Keesokan paginya, sebelum matahari terbit. Arabel terbangun lebih dulu dibandingkan Maxime yang masih tidur nyenyak. Wanita itu merasa ada yang aneh dari dirinya. Arabel perlahan mulai sadar saat selimut yang menutupi setengah tubuhnya terbuka. Dia melihat pakaian yang dikenakan sudah berantakan.
"Astaga! Apa yang terjadi padaku?" ucap Arabel keras. Hal itu membangunkan Maxime yang masih pulas.
"Maxime, apa yang terjadi? Kenapa...?"
Maxime ikut terkejut. Lelaki itu sudah sedikit terbuka. Kancing kemejanya tidak terpasang lagi.
"Apa yang sudah kita lakukan, Arabel?" lanjut Maxime yang memutar pertanyaan Arabel.
Seprei ranjang sudah berantakan, beberapa pakaian mereka tergeletak berserakan di sana. Ada noda darah di atas sprei berwarna putih dan membuat Arabel teriak.
"Maxime, ini tidak mungkin terjadi!" teriaknya.
Maxime meletakkan tangannya di kepala dan terdiam tanpa kata. Pandangannya lurus ke depan, matanya seperti penuh penyesalan. Dia berpikir, mengapa melakukan semua ini kepada Arabel yang notabenenya gadis polos dan baik.
***
Dua Minggu kemudian, Arabel merasakan mual. Selama itu juga dia tidak ada keluar rumah. Maxime mengatakan kepada karyawan perusahaannya, bahwa Arabel sedang sakit dan cuti kerja. Beberapa kali Arabel bertemu Maxime, sekadar urusan kantor yang mungkin mendesak. Dia hanya membisu setiap kali bertatapan dengan Maxime.
"Dengarkan saya baik-baik Arabel, saya minta kamu gugurkan kandungan kamu! Saya tidak ingin semua orang tahu kalau kamu hamil anak saya! Mau taruh di mana muka saya!" balas Maxime dengan kepanikannya.
"Pak Maxime! Ini adalah anak kamu! Kamu yang melakukan semuanya, kamu harus bertanggung jawab! Kalau Bapak tidak bertanggungjawab saya akan sebar masalah ini ke semua orang, biar yang lain tahu seorang pengusaha terhormat melakukan hal bodoh seperti ini!" ancam Arabel.
Maxime menghela nafas panjang, ancaman Arabel membuatnya tak berkutik.
Dua hari setelahnya, Arabel nekat datang ke rumah keluarga Maxime dan menemui orang tua Maxime. Dia membawa hasil tespeknya dan sudah menyiapkan jawaban-jawaban atas pertanyaan orang tuanya Maxime, nanti.
Papa Maxime bernama Frans, dan keluarga Maxime dikenal dengan nama keluarga Frans. Keluarga yang paling disegani, serta keluarga paling kaya raya di kotanya. Tidak mudah mencari identitas mereka, termasuk mencari alamat rumahnya. Arabel susah payah mencari informasinya dan dia mendapatkan itu dari salah satu rekan kerjanya di kantor.
Terdengar suara bel rumah. Maxime yang tengah ada di rumah pagi itu, terlihat penasaran.
Wanita itu adalah Arabel. Dia sudah berdiri di depan pintu sejak hampir setengah jam yang lalu.
"Langsung saja, apa tujuan kamu datang kemari? Ini bukan tempat melamar kerja dan tolong katakan langsung apa maumu?"
Arabel menelan saliva. Dia melihat begitu arogannya Mama Maxime.
"Saya mencari Maxime, Bu. Apa dia ada di rumah? Sekalian saya ingin bicara dengan Ibu."
Siska melipat tangannya di dada dan berkata, "Panggil saya nyonya. Kamu tidak tahu siapa Nyonya Siska dan Tuan Frans?"
Arabel mengangguk mengiyakan. "Baik nyonya."
Maxime mendengar ada sedikit ribut-ribut di luar rumah. Dia langsung menghampiri dan merasa tidak asing dengan suara-suaranya.
