“Dia siapa, Jeng?” tanya Kirana sambil menunjuk Elena yang lusuh itu dengan dagunya, bahkan matanya menatap jijik ke arah Elena.
Naomi melototkan matanya menatap Elena, sementara mata Evan seolah ingin menerkam istrinya. Tega sekali Naomi menjodohkan Aksa sementara dia sudah memiliki istri. “Dia...” Baru saja Evan akan membuka mulut untuk memberitahukan status Elena, tiba-tiba saja Aksa menyerobot ucapan ayahnya. “Dia pembantu di rumah ini,” sahut Aksa sambil menatap tajam pada Elena. Aksa mengkode Elena untuk masuk ke dapur saja, namun Elena masih tetap berdiri di tempatnya dengan air mata yang mengalir deras. “M-Mas...” ucap Elena lirih, hatinya semakin sakit saat mendengar suaminya sendiri mengatakan bahwa dia adalah seorang pembantu. Melihat Elena yang akan membuka suara lagi, tiba-tiba Naomi langsung memotong ucapannya. “Oh ya Mbok, cepat beresin semua pecahan gelas ini dan bawa yang baru,” perintah Naomi berusaha bersikap lembut, namun tatapan matanya seolah ingin menerkam Elena. Begitu juga dengan Jovita yang menatap tidak suka ke arah Elena. Awas saja kalau pernikahan abangnya dan Kak Vania gagal, ia tidak akan segan-segan menindas Elena lagi. Tangan Elena terkepal erat. Ia mengusap air matanya dengan kasar. Sudah cukup kesabarannya diperlakukan seperti ini. Selama ini ia sudah berusaha bersikap baik di depan mertua dan suaminya, tetapi balasan yang ia terima justru pengkhianatan dan penghinaan. Kali ini Elena tidak mau ditindas lagi. “AKU ISTRIMU, MAS! KAMU TEGA BANGET NGATAIN AKU PEMBANTU!” teriak Elena keras, membuat mereka semua tersentak kaget. Sementara Evan memandang sayu ke arah Elena, ingin rasanya ia memukul putranya itu. “Be-benarkah itu, Jeng?” tanya Kirana dengan gugup pada Naomi. Seketika wajah Naomi terlihat pucat pasi. Dia tidak ingin rencananya gagal. Namun, dengan berat hati, Naomi menganggukkan kepalanya pelan. Terlihat raut wajah Kirana berubah drastis, seolah menanggung kekecewaan. Ia ingin membatalkan perjodohan ini, tetapi setelah melihat wajah putrinya yang menginginkan pernikahan itu, hati Kirana menjadi bimbang. Aksa mengepalkan tangannya sambil melirik tajam ke arah Elena, tapi tatapannya itu dibalas seringaian oleh Elena. “Mami, tapi Vania pengen menikah sama Kak Aksa!” rajuk Vania sambil mengerucutkan bibirnya menatap maminya. Ia sudah terpesona dengan ketampanan Aksa sejak pertama bertemu tadi, pesona pria matang yang membuatnya tergila-gila. “Tapi, Nak...” Kirana berusaha ingin membatalkan pernikahan itu, namun dengan cepat Vania memotong ucapannya. “Enggak, Mami. Pokoknya Vania mau nikah sama Kak Aksa!” tekan Vania sambil merangkul lengan Aksa di sampingnya. Bibir Aksa tersenyum tipis menatap Vania yang semakin menggemaskan di matanya. Tangannya terulur mengusap rambut Vania dengan lembut. “DASAR PEREMPUAN MURAHAN! ITU SUAMI SAYA!” hardik Elena, napasnya naik turun dengan ritme cepat menandakan kemarahan yang sudah tidak bisa ia bendung. Aksa mengepalkan tangannya erat, namun dengan lembut ia melepaskan rangkulan Vania di lengannya. Ia kemudian berdiri dan menarik tangan Elena dengan kasar, membawa istrinya ke lantai dua ke kamar mereka. Evan juga dengan kesal meninggalkan ruang tamu, merasa harga dirinya diinjak-injak oleh istri dan anaknya sendiri. “Kenapa kamu mau menjodohkan putramu dengan putriku, Jeng?” tanya Kirana dengan nada mengintimidasi. Vania hanya menundukkan kepalanya, merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Naomi menghela napas pelan. “Sebenarnya aku