“Sayur kangkungnya, Bu, Mas, Vio,” ujarku penuh senyum sambil menghidangkan semangkuk tumis kangkung yang baru saja kuangkat dari wajan.
Aroma harum bumbu ulek yang kutambahkan seiris terasi bakar itu menguar nikmat. Mata ibu mertua, suami, dan adik iparku langsung menyala. Tampak bahwa mereka sangat berselera dengan masakan yang kubawa dari meja kompor tadi.
“Risma, kamu makannya di depan tivi aja bisa?”
Deg!
Baru saja aku hendak duduk di sebelah suamiku, tiba-tiba Ibu sudah melontarkan kalimat yang sangat di luar ekspektasiku. Sudah capek menggoreng tempe, membuat sambal terasi, sampai menumis kangkung segala untuk sarapan pagi ini, kenapa aku mala disuruh makan di depan tivi?
“Ada hal penting yang mau kami bicarakan bertiga soalnya, Ris,” ujar Ibu lagi dengan tatapan mata yang tajam.
Aku yang baru saja ingin menaruh bokongku ke kursi pun urung. Kuraih piring beling putih untukku makan, lalu kukaut dua centong nasi dengan perasaan perih.
“Ini percakapan intern keluarga, Mbak! Jadi, Mbak Risma di depan tivi aja makannya.” Vio menceletuk.
Gadis 16 tahun yang baru masuk SMA beberapa bulan lalu itu terlihat memutar bola matanya. Wajahnya sengak. Seperti biasa.
“Oh, jadi aku bukan keluarga, ya?” sahutku dengan hati yang panas.
Bangun pagi butaku, tenagaku untuk masak setelah sholat Subuh, bahkan rasa capek yang mendera tiap harinya untuk banting tulang mengemasi rumah mereka, nyatanya tidak berarti di hadapan mereka. Sudah menikah setengah tahun dengan Mas Denis, ternyata aku masih juga tak dianggap keluarga oleh mereka!
“Risma, udah. Kamu nurut aja dulu. Ngalah dulu.” Mas Denis lagi-lagi seperti berpihak pada adik dan ibunya.
Kucepatkan gerakanku. Kuambil tiga potong tempe dan sayur kangkung yang kumasak tadi untuk kutaruh di piringku. Jangan tanya wajahku sekarang. Rasanya saja sudah panas membara.
“Jangan cemberut, Risma. Kamu ini, perkara disuruh makan di ruang tivi aja ngambek!” Ibu bukannya membuat suasana adem, malah semakin mengompori.
“Iya, Bu! Saya paham. Saya di sini kan, cuma pembantu yang tugasnya masak, nyuci, nyapu. Kalau ada urusan keluarga, emang seharusnya saya nyingkir dulu!” sentakku tak bisa lagi menahan marah.
Sudah cukup ya, selama ini aku hanya diam!
Diperintah untuk masak setiap pagi dan sore hari, disuruh mencuci tumpukan pakaian segunung, bahkan sampai harus mencuci piring malam-malam sendirian, semua aku jabani dengan ikhlas! Aku paham tugasku sebagai seorang istri dan mantu yang menumpang tinggal di rumah mertua. Namun, kali ini sudah sangat keterlaluan. Mereka terang-terangan menganggapku bukan bagian dari keluarga.
Untungnya tidak ada yang menyahut. Mereka hanya diam saja. Namun, wajah Ibu dan Vio sama-sama merah padam.
Langkah kaki sengaja kuentakkan dari ruang makan menuju ruang tengah. Debaran di dadaku pun tak pelak semakin kencang membabi buta. Sabar, Risma. Biar Allah yang membalas mereka!
*
“Kamu udah enam bulan lho, nikah ama Risma, Nis. Tapi, lihat dia. Nggak hamil-hamil!”
“Iya, Bu, Denis tau. Jadi, gimana?”
“Pisah aja lah, Mas! Mbak Risma juga orangnya kurang sopan! Dia tuh, tukang ngabisin beras, gas, ama sabun! Ibu dulu itu hemat banget lho kalau masak. Kalo Mbak Risma, sebulan bisa dua kali beli tabung gas, lho! Masak mulu! Bikin tekor!”
