Share

5

“Berani kamu ya, gebrak-gebrak pintu gitu di depan Ibu! Kamu sadar nggak sih, kalau di sini kamu cuma numpang!”

              Jeritan Ibu membahana. Jelas saja. Dia berang karena tanganku tadi meninju pintu kamar mandi yang terbuat dari bahan plastik fiber hingga satu engselnya terlepas.

              Masa bodoh! Aku tidak peduli. Enak saja ibu mertuaku mempelototiku bagai anak kecil begitu.

              “Sampe lepas pintunya, lho! Kamu ini waras nggak sih, Ris!” bentak Ibu lagi dengan nada yang semakin meninggi.

              Sayangnya, dia hanya berani berteriak. Wajahnya sendiri pias dengan cucuran keringat di pelipis. Langkahnya pun kuliat mundur. Kenapa dia? Takut?

              “Waras atau tidaknya aku, itu bukan urusan Ibu!” desisku sambil berjalan meninggalkan beliau.

              “Ingat, Ris! Denis bisa aja ngejadiin kamu janda kapan pun yang dia mau! Siap-siap aja kamu!”

              Ibu mertuaku berteriak hingga suaranya terdengar serak. Jadi janda, katanya? Lho, emangnya siapa yang takut menjanda?

              “Jadi janda nggak akan bikin aku mati, Bu! Ibu juga janda, kan? Buktinya, Ibu sendiri hepi-hepi aja walaupun menjanda? Apalagi aku nantinya! Udah jadi janda, masih muda, dan masih cantik pula!” ejekku sambil menoleh sekilas.

              Muka Ibu yang semula pucat pasi, sekarang berubah merah padam. Dia pasti kesal luar biasa. Saat dia hendak menyahut lagi, aku sudah buru-buru angkat kaki dengan cepat untuk segera masuk ke kamar.

              Segera kukunci kamar dan kuganti pakaianku. Untungnya, stelan blazer warna abu-abu mudaku masih muat setelah setengah tahun tak dipakai. Tak hanya muat sebenarnya, malah kedodoran!

              Ya iyalah. Makan kurang. Tidur dan istirahat juga kurang. Waktu habis terkuras buat mengurusi rumah tangga tanpa untung!

              Jangankan dapat uang. Dihargai dan dihormati saja tidak! Cinta pun rupanya tak juga terselip dari Mas Denis buat aku yang telah berjuang menjadi istri terbaik buatnya.

              “Cinta memang seperti tai kucing! Nikmat dan wanginya itu hanya ilusi belaka! Bodohnya aku, kenapa aku mau sih, selama ini berumah tangga dengan lelaki seperti Mas Denis? Baiknya cuma di awal. Di tengah-tengah kok, malah jadi kaya gini! Belum juga setahun nikah, malah udah nuntut buat punya anak. Pake acara ngatain aku nggak mampu hamil pula! Jangan-jangan dia kali yang mandul! Dasar sompret!” desisku sendiri sambil merias wajah di depan cermin.

              Aku harus cantik paripurna pokoknya! Harus pakai make up lengkap! Harus pakai baju yang bagus, meskipun kondisinya agak kedodoran sedikit.

              “Semoga setelah ini hidupku makin bahagia,” ujarku setengah berbisik usai memoles lipstik di bibir.

              Kulap tas kerjaku yang sudah berdebu. Untungnya tas kulit itu tak berjamur dan mengelupas walau tak pernah dipakai berbulan-bulan. Allah memang Maha Baik. Di tengah situasi kalut begini, langkahku seakan dipermudah oleh Allah.

              “Astaga! Bukannya nyuci piring, malah dandan menor begini! Risma, kamu ini sebenarnya mau ke mana!”

              Ibu berteriak saat aku keluar kamar. Tangan kananku menjepit tali tas kulitku, sedang tangan kiriku menggeret koper berwarna biru. Koper itu berisi sebagian pakaian dan barang-barang berhargaku. Sebagian pakaian yang sudah jelek sengaja aku tinggal. Buat kenang-kenangannya Mas Denis. Siapa tau dia kepengen ngasiin baju-baju belelku itu ke istri barunya nanti.

              “Mau ke mana pun aku, itu bukan urusanmu!” semprotku dengan muka yang sengak.

              “Kurang ajar kamu, Ris! Bisa-bisanya kamu bicara begitu sama aku!” Ibu yang rupanya belum juga mandi itu marah-marah lagi. Urat di leher wanita yang bertubuh sedang dengan muka yang telah dihiasi flek maupun keriput tersebut sampai menyembul jelas.

              “Suka-suka aku, dong, mau bicara apa! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi! Aku bukan menantumu mulai hari ini. Jadi, jangan sok ngatur dan sok bijak ke aku. Aku nggak butuh omonganmu. Paham?!”

              Ibu mendelik semakin lebar. Mungkin dia tidak akan menyangka bahwa aku bisa seberani ini kepadanya. Dia lupa kalau sebelum jadi menantunya, aku ini seorang wanita karier mandiri yang telah terbiasa cari makan sendiri!

              Sejak kecil hidupku ini dibalut duka dan lara. Ayahku meninggal dunia sejak aku balita. Ibuku pontang panting bekerja sebagai buruh pabrik belasan tahun lamanya demi menyekolahkanku hingga jenjang diploma tiga. Setelah aku akan menikahlah Ibu baru mau menjalin hubungan dengan pria baru dan akhirnya memutuskan buat berumah tangga kembali setelah puluhan tahun menjanda.

              Jadi, bagiku hidup tanpa seorang pria alias suami itu bukan hal yang pelik. Aku punya ijazah. Aku masih muda dan punya tampang yang menurutku oke. Jadi, apa yang aku takutkan?

              “Astaghfirullah! Istighfar kamu, Ris! Benar-benar keterlaluan kamu! Masuk kamar! Bawa kembali kopermu ke dalam!” sergah ibu mertuaku sambil berjalan mendekat dan tiba-tiba saja menarik gagang koperku.

              “Eh, enak aja!”

              “Masuk kamu pokoknya! Kamu nggak boleh keluar dari sini sebelum Denis dapat calon istri baru! Aku nggak mau di rumah ini jadi pembantu buat Denis dan Vio! Kalau kamu pergi, siapa yang bakalan masak, nyuci, dan nyapu? Aku udah tua! Nggak seharusnya kerja keras lagi ngerapiin rumah!”

              Lah? Enak bener dia ngomong! Ini orangtua otaknya ditaroh di mana ya, kira-kira? Apa dititipin di lubang jamban?           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status