sangat kasihan melihat putraku, Jeng. Dia tertekan hidup bersama istrinya saat ini. Istrinya tidak melayaninya dengan baik. Lebih parahnya lagi, sudah satu tahun pernikahan mereka tapi belum juga dikaruniai anak.” Naomi berusaha memasang ekspresi sedih di wajahnya, aktingnya benar-benar layak diacungi jempol. Kirana mengangguk paham, lalu berkata, “Baiklah, pernikahan antara Aksa dan Vania akan dilanjutkan, tapi ada syaratnya...” Kirana menggantung ucapannya, membuat Naomi semakin penasaran. Naomi mengangguk dengan cepat, matanya berbinar-binar mendengar ucapan Kirana. “Apa syaratnya, Jeng?” Kirana tersenyum miring. “Setelah menikah nanti, putramu harus lebih menyayangi Vania daripada istri pertamanya. Paham?” tutur Kirana tegas. “Tentu saja, Jeng. Kamu tenang saja, aku yakin kalau Aksa pasti lebih mencintai Vania daripada istri jeleknya itu!” ketus Naomi. Naomi dan Jovita saling lirik, kemudian tersenyum tipis. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya! Di kepala mereka sudah terkumpul berbagai rencana untuk berfoya-foya menggunakan uang menantu mereka itu. Mereka mengenal Kirana dan Vania sekitar dua bulan lalu, di salah satu acara teman mereka. Naomi dan Jovita gencar mendekati Kirana dan Vania karena melihat penampilan mereka yang glamour. Mereka yakin Kirana adalah orang kaya. Kirana sempat menceritakan tentang suaminya yang sudah meninggal akibat kecelakaan pesawat saat perjalanan dinas. Di sisi lain, Aksa menghempaskan tubuh Elena ke atas ranjang dengan kasar. Rahangnya mengetat, wajahnya memerah hingga ke telinganya. Tangannya terkepal erat, penuh emosi. “Kamu mau permalukan aku, hah?!” Aksa mencengkeram dagu Elena dengan kuat, kukunya menusuk pipi Elena. Air mata Elena kembali mengalir melihat perlakuan Aksa padanya. Namun, matanya tak gentar membalas tatapan Aksa. Biarkan kali ini Elena membangkang pada suaminya. “Kamu yang tega, Mas! Aku ini istrimu, kenapa kamu malah menerima pernikahan itu?!” teriak Elena di depan wajah Aksa. PLAK! Aksa menampar wajah Elena dengan kuat, membuat wajahnya tertoleh ke samping. Bibirnya sobek dan berdarah, air matanya mengalir semakin deras merasakan sakit yang berkali-kali lipat. Wajah Aksa semakin memerah melihat Elena yang berani berteriak di depannya. Dadanya naik turun dengan emosi yang semakin memuncak. “Cih! Apa alasanku untuk menolak pernikahan itu, hah?! Vania lebih segalanya dari kamu. Lihat wajahmu yang jelek itu, membuat aku mau muntah saja melihatnya,” hina Aksa. Bibirnya tersenyum sinis kemudian melanjutkan ucapannya, “Kamu jelek, sedangkan Vania cantik. Kamu miskin dan hidup hanya bergantung padaku, sedangkan Vania... dia kaya. Aku yakin dia akan membuat keluargaku semakin bahagia dan terpandang. Dan yang lebih penting, kamu itu... MANDUL,” tekan Aksa dengan penuh kebencian, membanding-bandingkan Vania dengan Elena. Hati Elena semakin sakit mendengar pernyataan suaminya yang mengatakan ia mandul. Selama ini, meskipun sikap Aksa sangat kasar padanya, Aksa tidak pernah mengatakannya mandul. Tapi kali ini, Aksa benar-benar sudah terpengaruh oleh ibu dan gadis itu. “Brengsek kamu, Mas! Pokoknya aku mau cerai sama kamu!” pekik Elena dengan mata yang menyala-nyala. Ia sudah tidak tahan ditindas seperti ini oleh suami dan mertuanya. PLAK! PLAK! Sekali lagi, Aksa menampar pipi Elena dengan kuat hingga membuat Elena memekik kesakitan. Kini pipinya terlihat membiru. “Sampai kapan pun aku tidak akan menceraikanmu. Ingat itu!” hardik Aksa, kemudian berjalan keluar