“Tapi, kan, itu Ibu yang minta supaya sering masak, Vio. Lagian, semenjak ada Risma, kalian nggak perlu capek-capek nyuci baju, nyuci piring, sama masak, kan? Semua udah di-handle ama Risma.”
“Udah, udah! Kok, kalian malah tengkar, sih? Gini, Nis. Kamu itu kan, kerja kantoran. Kerja di perusahaan besar meski cuma seorang OB! Tapi, kan, lama-lama dari OB kamu bisa tuh diangkat jadi staf, terus lama-lama bisa promosi jabatan sampe jadi direktur!”
Mendengar ucapan ibu mertuaku dari balik dinding pembatas ruang tengah dan ruang makan, aku rasanya antara ingin ngamuk dan ingin ketawa terbahak-bahak.
Gila! Bagaimana bisa dari OB bisa sampai jadi direktur! Ngimpi kali!
Mas Denis itu memang tamatan D-3 Ilmu Komputer. Sudah melamar ke sana ke mari, tapi mentok-mentoknya hanya dapat pekerjaan sebagai OB di sebuah kantor perusahaan yang bergerak di bidang penyedia jasa konstruksi. Kalau promosi jabatan, ya mungkin kapan-kapan bisa saja dia diangkat jadi admin di sana. Tapi, kalau sampai jadi direktur? Emangnya perusahaan bapak moyang dia!
“Sedangkan Risma? Dia cuma di rumah! Tamatan diploma tiga juga lho, padahal. Sama kaya kamu! Ibu malu, Nis, punya mantu cuma di rumah begitu!”
Glek!
Rasanya aku langsung sakit hati yang tak tertandingi!
Bukannya kemarin yang memintaku berhenti bekerja sebagai sales promotion girl alias SPG di perusahaan kendaraan roda empat itu mereka juga? Terutama Ibu! Dia yang minta aku berhenti bekerja saja agar jadi ibu rumah tangga yang baik buat Mas Denis!
Katanya, jika sudah hamil dan melahirkan, baru boleh bekerja lagi. Biar anaknya dijaga sama ibu mertuaku! Kok, sekarang udah beda lagi omongannya, sih?
“Dia sih, bodoh banget pakai acara berenti kerja segala! Coba kalo masih kerja. Kan, lumayan juga uangnya buat tambah-tambah. Sekarang, Ibu juga udah berenti dagang kue karena modalnya selalu kepake buat belanja makan sehari-hari. Kita ini kesulitan ekonomi lho, Nis!” Ibu terdengar menggebu-gebu. Sakit sekali hatiku mendengarnya!
“Jadi, aku harus gimana, Bu?” Suara Mas Denis kedengaran sangat putus asa.
“Kamu cerai aja sama Risma. Atau kalau nggak, kamu suruh dia kerja biar uangnya buat persiapan Vio kuliah nanti. Adikmu kepingin masuk teknik elektro. Jurusan itu mahal!”
Aku? Disuruh kerja buat biayain kuliahnya si Vio nanti? Sorry, ye! Rugi dong!
Tunggu ya, Bu! Akan aku buat kalian menyesal atas apa yang sudah kalian ucap hari ini! Demi Tuhan, aku tak ikhlas mendengar ucapan nyinyir kalian padaku!
