Tanpa mau memedulikan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk, aku malah melenggang kangkung ke kamar mandi yang letaknya di dekat dapur. Kulirik sekilas saja meja makan yang penuh dengan piring dan mangkuk kotor. Tak ada yang mau mengemasinya, pun ibu mertuaku yang sudah bangkotan itu.
“Lihat aja nanti. Kalau aku udah nggak ada di rumah, baru kalian nyesel!” desisku sambil menutup pintu kamar mandi.
Tak memakan banyak waktu, lekas kuselesaikan ritual mandiku. Segar juga mandi pagi begini rupanya. Maklum, selama menikah dengan Mas Denis, aku selalu mandi di atas jam dua belas siang.
Bagaimana mau mandi awal? Pagi-pagi buta saja aku sudah harus masak dengan menu lengkap. Lepas masak, setumpuk cucian kotor akan memanggil-manggil untuk dijamah. Belum lagi jika stok bahan makanan di kulkas habis hingga mengharuskanku capcus ke pasar buat berbelanja.
Pusing? Kemarin-kemarin sih, tidak. Ikhlas semuanya kujalani.
Meskipun Mas Denis jarang memberi uang padaku dan lebih memilih memegangkan uang gajinya pada Ibu—biar hemat katanya—aku tetap menjalani rumah tangga ini dengan senang hati. Tanpa sadar, rupanya aku sudah dibodohi selama enam bulan belakangan. Ya Allah, kok, bisa-bisanya aku sedungu ini ya?
Ceklek.
“Astaga!” teriakku saat membuka pintu kamar mandi.
Di depanku tepat, tengah berdiri sosok Ibu. Beliau yang terlihat menyampirkan handuk warna pink di pundak itu mendelik lebar.
“Ris, mau ke mana kamu mandi pagi-pagi begini?” Pelototan matanya seperti seorang rent*n*r yang hendak menagih ut*ng.
“Pergi.” Aku menjawab singkat. Biar tahu rasa!
“Pergi? Pergi ke mana? Piring aja belom dicuci!” bentak Ibu tak keruan.
Wanita berusia 52 tahun yang rambutnya dicat merah Coca Cola itu berkacak pinggang. Dih, emang elu doang yang boleh mandi pagi terus lanjut keliaran keliling kampung cari bahan gosipan?
“Jajan seblak!” sahutku sembarangan.
“Duit dari mana kamu jajan seblak segala macem? Ingat ya, Ris! Kamu di sini tuh, tugasnya buat nyapu, ngepel, cuci piring. Melayani suami dan mertua dengan penuh perhatian! Bukannya buat nongkrong jajan seblak segala macem! Kasihan si Denis banting tulang kerja jadi OB! Masa istrinya yang pengangguran ini malah seenak udel jajan segala!” Ibu menyemprotku panjang lebar.
Oh, begini toh, wajah asli mertuaku? Ternyata, manis lembutnya yang dia tampakkan kemarin itu, hanya topeng belaka! Apa karena kemarin-kemarin aku selalu manut dan bersikap terlalu sopan kepadanya? Giliran aku ketus sedikit, dia langsung keluar tanduk dan taring.
“Vio aja bisa tuh, make uang Mas Denis buat jajan dan nongkrong di kafe tiap malam Minggu! Masa, aku yang istrinya mau jajan seblak doang nggak boleh, Bu? Ini namanya nggak adil! Lagian, aku ini istrinya Mas Denis. Bukan pembantunya! Kalau emang dari awal dikasih tahu tugasku di sini kaya babu, mending aku nggak usah nikah aja!”
Kusentak mertuaku dengan volume yang lebih nyaring. Sudah cukup ya, aku beramah tamah dan bersopan santun kepada mereka! Toh, balasannya pun nihil! Hanya cercaan yang kudapati di belakang.
“Eh, eh! Kok, kamu jadi kasar begini, Ris? Siapa yang bikin kamu berubah begini? Oh, apa jangan-jangan kamu dipengaruhi oleh ibumu, ya?”
Kedua alisku saling bertautan. Kok, jadi bawa-bawa ibuku, sih?
“Kenapa jadi nyasar ke ibuku, Bu? Apa salah ibuku emangnya?!” bentakku sambil memelototi balik ibu mertuaku.
“Alah! Pasti kamu disuruh ibumu buat ngelawan suami dan mertua, kan! Ibu denger kok, berita tentang rumah tangga baru ibumu itu! Mertuanya yang udah sepuh itu sampe komplen ke tetangga, katanya baru kali ini punya mantu keras kepala! Nggak mau masak buat suami dengan alasan capek ngurus anaknya yang masih bayi. Walaupun kita tinggal di beda desa, tapi berita kaya gitu mudah lho nyebarnya, Ris! Sikapmu kan, kemarin-kemarin bagus ke kami. Sekarang malah tiba-tiba ngebangkang gini. Persis ibumu pasti! Dan kamu pastinya udah dipengaruhi ibumu supaya bersikap keras juga ke suami dan mertuamu sendiri!”
