“Dih, enak aja ini orang! Dasar tua bangka nggak tau diri!” balasku sambil menarik tangannya yang berusaha buat merebut gagang koperku.
Brak!
Akhirnya Ibu terjungkal ke belakang.
Dia berteriak mengaduh, padahal jatuhnya tadi tidaklah terlalu kuat. Dasar lebay! Sungguh ratu drama!
“Durhaka kamu, Ris! Semoga hidupmu nggak berkah! Semoga aja kamu mandul seumur hidupmu!” pekiknya sambil meraung-raung.
“Semoga doa itu balik ke anak perempuanmu! Amin!” seruku sambil tersenyum culas.
Cepat kugeret koperku. Aku melenggang kangkung bak seorang pramugari yang akan berangkat ke luar negeri. Goodbye gubug derita! Aku nggak bakalan mau menginjakkan kakiku ke sini lagi!
Kupesan taksi online untuk membawaku pergi. Aku sudah tak punya kendaraan lagi semenjak menikah dengan si sompret Denis. Motor yang dulunya kubeli dengan hasil gaji dan bonusanku yang sangat lumaya saat bekerja di showroom sudah dijual oleh Mas Denis.
Dulu, motor itu terpaksa kami jual untuk menutupi biaya resepsi pernikahan di gedung serba guna. Omongannya Bu Sumiati—ibunya si Mas Denis—memang tinggi selangit sewaktu melamarku. Dia bilang, walaupun ayahnya Mas Denis sudah tidak ada, tapi harta warisannya banyak. Jadi, soal biaya nikahan hingga resepsi, pihakku tidak perlu ambil pusing.
Eh, pas mau booking gedung sekaligus dengan kateringnya, Mas Denis mendadak bilang kepadaku bahwa uang yang dia pegang hanya lima juta. Iya, hanya LIMA JUTA! Uang segitu mana cukup untuk booking gedung dan katering? Apalagi ibunya Mas Denis keburu mencetak undangan sebanyak tiga ratus lembar.
Terpaksa, aku yang harus memutar otak. Jual motor, jual perhiasan, dan bobol tabunganku sendiri. Biaya gedung dan katering yang totalnya lima belas juta itu, aku yang menombok! Belum lagi suvenir dan hantaran. Pokokknya, tabunganku ludes des des!
Ibuku yang waktu itu juga baru saja menikah dan sedang hamil besar ikut turun tangan juga. Separuh biaya persalinannya ditalangkan untuk biaya resepsiku. Anehnya, dulu aku tidak merasa bagaimana-bagaimana. Kok, aku bodoh sekali, ya? Mau-maunya dikerjai oleh Denis dan ibunya yang kurang seons itu!
Sekarang sih, no way! Sorry, ye! Aku tidak akan mengulangi kebodohanku buat kedua kalinya!
Taksi online yang kupesan tiba di depan pagar rumah Mas Denis. Segera saja aku masuk ke mobil tersebut dan duduk dengan manis sementara koperku sudah ditaruh di bagasi oleh si sopir.
“Sesuai aplikasi ya, Mbak,” ujar si sopir yang usianya kutaksir sekitar 40 tahunan ke atas.
“Iya, Pak.” Aku menjawab tenang meskipun debaran di dadaku begitu bertalu-talu.
Mobil MPV hitam dengan aroma parfum vanilla itu pun berlalu semakin menjauh meninggalkan rumahnya Mas Denis. Rumah bercat hijau kismin yang pada beberapa bagian sudah mengelopek itu tak bakalan kumasuki lagi. Kecuali jika ada acara tahlilan tujuh hariannya Bu Sumiati atau Mas Denis, baru deh, aku mau ke sana! Selagi salah satu dari mereka masih hidup dan tak ada acara tahlilan di sana, aku jelas ogah buat masuk ke rumah sialan tersebut.
Saat aku melamun sambil menatap jalanan lewat kaca jendela mobil, tiba-tiba aku harus dikagetkan dengan dering ponselku. Segera kurogoh tas. Kutengok di layar ponsel pintarku itu, rupanya Mas Denis yang menelepon.
“Anak hasil perkawinan silang antara manusia dan bekantan betina ini mau apalagi nelepon segala?” desisku eneg.
