu, siapa penjahat yang menyerang Perguruan Julang Emas?" tanya Bima penasaran.Pendeta Barata tersenyum kepada Bimasena yang sangat berhasrat ingin tahu tentang para penjahat yang membantai satu Perguruan dimana Bima tinggal. "Jika kau tahu, apa yang akan kau perbuat? Kemampuanmu saja sangat lemah. Menghindari lemparan batu kecil saja tidak bisa, apa lagi menahan tebasan Pedang dari pendekar hebat? Sudah tewas kau!" ucap Pendeta Barata membuat wajah Bima memerah karena malu dan kesal. "Lalu, apa yang harus aku lakukan kakek?" tanya Bima. "Kau harus melatih dirimu sendiri. Jika kau mau berlatih padaku, ada tiga tahap yang harus kau lalui untuk menjadi pendekar kelas tengah. Itu saja masih belum cukup untukmu bisa melawan mereka," kata Pendeta Barata sambil mengelus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang. "Apakah kakek benar-benar mau mengajariku?" tanya Bima penuh harap. Mata si kakek itu melotot membuat Bima merasa ngeri. "Sudah di tolong, sudah di kasih obat, sudah di beri makan, malah sekarang minta di ajari ilmu! Anak siapa kau cah lanang!? Bisa-bis
Tiga tahun pun berlalu dengan cepat. Bimasena telah menguasai semua jurus dan kekuatan tenaga dalam yang Pendeta Barata ajarkan. Latihan yang Pendeta Barata berikan cukup berat. Namun dia berhasil lulus setelah menyelesaikan latihan tahap akhir,atau tahap ke tiga. Bimasena ingat saat dia awal mulai berlatih . Pendeta Barata menyuruhnya memotong kayu, mengisi air, dan mencari batu mulia. Kata Pendeta Barata, batu mulia tersebut bisa menyalurkan tenaga dalam. Dan harga batu mulia itu sangat mahal. Satu batu berwarna merah bisa menghasilkan ratusan tail emas. Tahap pertama pun dia lalui selama satu tahun, hingga dia bisa memotong seribu potong kayu dengan ukuran yang sama persis. Latihan ini adalah soal keseimbangan. Dan Bima berhasil dengan sempurna. Dia pun mengisi air dengan cepat bahkan sambil berlari.Kegunaan latihan ini adalah untuk memperkuat otot-otot lengan dan otot bahu serta kakinya yang nantinya akan di jadikan kuda-kuda saat bertarung. Semuanya harus kuat. Latihan ini be
Hari itu juga setelah Pendeta Barata memberikan petunjuk dan warisan pedang, Bimasena pun pamit undur diri kepada gurunya. Tak henti Bima ucapkan terimakasih kepada kakek gurunya tersebut. Orang yang telah menyelamatkan hidupnya dan mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya selama tiga tahun belakangan ini. Dalam tiga tahun akhirnya Bimasena berhasil menguasai seluruh jurus dan kesaktian Pendeta Barata yang pernah mendapat julukan sebagai Sang Iblis Gila. Julukan itu bukan tanpa sebab, dulu Pendeta Barata adalah seorang pembunuh yang sangat liar. Itu sebabnya dia mendapatkan julukan tersebut. Mengenai asal-usul orang tua tersebut, Bima belum mengetahui nya. Namun seiring berjalannya waktu, semua orang akan tahu bahwa si Iblis Gila itu mempunyai seorang penerus. Yaitu Bimasena. Dengan pedang yang menggantung di punggung Bima pun meninggalkan tempat dimana dia berlatih dengan perasaan sedih. Pendeta Barata hanya melambaikan tangan saja ke arahnya dengan perasaan yang sedih bercampur bangg
