Elena kembali pulang ke apartemen tempatnya tinggal. Saat ia membuka pintu, ternyata Aksa dan Vania sedang bercumbu mesra di atas sofa depan TV. Elena terdiam sejenak, kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam kamar dengan raut datar.
“Elena! Dari mana saja kamu?” tanya Aksa, menghentikan langkah Elena. Elena berhenti, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap Aksa dan Vania. “Aku hanya keluar sebentar, mencari udara segar,” jawabnya dengan nada tenang. Namun, di dalam hatinya, perasaannya bergemuruh. Ternyata, tidak semudah itu menghilangkan rasa cinta sepenuhnya pada Aksa, dan ia baru menyadarinya. "Kenapa kamu keluar, tidak pamit sama aku, hah?!" desis Aksa dengan nada tajam, membuat Elena mengernyitkan dahinya. "Pamit?" Elena menatap Aksa dengan tajam, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Pamit untuk apa? Toh, kamu lagi sibuk bercumbu dengan istri barumu itu, gak usah terlalu membatasi ku mulai saat ini!" jawabnya dengan nada yang tegas dan dingin. Aksa terlihat terkejut dengan reaksi Elena yang tiba-tiba berubah. "Apa maksudmu, Elena? Aku hanya khawatir," kata Aksa, berusaha meredakan ketegangan. Elena mendekatkan dirinya ke Aksa, menatapnya langsung ke mata. "Khawatir? Kamu benar-benar lucu, Aksa. Kau mengkhawatirkanku sementara kau sibuk bercumbu mesra dengan istri barumu di sofa depan mata kepalaku sendiri," ucap Elena dengan suara yang tegas dan penuh dengan sindiran. Vania yang mendengar ucapan Elena, merasa tidak nyaman dan mencoba menghentikan perdebatan. "Mbak Elena, kita semua hanya ingin hidup damai di sini. Tidak perlu memperuncing masalah," katanya dengan nada lembut. Elena mengalihkan pandangannya ke Vania dan tersenyum sinis. "Damai? Kau pikir aku bisa hidup damai melihat suamiku sendiri menghancurkan pernikahan kami dan menikah lagi hanya karena aku belum bisa memberinya keturunan? Kau pikir itu adil, Vania?" tanya Elena dengan nada yang semakin menusuk. Aksa merasa bersalah mendengar kata-kata Elena. Ia mencoba membela diri, namun kata-kata Elena terus menyerangnya tanpa ampun. "Elena, aku... aku tidak bermaksud menyakitimu, tapi kamu harus paham juga Elena kalau aku ingin punya anak, jangan egois Elena!" kata Aksa dengan suara tegas. Elena mendekat lebih dekat lagi, hingga jarak antara mereka hanya beberapa inci. "Terlambat, Aksa. Kamu sudah menyakitiku lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Tapi percayalah, aku tidak akan diam saja dan membiarkan diriku terpuruk. Aku akan bangkit, dan kamu akan menyesali semua yang sudah kamu lakukan," ujar Elena dengan penuh ketegasan. Aksa terdiam, tidak mampu berkata-kata lagi. Vania yang melihat situasi semakin memburuk, mencoba menenangkan Elena. "Mbak Elena, aku mengerti perasaanmu. Tapi, bisakah kita mencoba menyelesaikan ini dengan kepala dingin?" pintanya dengan suara pelan. Elena menatap Vania dengan tatapan dingin. "Kepala dingin? Mungkin itu yang harusnya kau pikirkan sebelum mengambil suami orang lain," katanya dengan nada tajam sebelum berbalik dan melangkah pergi ke kamarnya. Di dalam kamarnya, Elena menahan air matanya yang hampir jatuh. Ia tahu bahwa kata-katanya tadi sangat keras, tetapi itu adalah perasaannya yang sebenarnya. Setelah hatinya sudah mulai tenang, ia kemudian berjalan keluar kembali ke lantai bawah. Elena ingin memasak sesuatu untuk dirinya, dan ia bertekad akan untuk mencari pekerjaan lagi. Elena memasuki dapur dan mulai menyiapkan bahan-bahan untuk memasak. Ia sangat ingin masak ayam kecap, makanan kesukaannya. Saat sedang memasak, Elena mendengar langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat Aksa berdiri di ambang pintu dapur. "Elena, kamu mau masak untuk kita semua kan? Kebetulan Vania