“Berani kamu ya, gebrak-gebrak pintu gitu di depan Ibu! Kamu sadar nggak sih, kalau di sini kamu cuma numpang!”
Jeritan Ibu membahana. Jelas saja. Dia berang karena tanganku tadi meninju pintu kamar mandi yang terbuat dari bahan plastik fiber hingga satu engselnya terlepas.
Masa bodoh! Aku tidak peduli. Enak saja ibu mertuaku mempelototiku bagai anak kecil begitu.
“Sampe lepas pintunya, lho! Kamu ini waras nggak sih, Ris!” bentak Ibu lagi dengan nada yang semakin meninggi.
Sayangnya, dia hanya berani berteriak. Wajahnya sendiri pias dengan cucuran keringat di pelipis. Langkahnya pun kuliat mundur. Kenapa dia? Takut?
“Waras atau tidaknya aku, itu bukan urusan Ibu!” desisku sambil berjalan meninggalkan beliau.
“Ingat, Ris! Denis bisa aja ngejadiin kamu janda kapan pun yang dia mau! Siap-siap aja kamu!”
Ibu mertuaku berteriak hingga suaranya terdengar serak. Jadi janda, katanya? Lho, emangnya siapa yang takut menjanda?
“Jadi janda nggak akan bikin aku mati, Bu! Ibu juga janda, kan? Buktinya, Ibu sendiri hepi-hepi aja walaupun menjanda? Apalagi aku nantinya! Udah jadi janda, masih muda, dan masih cantik pula!” ejekku sambil menoleh sekilas.
Muka Ibu yang semula pucat pasi, sekarang berubah merah padam. Dia pasti kesal luar biasa. Saat dia hendak menyahut lagi, aku sudah buru-buru angkat kaki dengan cepat untuk segera masuk ke kamar.
Segera kukunci kamar dan kuganti pakaianku. Untungnya, stelan blazer warna abu-abu mudaku masih muat setelah setengah tahun tak dipakai. Tak hanya muat sebenarnya, malah kedodoran!
Ya iyalah. Makan kurang. Tidur dan istirahat juga kurang. Waktu habis terkuras buat mengurusi rumah tangga tanpa untung!
Jangankan dapat uang. Dihargai dan dihormati saja tidak! Cinta pun rupanya tak juga terselip dari Mas Denis buat aku yang telah berjuang menjadi istri terbaik buatnya.
“Cinta memang seperti tai kucing! Nikmat dan wanginya itu hanya ilusi belaka! Bodohnya aku, kenapa aku mau sih, selama ini berumah tangga dengan lelaki seperti Mas Denis? Baiknya cuma di awal. Di tengah-tengah kok, malah jadi kaya gini! Belum juga setahun nikah, malah udah nuntut buat punya anak. Pake acara ngatain aku nggak mampu hamil pula! Jangan-jangan dia kali yang mandul! Dasar sompret!” desisku sendiri sambil merias wajah di depan cermin.
Aku harus cantik paripurna pokoknya! Harus pakai make up lengkap! Harus pakai baju yang bagus, meskipun kondisinya agak kedodoran sedikit.
“Semoga setelah ini hidupku makin bahagia,” ujarku setengah berbisik usai memoles lipstik di bibir.
Kulap tas kerjaku yang sudah berdebu. Untungnya tas kulit itu tak berjamur dan mengelupas walau tak pernah dipakai berbulan-bulan. Allah memang Maha Baik. Di tengah situasi kalut begini, langkahku seakan dipermudah oleh Allah.
“Astaga! Bukannya nyuci piring, malah dandan menor begini! Risma, kamu ini sebenarnya mau ke mana!”
Ibu berteriak saat aku keluar kamar. Tangan kananku menjepit tali tas kulitku, sedang tangan kiriku menggeret koper berwarna biru. Koper itu berisi sebagian pakaian dan barang-barang berhargaku. Sebagian pakaian yang sudah jelek sengaja aku tinggal. Buat kenang-kenangannya Mas Denis. Siapa tau dia kepengen ngasiin baju-baju belelku itu ke istri barunya nanti.