Bimasena menatap orang yang baru saja datang itu. Dia merasakan hawa yang berbeda. Lelaki bernama Marga itu sedikit lebih kuat dari pada rombongan pecundang yang dia temui sebelumnya di dalam kedai. "Siapa kau sebenarnya!?" hardik Marga keras. Bimasena hanya menghela nafas menatap orang bertubuh cukup tegap itu. Hanya dengan melihat tubuh Marga, Bimasena langsung tahu beberapa titik lemah di tubuh orang itu. Merasa pertanyaannya tak di hiraukan oleh Bima, Marga pun langsung menyerang dengan cepat ke arah pemuda berikat kepala merah itu. Tinju kanannya melayang dengan kekuatan yang tidak main-main. Jika mengenai tubuh, bisa jadi tulangnya akan langsung patah. Namun dengan mudah Bima mengelak dari serangan tersebut. Dia mengelak ke kanan lalu tangan kirinya bergerak cepat ke arah bahu Marga. Tuk! Dua jari Bimasena bersarang di bahu kanan Marga yang baru saja dia gunakan untuk menyerang. Saat itu juga Marga mer
Bimasena melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat pendaftaran peserta sayembara. Ternyata disana sudah di penuhi banyak orang yang mengantri. "Ramai sekali," batin Bima sambil mengamati sekitar. Tiba-tiba ada seorang lelaki berbadan besar menyerobot antrian. Tubuh Bima di tarik keluar dari antrian. "Sampah belakangan! biar aku dulu yang di depan!" teriak lelaki itu. Banyak orang menyingkir karena takut melihat wajahnya yang besar. Lelaki berbadan besar itu akhirnya sampai di urutan pertama. Banyak peserta yang marah karena kejadian itu. Tapi mereka enggan berurusan dengan orang berbadan kekar tersebut. Agaknya mereka tahu siapa lelaki besar itu. Tapi tidak bagi Bimasena. Dia merasa kesal antriannya di serobot di tambah tubuhnya juga di tarik, di tambah lagi lelaki itu menyebutnya sampah. Lelaki besar itu tengah mendaftar kan dirinya untuk mengikuti sayembara. Tiba-tiba satu tangan mencengkram bahu kanannya. Lelaki itu menoleh dan melihat seorang pemuda tampan berpakaian merah
Akhirnya hari yang di tunggu telah tiba. Bimasena segera berkemas dan berangkat menuju gelanggang pertarungan di Perguruan Katak Merah. Sesampainya disana ribuan pengunjung sudah berdatangan untuk melihat jagoan mereka bertarung. Para pendekar kelas bawah dari berbagai penjuru berdatangan untuk ikut meramaikan sayembara. Bima duduk di bangku penonton untuk sementara waktu. Di tempat khusus para tetua perguruan, berjejer beberapa orang yang di anggap paling berpengaruh di perguruan tersebut. Seorang gadis cantik pembawa acara naik ke atas panggung. Dia adalah seorang gadis cantik jelita dengan pakaian minim yang membuat semua mata para penonton terbuka lebar. Para pengunjung bersorak meneriaki gadis tersebut. Si gadis pun mengedipkan sebelah matanya dengan lidah menjulur ke arah penonton. Terdengar suara gemuruh para penonton setelah gadis itu melakukan aksi nya. Bima menutup wajahnya sambil gelengkan kepala. "Gadis aneh," pikir Bima. Si Gadis itu mengambil pengeras suara. "Ha
Kirana Dewi pun berteriak dengan lantang. "Pendekar yang akan bertanding melawan Pendekar Merah adalah Cong Wei dari Perguruan Naga Air!" ucap Kirana Dewi keras. Pendekar berambut gimbal tersenyum. "Takdir sudah memilihmu, Cong Wei, kau memang sudah ditakdirkan melawan dia," ucapnya kepada Pendekar ceking yang ternyata bernama Cong Wei dari perguruan Naga Air. "Aku tidak takut! Lihat saja nanti, siapa yang akan berlutut!" ucap Cong Wei dengan penuh percaya diri."Baguslah kalau kau tak takut. Paling tidak kau tidak membuat malu perguruan besarmu itu," Cong Wei tak menanggapi ucapan si gimbal. Dia segera berkelebat ke atas arena. Bima menatap Pendekar ceking itu. Tak ada senyum di bibirnya. Malah Cong Wei lah yang menyunggingkan senyum sinis kepadanya. "Baru mengalahkan para sampah sudah banyak sekali lagak, aku akan membuatmu memohon ampun padaku," ucap Cong Wei lalu memasang kuda-kuda. Bima hanya melirik gerakan kuda-kuda lawan sekilas. Suara lonceng tanda pertandingan di mu
