Share

Pembalasan Istri Mandul Yang Kusia-siakan
Pembalasan Istri Mandul Yang Kusia-siakan
Penulis: Nur Avillah

Bab 1

Elena Grace baru saja turun dari taksi, rambut cokelat blonde-nya berkilau di bawah sinar matahari sore. Senyum manisnya, yang selalu tampak di bibir merah delima miliknya itu, memancarkan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya. Ia baru saja menerima kabar baik dari dokter kandungan, sesuatu yang sudah lama ia nantikan. Elena sangat bahagia, karena dokter kandungan itu mengatakan kalau dirinya tidak mandul.

“Terima kasih, Pak. Kembaliannya untuk Bapak saja,” kata Elena kepada sopir taksi, dengan nada ramah dan penuh syukur.

“Wah, terima kasih, Mbak,” jawab sopir itu ramah, sedikit terkejut dengan kemurahan hati Elena.

Elena melangkah masuk ke rumah minimalisnya yang terkesan mewah. Dinding putih bersih dan dekorasi modern memberikan kesan elegan, meskipun ruangannya tidak terlalu besar. Dari dalam, terdengar suara tawa suaminya yang sedang berbincang dengan seseorang. Suara itu mengingatkannya pada realita yang harus dihadapinya setiap hari.

“Sepertinya ibu dengan Vita datang,” gumam Elena, napasnya tersendat. Jantungnya berdebar kencang.

Ibu mertua dan adik iparnya selalu sulit dihadapinya, meski Elena sudah berusaha sebaik mungkin. Berbagai usaha untuk mengambil hati mereka sering kali berakhir dengan cibiran dan makian. Perlahan, dengan tangan gemetar, dia membuka pintu rumah, mempersiapkan diri menghadapi sikap dingin mereka.

“Assalamu’alaikum,” sapa Elena pelan, suaranya hampir tak terdengar karena campuran antara ketakutan dan rasa hormat.

Elena Grace, yang dulunya seorang Kristen Protestan, telah menjadi mualaf setelah menikah dengan Aksa Damian.

“Wa’alaikumussalam. Dari mana saja kamu? Istri macam apa yang kerjanya keluyuran terus, bukannya ngurus suami di rumah,” sindir ibu mertuanya, Naomi Damian, tajam. Mata Naomi menyipit menatap Elena seakan-akan dia adalah musuh terbesar dalam hidupnya.

Baru masuk, tuduhan langsung menghujaninya. Jovita, adik iparnya yang masih duduk di bangku SMA, menatapnya dengan penuh kebencian, seolah Elena adalah penyebab segala masalah di dunia ini.

“Maaf, Ibu, aku bukan keluyuran. Aku baru saja dari dokter kandungan,” jawab Elena, ia berharap kalau suaminya akan membelanya. Namun, Aksa hanya diam dan tenggelam dalam percakapan dengan ibunya.

“Halah, mandul gitu kok sok-sokan ke dokter kandungan,” cibir Jovita sinis. Ucapan itu bagai belati yang menusuk hati Elena, menambah luka yang belum sembuh.

Elena menahan perasaan sakit yang menyesakkan dadanya. Air matanya hampir tumpah, tapi ia menahan sekuat tenaga. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan mereka.

“Aku nggak mandul, Mas. Baru saja aku periksa di dokter kandungan tadi,” katanya pada Aksa dengan senyum yang dipaksakan, ia mencoba mempertahankan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya.

“Elena...” Aksa baru saja ingin berbicara, tapi ibunya memotong dengan nada yang lebih tajam.

“Halah, kalau kamu nggak mandul, kenapa satu tahun menikah belum juga punya anak? Dasar istri nggak guna!” seru Naomi dengan senyum mengejek. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti racun yang merusak semangat Elena.

Elena tak bisa lagi menahan sabarnya. “ELENA JUGA NGGAK MAU SEPERTI INI, BU!” teriaknya, amarah yang ia pendam akhirnya meledak. Air mata mengalir deras di pipinya yang mulai tirus itu.

Aksa, Jovita, dan Naomi terperanjat kaget. Emosi mereka memuncak melihat keberanian Elena yang tiba-tiba itu.

“ELENA!” Aksa berteriak marah melihat kelancangan Elena.

PLAK!

Aksa menampar pipi Elena dengan keras hingga Elena terjatuh dilantai. Hatinya hancur melihat suaminya berubah begitu. Luka batin yang ia pendam selama ini seolah-olah terkuak, menambah rasa sakit yang sudah tak tertahankan.

