Share

8

“Minum dulu teh angetnya.”

              Setelah masuk ke ruangan kerja Mas Ivan, aku disuruh duduk olehnya plus disuguhkan secangkir teh hangat. Tentu bukan Mas Ivan yang membuatkan teh manis tersebut, melainkan Tuti—office girl yang kebetulan dulunya masuk kerja seangkatan denganku. Bedanya si Tuti betah bekerja di sini meski telah menikah plus punya anak dan aku malah buru-buru resign setelah dipersunting Denis.

              Kuseruput teh hangat buatan Tuti. Aroma melati dan rasa khasnya yang manis-sepat itu lumayan membuatku rileks.

              “Gimana? Udah tenang sekarang?” Mas Ivan mengukir senyumannya.

              Jujur saja, aku grogi ditatap begitu oleh Mas Ivan. Biar bagaimanapun juga, dia itu mantan atasanku lho! Dulu jangankan duduk berduaan di ruangannya begini, buat dekat-dekat saja rasanya sungkan sekali.

              “U-udah, Mas,” gagapku seraya menaruh cangkir ke atas tatakannya.

              “Jadi, kamu ribut ama Denis? Masalahnya apa? Kok, sampai bawa koper segala?”

              Kutarik napas dalam-dalam. Air mataku sudah ditahan sekuat tenaga, eh, malah menetes lagi. Dasar Risma lemah!

              “Lap air matamu, Ris,” kata Mas Ivan sambil mengangsurkan selembar tisu yang baru saja dia tarik.

              “Makasih, Mas,” lirihku.

              Usai mengelap air mata, aku pun menarik napas dalam kembali. Kali ini aku harus bercerita. Tak boleh lagi sampai menangis-nangis hanya karena perlakuan demit si Denis dan keluarganya!

              “Jadi … aku dibikin jadi babu di rumahnya suamiku, Mas.”

              Muka Mas Ivan sontak berubah. Dari yang awalnya penuh simpati, kini jadi menegang. Sebelah alis tebalnya mencelat.

              “Dijadiin babu? Maksudmu, kamu disuruh kerja rumah tangga, gitu? Terus, terus?” Mas Ivan begitu antusias. Kami yang duduk berhadap-hadapan di meja kerjanya pun kini saling adu pandang.

              “I-iya. Dari Subuh ampe tengah malam buta aku harus ngerjain semua pekerjaan rumah. Awalnya aku biasa aja. Aku santai, karena sadar betul kalau itu adalah tugasku. Tapi … tadi pagi aku denger dengan telinga sendiri kalau ibu mertuaku malah nyuruh suamiku buat pisah ama aku. Gara-garanya cuma karena aku belum hamil-hamil juga. Padahal kan, pernikahan kami baru enam bulan, Mas Ivan. Enam bulan!” tekanku di ujung kalimat.

              Panas dadaku kini. Teringat delikan mata ibu mertua dan adik iparku yang luar biasa menusuknya. Mereka berdua memang ratu tega. Sedangkan Denis, dia adalah lelaki lemah terplin plan yang pernah aku kenal di muka bumi ini!

              “Astaghfirullah!” desis Mas Ivan. Kusadari tangan dengan telapak lebarnya itu kini mengepal.

              “Aku pikir mereka orang yang baik. Makanya waktu diajak nikah sama Denis, aku mau-mau aja. Apalagi kami udah pernah pacaran dengan waktu yang nggak sebentar. Pas udah nikah gini, baru ketahuan aslinya,” lirihku seraya mengelap deru air mata yang masih saja menetesi pipi.

              Aku menjeda sebentar demi menarik napas seraya menatap langit-langit ruangan Mas Ivan. Malu sebenarnya saat harus cerita-cerita tentang aib rumah tangga. Tapi mau gimana lagi?

              “Mereka juga nyebut-nyebut karierku yang terhenti dan sekarang malah jadi ibu rumah tangga yang ngabisin uang suami. Padahal aku berhenti kerja juga dulunya atas dasar desakan mereka,” lanjutku meluapkan segala kegalauan batin.

              “Mulai hari ini, kamu kerja di sini, Ris. Masalah rumah, kamu bisa tinggal di kostan punya papaku.”

              Aku mengangkat wajah. Kutatap dalam ke arah netra cokelat milik Mas Ivan. Pria berhidung mancung dengan kumis tipis itu terlihat begitu serius.

              “M-mas … sungguhan?” Aku terbata-bata. Ini benar-benar membuatku terkejut.

              “Iya. Sungguhan. Aku serius. Kamu balik kerja lagi. Percantik kembali dirimu dan buat penampilanmu balik seperti masa gadis dulu. Buktikan pada mereka kalau kamu bisa hidup sukses dan lebih baik, meskipun menjanda!”

              Deru sesak yang semula memenuhi paru-paruku kini serta merta lenyap.

              Ya Tuhan … apakah ini mimpi belaka? Apakah … ini halusinasiku saja? Begitu cepat solusi yang Engkau berikan, Tuhan. Wajarkah bila aku masih belum bisa percaya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status