Bima kembali berdiri di atas panggung. Kali ini dia akan melawan satu Pendekar dari Perguruan kelas bawah, yaitu Perguruan Kuda Putih. Bima pernah mendengar nama Perguruan itu. Tapi dia tidak begitu paham jurus-jurus mereka. Ini yang membuat Bima merasa tertantang. Pemuda bernama Jinggo itu berdiri dengan gagah. Dia adalah salah satu senior terkuat di Perguruan Kuda Putih. "Aku sudah menyiapkan semuanya untuk bisa bertemu dengan salah satu perwakilan Julang Emas yang katanya jago-jago dalam pertarungan! Tapi sialnya Perguruan lemah itu sudah hancur terlebih dulu sebelum aku menginjak-injak nya! Aku akan jadikan kamu sebagai alat pelampiasan amarahku!" ucap Jinggo berapi-api. Mata Bima berkilat marah. Kedua tinjunya terkepal erat. "Beraninya menghina Perguruan ku... kamu akan tahu akibat dari ucapan mu..." ucap Bima perlahan. Saat lonceng berbunyi, Bima langsung berinisiatif menyerang lebih dulu. Dia berlari cepat. Sangat cepat! Jinggo menatapnya dengan terkejut. Dia segera saol
Mendengar ucapan di belakangnya, Ki Kalam pun menoleh. Matanya menatap sosok pemuda dengan pakaian serba merah dan tengah menatapnya dengan tajam. "Semua orang Perguruan Ular Hitam itu terlalu sombong, tapi kemampuan tak ada. Seperti Weling Ireng, Manik, Wicaksono... Apakah seseorang yang berada di Ranah Keabadian juga sama? Menindas gadis lemah yang berada jauh di bawahnya, ckckck... Macam taik kau orang tua!" kembali terdengar makian dari Bima. Marah Ki Kalam mendengar makian yang belum pernah dia dapatkan selama hidupnya menjadi Pemimpin Perguruan. "Beraninya kau bajingan! Aku akan robek mulut kotormu itu!" teriaknya kemudian melempar tubuh Arimbi hingga menabrak rumah kayu. Brak! Rumah itu terlihat hampir roboh. Bima dengan cepat bergerak. Namun Ki Kalam menghalanginya. Pedang Bima berkelebat ke arah leher Ki Kalam. Namun Ki Kalam dengan cepat menghindar. Saat itulah, Bima meledakkan tenaga dalamnya hingga tubuh Ki Kalam terpental namun tidak sampai jatuh. Dengan kecepatan
Arimbi mendengar derap kaki kuda. Dia segera mengintip dari balik pagar rumah yang hancur sebagian tersebut. Matanya yang indah itu melihat sosok orang tua berkuda. Orang itu sempat berputar-putar di sekitar gapura. Arimbi yakin orang itu adalah musuh yang mengejarnya saat bersama Bima. Orang yang tak lain adalah Ki Kalam turun dari kudanya. Matanya menyapu seantero tempat. Dia menatap kuda yang terparkir di bawah pendopo itu. "Woe, penjahat! Keluar kau!" teriaknya menggema. Ki Kalam melangkah masuk ke dalam Perguruan yang sudah hancur itu. Seketika dia teringat Perguruan tersebut. "Perguruan sampah memang tak layak berada di dunia ini, selalu berbuat curang untuk bisa berada di atas, cuih!" ucap Ki Kalam. Arimbi tak melihat apa yang orang tua itu lakukan. Apalagi ucapannya yang sangat tidak sopan itu. "Dia orang tua tapi sungguh tak bisa menjadi contoh yang baik! Aku akan beri dia pelajaran!" batin Arimbi. Ki Kalam menoleh saat mendengar langkah kaki Arimbi. Dia menatap gadi
