Share

7

Klik!

Segera kupadamkan sambungan telepon. Lama-lama bisa darah tinggi aku jika terus menerus meladeni omongannya si Denis.

“Astaghfirullah!” gumamku seraya menepuk dada sendiri.

Sesak rasanya. Sakit luar biasa.

Dulu, semasa pacaran, Denis adalah pria yang baik. Tipikal pria perhatian yang selalu meluangkan waktunya buatku. Mungkin benar kata pepatah, ya. Setelah dimiliki, sesuatu akan menjadi biasa saja bagi pemiliknya.

“Mbak, kenapa? Lagi ada masalah, ya?” Sopir taksi di sebelahku bertanya.

“I-iya, Pak. Maaf ya, Pak, jadi berisik,” sahutku sungkan.

“Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja. Sabar ya, Mbak. Hidup emang penuh ujian,” ujar si sopir yang mengenakan kemeja batik berwarna cokelat dan celana bahan hitam tersebut.

Aku hanya bisa tersenyum getir. Hidup emang penuh ujian. Tapi, perasaan, kenapa hidupku terus yang diuji? Kenapa bukan hidupnya orang lain aja?

Jadi anak yatim sedari kecil, terus tumbuh besar tanpa kasih sayang seorang ayah. Punya ibu kandung yang memang sangat menyayangiku, tapi dulu waktu kebersamaan kami memang sangat sedikit lantaran Ibu yang harus bekerja keras demi menghidupiku. Alhasil, aku selalu dioper ke sana ke mari saat Ibu pergi bekerja.

Sekarang sudah dewasa, kupikir dengan menikah hidupku akan jauh lebih baik. Nyatanya? Masalah yang dulunya hanya dua tiga kilo, sekarang sudah beranak pinak menjadi ratusan ton!

Sepanjang perjalanan menuju showroom tempat aku bekerja dulu, aku hanya diam termenung melihat jalanan lewat jendela mobil. Setelah dari showroom nanti, aku mau ke mana? Menumpang di rumah suami barunya ibuku? Rasanya sangat berat.

“Sampai, Mbak,” kata sopir taksi tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

“E-eh, cepet juga,” sahutku gelagapan.

“Mbaknya ngelamun terus, jadinya nggak berasa udah sampe, hehehe.” Untung si pak sopir ini orangnya baik dan ramah. Kalau tidak, mungkin kesal juga dapat penumpang yang sepanjang perjalanan wajahnya kecut kaya sayur lodeh kemarin.

Segera kurogoh isi tasku. Di sana ada berlembar-lembar uang yang penampilannya begitu lusuh. Uang itu adalah sisa-sisa uang belanja yang diberi Denis beberapa bulan belakangan. Berhasil kukumpulkan diam-diam untuk jaga-jaga bila ada situasi darurat. Dan benar saja, situasi darurat itu pun akhirnya datang juga.

“Tiga  puluh lima ribu ya, Pak. Maafin, uangnya pecahan kecil semua, Pak,” kataku sembari menyodorkan lembar-lembar uang yang didominasi oleh pecahan dua ribuan lusuh tersebut.

“Nggak apa-apa, Mbak. Malah seneng dapat uang kecil-kecil begini. Untuk kembalian penumpang. Makasih ya, Mbak,” ujar pak sopir yang memiliki kulit sawo matang dan geligi kekuningan tersebut.

“Sama-sama, Bapak.”

Aku pun turun dari mobil dan mengeluarkan koperku di bagasi belakang. Agak kaget saat sebuah suara mengejutkanku dari arah belakang tubuh.

“Risma! Kok, cepet ke sininya?”

“Eh, Mas Ivan!”

Setengah mati aku kaget saat mendapati sosok berkemeja lengan panjang warna biru plus dasi warna dongker itu telah berdiri tepat di depanku. Jarak kami mungkin hanya sejengkal saja saking dekatnya. Semerbak aroma parfum Mas Ivan yang maskulin dan cool itu langsung terhidu.

“Bawa koper segala? Kamu diusir sama suamimu?” Suara Mas Ivan terdengar seperti orang syok.

“Ng-a-anu, Mas,” gagapku bingung.

Mas Ivan langsung menyambar handle koper milikku. Mukanya tampak tak baik-baik saja. Kemerahan, seperti orang menahan marah. Entahlah, semoga saja penilaianku salah.

“Ayo, masuk.”

Aku mengangguk. Sesak di dada semakin menyeruak.

“Kamu kenapa? Masalah seberat apa sampai kamu diusir begini?” Mas Ivan tiba-tiba merangkulku dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih menggeret koper.

Saat itulah pecah tangisku. Ya ampun, kenapa Mas Ivan harus bertanya aku kenapa, sih? Aku paling nggak bisa diginiin! Tangisanku pasti langsung luruh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status