Share

Bab 9

Aksa tetap terpaku, matanya menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Elena yang biasanya tunduk dan patuh kini berdiri di depannya dengan gunting di tangan, mata bersinar penuh dengan tekad dan kemarahan. Seolah-olah seluruh dunia mereka terhenti, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.

Vania, yang semula tampak menikmati situasi ini, kini mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Dia melangkah mundur perlahan, mulai memahami bahwa situasinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Aksa yang biasanya mendominasi kini justru kehilangan kontrol, dan itu membuatnya merasa terancam.

“Elena, jangan lakukan sesuatu yang bodoh,” Aksa berkata dengan suara serak, mencoba mengambil kembali kendali. Namun, suaranya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ada keraguan di sana, dan Elena bisa merasakannya.

“Kau yang bodoh, Aksa. Kau pikir aku akan terus membiarkan diriku diperlakukan seperti ini?” Elena membalas, menggertakkan giginya. Tangan yang memegang gunting bergetar, tapi bukan karena takut—melainkan karena adrenalin yang mengalir cepat dalam tubuhnya.

Vania mencoba melangkah maju, suaranya penuh kehati-hatian. “Elena, taruh guntingnya. Ini tidak perlu berakhir seperti ini. Kita bisa bicara, kita bisa mencari jalan keluar yang lebih baik.”

Namun, Elena tidak menoleh sedikitpun ke arah Vania. Fokusnya hanya pada Aksa, yang masih berdiri tidak jauh darinya. “Kalian berdua telah menghancurkan hidupku. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku hanya ingin satu hal—bebas dari kalian.”

Aksa akhirnya mengambil langkah kecil mendekat, meskipun hatinya penuh keraguan. “Elena, letakkan gunting itu. Kita bisa mencari solusi. Aku janji, aku akan berubah, aku akan...”

“Berubah?” Elena memotongnya dengan tawa pendek yang penuh dengan kepahitan. “Kau pikir aku akan percaya padamu setelah semua yang kau lakukan? Tidak, Aksa. Kau sudah kehilangan kesempatan itu.”

Dengan perlahan, Elena mulai melangkah mundur menuju pintu, gunting masih teracung di depan. “Aku akan pergi dari sini, dan kau tidak akan bisa menghentikanku,” lanjutnya dengan tegas, meskipun di dalam hatinya, dia merasa ketakutan mulai mengintai lagi.

Aksa melihat bahwa Elena benar-benar serius, dan untuk pertama kalinya, dia merasa ketakutan. Bukan hanya ketakutan akan keselamatannya sendiri, tetapi ketakutan akan kehilangan kendali yang selama ini dia pegang teguh.

Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, Elena sudah mencapai pintu. Dengan satu gerakan cepat, Aksa menarik tangan Elena kembali hingga membuat Elena kembali menghadapnya.

PLAKK!!! PLAKK!!!

Aksa menampar kedua pipi Elena dengan kuat hingga Elena terbaring di lantai, lehernya dicekik dengan kuat oleh tangan Aksa. Nafasnya tersengal-sengal, matanya mulai berair karena rasa sakit dan kekurangan oksigen.

Pikiran Elena berkabut, sementara tubuhnya berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman Aksa yang semakin erat. Dia merasakan dunia di sekitarnya mulai memudar, tapi ada suara dalam hatinya yang memerintahnya untuk tidak menyerah, untuk terus melawan.

Aksa, dengan tatapan dingin dan penuh amarah, menunduk lebih dekat ke wajah Elena. “Kamu masih istriku, Elena. Kamu tidak akan ke mana-mana tanpa izinku,” desisnya, suaranya begitu rendah dan berbahaya. “Aku bisa membuat hidupmu lebih buruk dari ini, jadi jangan pernah berpikir untuk lari dariku.”

Elena mencoba meronta, tangannya meraba-raba lantai untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai senjata. Tapi kekuatannya semakin melemah, cengkeraman Aksa di lehernya begitu kuat, menghilangkan hampir semua kemampuan Elena untuk melawan. Air mata mulai mengalir dari sudut matanya, bukan hanya karena rasa sakit fisik, tetapi juga karena perasaan putus asa yang semakin mendalam.

“Elena, berhentilah melawan! Kau tak akan menang,” desis Aksa dengan suara rendah dan penuh amarah. Matanya menyala dengan kemarahan yang nyaris tak terkendali, sementara tangannya tetap mencengkeram leher Elena dengan kuat.