dari kamar itu dan mengunci Elena di dalamnya. Elena menggigit bibirnya untuk menahan air mata yang ingin mendesak keluar, tetapi usahanya sia-sia. Air mata mengalir deras di pipinya yang tirus dan kini membiru. “Aku tidak akan membiarkan istri keduamu hidup bahagia di rumah ini!” tekad Elena dengan mata memerah, tangannya terkepal erat menatap jejak kaki Aksa yang menghilang di balik pintu. Di bawah, suasana semakin tegang. Kirana menatap Naomi dengan tatapan tidak percaya. “Kenapa kamu mau menjodohkan putramu dengan putriku, Jeng?” tanyanya dengan nada mengintimidasi. Naomi menghela napas pelan. “Sebenarnya aku sangat kasihan melihat putraku, Jeng. Dia tertekan hidup bersama istrinya saat ini. Istrinya tidak melayaninya dengan baik. Lebih parahnya lagi , sudah satu tahun pernikahan mereka tapi belum juga dikaruniai anak.” Naomi berusaha memasang ekspresi sedih di wajahnya, aktingnya benar-benar layak diacungi jempol. Kirana mengangguk paham, lalu berkata, “Baiklah, pernikahan antara Aksa dan Vania akan dilanjutkan, tapi ada syaratnya...” Kirana menggantung ucapannya, membuat Naomi semakin penasaran. Naomi mengangguk dengan cepat, matanya berbinar-binar mendengar ucapan Kirana. “Apa syaratnya, Jeng?” Kirana tersenyum miring. “Setelah menikah nanti, putramu harus lebih menyayangi Vania daripada istri pertamanya. Paham?” tutur Kirana tegas. “Tentu saja, Jeng. Kamu tenang saja, aku yakin kalau Aksa pasti lebih mencintai Vania daripada istri jeleknya itu!” ketus Naomi. Naomi dan Jovita saling lirik, kemudian tersenyum tipis. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya! Di kepala mereka sudah terkumpul berbagai rencana untuk berfoya-foya menggunakan uang menantu mereka itu. Sementara itu, di dalam kamar, Elena merenung. Ia menatap cermin, melihat wajahnya yang dipenuhi air mata dan memar. “Aku tidak pantas diperlakukan seperti ini,” gumamnya pada diri sendiri. Ia tahu, apapun keputusan yang akan diambilnya, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Aksa kembali bergabung dengan mereka yang ada di ruang tamu. Ia melihat ayahnya juga sudah tidak ada di ruangan itu. Aksa tahu ayahnya pasti kecewa dengan keputusannya, tapi ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah mengatur semua rencana perjodohan itu.Vania menatap lekat wajah Aksa yang tampan itu, senyum manis terukir di bibirnya. Aksa yang ditatap seperti itu juga tersenyum manis pada Vania."Ya ampun, belum sah udah senyum-senyum aja nih!" goda Jovita yang duduk di dekat Vania.Naomi tertawa pelan, "Oke, karena Aksa sudah ada di sini, bagaimana kalau kita tentukan saja hari pernikahan mereka?" usul Naomi yang sudah tidak sabar punya menantu kaya raya.Kirana menganggukkan kepalanya sambil menatap Aksa dan Vania bergantian. Ia kemudian berucap, "Bagaimana kalau satu minggu lagi? Menurutku, lebih cepat lebih baik," saran Kirana.Vania dan Aksa mengangguk setuju, begitu pun dengan Jovita dan Naomi. Mereka berdua tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan jadi orang kaya, b
