Share

Bab 7

Elena kembali pulang ke apartemen tempatnya tinggal. Saat ia membuka pintu, ternyata Aksa dan Vania sedang bercumbu mesra di atas sofa depan TV. Elena terdiam sejenak, kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam kamar dengan raut datar.

“Elena! Dari mana saja kamu?” tanya Aksa, menghentikan langkah Elena.

Elena berhenti, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap Aksa dan Vania. “Aku hanya keluar sebentar, mencari udara segar,” jawabnya dengan nada tenang. Namun, di dalam hatinya, perasaannya bergemuruh. Ternyata, tidak semudah itu menghilangkan rasa cinta sepenuhnya pada Aksa, dan ia baru menyadarinya.

"Kenapa kamu keluar, tidak pamit sama aku, hah?!" desis Aksa dengan nada tajam, membuat Elena mengernyitkan dahinya.

"Pamit?" Elena menatap Aksa dengan tajam, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Pamit untuk apa? Toh, kamu lagi sibuk bercumbu dengan istri barumu itu, gak usah terlalu membatasi ku mulai saat ini!" jawabnya dengan nada yang tegas dan dingin.

Aksa terlihat terkejut dengan reaksi Elena yang tiba-tiba berubah. "Apa maksudmu, Elena? Aku hanya khawatir," kata Aksa, berusaha meredakan ketegangan.

Elena mendekatkan dirinya ke Aksa, menatapnya langsung ke mata. "Khawatir? Kamu benar-benar lucu, Aksa. Kau mengkhawatirkanku sementara kau sibuk bercumbu mesra dengan istri barumu di sofa depan mata kepalaku sendiri," ucap Elena dengan suara yang tegas dan penuh dengan sindiran.

Vania yang mendengar ucapan Elena, merasa tidak nyaman dan mencoba menghentikan perdebatan. "Mbak Elena, kita semua hanya ingin hidup damai di sini. Tidak perlu memperuncing masalah," katanya dengan nada lembut.

Elena mengalihkan pandangannya ke Vania dan tersenyum sinis. "Damai? Kau pikir aku bisa hidup damai melihat suamiku sendiri menghancurkan pernikahan kami dan menikah lagi hanya karena aku belum bisa memberinya keturunan? Kau pikir itu adil, Vania?" tanya Elena dengan nada yang semakin menusuk.

Aksa merasa bersalah mendengar kata-kata Elena. Ia mencoba membela diri, namun kata-kata Elena terus menyerangnya tanpa ampun. "Elena, aku... aku tidak bermaksud menyakitimu, tapi kamu harus paham juga Elena kalau aku ingin punya anak, jangan egois Elena!" kata Aksa dengan suara tegas.

Elena mendekat lebih dekat lagi, hingga jarak antara mereka hanya beberapa inci. "Terlambat, Aksa. Kamu sudah menyakitiku lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Tapi percayalah, aku tidak akan diam saja dan membiarkan diriku terpuruk. Aku akan bangkit, dan kamu akan menyesali semua yang sudah kamu lakukan," ujar Elena dengan penuh ketegasan.

Aksa terdiam, tidak mampu berkata-kata lagi. Vania yang melihat situasi semakin memburuk, mencoba menenangkan Elena. "Mbak Elena, aku mengerti perasaanmu. Tapi, bisakah kita mencoba menyelesaikan ini dengan kepala dingin?" pintanya dengan suara pelan.

Elena menatap Vania dengan tatapan dingin. "Kepala dingin? Mungkin itu yang harusnya kau pikirkan sebelum mengambil suami orang lain," katanya dengan nada tajam sebelum berbalik dan melangkah pergi ke kamarnya.

Di dalam kamarnya, Elena menahan air matanya yang hampir jatuh. Ia tahu bahwa kata-katanya tadi sangat keras, tetapi itu adalah perasaannya yang sebenarnya.

Setelah hatinya sudah mulai tenang, ia kemudian berjalan keluar kembali ke lantai bawah. Elena ingin memasak sesuatu untuk dirinya, dan ia bertekad akan untuk mencari pekerjaan lagi.

Elena memasuki dapur dan mulai menyiapkan bahan-bahan untuk memasak. Ia sangat ingin masak ayam kecap, makanan kesukaannya. Saat sedang memasak, Elena mendengar langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat Aksa berdiri di ambang pintu dapur.

"Elena, kamu mau masak untuk kita semua kan? Kebetulan Vania juga sudah lapar," ujar Aksa dengan lembut, berusaha untuk menjadi suami yang baik juga buat Elena.

Elena mendatarkan wajahnya, kemudian ia kembali melakukan aktivitasnya untuk memasak. "Aku masak untuk diriku sendiri, Aksa. Kalau kalian lapar, masak saja sendiri, lagipula Vania juga istrimu. Harusnya dia melayanimu dengan baik, bukan malah membiarkan mu lapar seperti ini," jawab Elena dengan nada ketus, tanpa menoleh ke arah Aksa.

Aksa mengepalkan tangannya, ia tidak suka melihat perubahan Elena yang mulai keras kepala dan sudah tidak patuh padanya. Ia mengambil sebuah piring kaca lalu membantingnya di samping Elena, membuat Elena terperanjat kaget dan menoleh pada Aksa.

PRANGG!!!

"Jangan main-main sama aku, Elena! Jangan pikir karena aku baik selama ini, kamu bisa bersikap seenaknya!" teriak Aksa dengan mata yang melotot marah.

Elena terperanjat, tangannya gemetar melihat pecahan piring yang berserakan di lantai. Namun, ia mencoba menguasai dirinya. "Aksa, sudah cukup! Jangan lagi tunjukkan kekerasan di depanku. Kamu memilih untuk menikah lagi, jadi kamu harus terima konsekuensinya!" jawab Elena dengan nada tegas, meskipun hatinya berdegup kencang. Kemudian ia melanjutkan, "Baik katamu? Cih! Jangan bicara omong kosong di depanku, entah sudah berapa kali kamu melakukan kekerasan denganku, dan sekarang kamu bilang kalau dirimu baik? KAMU JAHAT AKSA, JAHATT!!!" teriak Elena membuat Aksa terdiam di tempatnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status