juga sudah lapar," ujar Aksa dengan lembut, berusaha untuk menjadi suami yang baik juga buat Elena. Elena mendatarkan wajahnya, kemudian ia kembali melakukan aktivitasnya untuk memasak. "Aku masak untuk diriku sendiri, Aksa. Kalau kalian lapar, masak saja sendiri, lagipula Vania juga istrimu. Harusnya dia melayanimu dengan baik, bukan malah membiarkan mu lapar seperti ini," jawab Elena dengan nada ketus, tanpa menoleh ke arah Aksa. Aksa mengepalkan tangannya, ia tidak suka melihat perubahan Elena yang mulai keras kepala dan sudah tidak patuh padanya. Ia mengambil sebuah piring kaca lalu membantingnya di samping Elena, membuat Elena terperanjat kaget dan menoleh pada Aksa. PRANGG!!! "Jangan main-main sama aku, Elena! Jangan pikir karena aku baik selama ini, kamu bisa bersikap seenaknya!" teriak Aksa dengan mata yang melotot marah. Elena terperanjat, tangannya gemetar melihat pecahan piring yang berserakan di lantai. Namun, ia mencoba menguasai dirinya. "Aksa, sudah cukup! Jangan lagi tunjukkan kekerasan di depanku. Kamu memilih untuk menikah lagi, jadi kamu harus terima konsekuensinya!" jawab Elena dengan nada tegas, meskipun hatinya berdegup kencang. Kemudian ia melanjutkan, "Baik katamu? Cih! Jangan bicara omong kosong di depanku, entah sudah berapa kali kamu melakukan kekerasan denganku, dan sekarang kamu bilang kalau dirimu baik? KAMU JAHAT AKSA, JAHATT!!!" teriak Elena membuat Aksa terdiam di tempatnya.Aksa terdiam, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah, tapi ada kilatan keraguan di matanya. Sebelum ia bisa merespons, Vania muncul di ambang pintu dapur, wajahnya cemas. “Sayang, sudahlah. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik,” katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan, membuat Elena jijik melihatnya. Elena dengan napas masih memburu, memandang Vania dengan tatapan dingin. "Kau bilang bicara baik-baik? Lucu, karena seingatku, kau tak pernah memberi kesempatan untuk berbicara sebelum merebut suamiku," kata Elena dengan tajam, lalu berbalik untuk melanjutkan memasak, seolah ingin menutup pembicaraan.Namun, Aksa tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan gerakan cepat, dia meraih lengan Elena dan menariknya keras hingga tubuh Elena berputar menghadapnya. “Jangan berpura-pura jadi korban, Elena! Kamu tahu apa yang terjadi! Kamu yang tak bisa memberikan aku anak! Kau pikir aku bisa terus bersabar?!" Aksa membentak, napasnya berat karena emosi yang tak terkendali.Elena men
Aksa tetap terpaku, matanya menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Elena yang biasanya tunduk dan patuh kini berdiri di depannya dengan gunting di tangan, mata bersinar penuh dengan tekad dan kemarahan. Seolah-olah seluruh dunia mereka terhenti, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Vania, yang semula tampak menikmati situasi ini, kini mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Dia melangkah mundur perlahan, mulai memahami bahwa situasinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Aksa yang biasanya mendominasi kini justru kehilangan kontrol, dan itu membuatnya merasa terancam.“Elena, jangan lakukan sesuatu yang bodoh,” Aksa berkata dengan suara serak, mencoba mengambil kembali kendali. Namun, suaranya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ada keraguan di sana, dan Elena bisa merasakannya.“Kau yang bodoh, Aksa. Kau pikir aku akan terus membiarkan diriku diperlakukan seperti ini?” Elena membalas, menggertakkan giginya. Tangan yang memegang gunting bergetar, tapi bukan kare