Ibu memarahiku panjang kali lebar dengan bibirnya yang menipis dan terjungkit ke atas. Panas dadaku mendengarnya. Lebih lagi telingaku.
Tanpa sadar, tanganku mengepal bulat. Gemuruh di dada ini sudah tak tertahankan lagi.
“Kenapa kamu melotot begitu? Kenapa? Kamu ngamuk? Kamu mau nampar Ibu?!”
Plak!
Brak!
“Berani kamu ya, gebrak-gebrak pintu gitu di depan Ibu! Kamu sadar nggak sih, kalau di sini kamu cuma numpang!” Jeritan Ibu membahana. Jelas saja. Dia berang karena tanganku tadi meninju pintu kamar mandi yang terbuat dari bahan plastik fiber hingga satu engselnya terlepas. Masa bodoh! Aku tidak peduli. Enak saja ibu mertuaku mempelototiku bagai anak kecil begitu. “Sampe lepas pintunya, lho! Kamu ini waras nggak sih, Ris!” bentak Ibu lagi dengan nada yang semakin meninggi. Sayangnya, dia hanya berani berteriak. Wajahnya sendiri pias dengan cucuran keringat di pelipis. Langkahnya pun kuliat mundur. Kenapa dia? Takut? “Waras atau tidaknya aku, itu bukan urusan Ibu!” desisku sambil berjalan meninggalkan beliau. “Ingat, Ris! Denis bisa aja ngejadiin kamu janda kapan pun yang dia mau! Siap-siap aja kamu!” Ibu mertuaku berteriak hingga suaranya terdengar serak. Jadi janda, katanya? Lho, emangny
“Dih, enak aja ini orang! Dasar tua bangka nggak tau diri!” balasku sambil menarik tangannya yang berusaha buat merebut gagang koperku. Brak! Akhirnya Ibu terjungkal ke belakang. Dia berteriak mengaduh, padahal jatuhnya tadi tidaklah terlalu kuat. Dasar lebay! Sungguh ratu drama! “Durhaka kamu, Ris! Semoga hidupmu nggak berkah! Semoga aja kamu mandul seumur hidupmu!” pekiknya sambil meraung-raung. “Semoga doa itu balik ke anak perempuanmu! Amin!” seruku sambil tersenyum culas. Cepat kugeret koperku. Aku melenggang kangkung bak seorang pramugari yang akan berangkat ke luar negeri. Goodbye gubug derita! Aku nggak bakalan mau menginjakkan kakiku ke sini lagi! Kupesan taksi online untuk membawaku pergi. Aku sudah tak punya kendaraan lagi semenjak menikah dengan si sompret Denis. Motor yang dulunya kubeli dengan hasil gaji dan bonusanku yang sangat lumaya saat bekerja di showroom sudah dijual
Klik!Segera kupadamkan sambungan telepon. Lama-lama bisa darah tinggi aku jika terus menerus meladeni omongannya si Denis.“Astaghfirullah!” gumamku seraya menepuk dada sendiri.Sesak rasanya. Sakit luar biasa.Dulu, semasa pacaran, Denis adalah pria yang baik. Tipikal pria perhatian yang selalu meluangkan waktunya buatku. Mungkin benar kata pepatah, ya. Setelah dimiliki, sesuatu akan menjadi biasa saja bagi pemiliknya.“Mbak, kenapa? Lagi ada masalah, ya?” Sopir taksi di sebelahku bertanya.“I-iya, Pak. Maaf ya, Pak, jadi berisik,” sahutku sungkan.“Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja. Sabar ya, Mbak. Hidup emang penuh ujian,” ujar si sopir yang mengenakan kemeja batik berwarna cokelat dan celana bahan hitam tersebut.Aku hanya bisa tersenyum getir. Hidup emang penuh ujian. Tapi, perasaan, kenapa hidupku terus yang diuji? Kenapa bukan hidupnya orang lain aja?Jadi anak yatim sedari kecil, terus tumbuh besar tanpa kasih sayang seorang ayah. Punya ibu kandung yang memang sangat menyayangi
“Minum dulu teh angetnya.” Setelah masuk ke ruangan kerja Mas Ivan, aku disuruh duduk olehnya plus disuguhkan secangkir teh hangat. Tentu bukan Mas Ivan yang membuatkan teh manis tersebut, melainkan Tuti—office girl yang kebetulan dulunya masuk kerja seangkatan denganku. Bedanya si Tuti betah bekerja di sini meski telah menikah plus punya anak dan aku malah buru-buru resign setelah dipersunting Denis. Kuseruput teh hangat buatan Tuti. Aroma melati dan rasa khasnya yang manis-sepat itu lumayan membuatku rileks. “Gimana? Udah tenang sekarang?” Mas Ivan mengukir senyumannya. Jujur saja, aku grogi ditatap begitu oleh Mas Ivan. Biar bagaimanapun juga, dia itu mantan atasanku lho! Dulu jangankan duduk berduaan di ruangannya begini, buat dekat-dekat saja rasanya sungkan sekali. “U-udah, Mas,” gagapku seraya menaruh cangkir ke atas tatakannya. “Jadi, kamu ribut ama Denis? Masalahnya apa? Kok, sampai bawa koper
