Share

Bab 5

Satu minggu kemudian

Aksa menatap Vania dengan mata berbinar, tangan gemetar memegang mikrofon. Napasnya terasa berat seiring dengan detak jantung yang kencang.

Dengan suara yang berusaha dikendalikan namun tetap lantang, ia melafalkan, "Saya terima nikah dan kawinnya Vania Clarista binti Arya Adipati dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan janji suci yang terucap.

"Bagaimana, para saksi? Sah!"

"SAAHH!!!"

"Alhamdulillah......."

Tatapan kosong Elena Grace yang berada di antara para tamu undangan menyaksikan suaminya yang selama ini ia cintai bersanding dengan perempuan lain. Tak ada air mata yang terjatuh dari pelupuk matanya, hanya ada tatapan pasrah menatap punggung Aksa yang telah selesai mengucapkan ijab qabul dengan lantang.

Di sisi lain, Naomi dan Jovita tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya, dan pasti orang lain akan segan pada keluarga mereka. Kirana dikenal sebagai janda anak satu dengan kekayaan melimpah peninggalan suaminya. Sedangkan Evan, yang hadir di acara itu, celingak-celinguk mencari keberadaan Elena. Ia sungguh muak dengan ketamakan anak dan istrinya itu.

"Elena di mana ya?" gumam Evan dengan cemas karena belum menemukan keberadaan Elena. Ia menyusuri ruangan penuh tamu undangan.

Mata tua itu tak sengaja bertemu dengan tatapan yang tak asing—Elena. Ia bisa melihat dari pancaran matanya yang hancur, kepedihan terukir jelas di wajahnya saat melihat suaminya bersanding bahagia bersama wanita lain.

Evan menarik napas dalam-dalam. Ia merasa kecewa dan tidak berdaya, tidak tahu lagi harus berbuat apa. Hati seorang ayah ini bergetar, menyesal telah gagal membina putranya untuk menjadi pria yang menghargai wanita dengan baik. Dia bisa merasakan kehampaan yang sama melalui tatapan kosong Elena yang begitu memilukan.

Acara ijab qabul itu telah selesai. Kini kedua pasangan pengantin itu berada di altar, terpancar raut bahagia dari wajah mereka tanpa menghiraukan satu hati yang telah mereka hancurkan.

Elena perlahan berjalan keluar dari gedung itu, kakinya membawa dirinya ke taman belakang gedung hotel. Angin malam yang sejuk menyentuh kulitnya namun tak mampu menghapuskan kesedihan yang terasa di hatinya.

Elena duduk di bangku panjang, menatap langit yang bermandikan cahaya rembulan. Ia merasakan seolah-olah hatinya diremas-remas oleh kepedihan yang tak tertahankan.

Dalam kesunyian, Elena berseru kepada dirinya sendiri, "Kenapa Aksa jahat banget? Seandainya bisa bersabar sedikit lagi, aku bisa memberikan dia keturunan. Apa selama ini pengabdianku sebagai seorang istri yang baik itu kurang di matanya?"

Beribu pertanyaan berkecamuk di benaknya. Elena menahan air matanya sekuat tenaga, namun semuanya percuma.

Air matanya mengalir deras bagai air terjun. Elena menutup mulutnya agar suara tangisannya tidak terdengar oleh orang lain, walaupun kondisi taman itu sepi. Bahunya bergetar hebat, darahnya berdesir merasakan sakit yang diberikan oleh suaminya sendiri.

Elena menunduk, kemudian bergumam lirih, “Aku janji, Tuhan. Ini adalah air mata terakhirku yang jatuh karena menangisi lelaki bajingan itu. Tolong berikan aku kekuatan untuk menjalani hari-hariku ke depannya, Tuhan.”

Elena mencoba menghapus air mata yang membasahi wajahnya dengan kedua tangannya. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di kejauhan. Ia kaget dan buru-buru mengusap air matanya, berharap orang itu tidak melihatnya menangis.

Seorang pria muda dengan wajah ramah mendekat. Ia tersenyum ke arah Elena. "Apakah kamu baik-baik saja? Aku melihatmu dari jauh, tampaknya kamu sedang kesulitan," ujarnya dengan nada lembut.

Elena menatap pria itu, merasa tidak enak hati karena ketahuan menangis. "Oh, tidak apa-apa. Hanya... sedikit masalah saja. Terima kasih sudah peduli," balas Elena sambil memaksakan senyum.

Pria itu mengangguk, lalu duduk di sebelah Elena. "Jika kamu ingin berbicara, aku di sini untuk mendengarkan. Aku tidak bisa membantu jika kamu tidak mau menceritakan masalahmu, tapi setidaknya aku bisa menjadi teman yang baik untukmu," tawarnya dengan tulus.