Satu minggu kemudianAksa menatap Vania dengan mata berbinar, tangan gemetar memegang mikrofon. Napasnya terasa berat seiring dengan detak jantung yang kencang.Dengan suara yang berusaha dikendalikan namun tetap lantang, ia melafalkan, "Saya terima nikah dan kawinnya Vania Clarista binti Arya Adipati dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan janji suci yang terucap."Bagaimana, para saksi? Sah!""SAAHH!!!""Alhamdulillah......."Tatapan kosong Elena Grace yang berada di antara para tamu undangan menyaksikan suaminya yang selama ini ia cintai bersanding dengan perempuan lain. Tak ada air mata yang terjatuh dari pelupuk matanya, hanya ada tatapan pasrah menatap punggung Aksa yang telah selesai mengucapkan ijab qabul dengan lantang.Di sisi lain, Naomi dan Jovita tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya, dan pasti orang lain akan segan pada keluarga mereka. Kirana dikenal sebagai janda anak satu dengan kekayaan meli
Keesokan paginya, Aksa dan Vania membereskan barang-barangnya untuk pindah ke apartemen yang telah diberikan oleh Kirana. Begitu pula dengan Elena, ia dengan santai dan raut malas menyiapkan barang-barangnya. Saat ini Elena sudah tidak tidur bersama dengan Aksa melainkan ia pindah kamar, tentu saja atas perintah Naomi.Tok... Tok... Tok...Suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Elena dengan langkah malas berjalan untuk membuka pintu itu. Ia menghembuskan napas kasar di balik pintu kemudian membukanya. Ia mendatarkan wajahnya saat melihat Aksa yang berdiri di depan pintu kamarnya, tentu saja bersama dengan Vania yang bergelayut manja di lengan Aksa.“Udah selesai? Lama banget sih!” ketus Aksa dengan nada datar, sementara Vania tersenyum tipis menatap Elena.Elena menangkap pandangan tanda cinta yang menghiasi leher Vania, seakan-akan gadis itu sengaja mengenakan tank top untuk memancing emosinya. Tak hanya itu, tanda merah di leher Aksa juga tampak begitu mencolok. Dada Elena terasa s
Elena kembali pulang ke apartemen tempatnya tinggal. Saat ia membuka pintu, ternyata Aksa dan Vania sedang bercumbu mesra di atas sofa depan TV. Elena terdiam sejenak, kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam kamar dengan raut datar. “Elena! Dari mana saja kamu?” tanya Aksa, menghentikan langkah Elena. Elena berhenti, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap Aksa dan Vania. “Aku hanya keluar sebentar, mencari udara segar,” jawabnya dengan nada tenang. Namun, di dalam hatinya, perasaannya bergemuruh. Ternyata, tidak semudah itu menghilangkan rasa cinta sepenuhnya pada Aksa, dan ia baru menyadarinya. "Kenapa kamu keluar, tidak pamit sama aku, hah?!" desis Aksa dengan nada tajam, membuat Elena mengernyitkan dahinya. "Pamit?" Elena menatap Aksa dengan tajam, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Pamit untuk apa? Toh, kamu lagi sibuk bercumbu dengan istri barumu itu, gak usah terlalu membatasi ku mulai saat ini!" jawabnya dengan nada yang tegas dan d
Aksa terdiam, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah, tapi ada kilatan keraguan di matanya. Sebelum ia bisa merespons, Vania muncul di ambang pintu dapur, wajahnya cemas. “Sayang, sudahlah. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik,” katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan, membuat Elena jijik melihatnya. Elena dengan napas masih memburu, memandang Vania dengan tatapan dingin. "Kau bilang bicara baik-baik? Lucu, karena seingatku, kau tak pernah memberi kesempatan untuk berbicara sebelum merebut suamiku," kata Elena dengan tajam, lalu berbalik untuk melanjutkan memasak, seolah ingin menutup pembicaraan.Namun, Aksa tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan gerakan cepat, dia meraih lengan Elena dan menariknya keras hingga tubuh Elena berputar menghadapnya. “Jangan berpura-pura jadi korban, Elena! Kamu tahu apa yang terjadi! Kamu yang tak bisa memberikan aku anak! Kau pikir aku bisa terus bersabar?!" Aksa membentak, napasnya berat karena emosi yang tak terkendali.Elena men