“Hari ini kamu istirahat aja dulu di kostan. Besok baru mulai masuk kerjanya. Tenangkan pikiranmu. Pokoknya, kamu nggak boleh nangis atau sedih-sedih lagi. Oke?” Mas Ivan menatapku lekat. Aku spontan menggigit bibir bawah. Kebaikan yang Mas Ivan suguhkan, sungguh tak sanggup aku membalasnya kelak. Ya Allah, di satu sisi aku memang butuh sekali dengan bantuannya. Namun, di satu sisi lain, aku sangat enggan buat berutang budi pada atasanku tersebut. “Mas, aku beneran nggak enak sama Mas Ivan. Aku terlalu ngerepotin,” lirihku sesak. “Udah. Nggak usa dipikirin, Ris. Anggap aja ini pertolongan dari Allah lewat perantara aku. Nggak perlu nggak enakan sama aku.” Senyum tipis di bibir Mas Ivan yang merah ranum itu membuatku semakin tak enak hati saja. Kuhela napas dalam-dalam. Bismillah, pikirku. Semoga saja, Mas Ivan tulus ikhlas menolongku. “Makasih banyak ya, Mas. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Mas Ivan. Aku ngg
“Sayur kangkungnya, Bu, Mas, Vio,” ujarku penuh senyum sambil menghidangkan semangkuk tumis kangkung yang baru saja kuangkat dari wajan. Aroma harum bumbu ulek yang kutambahkan seiris terasi bakar itu menguar nikmat. Mata ibu mertua, suami, dan adik iparku langsung menyala. Tampak bahwa mereka sangat berselera dengan masakan yang kubawa dari meja kompor tadi. “Risma, kamu makannya di depan tivi aja bisa?” Deg! Baru saja aku hendak duduk di sebelah suamiku, tiba-tiba Ibu sudah melontarkan kalimat yang sangat di luar ekspektasiku. Sudah capek menggoreng tempe, membuat sambal terasi, sampai menumis kangkung segala untuk sarapan pagi ini, kenapa aku mala disuruh makan di depan tivi? “Ada hal penting yang mau kami bicarakan bertiga soalnya, Ris,” ujar Ibu lagi dengan tatapan mata yang tajam. Aku yang baru saja ingin menaruh bokongku ke kursi pun urung. Kuraih piring beling putih untukku makan, lalu kukaut d
Panas hati gara-gara mendengar mereka mengghibahiku. Saking panasnya hati, aku pun meninggalkan piring bekas makanku tergeletak begitu saja di ruang tivi. Gegas kakiku melangkah masuk kembali ke kamar. “Astaghfirullah, aku benar-benar nggak nyangka aja sama mereka bertiga. Mas Denis yang selama ini berbicara manis, rupanya di belakangku malah ngejelek-jelekin!” Aku ngedumel sendiri. Sambil duduk kesal di bibir ranjang, mulai kubuka ponsel dan berpikir keras tentang apa yang harus segera kulakukan. Aku tak bisa terus-terusan tinggal di rumah sialan ini. Pekerjaan harus segera kudapatkan, supaya mulut-mulut kurang ajar Mas Denis dan keluarganya itu bisa bungkam! Kukirimi mantan atasanku dulu, Mas Ivan, sebuah pesan. Basa basi dulu. Berharap semoga perusahaan tempat aku bekerja dulu masih menerima lowongan. [Pagi Mas Ivan. Maaf aku ganggu nih, Mas. Gimana kabarnya, Mas Ivan?] Sedetik, dua detik, aku menunggu dengan tak
“Nggak. Aku nggak bicara sama siapa-siapa. Kamu salah dengar, kali!” Kuberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Mas Denis. Kusoroti sosok di depanku itu. Pria yang telah mengenakan seragam kerjanya yang berwarna serba biru muda dengan list biru elektrik di ujung lengan baju maupun celananya itu menatap tajam. Dia seperti tak percaya dengan jawabanku. “Jelas-jelas tadi aku dengar kamu kaya lagi ngobrol.” Mas Denis mengangkat sebelah alis tebalnya. Kutatap balik dia. Meskipun sebenarnya aku gugup dan deg-degan, tapi aku tak boleh terlihat gentar. Rugi, dong! “Halu kali kamu! Orang nggak ada ngobrol.” Aku menjawab acuh tak acuh sambil memutar bola mata. “Piring dicuci, gih. Kita udah pada beres makan. Piring kamu yang di ruang tivi juga diberesin. Pulang kerja aku kepengen masak asam manis lele sama sambel bawang. Jangan sampe nggak dibikinin,” kata Mas Denis mengultimatun. Pria dengan tinggi 168 sentimet