Share

4

Tanpa mau memedulikan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk, aku malah melenggang kangkung ke kamar mandi yang letaknya di dekat dapur. Kulirik sekilas saja meja makan yang penuh dengan piring dan mangkuk kotor. Tak ada yang mau mengemasinya, pun ibu mertuaku yang sudah bangkotan itu.

              “Lihat aja nanti. Kalau aku udah nggak ada di rumah, baru kalian nyesel!” desisku sambil menutup pintu kamar mandi.

              Tak memakan banyak waktu, lekas kuselesaikan ritual mandiku. Segar juga mandi pagi begini rupanya. Maklum, selama menikah dengan Mas Denis, aku selalu mandi di atas jam dua belas siang.

              Bagaimana mau mandi awal? Pagi-pagi buta saja aku sudah harus masak dengan menu lengkap. Lepas masak, setumpuk cucian kotor akan memanggil-manggil untuk dijamah. Belum lagi jika stok bahan makanan di kulkas habis hingga mengharuskanku capcus ke pasar buat berbelanja.

              Pusing? Kemarin-kemarin sih, tidak. Ikhlas semuanya kujalani.

              Meskipun Mas Denis jarang memberi uang padaku dan lebih memilih memegangkan uang gajinya pada Ibu—biar hemat katanya—aku tetap menjalani rumah tangga ini dengan senang hati. Tanpa sadar, rupanya aku sudah dibodohi selama enam bulan belakangan. Ya Allah, kok, bisa-bisanya aku sedungu ini ya?

              Ceklek.

              “Astaga!” teriakku saat membuka pintu kamar mandi.

              Di depanku tepat, tengah berdiri sosok Ibu. Beliau yang terlihat menyampirkan handuk warna pink di pundak itu mendelik lebar.

              “Ris, mau ke mana kamu mandi pagi-pagi begini?” Pelototan matanya seperti seorang rent*n*r yang hendak menagih ut*ng.

              “Pergi.” Aku menjawab singkat. Biar tahu rasa!

              “Pergi? Pergi ke mana? Piring aja belom dicuci!” bentak Ibu tak keruan.

              Wanita berusia 52 tahun yang rambutnya dicat merah Coca Cola itu berkacak pinggang. Dih, emang elu doang yang boleh mandi pagi terus lanjut keliaran keliling kampung cari bahan gosipan?

              “Jajan seblak!” sahutku sembarangan.

              “Duit dari mana kamu jajan seblak segala macem? Ingat ya, Ris! Kamu di sini tuh, tugasnya buat nyapu, ngepel, cuci piring. Melayani suami dan mertua dengan penuh perhatian! Bukannya buat nongkrong jajan seblak segala macem! Kasihan si Denis banting tulang kerja jadi OB! Masa istrinya yang pengangguran ini malah seenak udel jajan segala!” Ibu menyemprotku panjang lebar.

              Oh, begini toh, wajah asli mertuaku? Ternyata, manis lembutnya yang dia tampakkan kemarin itu, hanya topeng belaka! Apa karena kemarin-kemarin aku selalu manut dan bersikap terlalu sopan kepadanya? Giliran aku ketus sedikit, dia langsung keluar tanduk dan taring.

              “Vio aja bisa tuh, make uang Mas Denis buat jajan dan nongkrong di kafe tiap malam Minggu! Masa, aku yang istrinya mau jajan seblak doang nggak boleh, Bu? Ini namanya nggak adil! Lagian, aku ini istrinya Mas Denis. Bukan pembantunya! Kalau emang dari awal dikasih tahu tugasku di sini kaya babu, mending aku nggak usah nikah aja!”

              Kusentak mertuaku dengan volume yang lebih nyaring. Sudah cukup ya, aku beramah tamah dan bersopan santun kepada mereka! Toh, balasannya pun nihil! Hanya cercaan yang kudapati di belakang.

              “Eh, eh! Kok, kamu jadi kasar begini, Ris? Siapa yang bikin kamu berubah begini? Oh, apa jangan-jangan kamu dipengaruhi oleh ibumu, ya?”

              Kedua alisku saling bertautan. Kok, jadi bawa-bawa ibuku, sih?

              “Kenapa jadi nyasar ke ibuku, Bu? Apa salah ibuku emangnya?!” bentakku sambil memelototi balik ibu mertuaku.

              “Alah! Pasti kamu disuruh ibumu buat ngelawan suami dan mertua, kan! Ibu denger kok, berita tentang rumah tangga baru ibumu itu! Mertuanya yang udah sepuh itu sampe komplen ke tetangga, katanya baru kali ini punya mantu keras kepala! Nggak mau masak buat suami dengan alasan capek ngurus anaknya yang masih bayi. Walaupun kita tinggal di beda desa, tapi berita kaya gitu mudah lho nyebarnya, Ris! Sikapmu kan, kemarin-kemarin bagus ke kami. Sekarang malah tiba-tiba ngebangkang gini. Persis ibumu pasti! Dan kamu pastinya udah dipengaruhi ibumu supaya bersikap keras juga ke suami dan mertuamu sendiri!”

              Ibu memarahiku panjang kali lebar dengan bibirnya yang menipis dan terjungkit ke atas. Panas dadaku mendengarnya. Lebih lagi telingaku.

              Tanpa sadar, tanganku mengepal bulat. Gemuruh di dada ini sudah tak tertahankan lagi.

              “Kenapa kamu melotot begitu? Kenapa? Kamu ngamuk? Kamu mau nampar Ibu?!”

              Plak!

              Brak!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status