Elena Grace baru saja turun dari taksi, rambut cokelat blonde-nya berkilau di bawah sinar matahari sore. Senyum manisnya, yang selalu tampak di bibir merah delima miliknya itu, memancarkan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya. Ia baru saja menerima kabar baik dari dokter kandungan, sesuatu yang sudah lama ia nantikan. Elena sangat bahagia, karena dokter kandungan itu mengatakan kalau dirinya tidak mandul. “Terima kasih, Pak. Kembaliannya untuk Bapak saja,” kata Elena kepada sopir taksi, dengan nada ramah dan penuh syukur. “Wah, terima kasih, Mbak,” jawab sopir itu ramah, sedikit terkejut dengan kemurahan hati Elena. Elena melangkah masuk ke rumah minimalisnya yang terkesan mewah. Dinding putih bersih dan dekorasi modern memberikan kesan elegan, meskipun ruangannya tidak terlalu besar. Dari dalam, terdengar suara tawa suaminya yang sedang berbincang dengan seseorang. Suara itu mengingatkannya pada realita yang harus dihadapinya setiap hari. “Sepertinya ibu dengan Vita datang
Malam itu, rumah minimalis Elena dipenuhi dengan kesibukan persiapan menyambut tamu istimewa. Namun, yang paling sibuk tentu saja Elena. Ia mulai memasak, menata makanan di meja makan, mengepel, dan membersihkan seluruh rumah. Sementara yang lain hanya sibuk bersolek. Selama mengerjakan semua pekerjaan itu, pikiran Elena terus tertuju pada tamu istimewa yang mereka sebutkan. Siapa sebenarnya tamu istimewa itu? Mengapa perasaannya begitu tidak enak? Tak lama kemudian, ia melihat ayah mertuanya melintas di dekatnya. "Ayah!" panggil Elena. Evan langsung menoleh menatap Elena. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat menantunya itu. Entah apa yang ada di pikiran Aksa sampai harus mengabaikan istrinya yang baik hati ini. Ia sebenarnya muak dengan sikap Aksa yang seperti itu, tapi ia sadar bahwa semuanya adalah hasutan dari istrinya. Sudah sering ia menasihati Naomi untuk tidak ikut campur dalam rumah tangga anaknya, tetapi Naomi sangat keras kepala. "Iya, Nak, ada apa?" tanya Ev
“Dia siapa, Jeng?” tanya Kirana sambil menunjuk Elena yang lusuh itu dengan dagunya, bahkan matanya menatap jijik ke arah Elena.Naomi melototkan matanya menatap Elena, sementara mata Evan seolah ingin menerkam istrinya. Tega sekali Naomi menjodohkan Aksa sementara dia sudah memiliki istri.“Dia...” Baru saja Evan akan membuka mulut untuk memberitahukan status Elena, tiba-tiba saja Aksa menyerobot ucapan ayahnya.“Dia pembantu di rumah ini,” sahut Aksa sambil menatap tajam pada Elena. Aksa mengkode Elena untuk masuk ke dapur saja, namun Elena masih tetap berdiri di tempatnya dengan air mata yang mengalir deras.“M-Mas...” ucap Elena lirih, hatinya semakin sakit saat mendengar suaminya sendiri mengatakan bahwa dia adalah seorang pembantu. Melihat Elena yang akan membuka suara lagi, tiba-tiba Naomi langsung memotong ucapannya.“Oh ya Mbok, cepat beresin semua pecahan gelas ini dan bawa yang baru,” perintah Naomi berusaha bersikap lembut, namun tatapan matanya seolah ingin menerkam Elena
Aksa kembali bergabung dengan mereka yang ada di ruang tamu. Ia melihat ayahnya juga sudah tidak ada di ruangan itu. Aksa tahu ayahnya pasti kecewa dengan keputusannya, tapi ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah mengatur semua rencana perjodohan itu.Vania menatap lekat wajah Aksa yang tampan itu, senyum manis terukir di bibirnya. Aksa yang ditatap seperti itu juga tersenyum manis pada Vania."Ya ampun, belum sah udah senyum-senyum aja nih!" goda Jovita yang duduk di dekat Vania.Naomi tertawa pelan, "Oke, karena Aksa sudah ada di sini, bagaimana kalau kita tentukan saja hari pernikahan mereka?" usul Naomi yang sudah tidak sabar punya menantu kaya raya.Kirana menganggukkan kepalanya sambil menatap Aksa dan Vania bergantian. Ia kemudian berucap, "Bagaimana kalau satu minggu lagi? Menurutku, lebih cepat lebih baik," saran Kirana.Vania dan Aksa mengangguk setuju, begitu pun dengan Jovita dan Naomi. Mereka berdua tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan jadi orang kaya, b
