Share

3

“Nggak. Aku nggak bicara sama siapa-siapa. Kamu salah dengar, kali!” Kuberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Mas Denis.

              Kusoroti sosok di depanku itu. Pria yang telah mengenakan seragam kerjanya yang berwarna serba biru muda dengan list biru elektrik di ujung lengan baju maupun celananya itu menatap tajam. Dia seperti tak percaya dengan jawabanku.

              “Jelas-jelas tadi aku dengar kamu kaya lagi ngobrol.” Mas Denis mengangkat sebelah alis tebalnya.

              Kutatap balik dia. Meskipun sebenarnya aku gugup dan deg-degan, tapi aku tak boleh terlihat gentar. Rugi, dong!

              “Halu kali kamu! Orang nggak ada ngobrol.” Aku menjawab acuh tak acuh sambil memutar bola mata.

              “Piring dicuci, gih. Kita udah pada beres makan. Piring kamu yang di ruang tivi juga diberesin. Pulang kerja aku kepengen masak asam manis lele sama sambel bawang. Jangan sampe nggak dibikinin,” kata Mas Denis mengultimatun.

              Pria dengan tinggi 168 sentimeter berkulit kuning langsat dan kumis tipis itu berpaling sambil menyambar jaket jinsnya. Kata orang-orang, kami adalah pasangan yang serasi. Aku cantik dan Mas Denis juga manis. Siapa pun yang melihat kami ketika jalan bareng, pasti selalu menatap dengan tatapan penuh kagum.

              Jujur, saat di kampus dulu pun, aku merasakan hal yang sama. Apalagi, Mas Denis orangnya sangat romantis dan pengertian. Sosoknya yang selalu memuliakan ibu dan adik perempuannya juga yang membikin aku semakin yakin buat menjalin hubungan serius sejak kami duduk di tahun terakhir perkuliahan. Apalagi, aku ini sudah jadi anak yatim sejak usia 2 tahun dan tak memiliki sosok ayah. Dicintai dan diberikan perhatian yang besar oleh Mas Denis adalah sebuah anugerah yang dahulu begitu kusyukuri nikmatnya.

              Namun, sekarang semua kekagumanku akan Mas Denis sirna sudah diterpa angin badai. Kupikir, kecintaannya terhadap sang ibu dan adik akan membuat dia memuliakan aku sebagai istri. Yang kudapat malah sebaliknya. Baru kusadari bahwa enam bulan ini, aku hanya dijadikan babu oleh mereka bertiga!

              “Insyaallah,” jawabku sekenanya.

              Mas Denis yang semula sudah mau keluar dari kamar, malah tercegat langkah kakinya. Dia balik badan. Mukanya terlihat masam.

              “Kok, insyaallah, sih?” tanyanya terdengar kesal.

              “Ya, insyaallah. Kalau ada umur. Kalau semisal aku mendadak mati karena kecapean kerja ngebabu di rumahmu ini, gimana? Ya, nggak bisa nyuci piring dong, Mas!” bantahku sambil bangkit dari posisi dudukku.

              “Mati? Karena kecapean kerja ngebabu? Ris, kamu sehat? Kamu nggak lagi ngigo, kan?” Mas Denis tertawa. Jelas itu adalah tawa ejekan.

              “Kamu kali yang lagi ngigo!” Aku tak mau kalah. Sudah cukup, ya. Aku lelah dengan semua ini!

              “Yang kerja itu aku, bukan kamu! Kamu cuma ongkang kaki di rumah. Nggak ngasilin duit. Nggak bikin karya apa pun! Cuma masak, cuci baju, cuci piring aja kamu udah ngeluh! Gimana kalau disuruh cari duit segala!” Suara Mas Denis tiba-tiba meninggi.

              Tiga setengah tahun pacaran. Enam bulan menikah. Baru kali ini dia membentakku.

              Semua pasti karena hasutan ibunya. Apalagi!

              “Lho, yang nyuruh resign kemarin kan, kamu! Kenapa sekarang malah bilang cari duit segala?”

              “Kan, kamu nggak bisa hamil. Udah tau nggak bisa hamil-hamil. Ya, udah. Inisiatif kek, cari kerja!”

              Sekarang, giliran aku yang tertawa. Lucu! Benar-benar sangat lucu!

              “Kalah kamu sama ibumu sendiri! Ibumu yang udah tua aja, pas nikah lagi bisa tuh, hamil dan punya anak! Kamu yang masih muda dan sehat wal afiat aja, masa nggak bisa hamil! Periksa sana gih, kamu, Ris! Aku capek diolok-olok di kantor, bahkan di acara keluarga aja, Ibu udah ditanyain semua keluarga! Tau kalau kamu nggak bisa hamil begini, mending kemarin kerja aja di showroom! Lumayan duitnya buat beli beras!”

              Mas Denis jadi ngomel-ngomel tak keruan. Belum sempat aku menyahut, pria itu malah keluar dari kamar.

              Brak!

              Suara bantingan pintu pun terdengar menggema ke telinga.

              “Nggak waras!” desisku muak.

              Sungguh, aku tersinggung luar biasa! Bahkan aku sampai dibandingkan dengan ibuku yang memang baru menikah lagi tahun lalu dengan suami barunya. Ibuku memang langsung hamil dan melahirkan anak keduanya di usia yang tak lagi muda, yakni 46 tahun. Kondisi ibu maupun Shanum, adik kecilku itu sangat-sangat sehat meskipun persalinan terjadi di usia yang sangat berisiko.

              Sedih? Jangan ditanya lagi! Namun, kuharamkan air mataku buat luruh jatuh membasahi pipi. Rugi! Aku tak mau menangis hanya karena hinaan suami laknat seperti Mas Denis!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status