Share

Pembalasan Menantu yang Dianggap Pembantu
Pembalasan Menantu yang Dianggap Pembantu
Penulis: Meisya Jasmine

1

“Sayur kangkungnya, Bu, Mas, Vio,” ujarku penuh senyum sambil menghidangkan semangkuk tumis kangkung yang baru saja kuangkat dari wajan.

              Aroma harum bumbu ulek yang kutambahkan seiris terasi bakar itu menguar nikmat. Mata ibu mertua, suami, dan adik iparku langsung menyala. Tampak bahwa mereka sangat berselera dengan masakan yang kubawa dari meja kompor tadi.

              “Risma, kamu makannya di depan tivi aja bisa?”

              Deg!

              Baru saja aku hendak duduk di sebelah suamiku, tiba-tiba Ibu sudah melontarkan kalimat yang sangat di luar ekspektasiku. Sudah capek menggoreng tempe, membuat sambal terasi, sampai menumis kangkung segala untuk sarapan pagi ini, kenapa aku mala disuruh makan di depan tivi?

              “Ada hal penting yang mau kami bicarakan bertiga soalnya, Ris,” ujar Ibu lagi dengan tatapan mata yang tajam.

              Aku yang baru saja ingin menaruh bokongku ke kursi pun urung. Kuraih piring beling putih untukku makan, lalu kukaut dua centong nasi dengan perasaan perih.

              “Ini percakapan intern keluarga, Mbak! Jadi, Mbak Risma di depan tivi aja makannya.” Vio menceletuk.

              Gadis 16 tahun yang baru masuk SMA beberapa bulan lalu itu terlihat memutar bola matanya. Wajahnya sengak. Seperti biasa.

              “Oh, jadi aku bukan keluarga, ya?” sahutku dengan hati yang panas.

              Bangun pagi butaku, tenagaku untuk masak setelah sholat Subuh, bahkan rasa capek yang mendera tiap harinya untuk banting tulang mengemasi rumah mereka, nyatanya tidak berarti di hadapan mereka. Sudah menikah setengah tahun dengan Mas Denis, ternyata aku masih juga tak dianggap keluarga oleh mereka!

              “Risma, udah. Kamu nurut aja dulu. Ngalah dulu.” Mas Denis lagi-lagi seperti berpihak pada adik dan ibunya.

              Kucepatkan gerakanku. Kuambil tiga potong tempe dan sayur kangkung yang kumasak tadi untuk kutaruh di piringku. Jangan tanya wajahku sekarang. Rasanya saja sudah panas membara.

              “Jangan cemberut, Risma. Kamu ini, perkara disuruh makan di ruang tivi aja ngambek!” Ibu bukannya membuat suasana adem, malah semakin mengompori.

              “Iya, Bu! Saya paham. Saya di sini kan, cuma pembantu yang tugasnya masak, nyuci, nyapu. Kalau ada urusan keluarga, emang seharusnya saya nyingkir dulu!” sentakku tak bisa lagi menahan marah.

              Sudah cukup ya, selama ini aku hanya diam!

              Diperintah untuk masak setiap pagi dan sore hari, disuruh mencuci tumpukan pakaian segunung, bahkan sampai harus mencuci piring malam-malam sendirian, semua aku jabani dengan ikhlas! Aku paham tugasku sebagai seorang istri dan mantu yang menumpang tinggal di rumah mertua. Namun, kali ini sudah sangat keterlaluan. Mereka terang-terangan menganggapku bukan bagian dari keluarga.

              Untungnya tidak ada yang menyahut. Mereka hanya diam saja. Namun, wajah Ibu dan Vio sama-sama merah padam.

              Langkah kaki sengaja kuentakkan dari ruang makan menuju ruang tengah. Debaran di dadaku pun tak pelak semakin kencang membabi buta. Sabar, Risma. Biar Allah yang membalas mereka!

*

              “Kamu udah enam bulan lho, nikah ama Risma, Nis. Tapi, lihat dia. Nggak hamil-hamil!”

              “Iya, Bu, Denis tau. Jadi, gimana?”

              “Pisah aja lah, Mas! Mbak Risma juga orangnya kurang sopan! Dia tuh, tukang ngabisin beras, gas, ama sabun! Ibu dulu itu hemat banget lho kalau masak. Kalo Mbak Risma, sebulan bisa dua kali beli tabung gas, lho! Masak mulu! Bikin tekor!”

              “Tapi, kan, itu Ibu yang minta supaya sering masak, Vio. Lagian, semenjak ada Risma, kalian nggak perlu capek-capek nyuci baju, nyuci piring, sama masak, kan? Semua udah di-handle ama Risma.”

              “Udah, udah! Kok, kalian malah tengkar, sih? Gini, Nis. Kamu itu kan, kerja kantoran. Kerja di perusahaan besar meski cuma seorang OB! Tapi, kan, lama-lama dari OB kamu bisa tuh diangkat jadi staf, terus lama-lama bisa promosi jabatan sampe jadi direktur!”

              Mendengar ucapan ibu mertuaku dari balik dinding pembatas ruang tengah dan ruang makan, aku rasanya antara ingin ngamuk dan ingin ketawa terbahak-bahak.

              Gila! Bagaimana bisa dari OB bisa sampai jadi direktur! Ngimpi kali!

              Mas Denis itu memang tamatan D-3 Ilmu Komputer. Sudah melamar ke sana ke mari, tapi mentok-mentoknya hanya dapat pekerjaan sebagai OB di sebuah kantor perusahaan yang bergerak di bidang penyedia jasa konstruksi. Kalau promosi jabatan, ya mungkin kapan-kapan bisa saja dia diangkat jadi admin di sana. Tapi, kalau sampai jadi direktur? Emangnya perusahaan bapak moyang dia!

              “Sedangkan Risma? Dia cuma di rumah! Tamatan diploma tiga juga lho, padahal. Sama kaya kamu! Ibu malu, Nis, punya mantu cuma di rumah begitu!”

              Glek!

              Rasanya aku langsung sakit hati yang tak tertandingi!

              Bukannya kemarin yang memintaku berhenti bekerja sebagai sales promotion girl alias SPG di perusahaan kendaraan roda empat itu mereka juga? Terutama Ibu! Dia yang minta aku berhenti bekerja saja agar jadi ibu rumah tangga yang baik buat Mas Denis!

              Katanya, jika sudah hamil dan melahirkan, baru boleh bekerja lagi. Biar anaknya dijaga sama ibu mertuaku! Kok, sekarang udah beda lagi omongannya, sih?

“Dia sih, bodoh banget pakai acara berenti kerja segala! Coba kalo masih kerja. Kan, lumayan juga uangnya buat tambah-tambah. Sekarang, Ibu juga udah berenti dagang kue karena modalnya selalu kepake buat belanja makan sehari-hari. Kita ini kesulitan ekonomi lho, Nis!” Ibu terdengar menggebu-gebu. Sakit sekali hatiku mendengarnya!

“Jadi, aku harus gimana, Bu?” Suara Mas Denis kedengaran sangat putus asa.

“Kamu cerai aja sama Risma. Atau kalau nggak, kamu suruh dia kerja biar uangnya buat persiapan Vio kuliah nanti. Adikmu kepingin masuk teknik elektro. Jurusan itu mahal!”

Aku? Disuruh kerja buat biayain kuliahnya si Vio nanti? Sorry, ye! Rugi dong!

Tunggu ya, Bu! Akan aku buat kalian menyesal atas apa yang sudah kalian ucap hari ini! Demi Tuhan, aku tak ikhlas mendengar ucapan nyinyir kalian padaku!

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status