“Aku nggak pernah ngajarin kamu buat neriakin ibu! Minta maaf sekarang!” Aksa membentaknya, matanya berkilat marah.

“Cih! Udah miskin, yatim piatu, sekarang nggak sopan lagi sama ibu. Kalau bukan karena Bang Aksa, mungkin kamu udah jadi gelandangan!” tambah Jovita dengan nada menghina.

“MINTA MAAF SEKARANG!” Aksa menjambak rambut Elena dan menariknya dengan kasar.

“Aww, sakit, Mas!” ringis Elena, ia menahan rasa sakit yang semakin menumpuk.

Aksa mendorong Elena hingga bersimpuh di kaki ibunya. “Minta maaf cepat!” bentaknya lagi, suara Aksa menggelegar di telinga Elena.

“Bu, Elena minta maaf,” kata Elena serak dan gemetar, hatinya hancur berkeping-keping.

Naomi menyeringai puas. “Pergi! Aku muak lihat wajahmu!”

Elena berdiri dengan susah payah, ia ingin masuk ke kamar untuk menenangkan diri.

“Eitss, siapa yang nyuruh kamu masuk kamar?” celetuk Aksa dengan nada mengejek.

“Aku harus apa, Mas?” tanya Elena lirih, hampir putus asa.

“Cepat masakin makan malam. Ibu dan Jovita menginap malam ini,” jawab Aksa tanpa rasa iba.

Elena menatap suaminya. “Tapi aku butuh uang buat beli bahan makanan,” katanya dengan nada hati-hati, ia takut mendapat perlakuan kasar lagi.

“Aku belum gajian. Pakai uang kamu saja dulu,” jawab Aksa sekenanya.

“Tapi, Mas...” Ucapan Elena dipotong oleh Naomi yang tak sabar.

“Pelit banget sih kamu, pakai uang mu saja,” sahut Naomi tanpa sedikitpun peduli.

“Tapi bu, uang Elena juga sudah habis,” jawab Elena dengan lirih, mencoba menjelaskan.

“Kamu perhitungan banget,” timpal Jovita sinis, matanya menatap Elena dengan penuh kebencian.

Tiba-tiba pintu terbuka. Evan Damian, ayah Aksa, masuk dengan belanjaan di tangannya. Ketenangan yang dibawanya sedikit mengurangi ketegangan di ruangan itu.

“Assalamu’alaikum,” sapa Evan dengan senyum ramah.

“Wa’alaikumussalam,” jawab mereka serempak, sedikit terkejut dengan kedatangannya.

“Nak Elena, ini ayah belikan bahan makanan,” kata Evan ramah, ia menyerahkan tas belanjaan itu pada Elena.

“Mas, itu tugas dia yang belanja. Kok malah kamu yang belanja sih,” celetuk Naomi kesal, ia tidak suka melihat perhatian suaminya pada menantunya itu.

“Sudahlah, kita juga datang mendadak tanpa ngabarin Elena dulu. Elena pasti nggak sempat menyiapkan semuanya,” jawab Evan, ia mencoba menenangkan situasi, namun membuat Naomi semakin marah.

“Mari nak, ayah bantu masak,” tawar Evan, menawarkan bantuan dengan tulus.

“Gak usah, Yah. Biar Elena saja yang masak,” jawab Elena cepat, tidak ingin merepotkan ayah mertuanya yang baik hati itu.

“Kalau ada yang kurang, kasih tahu ayah ya,” ucap Evan, melirik sinis pada Aksa, ia kecewa dengan sikap putranya itu.

“Baik, Yah,” jawab Elena dengan senyum lemah. Dia melangkah ke dapur, tapi suara Naomi menghentikannya.

“Masak yang enak. Malam ini kita kedatangan tamu spesial dan hal penting,” tutur Naomi, membuat Elena bertanya-tanya, tetapi dia hanya mengangguk dan melanjutkan langkahnya ke dapur dengan beban berat di pundaknya.

Elena melangkah ke dapur dengan hati yang berkecamuk. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah-olah seluruh beban dunia ada di pundaknya. Suara-suara dari ruang tamu terdengar samar di telinganya, sementara pikirannya berputar-putar memikirkan tamu spesial yang dimaksud Naomi. Siapakah yang akan datang? Dan apa hal penting yang akan dibicarakan malam ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status