Share

6

“Dih, enak aja ini orang! Dasar tua bangka nggak tau diri!” balasku sambil menarik tangannya yang berusaha buat merebut gagang koperku.

              Brak!

              Akhirnya Ibu terjungkal ke belakang.

              Dia berteriak mengaduh, padahal jatuhnya tadi tidaklah terlalu kuat. Dasar lebay! Sungguh ratu drama!

              “Durhaka kamu, Ris! Semoga hidupmu nggak berkah! Semoga aja kamu mandul seumur hidupmu!” pekiknya sambil meraung-raung.

              “Semoga doa itu balik ke anak perempuanmu! Amin!” seruku sambil tersenyum culas.

              Cepat kugeret koperku. Aku melenggang kangkung bak seorang pramugari yang akan berangkat ke luar negeri. Goodbye gubug derita! Aku nggak bakalan mau menginjakkan kakiku ke sini lagi!

              Kupesan taksi online untuk membawaku pergi. Aku sudah tak punya kendaraan lagi semenjak menikah dengan si sompret Denis. Motor yang dulunya kubeli dengan hasil gaji dan bonusanku yang sangat lumaya saat bekerja di showroom sudah dijual oleh Mas Denis.

              Dulu, motor itu terpaksa kami jual untuk menutupi biaya resepsi pernikahan di gedung serba guna. Omongannya Bu Sumiati—ibunya si Mas Denis—memang tinggi selangit sewaktu melamarku. Dia bilang, walaupun ayahnya Mas Denis sudah tidak ada, tapi harta warisannya banyak. Jadi, soal biaya nikahan hingga resepsi, pihakku tidak perlu ambil pusing.

              Eh, pas mau booking gedung sekaligus dengan kateringnya, Mas Denis mendadak bilang kepadaku bahwa uang yang dia pegang hanya lima juta. Iya, hanya LIMA JUTA! Uang segitu mana cukup untuk booking gedung dan katering? Apalagi ibunya Mas Denis keburu mencetak undangan sebanyak tiga ratus lembar.

              Terpaksa, aku yang harus memutar otak. Jual motor, jual perhiasan, dan bobol tabunganku sendiri. Biaya gedung dan katering yang totalnya lima belas juta itu, aku yang menombok! Belum lagi suvenir dan hantaran. Pokokknya, tabunganku ludes des des!

              Ibuku yang waktu itu juga baru saja menikah dan sedang hamil besar ikut turun tangan juga. Separuh biaya persalinannya ditalangkan untuk biaya resepsiku. Anehnya, dulu aku tidak merasa bagaimana-bagaimana. Kok, aku bodoh sekali, ya? Mau-maunya dikerjai oleh Denis dan ibunya yang kurang seons itu!

              Sekarang sih, no way! Sorry, ye! Aku tidak akan mengulangi kebodohanku buat kedua kalinya!

              Taksi online yang kupesan tiba di depan pagar rumah Mas Denis. Segera saja aku masuk ke mobil tersebut dan duduk dengan manis sementara koperku sudah ditaruh di bagasi oleh si sopir.

              “Sesuai aplikasi ya, Mbak,” ujar si sopir yang usianya kutaksir sekitar 40 tahunan ke atas.

              “Iya, Pak.” Aku menjawab tenang meskipun debaran di dadaku begitu bertalu-talu.

              Mobil MPV hitam dengan aroma parfum vanilla itu pun berlalu semakin menjauh meninggalkan rumahnya Mas Denis. Rumah bercat hijau kismin yang pada beberapa bagian sudah mengelopek itu tak bakalan kumasuki lagi. Kecuali jika ada acara tahlilan tujuh hariannya Bu Sumiati atau Mas Denis, baru deh, aku mau ke sana! Selagi salah satu dari mereka masih hidup dan tak ada acara tahlilan di sana, aku jelas ogah buat masuk ke rumah sialan tersebut.

              Saat aku melamun sambil menatap jalanan lewat kaca jendela mobil, tiba-tiba aku harus dikagetkan dengan dering ponselku. Segera kurogoh tas. Kutengok di layar ponsel pintarku itu, rupanya Mas Denis yang menelepon.

              “Anak hasil perkawinan silang antara manusia dan bekantan betina ini mau apalagi nelepon segala?” desisku eneg.

              Kuangkat telepon tersebut dengan ogah. Mau kutolak sebenarnya. Namun, benakku kadung penasaran.

              “Ha,” jawabku ogah.

              “Risma, kamu di mana? Kenapa Ibu nelepon aku sambil nangis-nangis? Katanya kamu kabur dari rumah?!” Suara Mas Denis menggelegar. Dih, dia ini siapa, sih? Ketua RT? Kapolsek? Kok, nanyanya detail banget kaya mau nginterogasi penjahat aja!

              “Urusanmu apa kalau aku kabur? Hah?!” tantangku.

              “Urusanku apa? Ris, istighfar! Kamu ini mau masuk neraka apa? Kamu ingat nggak sih, kalau aku ini siapa? Aku ini suamimu! Imammu!”

              “Imam kepalamu pitak! Manusia lembek kaya lemper macam kamu ini mana pantes dipanggil imam! Seorang imam itu harusnya mengayomi makmumnya! Kamu jangankan mengayomi. Yang ada istrimu malah dijadiin pembantu gratisan! Kamu pikir, apa ada perempuan yang betah dijadiin babu sama kamu dan ibumu? Sampe celana dalam adekmu aja aku yang cuciin! Mikir Mas Denis, mikir! Sampe kambing beranak zebra juga nggak bakalan ada yang mau nikah lagi ama kamu, kalau sifat dan tabiat kamu sekeluarga kaya begitu!”

              Mulutku sampai berbusa gara-gara mengomeli Mas Denis. Kalau dia masih saja merasa benar, itu artinya saraf di kepalanya sudah pada putus!

              “Halah! Banyak bacot kamu, Ris! Ngaku aja kamu, Ris! Kamu nggak betah kan, hidup sederhana sama aku? Kamu selingkuh, kan? Tadi pagi kamu neleponin selingkuhan kamu, kan? Ingat, Ris! Karma nggak akan salah alamat! Semoga hidupmu semakin sengsara setelah kamu berkhianat sama aku!”

              What the h….!

              Enak sekali dia berbicara? Mulut sama anus si Denis sudah sama fungsinya. Sama-sama mengeluarkan kotoran!

              “Terus, kelakuanmu yang seperti dakjal itu, nggak bakalan dapet karma, gitu? Hidupmu akan fine-fine aja setelah kamu mencaci maki istri yang selama enam bulan ini nggak pernah kamu kasi nafkah lahir?”

              “Aku ini suami yang baik, Ris! Kamu tanya ke ustaz mana pun, aku ini udah sangat-sangat memenuhi kriteria buat dilabeli sebagai suami yang bertanggung jawab. Aku kerja pagi ampe petang hanya buat menghidupi kamu. Aku udah bimbing kamu dengan cara bawa kamu tinggal ke lingkungan keluargaku yang harmonis dan agamis. Tapi, kamu sendiri yang bebal! Kamu yang nggak masuk ajaran. Malah kabur hanya karena aku suruh cuci piring. Nauzubillah! Sungguh wanita penghuni neraka kamu, Ris!”

              “Kebanyakan omong kamu, Denis! Mulutmu bau tong sampah! Kelakuanmu kaya tinja!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status