Elena terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran pria tersebut. Mungkin inilah saatnya ia mulai melupakan masa lalunya dan membuka hati untuk menerima kebahagiaan baru.

"Baiklah, mungkin aku akan menceritakan semuanya," ucapnya lirih, mengumpulkan keberanian untuk menceritakan kisahnya.

"Suamiku baru saja menikah dengan wanita lain. Ia tidak mempedulikan perasaanku yang hancur. Huff, tapi aku berusaha tetap tegar," ungkap Elena sambil menatap langit yang dipenuhi bintang itu.

Pria muda itu terkejut mendengar penuturan Elena. "Jadi, yang baru saja menikah itu suamimu?" tanyanya.

Elena mengangguk pelan sambil tersenyum miris. "Aku wanita mandul. Dia hanya menginginkan keturunan dan aku tidak bisa memenuhinya," jawab Elena.

Pria muda itu menatap kasihan pada Elena, namun tatapannya mengandung arti.

***

Setelah acara itu selesai, mereka semua berkumpul di meja makan untuk makan malam bersama. Jovita, Kirana, Naomi, Evan, Vania, Aksa, dan tentu saja mereka tetap mengikutsertakan Elena. Evan menatap wajah sayu milik Elena, kemudian matanya beralih melirik anak, istri, dan menantu barunya yang telah merusak kebahagiaan perempuan lain itu.

“Sayang, ambilin aku daging itu dong,” pinta Vania pada Aksa yang ada di sampingnya dengan nada manja. Aksa tersenyum manis pada Vania kemudian mengambilkan daging ayam yang ada di depan Elena.

Saat tangannya mengambil daging ayam itu, mata Aksa melirik reaksi Elena namun yang ia lihat hanya raut datar saja. Ini membuat Aksa sedikit geram. Ia berharap kalau Elena akan cemburu namun harapannya itu berakhir sia-sia.

“Cepetan dong sayang!” ujar Vania dengan nada merajuk, apalagi ia melihat kalau Aksa melirik-lirik ke arah Elena.

“Ini untukmu sayang.” Aksa menaruh daging ayam itu di piring Vania. Hal itu membuat Vania tersenyum manis hingga membuat Aksa gemas. Sekilas mata Vania melirik pada Elena yang terus fokus pada makanannya itu.

“Ya ampun, sweet banget sih ini pengantin baru,” goda Jovita sambil menaik-turunkan alisnya menatap Vania. Sedangkan Naomi dan Kirana hanya tersenyum tipis. Evan? Dia tetap fokus tanpa memperdulikan drama di meja makan itu.

“Oh ya, kalian mau tinggal di rumah Mami atau tinggal berdua di apartemen yang Mami belikan?” tanya Kirana pada Vania dan Aksa.

“Kalau aku, terserah dari istriku yang cantik ini saja, Mi,” ujar Aksa sambil menatap Vania. Hal itu membuat Vania salah tingkah.

“Ya udah deh, aku mau tinggal di apartemen yang Mami belikan saja dengan Mas Aksa, tapi Elena juga boleh ikut kok,” tutur Vania sambil menatap Elena yang tidak bereaksi apapun itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Aku ikuti permainanmu, wanita pelakor!” ucap Elena dalam hatinya. Diam-diam ia tersenyum smirk.

“Kamu yakin, sayang?” tanya Kirana sambil menyipitkan matanya menatap Vania.

Vania mengangguk cepat sambil tersenyum tipis meyakinkan Maminya. “Vania yakin, Mami. Lagipula Mbak Elena juga masih istri sahnya Mas Aksa,” jawab Vania sambil melirik ke arah Elena.

Aksa tersenyum bangga. Ia tidak salah memilih Vania sebagai istri keduanya. Ternyata, hati Vania sangat lembut. Selain wajahnya yang cantik, hatinya juga baik. Aksa mengelus lembut punggung tangan Vania membuat Vania menatap Aksa dengan senyum manisnya itu.

“Gak sia-sia Ibu milih kamu sebagai menantu ibu. Selain cantik, kamu juga sangat baik, Nak,” puji Naomi.

"Awas saja kalau wanita itu macam-macam sama Elena. Aku tidak akan membiarkannya,” ucap Evan dalam hatinya sambil terus melanjutkan makannya.

Malam itu berlanjut dengan obrolan-obrolan ringan yang terasa menyakitkan bagi Elena. Setiap tawa yang terdengar, setiap senyum yang tergambar di wajah Aksa dan Vania, adalah seperti duri yang menusuk hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status