Kuangkat telepon tersebut dengan ogah. Mau kutolak sebenarnya. Namun, benakku kadung penasaran.
“Ha,” jawabku ogah.
“Risma, kamu di mana? Kenapa Ibu nelepon aku sambil nangis-nangis? Katanya kamu kabur dari rumah?!” Suara Mas Denis menggelegar. Dih, dia ini siapa, sih? Ketua RT? Kapolsek? Kok, nanyanya detail banget kaya mau nginterogasi penjahat aja!
“Urusanmu apa kalau aku kabur? Hah?!” tantangku.
“Urusanku apa? Ris, istighfar! Kamu ini mau masuk neraka apa? Kamu ingat nggak sih, kalau aku ini siapa? Aku ini suamimu! Imammu!”
“Imam kepalamu pitak! Manusia lembek kaya lemper macam kamu ini mana pantes dipanggil imam! Seorang imam itu harusnya mengayomi makmumnya! Kamu jangankan mengayomi. Yang ada istrimu malah dijadiin pembantu gratisan! Kamu pikir, apa ada perempuan yang betah dijadiin babu sama kamu dan ibumu? Sampe celana dalam adekmu aja aku yang cuciin! Mikir Mas Denis, mikir! Sampe kambing beranak zebra juga nggak bakalan ada yang mau nikah lagi ama kamu, kalau sifat dan tabiat kamu sekeluarga kaya begitu!”
Mulutku sampai berbusa gara-gara mengomeli Mas Denis. Kalau dia masih saja merasa benar, itu artinya saraf di kepalanya sudah pada putus!
“Halah! Banyak bacot kamu, Ris! Ngaku aja kamu, Ris! Kamu nggak betah kan, hidup sederhana sama aku? Kamu selingkuh, kan? Tadi pagi kamu neleponin selingkuhan kamu, kan? Ingat, Ris! Karma nggak akan salah alamat! Semoga hidupmu semakin sengsara setelah kamu berkhianat sama aku!”
What the h….!
Enak sekali dia berbicara? Mulut sama anus si Denis sudah sama fungsinya. Sama-sama mengeluarkan kotoran!
“Terus, kelakuanmu yang seperti dakjal itu, nggak bakalan dapet karma, gitu? Hidupmu akan fine-fine aja setelah kamu mencaci maki istri yang selama enam bulan ini nggak pernah kamu kasi nafkah lahir?”
“Aku ini suami yang baik, Ris! Kamu tanya ke ustaz mana pun, aku ini udah sangat-sangat memenuhi kriteria buat dilabeli sebagai suami yang bertanggung jawab. Aku kerja pagi ampe petang hanya buat menghidupi kamu. Aku udah bimbing kamu dengan cara bawa kamu tinggal ke lingkungan keluargaku yang harmonis dan agamis. Tapi, kamu sendiri yang bebal! Kamu yang nggak masuk ajaran. Malah kabur hanya karena aku suruh cuci piring. Nauzubillah! Sungguh wanita penghuni neraka kamu, Ris!”
“Kebanyakan omong kamu, Denis! Mulutmu bau tong sampah! Kelakuanmu kaya tinja!”