Satu minggu kemudianAksa menatap Vania dengan mata berbinar, tangan gemetar memegang mikrofon. Napasnya terasa berat seiring dengan detak jantung yang kencang.Dengan suara yang berusaha dikendalikan namun tetap lantang, ia melafalkan, "Saya terima nikah dan kawinnya Vania Clarista binti Arya Adipati dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan janji suci yang terucap."Bagaimana, para saksi? Sah!""SAAHH!!!""Alhamdulillah......."Tatapan kosong Elena Grace yang berada di antara para tamu undangan menyaksikan suaminya yang selama ini ia cintai bersanding dengan perempuan lain. Tak ada air mata yang terjatuh dari pelupuk matanya, hanya ada tatapan pasrah menatap punggung Aksa yang telah selesai mengucapkan ijab qabul dengan lantang.Di sisi lain, Naomi dan Jovita tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya, dan pasti orang lain akan segan pada keluarga mereka. Kirana dikenal sebagai janda anak satu dengan kekayaan meli
Keesokan paginya, Aksa dan Vania membereskan barang-barangnya untuk pindah ke apartemen yang telah diberikan oleh Kirana. Begitu pula dengan Elena, ia dengan santai dan raut malas menyiapkan barang-barangnya. Saat ini Elena sudah tidak tidur bersama dengan Aksa melainkan ia pindah kamar, tentu saja atas perintah Naomi.Tok... Tok... Tok...Suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Elena dengan langkah malas berjalan untuk membuka pintu itu. Ia menghembuskan napas kasar di balik pintu kemudian membukanya. Ia mendatarkan wajahnya saat melihat Aksa yang berdiri di depan pintu kamarnya, tentu saja bersama dengan Vania yang bergelayut manja di lengan Aksa.“Udah selesai? Lama banget sih!” ketus Aksa dengan nada datar, sementara Vania tersenyum tipis menatap Elena.Elena menangkap pandangan tanda cinta yang menghiasi leher Vania, seakan-akan gadis itu sengaja mengenakan tank top untuk memancing emosinya. Tak hanya itu, tanda merah di leher Aksa juga tampak begitu mencolok. Dada Elena terasa s
Aksa tetap terpaku, matanya menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Elena yang biasanya tunduk dan patuh kini berdiri di depannya dengan gunting di tangan, mata bersinar penuh dengan tekad dan kemarahan. Seolah-olah seluruh dunia mereka terhenti, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Vania, yang semula tampak menikmati situasi ini, kini mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Dia melangkah mundur perlahan, mulai memahami bahwa situasinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Aksa yang biasanya mendominasi kini justru kehilangan kontrol, dan itu membuatnya merasa terancam.“Elena, jangan lakukan sesuatu yang bodoh,” Aksa berkata dengan suara serak, mencoba mengambil kembali kendali. Namun, suaranya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ada keraguan di sana, dan Elena bisa merasakannya.“Kau yang bodoh, Aksa. Kau pikir aku akan terus membiarkan diriku diperlakukan seperti ini?” Elena membalas, menggertakkan giginya. Tangan yang memegang gunting bergetar, tapi bukan kare
Aksa terdiam, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah, tapi ada kilatan keraguan di matanya. Sebelum ia bisa merespons, Vania muncul di ambang pintu dapur, wajahnya cemas. “Sayang, sudahlah. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik,” katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan, membuat Elena jijik melihatnya. Elena dengan napas masih memburu, memandang Vania dengan tatapan dingin. "Kau bilang bicara baik-baik? Lucu, karena seingatku, kau tak pernah memberi kesempatan untuk berbicara sebelum merebut suamiku," kata Elena dengan tajam, lalu berbalik untuk melanjutkan memasak, seolah ingin menutup pembicaraan.Namun, Aksa tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan gerakan cepat, dia meraih lengan Elena dan menariknya keras hingga tubuh Elena berputar menghadapnya. “Jangan berpura-pura jadi korban, Elena! Kamu tahu apa yang terjadi! Kamu yang tak bisa memberikan aku anak! Kau pikir aku bisa terus bersabar?!" Aksa membentak, napasnya berat karena emosi yang tak terkendali.Elena men