Bersambung…
Panas hati gara-gara mendengar mereka mengghibahiku. Saking panasnya hati, aku pun meninggalkan piring bekas makanku tergeletak begitu saja di ruang tivi. Gegas kakiku melangkah masuk kembali ke kamar. “Astaghfirullah, aku benar-benar nggak nyangka aja sama mereka bertiga. Mas Denis yang selama ini berbicara manis, rupanya di belakangku malah ngejelek-jelekin!” Aku ngedumel sendiri. Sambil duduk kesal di bibir ranjang, mulai kubuka ponsel dan berpikir keras tentang apa yang harus segera kulakukan. Aku tak bisa terus-terusan tinggal di rumah sialan ini. Pekerjaan harus segera kudapatkan, supaya mulut-mulut kurang ajar Mas Denis dan keluarganya itu bisa bungkam! Kukirimi mantan atasanku dulu, Mas Ivan, sebuah pesan. Basa basi dulu. Berharap semoga perusahaan tempat aku bekerja dulu masih menerima lowongan. [Pagi Mas Ivan. Maaf aku ganggu nih, Mas. Gimana kabarnya, Mas Ivan?] Sedetik, dua detik, aku menunggu dengan tak
“Nggak. Aku nggak bicara sama siapa-siapa. Kamu salah dengar, kali!” Kuberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Mas Denis. Kusoroti sosok di depanku itu. Pria yang telah mengenakan seragam kerjanya yang berwarna serba biru muda dengan list biru elektrik di ujung lengan baju maupun celananya itu menatap tajam. Dia seperti tak percaya dengan jawabanku. “Jelas-jelas tadi aku dengar kamu kaya lagi ngobrol.” Mas Denis mengangkat sebelah alis tebalnya. Kutatap balik dia. Meskipun sebenarnya aku gugup dan deg-degan, tapi aku tak boleh terlihat gentar. Rugi, dong! “Halu kali kamu! Orang nggak ada ngobrol.” Aku menjawab acuh tak acuh sambil memutar bola mata. “Piring dicuci, gih. Kita udah pada beres makan. Piring kamu yang di ruang tivi juga diberesin. Pulang kerja aku kepengen masak asam manis lele sama sambel bawang. Jangan sampe nggak dibikinin,” kata Mas Denis mengultimatun. Pria dengan tinggi 168 sentimet
Tanpa mau memedulikan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk, aku malah melenggang kangkung ke kamar mandi yang letaknya di dekat dapur. Kulirik sekilas saja meja makan yang penuh dengan piring dan mangkuk kotor. Tak ada yang mau mengemasinya, pun ibu mertuaku yang sudah bangkotan itu. “Lihat aja nanti. Kalau aku udah nggak ada di rumah, baru kalian nyesel!” desisku sambil menutup pintu kamar mandi. Tak memakan banyak waktu, lekas kuselesaikan ritual mandiku. Segar juga mandi pagi begini rupanya. Maklum, selama menikah dengan Mas Denis, aku selalu mandi di atas jam dua belas siang. Bagaimana mau mandi awal? Pagi-pagi buta saja aku sudah harus masak dengan menu lengkap. Lepas masak, setumpuk cucian kotor akan memanggil-manggil untuk dijamah. Belum lagi jika stok bahan makanan di kulkas habis hingga mengharuskanku capcus ke pasar buat berbelanja. Pusing? Kemarin-kemarin sih, tidak. Ikhlas semuanya kujalani. Meskipun Mas
“Berani kamu ya, gebrak-gebrak pintu gitu di depan Ibu! Kamu sadar nggak sih, kalau di sini kamu cuma numpang!” Jeritan Ibu membahana. Jelas saja. Dia berang karena tanganku tadi meninju pintu kamar mandi yang terbuat dari bahan plastik fiber hingga satu engselnya terlepas. Masa bodoh! Aku tidak peduli. Enak saja ibu mertuaku mempelototiku bagai anak kecil begitu. “Sampe lepas pintunya, lho! Kamu ini waras nggak sih, Ris!” bentak Ibu lagi dengan nada yang semakin meninggi. Sayangnya, dia hanya berani berteriak. Wajahnya sendiri pias dengan cucuran keringat di pelipis. Langkahnya pun kuliat mundur. Kenapa dia? Takut? “Waras atau tidaknya aku, itu bukan urusan Ibu!” desisku sambil berjalan meninggalkan beliau. “Ingat, Ris! Denis bisa aja ngejadiin kamu janda kapan pun yang dia mau! Siap-siap aja kamu!” Ibu mertuaku berteriak hingga suaranya terdengar serak. Jadi janda, katanya? Lho, emangny
