Share

2

Panas hati gara-gara mendengar mereka mengghibahiku. Saking panasnya hati, aku pun meninggalkan piring bekas makanku tergeletak begitu saja di ruang tivi. Gegas kakiku melangkah masuk kembali ke kamar.

              “Astaghfirullah, aku benar-benar nggak nyangka aja sama mereka bertiga. Mas Denis yang selama ini berbicara manis, rupanya di belakangku malah ngejelek-jelekin!” Aku ngedumel sendiri.

              Sambil duduk kesal di bibir ranjang, mulai kubuka ponsel dan berpikir keras tentang apa yang harus segera kulakukan. Aku tak bisa terus-terusan tinggal di rumah sialan ini. Pekerjaan harus segera kudapatkan, supaya mulut-mulut kurang ajar Mas Denis dan keluarganya itu bisa bungkam!

              Kukirimi mantan atasanku dulu, Mas Ivan, sebuah pesan. Basa basi dulu. Berharap semoga perusahaan tempat aku bekerja dulu masih menerima lowongan.

              [Pagi Mas Ivan. Maaf aku ganggu nih, Mas. Gimana kabarnya, Mas Ivan?]

              Sedetik, dua detik, aku menunggu dengan tak sabaran. Tanpa terasa, cucuran keringat dingin malah membasahi telapak tangan. Hatiku kembali risau saat teringat culasnya ucapan ibu mertua tadi.

              [Hei, Risma. Kabar baik. Tumben chat. Gimana, Ris?]

              Tanpa kusangka, respons Mas Ivan rupanya sangat gercep alias gerak cepat. Tak perlu menunggu terlalu lama, pesanku telah dibalas. Bahkan sikap Mas Ivan juga masih sama ramahnya dengan saat dulu di waktu aku masih bekerja di sana.

              [Kabarku kurang baik, Mas. Lagi butuh banget kerjaan. Apa di sana masih ada lowongan?]

              Mataku terbelalak saat mengetahui Mas Ivan malah meneleponku. Jantungku benar-benar deg-degan. Ya Allah, bagaimana ini? Aku harus bicara apa kepada mantan bosku yang menduduki jabatan sebagai manager tersebut?

              Gugup, kusambut teleponnya. Bismillah, batinku. Semoga ada kabar baik.

              “Halo, Ris. Kamu kenapa? Kok, lama nggak ada kabar malah ngasih tau kabar buruk?” Panjang lebar Mas Ivan bertanya. Suaranya yang halus lembut itu terdengar sangat khawatir.

              “Ng … a-anu, Mas,” gagapku tak enak hati.

              “Kamu kenapa? Cerai dari suamimu? Suamimu KDRT? Atau gimana?”

              Aku spontan menggigit bibir. Bagaimana mungkin Mas Ivan yang memang memiliki personal baik, ramah, dan sopan pada semua karyawan di perusahaan, kini jadi sosok yang begitu perhatian. Aku sampai kaget sendiri mendengar tanggapannya yang begitu antusias terhadap ceritaku.

              “B-bukan, Mas. Aku belum cerai. T-tapi … aku butuh pekerjaan, Mas.”

              “Suamimu ke mana memangnya? Apa dia sakit? Atau gimana? Bukannya kemarin kamu resign itu karena katanya, suamimu kepengen kamu di rumah aja jadi ibu rumah tangga yang baik. Kok, sekarang ini malah cari kerja? Ayo, cerita aja, Ris. Aku pasti akan dengar, kok!”

              Didesak begitu, aku jadi serba salah. Aduh. Bagaimana ini?

              Masa aku harus menceritakan aib rumah tanggaku, sih? Apalagi kepada Mas Ivan. Memang sih, aku sempat bekerja sama dengan pria tinggi yang baru saja menjadi duda setahun belakangan itu hampir tiga tahun lamanya. Namun, walaupun sudah bekerja di bawah dia selama itu, bukan berarti aku bisa leluasa curhat masalah rumah tangga dengan beliau, kan?

              “Ada masalah ekonomi, Mas.”

              “Ya, udah. Jam makan siang kamu bisa ke sini?” tanya Mas Ivan.

              “Jam dua belas?” Kutanya balik dengan nada resah.

              “Iya, jam dua belas siang. Kamu ke sini, ya—”

              Ceklek!

              Belum sempat aku menjawab, pintu kamar malah dibuka dari luar. Astaga! Aku kaget luar biasa kala memandang siapa yang datang ke sini.

              Klik.

              Segera kumatikan sambungan telepon. Kuatur napas dan segera kuletakkan ponsel di atas ranjang. Mas Denis mendekat dengan tatapan yang menyelidik.

              “Kamu bicara ama siapa, Ris?”

              Deg!

              Bagaimana ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status