"Ada apa ini, Mama? Apa ada yang mencariku?" tanya Maxime. Begitu terkejutnya dia saat melihat Arabel ada di hadapan dengan wajah kusut. Tatapannya tajam menatap ke arah Maxime.
"Arabel?"
Maxime menceritakan kepada mamanya, jika Arabel adalah asisten pribadinya di kantor. Siska langsung mengizinkan Arabel masuk ke rumah, tetapi dengan jadwal kunjungan yang terbatas. Setelah satu jam kemudian, Arabel dipersilahkan untuk kembali pergi dari rumah itu dan kembali besok.
"Saya ingin bicara kepada semua keluarga Bapak Maxime. Termasuk Nyonya Siska dan Tuan Frans."
Mereka sudah berkumpul dan Arabel merasa sangat takut. Dia tidak tahu harus bagaimana jika keluarga Frans tidak mau mengakui kehamilannya.
"Katakan sekarang apa yang ingin kamu sampaikan. Jangan membuat waktu kami terbuang sia-sia hanya untuk melayani orang kecil sepertimu."
Siska menatap Arabel atas bawah. Dia yakin Arabel adalah wanita miskin.
"Aku memang wanita miskin yang datang mendadak ke rumah megah ini, karena permintaan Maxime, ada yang ingin aku tunjukkan,"
Arabel menarik napas panjang. Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan memberikan di hadapan Siska. Benda pipih panjang yang dia perlihatkan kepada Siska.
"Apa ini?" Siska meraih itu. Dia menatap heran ke arah tespek garis dua yang diberikan oleh Arabel kepadanya sebagai bentuk pembicaraan.
Frans mulai paham apa maksudnya, begitu pula dengan Siska. Mereka berdua menatap Maxime di sebelahnya.
"Siapa wanita ini dan ada hubungan spesial apa kalian?" ujar Siska, ketus.
Suasana rumah mulai tidak enak, Siska meminta jawaban dari putranya atas apa yang sudah terjadi.
"Kamu kenal dekat dengan dia, Maxime?" tanya Siska.
Maxime terdiam. Pada akhirnya dia menjawab dan menjelaskan sedikit mengenai kejadian malam itu yang dianggap sebagai kecelakaan.
Maxime mengatakan bahwa Arabel adalah rekan kerjanya di kantor. Namun, malam itu Maxime mengajak Arabel ngedate di sebuah club. Di sana terjadi hal yang tidak diinginkan dan Arabel hilang kesuciannya untuk pertama kali.
"Itu artinya, kau dan gadis ini...."
Siska hampir marah besar. Namun, Frans menghalangi. Di satu sisi, Arabel tidak tinggal diam untuk terus meminta tanggung jawab dari keluarga Frans atas apa yang sudah dilakukan putra mereka terhadapnya.
"Saya mohon tanggung jawab. Ini anak Maxime, ini darah dagingnya."
Siska meredam amarahnya. Dia meminta Arabel meyakinkan dirinya jika anak dalam kandungan Arabel benar-benar darah daging Maxime.
"Buktikan padaku jika itu memang anaknya Maxime. Bagaimana caranya saya bisa percaya? Banyak wanita yang ingin dinikahi putra saya, bisa saja kamu membuat cerita yang bukan-bukan." Siska menuduh.
"Mohon maaf, Nyonya. Saya tidak akan membuang-buang waktu untuk melakukan ini semua jika Maxime tidak ada hubungannya dengan saya. Ini adalah anaknya dan dia yang sudah melakukan."
Pembicaraan dibuat lebih rileks. Frans yang ambil alih bicara. Laki-laki paruh baya itu bertanya lagi kepada Arabel tentang hubungannya dengan Maxime.
Arabel menceritakan dengan sangat runtun, dia juga mengaku jika kejadian malam itu tanpa kesengajaan bersama. Mereka sudah berada di bawah pengaruh minuman memabukkan, sehingga menyebabkan hal buruk terjadi. Walaupun begitu, Siska tidak mau mengalah.
"Ini salahmu sebagai seorang perempuan. Kenapa kau tidak bisa menjaga diri? Ini akibatnya," bentak Siska. Dia marah-marah. Merasa nama baik keluarganya tercoreng akan adanya peristiwa ini.