Elena kembali pulang ke apartemen tempatnya tinggal. Saat ia membuka pintu, ternyata Aksa dan Vania sedang bercumbu mesra di atas sofa depan TV. Elena terdiam sejenak, kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam kamar dengan raut datar. “Elena! Dari mana saja kamu?” tanya Aksa, menghentikan langkah Elena. Elena berhenti, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap Aksa dan Vania. “Aku hanya keluar sebentar, mencari udara segar,” jawabnya dengan nada tenang. Namun, di dalam hatinya, perasaannya bergemuruh. Ternyata, tidak semudah itu menghilangkan rasa cinta sepenuhnya pada Aksa, dan ia baru menyadarinya. "Kenapa kamu keluar, tidak pamit sama aku, hah?!" desis Aksa dengan nada tajam, membuat Elena mengernyitkan dahinya. "Pamit?" Elena menatap Aksa dengan tajam, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Pamit untuk apa? Toh, kamu lagi sibuk bercumbu dengan istri barumu itu, gak usah terlalu membatasi ku mulai saat ini!" jawabnya dengan nada yang tegas dan d
Keesokan paginya, Aksa dan Vania membereskan barang-barangnya untuk pindah ke apartemen yang telah diberikan oleh Kirana. Begitu pula dengan Elena, ia dengan santai dan raut malas menyiapkan barang-barangnya. Saat ini Elena sudah tidak tidur bersama dengan Aksa melainkan ia pindah kamar, tentu saja atas perintah Naomi.Tok... Tok... Tok...Suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Elena dengan langkah malas berjalan untuk membuka pintu itu. Ia menghembuskan napas kasar di balik pintu kemudian membukanya. Ia mendatarkan wajahnya saat melihat Aksa yang berdiri di depan pintu kamarnya, tentu saja bersama dengan Vania yang bergelayut manja di lengan Aksa.“Udah selesai? Lama banget sih!” ketus Aksa dengan nada datar, sementara Vania tersenyum tipis menatap Elena.Elena menangkap pandangan tanda cinta yang menghiasi leher Vania, seakan-akan gadis itu sengaja mengenakan tank top untuk memancing emosinya. Tak hanya itu, tanda merah di leher Aksa juga tampak begitu mencolok. Dada Elena terasa s
Satu minggu kemudianAksa menatap Vania dengan mata berbinar, tangan gemetar memegang mikrofon. Napasnya terasa berat seiring dengan detak jantung yang kencang.Dengan suara yang berusaha dikendalikan namun tetap lantang, ia melafalkan, "Saya terima nikah dan kawinnya Vania Clarista binti Arya Adipati dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan janji suci yang terucap."Bagaimana, para saksi? Sah!""SAAHH!!!""Alhamdulillah......."Tatapan kosong Elena Grace yang berada di antara para tamu undangan menyaksikan suaminya yang selama ini ia cintai bersanding dengan perempuan lain. Tak ada air mata yang terjatuh dari pelupuk matanya, hanya ada tatapan pasrah menatap punggung Aksa yang telah selesai mengucapkan ijab qabul dengan lantang.Di sisi lain, Naomi dan Jovita tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya, dan pasti orang lain akan segan pada keluarga mereka. Kirana dikenal sebagai janda anak satu dengan kekayaan meli