Klik!Segera kupadamkan sambungan telepon. Lama-lama bisa darah tinggi aku jika terus menerus meladeni omongannya si Denis.“Astaghfirullah!” gumamku seraya menepuk dada sendiri.Sesak rasanya. Sakit luar biasa.Dulu, semasa pacaran, Denis adalah pria yang baik. Tipikal pria perhatian yang selalu meluangkan waktunya buatku. Mungkin benar kata pepatah, ya. Setelah dimiliki, sesuatu akan menjadi biasa saja bagi pemiliknya.“Mbak, kenapa? Lagi ada masalah, ya?” Sopir taksi di sebelahku bertanya.“I-iya, Pak. Maaf ya, Pak, jadi berisik,” sahutku sungkan.“Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja. Sabar ya, Mbak. Hidup emang penuh ujian,” ujar si sopir yang mengenakan kemeja batik berwarna cokelat dan celana bahan hitam tersebut.Aku hanya bisa tersenyum getir. Hidup emang penuh ujian. Tapi, perasaan, kenapa hidupku terus yang diuji? Kenapa bukan hidupnya orang lain aja?Jadi anak yatim sedari kecil, terus tumbuh besar tanpa kasih sayang seorang ayah. Punya ibu kandung yang memang sangat menyayangi
“Minum dulu teh angetnya.” Setelah masuk ke ruangan kerja Mas Ivan, aku disuruh duduk olehnya plus disuguhkan secangkir teh hangat. Tentu bukan Mas Ivan yang membuatkan teh manis tersebut, melainkan Tuti—office girl yang kebetulan dulunya masuk kerja seangkatan denganku. Bedanya si Tuti betah bekerja di sini meski telah menikah plus punya anak dan aku malah buru-buru resign setelah dipersunting Denis. Kuseruput teh hangat buatan Tuti. Aroma melati dan rasa khasnya yang manis-sepat itu lumayan membuatku rileks. “Gimana? Udah tenang sekarang?” Mas Ivan mengukir senyumannya. Jujur saja, aku grogi ditatap begitu oleh Mas Ivan. Biar bagaimanapun juga, dia itu mantan atasanku lho! Dulu jangankan duduk berduaan di ruangannya begini, buat dekat-dekat saja rasanya sungkan sekali. “U-udah, Mas,” gagapku seraya menaruh cangkir ke atas tatakannya. “Jadi, kamu ribut ama Denis? Masalahnya apa? Kok, sampai bawa koper
“Hari ini kamu istirahat aja dulu di kostan. Besok baru mulai masuk kerjanya. Tenangkan pikiranmu. Pokoknya, kamu nggak boleh nangis atau sedih-sedih lagi. Oke?” Mas Ivan menatapku lekat. Aku spontan menggigit bibir bawah. Kebaikan yang Mas Ivan suguhkan, sungguh tak sanggup aku membalasnya kelak. Ya Allah, di satu sisi aku memang butuh sekali dengan bantuannya. Namun, di satu sisi lain, aku sangat enggan buat berutang budi pada atasanku tersebut. “Mas, aku beneran nggak enak sama Mas Ivan. Aku terlalu ngerepotin,” lirihku sesak. “Udah. Nggak usa dipikirin, Ris. Anggap aja ini pertolongan dari Allah lewat perantara aku. Nggak perlu nggak enakan sama aku.” Senyum tipis di bibir Mas Ivan yang merah ranum itu membuatku semakin tak enak hati saja. Kuhela napas dalam-dalam. Bismillah, pikirku. Semoga saja, Mas Ivan tulus ikhlas menolongku. “Makasih banyak ya, Mas. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Mas Ivan. Aku ngg
“Sayur kangkungnya, Bu, Mas, Vio,” ujarku penuh senyum sambil menghidangkan semangkuk tumis kangkung yang baru saja kuangkat dari wajan. Aroma harum bumbu ulek yang kutambahkan seiris terasi bakar itu menguar nikmat. Mata ibu mertua, suami, dan adik iparku langsung menyala. Tampak bahwa mereka sangat berselera dengan masakan yang kubawa dari meja kompor tadi. “Risma, kamu makannya di depan tivi aja bisa?” Deg! Baru saja aku hendak duduk di sebelah suamiku, tiba-tiba Ibu sudah melontarkan kalimat yang sangat di luar ekspektasiku. Sudah capek menggoreng tempe, membuat sambal terasi, sampai menumis kangkung segala untuk sarapan pagi ini, kenapa aku mala disuruh makan di depan tivi? “Ada hal penting yang mau kami bicarakan bertiga soalnya, Ris,” ujar Ibu lagi dengan tatapan mata yang tajam. Aku yang baru saja ingin menaruh bokongku ke kursi pun urung. Kuraih piring beling putih untukku makan, lalu kukaut d