Elena berusaha untuk membalas, tapi suaranya keluar hanya sebagai bisikan yang nyaris tak terdengar, “Kau... tidak akan... bisa... mengendalikan aku, Aksa...”

Vania, yang berdiri di dekat mereka, menyaksikan adegan itu dengan tatapan yang datar. Ada rasa puas di wajahnya, seolah melihat Elena yang dulunya menjadi ancaman kini terbaring tak berdaya di bawah kekuasaan Aksa.

Elena berjuang sekuat tenaga untuk tetap sadar, meskipun pandangannya mulai kabur. Di dalam hatinya, dia merasa ketakutan yang mendalam, tetapi juga kemarahan yang mendidih. Dia tidak ingin menyerah, tapi tubuhnya sudah hampir mencapai batasnya. Sebuah suara kecil di dalam benaknya memohon pada dirinya sendiri untuk bertahan, tapi semua mulai terasa sia-sia.

“Lepaskan... aku...” Elena berbisik dengan sisa-sisa kekuatannya. Namun, itu hanya membuat Aksa mempererat cengkeramannya lebih keras.

“Kau tak punya pilihan, Elena,” kata Aksa dengan dingin, matanya menatapnya dengan penuh kebencian. “Kau akan patuh, atau aku akan memastikan kau tidak pernah bisa melawan lagi.”

Tepat ketika Elena hampir kehilangan kesadaran, Aksa tiba-tiba melepaskan cengkeramannya, membuat Elena terbatuk-batuk, berusaha menghirup udara yang sangat dibutuhkannya. “Lihatlah dirimu, begitu lemah,” kata Aksa sambil berdiri, menatap Elena yang tergeletak di lantai dengan tatapan penuh penghinaan.

Elena merosot di lantai, berusaha keras untuk mendapatkan kembali kekuatannya, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak. Dengan napas yang terengah-engah, dia menatap Aksa dengan penuh kebencian, meskipun tubuhnya sudah hampir menyerah.

“Ini belum berakhir,” bisik Elena, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Aksa. Namun, meski suaranya lemah, ada keteguhan dalam kata-katanya yang menunjukkan bahwa dia belum sepenuhnya menyerah.

Aksa berdiri di atasnya, melihat ke bawah dengan rasa jijik bercampur kemarahan. "Dengar, Elena. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Mulai sekarang, kamu akan mengikuti semua aturanku. Tidak ada lagi pembangkangan, tidak ada lagi usaha untuk melarikan diri. Jika kamu mencoba lagi, aku akan memastikan kamu benar-benar menyesalinya."

Elena hanya bisa menatapnya dengan pandangan yang penuh kebencian, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan atau bahkan untuk merespon. Dia merasa terkunci dalam perangkap yang tidak bisa dia hindari, dan untuk pertama kalinya, dia merasa benar-benar terjebak tanpa jalan keluar.

Vania melangkah mendekat, dengan senyum sinis di wajahnya. "Kau dengar, kan, Elena? Sebaiknya kau mulai terbiasa dengan keadaan ini. Tidak ada tempat lain untukmu sekarang."

Elena tidak merespons, hanya terbaring di lantai dengan napas yang tersengal-sengal. Tubuhnya terasa lemah dan pikirannya terasa kosong, tetapi di dalam hatinya, ada tekad yang kecil namun terus menyala. Dia tahu bahwa dia harus bertahan, meskipun hanya dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya.

Aksa berbalik dan meninggalkan Elena yang terbaring di lantai, sementara Vania mengikuti di belakangnya. Pintu kamar mereka tertutup dengan keras, meninggalkan Elena sendirian di ruangan yang dingin dan sunyi.

Dengan perlahan, Elena mencoba menggerakkan tubuhnya, meskipun rasa sakit di lehernya begitu hebat. Dia tahu bahwa malam ini bukanlah akhir, meskipun rasanya seperti itu. Dia harus bertahan—dia harus menemukan cara untuk keluar dari neraka ini, bagaimanapun caranya.

Sedetik kemudian, seringai tipis terukir dibibirnya, kemudian ia berkata, "baiklah, jika itu mau kalian. Aku akan tetap bertahan disini, dan aku akan membalikkan keadaan."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Khotipah
gak sesuai dengan judul,kenapa dibiarkan tertindas sampe kelamaan.seakan akan yg jahat selalu menang gak seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status