“Mau ke mana pun aku, itu bukan urusanmu!” semprotku dengan muka yang sengak.
“Kurang ajar kamu, Ris! Bisa-bisanya kamu bicara begitu sama aku!” Ibu yang rupanya belum juga mandi itu marah-marah lagi. Urat di leher wanita yang bertubuh sedang dengan muka yang telah dihiasi flek maupun keriput tersebut sampai menyembul jelas.
“Suka-suka aku, dong, mau bicara apa! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi! Aku bukan menantumu mulai hari ini. Jadi, jangan sok ngatur dan sok bijak ke aku. Aku nggak butuh omonganmu. Paham?!”
Ibu mendelik semakin lebar. Mungkin dia tidak akan menyangka bahwa aku bisa seberani ini kepadanya. Dia lupa kalau sebelum jadi menantunya, aku ini seorang wanita karier mandiri yang telah terbiasa cari makan sendiri!
Sejak kecil hidupku ini dibalut duka dan lara. Ayahku meninggal dunia sejak aku balita. Ibuku pontang panting bekerja sebagai buruh pabrik belasan tahun lamanya demi menyekolahkanku hingga jenjang diploma tiga. Setelah aku akan menikahlah Ibu baru mau menjalin hubungan dengan pria baru dan akhirnya memutuskan buat berumah tangga kembali setelah puluhan tahun menjanda.
Jadi, bagiku hidup tanpa seorang pria alias suami itu bukan hal yang pelik. Aku punya ijazah. Aku masih muda dan punya tampang yang menurutku oke. Jadi, apa yang aku takutkan?
“Astaghfirullah! Istighfar kamu, Ris! Benar-benar keterlaluan kamu! Masuk kamar! Bawa kembali kopermu ke dalam!” sergah ibu mertuaku sambil berjalan mendekat dan tiba-tiba saja menarik gagang koperku.
“Eh, enak aja!”
“Masuk kamu pokoknya! Kamu nggak boleh keluar dari sini sebelum Denis dapat calon istri baru! Aku nggak mau di rumah ini jadi pembantu buat Denis dan Vio! Kalau kamu pergi, siapa yang bakalan masak, nyuci, dan nyapu? Aku udah tua! Nggak seharusnya kerja keras lagi ngerapiin rumah!”
Lah? Enak bener dia ngomong! Ini orangtua otaknya ditaroh di mana ya, kira-kira? Apa dititipin di lubang jamban?
“Dih, enak aja ini orang! Dasar tua bangka nggak tau diri!” balasku sambil menarik tangannya yang berusaha buat merebut gagang koperku. Brak! Akhirnya Ibu terjungkal ke belakang. Dia berteriak mengaduh, padahal jatuhnya tadi tidaklah terlalu kuat. Dasar lebay! Sungguh ratu drama! “Durhaka kamu, Ris! Semoga hidupmu nggak berkah! Semoga aja kamu mandul seumur hidupmu!” pekiknya sambil meraung-raung. “Semoga doa itu balik ke anak perempuanmu! Amin!” seruku sambil tersenyum culas. Cepat kugeret koperku. Aku melenggang kangkung bak seorang pramugari yang akan berangkat ke luar negeri. Goodbye gubug derita! Aku nggak bakalan mau menginjakkan kakiku ke sini lagi! Kupesan taksi online untuk membawaku pergi. Aku sudah tak punya kendaraan lagi semenjak menikah dengan si sompret Denis. Motor yang dulunya kubeli dengan hasil gaji dan bonusanku yang sangat lumaya saat bekerja di showroom sudah dijual