Ki Kalam menghentikan kudanya saat dia melihat seekor kuda yang tengah makan rumput di pinggir hutan. Ki Kalam menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari keberadaan si penunggang kuda. "Aneh... Kenapa kuda ini sendiri? Dimana penunggang kudanya?" batin Ki Kalam. Dia duduk di atas batu untuk menunggu. Setelah cukup lama menunggu dia memutuskan utnuk mencari orang tersebut. "Dia pasti menyadari aku mengejarnya sehingga dia turun dan lebih memilih untuk kabur ke arah hutan... hmmm..."Setelah mempertimbangkan sejenak, Ki Kalam akhirnya memilih ke arah hutan sebelah kiri dimana ada jalan setapak kecil. Dan jalan itu adalah jalan yang tembus ke Perguruan Julang Emas, dimana Arimbi tengah menanti Bima di sana. Ki Sura menangkis semua serangan cepat yang Bima lancarkan. Kali ini Iblis Es di dalam tubuh Bima semakin terlihat. Serangan pun semakin cepat Bima layangkan. Setiap pedangnya mengandung kekuatan ledakan es. Membuat Ki Suta sedikit kelabakan melawan anak muda. "Bagus! Kau sudah
Ki Sura tertawa puas. Dia berdiri setengah terbungkuk karena efek serangan tenaga dalam Bima. "Bagaimana? Apakah kau bisa membandingkan seranganmu sebelumnya dengan yang baru aku katakan?" tanya Ki Sura. Bima menatap orang tua itu dengan heran. Dia merasa tengah di ajari seorang guru. Tapi dia tak tahu harus bersikap apa karena ini baginya adalah pertarungan. "Nama jurus yang baru kau dapat itu adalah Jurus Menarik Matahari," kata Ki Sura. "Sebenarnya apa maksudmu Ki mengajarkan jurus ini padaku?" tanya Bima. "Hei! Siapa yang mengajarimu! Bahkan muridku butuh waktu enam purnama untuk bisa menguasai jurus itu! Kau hanya dalam kejapan mata saja sudah bisa melakukan nya! Kau terlalu berbakat menjadi muridku!" ucap Ki Sura. Bima masih tak mengerti dengan maksud Ki Sura. Tapi dia tak peduli lagi. Dengan cepat dia menyerang kembali. Ki Sura tak diam saja. Dengan kekuatan yang dia miliki dengan mudah Ki Sura mengumpulkan kekuatan angin di tangannya. "Nah, makan ini!" kata Ki Sura sam
"Sekarang aku sudah katakan padamu, perkara kamu masih dendam pada Perguruan ku itu bukan masalah lagi. Yang jelas, aku pun mempunyai dendam yang sama dengan dirimu, karena semua muridku kau bunuh secara keji," kata Ki Sura. Bima tersenyum. "Terimakasih Ki, sudah berkata jujur padaku, memberitahu rahasia yang aku tak tahu, tapi apa pun itu alasannya, aku tetap akan memusnahkan semua Perguruan yang ikut andil dalam pembantaian, dan ceritamu tadi tidak akan bisa menghentikan langkahku..." sahut Bima dengan tatapan dingin. Kini tujuannya semakin kuat. Menghancurkan semuanya, bahkan negara Angin Barat sekali pun! Ki Sura tersenyum dengan tekat kuat yang di miliki oleh Bima. Bahkan di dalam Perguruan nya tak ada satu pun murid yang mempunyai jiwa kesatria dan kesetiaan yang begitu besar seperti yang Bima tunjukkan. "Itu terserah kamu anak muda, kamu punya jalan sendiri, begitu juga diriku, kita akan selesai kan semua ini sekarang," kata Ki Sura. Bima menyeringai. "Aku kasih tahu kau