"Sudah, mama jangan emosi, nanti sakit." Frans mengayomi istrinya.
Mereka terdiam semua. Keluarga Frans meminta waktu setengah jam untuk berbicara rahasia, mereka harus berunding dalam menemukan keputusan.
Setengah jam kemudian, Siska kembali bersama Frans. Mereka memasang wajah datar dan menghampiri Arabel yang masih duduk di sofa. Arabel sudah berdoa supaya mendapatkan keadilan atas anaknya.
"Oke. Saya sudah menemukan keputusan untuk masalah kamu ini." Siska buka obrolan kembali.
Maxime terima beres. Dia hanya diam dan menunggu jawaban mama serta papanya."Besok kamu dan Maxime akan menikah. Kamu menginap malam ini di sini, karena besok adalah hari bahagia yang ditunggu-tunggu."Arabel melebarkan matanya. Dia senang mendengar jawaban Siska yang dari awal sangat diharapkannya."Apakah Nyonya serius? Tuan serius?" tanya Arabel.Siska tersenyum miring. Dia melipat tangannya di dada, kemudian melangkah ke arah jendela."Kamu akan menikah dengan putra saya, putra semata wayang keluarga Frans yang kaya raya. Tapi, ada syaratnya."Arabel mengerutkan keningnya. Senyumnya hilang."Syarat apa itu, Nyonya?" tanya Arabel dengan polos."Pernikahan kontrak. Ya, pernikahan itu hanya akan berjalan selama kurang lebih sembilan bulan, sampai anak itu lahir ke dunia. Setelah anak dalam kandunganmu lahir, maka status pernikahanmu dengan Maxime akan cerai. Kamu tidak perlu khawatir, karena semua urusannya akan ada di bawah naungan saya. Terima kasih.""Pernikahan itu sakral! Tidak
"Maxime? Kamu mau mengajakku tidur di kamarmu? Terima kasih."Maxime mendorong Arabel ke ranjang. Dia mengunci pintu kamar rapat-rapat."Kamu mau apa, Maxime? Kita sudah resmi suami istri, tapi tidak sekarang kamu melakukan itu padaku."Maxime tidak menjawab. Dia terus mengikuti keinginannya yang tersulut nafsu. Akhirnya hari itu terjadi. Ini yang kedua kalinya mereka melakukan hubungan sepasang suami istri.***Keesokan pagi. Siska berteriak memanggil nama Maxime. Dia mencari-cari putranya yang sudah tidak ada di kamar."Maxime, di mana kamu Maxime?" teriak Siska.Maxime keluar dari kamar pembantu. Siska mengerutkan dahinya. "Kenapa kamu keluar dari kamar pembantu?" tanya Siska.Tidak lama kemudian Arabel juga keluar. Siska menghela napas dan melipat tangannya di dada. Dia sudah paham apa yang terjadi."Kurang ajar. Arabel, kemari kamu!" pinta Siska."Iya Mama, ada apa?""Jangan panggil saya Mama. Panggil Nyonya," tegas Siska. "Baik Nyonya.""Oke bagus. Sekarang, kamu bersihkan ruma
Arabel menangis. Dia dilema oleh keadaan yang membingungkan. Jika dia mati, maka anaknya tidak bisa lagi mendapat kasih sayangnya. Keputusan Arabel bulat, dia melepaskan anaknya dan berjanji akan datang kembali untuk merebut hak anaknya lagi.***Di lain tempat, Maxime masih asyik bermesraan dengan wanita muda. Rambutnya panjang, kulitnya putih. Secara keseluruhan, wanita itu lebih seksi dari Arabel."Kapan kamu mau nikahi aku, Sayang?" tanya wanita tersebut."Gimana kalau bulan depan? Aku diskusikan dulu kepada mama dan papaku," balas Maxime."Aku tunggu ya Sayang, aku sudah tidak sabar menjadi bagian dari keluargamu."Wanita itu bergelayut manja di pelukan Maxime. Siapa sangka jika dia adalah Laura, adiknya Arabel.***Satu bulan berlalu dan selama ini Arabel masih memantau keluarga Maxime dalam diam dan dari kejauhan. Dia menyewa rumah di dekat kompleks perumahan keluarga Frans, tetapi tidak ada satu orang yang tahu menahu bahwa Arabel ada di sana. Selama ini juga dia melihat perk