Klik!Segera kupadamkan sambungan telepon. Lama-lama bisa darah tinggi aku jika terus menerus meladeni omongannya si Denis.“Astaghfirullah!” gumamku seraya menepuk dada sendiri.Sesak rasanya. Sakit luar biasa.Dulu, semasa pacaran, Denis adalah pria yang baik. Tipikal pria perhatian yang selalu meluangkan waktunya buatku. Mungkin benar kata pepatah, ya. Setelah dimiliki, sesuatu akan menjadi biasa saja bagi pemiliknya.“Mbak, kenapa? Lagi ada masalah, ya?” Sopir taksi di sebelahku bertanya.“I-iya, Pak. Maaf ya, Pak, jadi berisik,” sahutku sungkan.“Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja. Sabar ya, Mbak. Hidup emang penuh ujian,” ujar si sopir yang mengenakan kemeja batik berwarna cokelat dan celana bahan hitam tersebut.Aku hanya bisa tersenyum getir. Hidup emang penuh ujian. Tapi, perasaan, kenapa hidupku terus yang diuji? Kenapa bukan hidupnya orang lain aja?Jadi anak yatim sedari kecil, terus tumbuh besar tanpa kasih sayang seorang ayah. Punya ibu kandung yang memang sangat menyayangi
“Minum dulu teh angetnya.” Setelah masuk ke ruangan kerja Mas Ivan, aku disuruh duduk olehnya plus disuguhkan secangkir teh hangat. Tentu bukan Mas Ivan yang membuatkan teh manis tersebut, melainkan Tuti—office girl yang kebetulan dulunya masuk kerja seangkatan denganku. Bedanya si Tuti betah bekerja di sini meski telah menikah plus punya anak dan aku malah buru-buru resign setelah dipersunting Denis. Kuseruput teh hangat buatan Tuti. Aroma melati dan rasa khasnya yang manis-sepat itu lumayan membuatku rileks. “Gimana? Udah tenang sekarang?” Mas Ivan mengukir senyumannya. Jujur saja, aku grogi ditatap begitu oleh Mas Ivan. Biar bagaimanapun juga, dia itu mantan atasanku lho! Dulu jangankan duduk berduaan di ruangannya begini, buat dekat-dekat saja rasanya sungkan sekali. “U-udah, Mas,” gagapku seraya menaruh cangkir ke atas tatakannya. “Jadi, kamu ribut ama Denis? Masalahnya apa? Kok, sampai bawa koper
“Hari ini kamu istirahat aja dulu di kostan. Besok baru mulai masuk kerjanya. Tenangkan pikiranmu. Pokoknya, kamu nggak boleh nangis atau sedih-sedih lagi. Oke?” Mas Ivan menatapku lekat. Aku spontan menggigit bibir bawah. Kebaikan yang Mas Ivan suguhkan, sungguh tak sanggup aku membalasnya kelak. Ya Allah, di satu sisi aku memang butuh sekali dengan bantuannya. Namun, di satu sisi lain, aku sangat enggan buat berutang budi pada atasanku tersebut. “Mas, aku beneran nggak enak sama Mas Ivan. Aku terlalu ngerepotin,” lirihku sesak. “Udah. Nggak usa dipikirin, Ris. Anggap aja ini pertolongan dari Allah lewat perantara aku. Nggak perlu nggak enakan sama aku.” Senyum tipis di bibir Mas Ivan yang merah ranum itu membuatku semakin tak enak hati saja. Kuhela napas dalam-dalam. Bismillah, pikirku. Semoga saja, Mas Ivan tulus ikhlas menolongku. “Makasih banyak ya, Mas. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Mas Ivan. Aku ngg
“Sayur kangkungnya, Bu, Mas, Vio,” ujarku penuh senyum sambil menghidangkan semangkuk tumis kangkung yang baru saja kuangkat dari wajan. Aroma harum bumbu ulek yang kutambahkan seiris terasi bakar itu menguar nikmat. Mata ibu mertua, suami, dan adik iparku langsung menyala. Tampak bahwa mereka sangat berselera dengan masakan yang kubawa dari meja kompor tadi. “Risma, kamu makannya di depan tivi aja bisa?” Deg! Baru saja aku hendak duduk di sebelah suamiku, tiba-tiba Ibu sudah melontarkan kalimat yang sangat di luar ekspektasiku. Sudah capek menggoreng tempe, membuat sambal terasi, sampai menumis kangkung segala untuk sarapan pagi ini, kenapa aku mala disuruh makan di depan tivi? “Ada hal penting yang mau kami bicarakan bertiga soalnya, Ris,” ujar Ibu lagi dengan tatapan mata yang tajam. Aku yang baru saja ingin menaruh bokongku ke kursi pun urung. Kuraih piring beling putih untukku makan, lalu kukaut d