Keesokan harinya, Arimbi menyediakan sarapan untuk Bima. Dia sengaja memasak bersama pemilik penginapan. Dulu sebelum Arimbi turun gunung dari tempat dia menimba ilmu, dia sering memasak nasi bakar yang di campur dengan bumbu ikan dan kemangi. Kata gurunya makanan buatannya itu sangatlah enak. Itu sebabnya pagi itu Arimbi membuatkannya untuk Bima. Itu adalah pertama kalinya dia membuat makanan untuk seorang pria. Bima menatap nasi yang berada di dalam bambu. Melihat sekilas dia merasa nasi itu enak. Arimbi mengambil nasi itu ke dalam piring tanah beralas daun pisang. "Silahkan kakang, ini adalah makanan buatanku..." ucap Arimbi dengan senyum semringah. Bima menyelupkan tangannya ke dalam mangkuk berisi air. Lalu dia pun menyuapi mulutnya dengan nasi bakar buatan Arimbi. Gadis yang masih diam-diam mencintainya. Mata Bima membesar membuat Arimbi panik seketika. "Ada apa kakang? Apakah tidak enak? atau ada sesua
Mata Arimbi pun terpejam setelah merasa nyaman karena tangannya berada dalam genggaman Bima. Pemuda itu menatap wajah Arimbi tanpa berkedip. Ada perasaan yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang. "Ada apa denganku? Kenapa hanya dengan melihat wajahnya saja aku merasa sangat nyaman?" batin Bima. Tangan kirinya bergerak ingin mengelus pipi Arimbi. Namun saat jarinya hampir menyentuh kulit putih gadis itu tangannya terhenti. Dia mendengar sesuatu dari arah luar. "Aura Iblis...?" batin Bima. Dengan perlahan Bima melepaskan pegangan tangannya pada Arimbi. Dia merasa aura itu sangat kuat. "Ini aura yang sama saat aku berada di gubuk kecil malam itu..." batin Bima lalu perlahan berjalan ke arah pintu. Dia teringat pembicaraan dengan Banu sebelum meninggal. Banu sudah siap melepaskan Iblis miliknya dan memberikannya kepada Bima. Karena hanya Bima lah yang sanggup menerima Iblis itu. Dan benar saja, dari balik pintu terdengar suara menggeram. Bima menghunus pedangnya. Dia melihat
Kuda-kuda itu berlari cukup kencang. Suaranya terdengar dari kejauhan. Saat rombongan kuda itu melewati rumah-rumah penduduk desa, semua orang menatap dengan penuh rasa penasaran. Kuda-kuda itu membawa kantong-kantong berisi sesuatu. Dan cairan berwarna merah pekat berceceran dari kantong itu menebar bau amis yang membuat mual. Rombongan kuda itu masuk ke dalam Perguruan Ular Hitam. Suaranya terdengar hingga ke rumah Ki Kalam dan Ki Sura. Mereka berdua mengira para guru dan muridnya berhasil menangkap Bima. "Luar biasa, Wicaksono bergerak sangat cepat. Sesuai harapanku!" ucap Ki Kalam. Dengan tergopoh-gopoh mereka pun keluar dari rumah dan menghampiri halaman aula tempat berlatih dimana kuda-kuda itu berhenti. Seketika itu juga mata mereka terkejut melihat kuda-kuda itu tanpa ada penunggangnya. Dan yang membuat mereka semakin terkejut adalah buntalan kantong pada pelana kuda-kuda tersebut. Mereka sudah curiga terjadi sesuatu. Namun Ki Sura masih mencoba berpikir tenang. "Mungki
Bima melesat dengan cepat dengan penuh semangat. Hingga akhirnya dia sampai di rumah terakhir yang sudah hancur akibat serangan Manik dan para pengikutnya di desa itu. Bima berdiri di tengah jalan menghadang rombongan berkuda dengan jumlah yang cukup banyak. Rombongan itu berhenti. Wicaksono menatap tajam, lalu dengan cepat dia cabut pedangnya. "Hei, kisanak, apa yang kau lakukan di tengah jalan! Menyingkir lah atau mati!" hardik Wicaksono. Bima tersenyum kecil. Dia cabut pedangnya. "Waktunya makan pedangku..." ucap Bima dengan seringainya yang membuat para murid itu tegang. Tanpa babibu lagi Bima melesat kearah rombongan itu. Mata kanan nya memancarkan sinar biru. "Hati-hati! Dia akan menyerang!" teriak Wicaksono. Namun terlambat, Bima sudah melompati nya dan langsung mengarah ke para murid yang ada di belakang. "Mengirim bocah Tubuh Besi padaku? Kalian sangat konyol!" ucap Bima masih den