“Saya tidak akan melupakan perjanjian itu, Nyonya Siska. Yang saya inginkan hanyalah bertemu dengan anak saya dan melindunginya dari ular berbisa.” Sebagai tanggapan, Arabel melontarkan sindiran kepada Maura. Dia memusatkan pandangannya pada Maura, membuatnya goyah.Apa yang diucapkan Arabel membuat keluarga Frans bingung."Tolong ijinkan aku tinggal di sini beberapa hari agar keinginanku bertemu anakku bisa terwujud! Aku bersumpah, setelah itu, aku akan pergi," Arabel memohon pada keluarga Maxime."Jangan biarkan dia tinggal di sini, sayang. Aku tidak ingin dia merusak kebahagiaan kita sebagai pengantin baru." Menanggapi hal tersebut, Maura tampak ketakutan karena Arabel akan tetap berada di kediaman Maxime."Maura, kamu harus yakin saya tidak akan mengganggu rumah tangga kamu. Yang saya inginkan hanyalah berada di dekat anak saya. Karena Prince adalah putraku, kamu tidak punya hak untuk mencegahku menemuinya." Menanggapi pernyataan Maura, Arabel membalas.Siska menghela nafas panjan
Nawang sangat terkejut melihat putri keduanya ada di tengah-tengah keluarga angkuh itu. Maura tidak ingin jika orang lain tahu Nawang adalah Ibu kandungnya, dia pun segera bergegas pergi untuk menghindar. "Tunggu, Maura!" Panggil Arabel. Maura pun menghentikan langkahnya. "Mau ke mana kamu? Kenapa kamu terlihat panik dan seperti menghindar? Kamu takut dengan siapa wanita yang ada dihadapan kamu?" timpal Arabel kembali. Maura memasang wajah kesal, ketika Arabel coba membongkar rahasianya. "Pak polisi, tolong bawa wanita ini. Dia bersalah! Tunggu apalagi? Cepat bawa!" pinta Maura kepada kawanan polisi. Maura tidak ingin semua orang curiga hingga dia kembali menghindar dan menjauh dari Nawang. Nawang pun semakin heran, mengapa Maura bersikap seperti tidak mengenalinya. "Tolong lepaskan anak saya, dia tidak bersalah. Nyonya yang terhormat, tolong jangan bawa anak saya, saya yakin ini hanya salah paham!" ucap Nawang memohon kepada Siska. Namun, Siska tetap kekeh untuk memb
Secangkir kopi hitam untuk Maxime yang dibawa Bi sumi pun sengaja di tumpahkan ke berkas warisan itu. "Aduh! Maaf, Non, Tuan Maxime saya tidak sengaja," ucap Bi Sumi usai menumpahkan minuman tersebut. "Gimana sih, Bi! Kalau jalan tuh liat-liat dong! Bibi tau nggak, itu berkas penting yang akan saya tandatangani. Jadi kotor kan sekarang!" gerutu Maura kesal. Rencana untuk mendapatkan warisan pun gagal kembali. Satu langkah untuk mendapatkan warisan itu akhirnya sirna. "Ada apa ini ribut-ribut?" sahut Frans dan Siska menghampiri Maura dan Maxime di kamar. "Papa! Liat nih ulah pembantu kita, dia numpahin minuman di surat warisan ini! Pah, aku mau Papa sama Mama pecat dia!" Maura mengadu. Mendengar ucapan Maura membuat Bi sumi tercengang. Dia tidak ingin keluar dari rumah keluarga Frans, karena Bi Sumi di beri amanat oleh Arabel untuk selalu menjaga Prince dari jahatnya Maura. "Tuan, Nyonya, ampuni saya. Saya minta maaf nggih, saya nggak sengaja numpahin kopi itu. Tolong jangan pec