Panas hati gara-gara mendengar mereka mengghibahiku. Saking panasnya hati, aku pun meninggalkan piring bekas makanku tergeletak begitu saja di ruang tivi. Gegas kakiku melangkah masuk kembali ke kamar. “Astaghfirullah, aku benar-benar nggak nyangka aja sama mereka bertiga. Mas Denis yang selama ini berbicara manis, rupanya di belakangku malah ngejelek-jelekin!” Aku ngedumel sendiri. Sambil duduk kesal di bibir ranjang, mulai kubuka ponsel dan berpikir keras tentang apa yang harus segera kulakukan. Aku tak bisa terus-terusan tinggal di rumah sialan ini. Pekerjaan harus segera kudapatkan, supaya mulut-mulut kurang ajar Mas Denis dan keluarganya itu bisa bungkam! Kukirimi mantan atasanku dulu, Mas Ivan, sebuah pesan. Basa basi dulu. Berharap semoga perusahaan tempat aku bekerja dulu masih menerima lowongan. [Pagi Mas Ivan. Maaf aku ganggu nih, Mas. Gimana kabarnya, Mas Ivan?] Sedetik, dua detik, aku menunggu dengan tak
“Nggak. Aku nggak bicara sama siapa-siapa. Kamu salah dengar, kali!” Kuberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Mas Denis. Kusoroti sosok di depanku itu. Pria yang telah mengenakan seragam kerjanya yang berwarna serba biru muda dengan list biru elektrik di ujung lengan baju maupun celananya itu menatap tajam. Dia seperti tak percaya dengan jawabanku. “Jelas-jelas tadi aku dengar kamu kaya lagi ngobrol.” Mas Denis mengangkat sebelah alis tebalnya. Kutatap balik dia. Meskipun sebenarnya aku gugup dan deg-degan, tapi aku tak boleh terlihat gentar. Rugi, dong! “Halu kali kamu! Orang nggak ada ngobrol.” Aku menjawab acuh tak acuh sambil memutar bola mata. “Piring dicuci, gih. Kita udah pada beres makan. Piring kamu yang di ruang tivi juga diberesin. Pulang kerja aku kepengen masak asam manis lele sama sambel bawang. Jangan sampe nggak dibikinin,” kata Mas Denis mengultimatun. Pria dengan tinggi 168 sentimet
Tanpa mau memedulikan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk, aku malah melenggang kangkung ke kamar mandi yang letaknya di dekat dapur. Kulirik sekilas saja meja makan yang penuh dengan piring dan mangkuk kotor. Tak ada yang mau mengemasinya, pun ibu mertuaku yang sudah bangkotan itu. “Lihat aja nanti. Kalau aku udah nggak ada di rumah, baru kalian nyesel!” desisku sambil menutup pintu kamar mandi. Tak memakan banyak waktu, lekas kuselesaikan ritual mandiku. Segar juga mandi pagi begini rupanya. Maklum, selama menikah dengan Mas Denis, aku selalu mandi di atas jam dua belas siang. Bagaimana mau mandi awal? Pagi-pagi buta saja aku sudah harus masak dengan menu lengkap. Lepas masak, setumpuk cucian kotor akan memanggil-manggil untuk dijamah. Belum lagi jika stok bahan makanan di kulkas habis hingga mengharuskanku capcus ke pasar buat berbelanja. Pusing? Kemarin-kemarin sih, tidak. Ikhlas semuanya kujalani. Meskipun Mas