“Dih, enak aja ini orang! Dasar tua bangka nggak tau diri!” balasku sambil menarik tangannya yang berusaha buat merebut gagang koperku. Brak! Akhirnya Ibu terjungkal ke belakang. Dia berteriak mengaduh, padahal jatuhnya tadi tidaklah terlalu kuat. Dasar lebay! Sungguh ratu drama! “Durhaka kamu, Ris! Semoga hidupmu nggak berkah! Semoga aja kamu mandul seumur hidupmu!” pekiknya sambil meraung-raung. “Semoga doa itu balik ke anak perempuanmu! Amin!” seruku sambil tersenyum culas. Cepat kugeret koperku. Aku melenggang kangkung bak seorang pramugari yang akan berangkat ke luar negeri. Goodbye gubug derita! Aku nggak bakalan mau menginjakkan kakiku ke sini lagi! Kupesan taksi online untuk membawaku pergi. Aku sudah tak punya kendaraan lagi semenjak menikah dengan si sompret Denis. Motor yang dulunya kubeli dengan hasil gaji dan bonusanku yang sangat lumaya saat bekerja di showroom sudah dijual
Klik!Segera kupadamkan sambungan telepon. Lama-lama bisa darah tinggi aku jika terus menerus meladeni omongannya si Denis.“Astaghfirullah!” gumamku seraya menepuk dada sendiri.Sesak rasanya. Sakit luar biasa.Dulu, semasa pacaran, Denis adalah pria yang baik. Tipikal pria perhatian yang selalu meluangkan waktunya buatku. Mungkin benar kata pepatah, ya. Setelah dimiliki, sesuatu akan menjadi biasa saja bagi pemiliknya.“Mbak, kenapa? Lagi ada masalah, ya?” Sopir taksi di sebelahku bertanya.“I-iya, Pak. Maaf ya, Pak, jadi berisik,” sahutku sungkan.“Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja. Sabar ya, Mbak. Hidup emang penuh ujian,” ujar si sopir yang mengenakan kemeja batik berwarna cokelat dan celana bahan hitam tersebut.Aku hanya bisa tersenyum getir. Hidup emang penuh ujian. Tapi, perasaan, kenapa hidupku terus yang diuji? Kenapa bukan hidupnya orang lain aja?Jadi anak yatim sedari kecil, terus tumbuh besar tanpa kasih sayang seorang ayah. Punya ibu kandung yang memang sangat menyayangi
“Minum dulu teh angetnya.” Setelah masuk ke ruangan kerja Mas Ivan, aku disuruh duduk olehnya plus disuguhkan secangkir teh hangat. Tentu bukan Mas Ivan yang membuatkan teh manis tersebut, melainkan Tuti—office girl yang kebetulan dulunya masuk kerja seangkatan denganku. Bedanya si Tuti betah bekerja di sini meski telah menikah plus punya anak dan aku malah buru-buru resign setelah dipersunting Denis. Kuseruput teh hangat buatan Tuti. Aroma melati dan rasa khasnya yang manis-sepat itu lumayan membuatku rileks. “Gimana? Udah tenang sekarang?” Mas Ivan mengukir senyumannya. Jujur saja, aku grogi ditatap begitu oleh Mas Ivan. Biar bagaimanapun juga, dia itu mantan atasanku lho! Dulu jangankan duduk berduaan di ruangannya begini, buat dekat-dekat saja rasanya sungkan sekali. “U-udah, Mas,” gagapku seraya menaruh cangkir ke atas tatakannya. “Jadi, kamu ribut ama Denis? Masalahnya apa? Kok, sampai bawa koper
“Hari ini kamu istirahat aja dulu di kostan. Besok baru mulai masuk kerjanya. Tenangkan pikiranmu. Pokoknya, kamu nggak boleh nangis atau sedih-sedih lagi. Oke?” Mas Ivan menatapku lekat. Aku spontan menggigit bibir bawah. Kebaikan yang Mas Ivan suguhkan, sungguh tak sanggup aku membalasnya kelak. Ya Allah, di satu sisi aku memang butuh sekali dengan bantuannya. Namun, di satu sisi lain, aku sangat enggan buat berutang budi pada atasanku tersebut. “Mas, aku beneran nggak enak sama Mas Ivan. Aku terlalu ngerepotin,” lirihku sesak. “Udah. Nggak usa dipikirin, Ris. Anggap aja ini pertolongan dari Allah lewat perantara aku. Nggak perlu nggak enakan sama aku.” Senyum tipis di bibir Mas Ivan yang merah ranum itu membuatku semakin tak enak hati saja. Kuhela napas dalam-dalam. Bismillah, pikirku. Semoga saja, Mas Ivan tulus ikhlas menolongku. “Makasih banyak ya, Mas. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Mas Ivan. Aku ngg