Aksa kembali bergabung dengan mereka yang ada di ruang tamu. Ia melihat ayahnya juga sudah tidak ada di ruangan itu. Aksa tahu ayahnya pasti kecewa dengan keputusannya, tapi ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah mengatur semua rencana perjodohan itu.Vania menatap lekat wajah Aksa yang tampan itu, senyum manis terukir di bibirnya. Aksa yang ditatap seperti itu juga tersenyum manis pada Vania."Ya ampun, belum sah udah senyum-senyum aja nih!" goda Jovita yang duduk di dekat Vania.Naomi tertawa pelan, "Oke, karena Aksa sudah ada di sini, bagaimana kalau kita tentukan saja hari pernikahan mereka?" usul Naomi yang sudah tidak sabar punya menantu kaya raya.Kirana menganggukkan kepalanya sambil menatap Aksa dan Vania bergantian. Ia kemudian berucap, "Bagaimana kalau satu minggu lagi? Menurutku, lebih cepat lebih baik," saran Kirana.Vania dan Aksa mengangguk setuju, begitu pun dengan Jovita dan Naomi. Mereka berdua tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan jadi orang kaya, b
“Dia siapa, Jeng?” tanya Kirana sambil menunjuk Elena yang lusuh itu dengan dagunya, bahkan matanya menatap jijik ke arah Elena.Naomi melototkan matanya menatap Elena, sementara mata Evan seolah ingin menerkam istrinya. Tega sekali Naomi menjodohkan Aksa sementara dia sudah memiliki istri.“Dia...” Baru saja Evan akan membuka mulut untuk memberitahukan status Elena, tiba-tiba saja Aksa menyerobot ucapan ayahnya.“Dia pembantu di rumah ini,” sahut Aksa sambil menatap tajam pada Elena. Aksa mengkode Elena untuk masuk ke dapur saja, namun Elena masih tetap berdiri di tempatnya dengan air mata yang mengalir deras.“M-Mas...” ucap Elena lirih, hatinya semakin sakit saat mendengar suaminya sendiri mengatakan bahwa dia adalah seorang pembantu. Melihat Elena yang akan membuka suara lagi, tiba-tiba Naomi langsung memotong ucapannya.“Oh ya Mbok, cepat beresin semua pecahan gelas ini dan bawa yang baru,” perintah Naomi berusaha bersikap lembut, namun tatapan matanya seolah ingin menerkam Elena
Malam itu, rumah minimalis Elena dipenuhi dengan kesibukan persiapan menyambut tamu istimewa. Namun, yang paling sibuk tentu saja Elena. Ia mulai memasak, menata makanan di meja makan, mengepel, dan membersihkan seluruh rumah. Sementara yang lain hanya sibuk bersolek. Selama mengerjakan semua pekerjaan itu, pikiran Elena terus tertuju pada tamu istimewa yang mereka sebutkan. Siapa sebenarnya tamu istimewa itu? Mengapa perasaannya begitu tidak enak? Tak lama kemudian, ia melihat ayah mertuanya melintas di dekatnya. "Ayah!" panggil Elena. Evan langsung menoleh menatap Elena. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat menantunya itu. Entah apa yang ada di pikiran Aksa sampai harus mengabaikan istrinya yang baik hati ini. Ia sebenarnya muak dengan sikap Aksa yang seperti itu, tapi ia sadar bahwa semuanya adalah hasutan dari istrinya. Sudah sering ia menasihati Naomi untuk tidak ikut campur dalam rumah tangga anaknya, tetapi Naomi sangat keras kepala. "Iya, Nak, ada apa?" tanya Ev
Elena Grace baru saja turun dari taksi, rambut cokelat blonde-nya berkilau di bawah sinar matahari sore. Senyum manisnya, yang selalu tampak di bibir merah delima miliknya itu, memancarkan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya. Ia baru saja menerima kabar baik dari dokter kandungan, sesuatu yang sudah lama ia nantikan. Elena sangat bahagia, karena dokter kandungan itu mengatakan kalau dirinya tidak mandul. “Terima kasih, Pak. Kembaliannya untuk Bapak saja,” kata Elena kepada sopir taksi, dengan nada ramah dan penuh syukur. “Wah, terima kasih, Mbak,” jawab sopir itu ramah, sedikit terkejut dengan kemurahan hati Elena. Elena melangkah masuk ke rumah minimalisnya yang terkesan mewah. Dinding putih bersih dan dekorasi modern memberikan kesan elegan, meskipun ruangannya tidak terlalu besar. Dari dalam, terdengar suara tawa suaminya yang sedang berbincang dengan seseorang. Suara itu mengingatkannya pada realita yang harus dihadapinya setiap hari. “Sepertinya ibu dengan Vita datang