Panas hati gara-gara mendengar mereka mengghibahiku. Saking panasnya hati, aku pun meninggalkan piring bekas makanku tergeletak begitu saja di ruang tivi. Gegas kakiku melangkah masuk kembali ke kamar. “Astaghfirullah, aku benar-benar nggak nyangka aja sama mereka bertiga. Mas Denis yang selama ini berbicara manis, rupanya di belakangku malah ngejelek-jelekin!” Aku ngedumel sendiri. Sambil duduk kesal di bibir ranjang, mulai kubuka ponsel dan berpikir keras tentang apa yang harus segera kulakukan. Aku tak bisa terus-terusan tinggal di rumah sialan ini. Pekerjaan harus segera kudapatkan, supaya mulut-mulut kurang ajar Mas Denis dan keluarganya itu bisa bungkam! Kukirimi mantan atasanku dulu, Mas Ivan, sebuah pesan. Basa basi dulu. Berharap semoga perusahaan tempat aku bekerja dulu masih menerima lowongan. [Pagi Mas Ivan. Maaf aku ganggu nih, Mas. Gimana kabarnya, Mas Ivan?] Sedetik, dua detik, aku menunggu dengan tak
“Nggak. Aku nggak bicara sama siapa-siapa. Kamu salah dengar, kali!” Kuberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Mas Denis. Kusoroti sosok di depanku itu. Pria yang telah mengenakan seragam kerjanya yang berwarna serba biru muda dengan list biru elektrik di ujung lengan baju maupun celananya itu menatap tajam. Dia seperti tak percaya dengan jawabanku. “Jelas-jelas tadi aku dengar kamu kaya lagi ngobrol.” Mas Denis mengangkat sebelah alis tebalnya. Kutatap balik dia. Meskipun sebenarnya aku gugup dan deg-degan, tapi aku tak boleh terlihat gentar. Rugi, dong! “Halu kali kamu! Orang nggak ada ngobrol.” Aku menjawab acuh tak acuh sambil memutar bola mata. “Piring dicuci, gih. Kita udah pada beres makan. Piring kamu yang di ruang tivi juga diberesin. Pulang kerja aku kepengen masak asam manis lele sama sambel bawang. Jangan sampe nggak dibikinin,” kata Mas Denis mengultimatun. Pria dengan tinggi 168 sentimet
Tanpa mau memedulikan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk, aku malah melenggang kangkung ke kamar mandi yang letaknya di dekat dapur. Kulirik sekilas saja meja makan yang penuh dengan piring dan mangkuk kotor. Tak ada yang mau mengemasinya, pun ibu mertuaku yang sudah bangkotan itu. “Lihat aja nanti. Kalau aku udah nggak ada di rumah, baru kalian nyesel!” desisku sambil menutup pintu kamar mandi. Tak memakan banyak waktu, lekas kuselesaikan ritual mandiku. Segar juga mandi pagi begini rupanya. Maklum, selama menikah dengan Mas Denis, aku selalu mandi di atas jam dua belas siang. Bagaimana mau mandi awal? Pagi-pagi buta saja aku sudah harus masak dengan menu lengkap. Lepas masak, setumpuk cucian kotor akan memanggil-manggil untuk dijamah. Belum lagi jika stok bahan makanan di kulkas habis hingga mengharuskanku capcus ke pasar buat berbelanja. Pusing? Kemarin-kemarin sih, tidak. Ikhlas semuanya kujalani. Meskipun Mas
“Berani kamu ya, gebrak-gebrak pintu gitu di depan Ibu! Kamu sadar nggak sih, kalau di sini kamu cuma numpang!” Jeritan Ibu membahana. Jelas saja. Dia berang karena tanganku tadi meninju pintu kamar mandi yang terbuat dari bahan plastik fiber hingga satu engselnya terlepas. Masa bodoh! Aku tidak peduli. Enak saja ibu mertuaku mempelototiku bagai anak kecil begitu. “Sampe lepas pintunya, lho! Kamu ini waras nggak sih, Ris!” bentak Ibu lagi dengan nada yang semakin meninggi. Sayangnya, dia hanya berani berteriak. Wajahnya sendiri pias dengan cucuran keringat di pelipis. Langkahnya pun kuliat mundur. Kenapa dia? Takut? “Waras atau tidaknya aku, itu bukan urusan Ibu!” desisku sambil berjalan meninggalkan beliau. “Ingat, Ris! Denis bisa aja ngejadiin kamu janda kapan pun yang dia mau! Siap-siap aja kamu!” Ibu mertuaku berteriak hingga suaranya terdengar serak. Jadi janda, katanya? Lho, emangny