Aksa tetap terpaku, matanya menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Elena yang biasanya tunduk dan patuh kini berdiri di depannya dengan gunting di tangan, mata bersinar penuh dengan tekad dan kemarahan. Seolah-olah seluruh dunia mereka terhenti, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Vania, yang semula tampak menikmati situasi ini, kini mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Dia melangkah mundur perlahan, mulai memahami bahwa situasinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Aksa yang biasanya mendominasi kini justru kehilangan kontrol, dan itu membuatnya merasa terancam.“Elena, jangan lakukan sesuatu yang bodoh,” Aksa berkata dengan suara serak, mencoba mengambil kembali kendali. Namun, suaranya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ada keraguan di sana, dan Elena bisa merasakannya.“Kau yang bodoh, Aksa. Kau pikir aku akan terus membiarkan diriku diperlakukan seperti ini?” Elena membalas, menggertakkan giginya. Tangan yang memegang gunting bergetar, tapi bukan kare
Elena Grace baru saja turun dari taksi, rambut cokelat blonde-nya berkilau di bawah sinar matahari sore. Senyum manisnya, yang selalu tampak di bibir merah delima miliknya itu, memancarkan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya. Ia baru saja menerima kabar baik dari dokter kandungan, sesuatu yang sudah lama ia nantikan. Elena sangat bahagia, karena dokter kandungan itu mengatakan kalau dirinya tidak mandul. “Terima kasih, Pak. Kembaliannya untuk Bapak saja,” kata Elena kepada sopir taksi, dengan nada ramah dan penuh syukur. “Wah, terima kasih, Mbak,” jawab sopir itu ramah, sedikit terkejut dengan kemurahan hati Elena. Elena melangkah masuk ke rumah minimalisnya yang terkesan mewah. Dinding putih bersih dan dekorasi modern memberikan kesan elegan, meskipun ruangannya tidak terlalu besar. Dari dalam, terdengar suara tawa suaminya yang sedang berbincang dengan seseorang. Suara itu mengingatkannya pada realita yang harus dihadapinya setiap hari. “Sepertinya ibu dengan Vita datang
Malam itu, rumah minimalis Elena dipenuhi dengan kesibukan persiapan menyambut tamu istimewa. Namun, yang paling sibuk tentu saja Elena. Ia mulai memasak, menata makanan di meja makan, mengepel, dan membersihkan seluruh rumah. Sementara yang lain hanya sibuk bersolek. Selama mengerjakan semua pekerjaan itu, pikiran Elena terus tertuju pada tamu istimewa yang mereka sebutkan. Siapa sebenarnya tamu istimewa itu? Mengapa perasaannya begitu tidak enak? Tak lama kemudian, ia melihat ayah mertuanya melintas di dekatnya. "Ayah!" panggil Elena. Evan langsung menoleh menatap Elena. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat menantunya itu. Entah apa yang ada di pikiran Aksa sampai harus mengabaikan istrinya yang baik hati ini. Ia sebenarnya muak dengan sikap Aksa yang seperti itu, tapi ia sadar bahwa semuanya adalah hasutan dari istrinya. Sudah sering ia menasihati Naomi untuk tidak ikut campur dalam rumah tangga anaknya, tetapi Naomi sangat keras kepala. "Iya, Nak, ada apa?" tanya Ev
Aksa tetap terpaku, matanya menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Elena yang biasanya tunduk dan patuh kini berdiri di depannya dengan gunting di tangan, mata bersinar penuh dengan tekad dan kemarahan. Seolah-olah seluruh dunia mereka terhenti, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Vania, yang semula tampak menikmati situasi ini, kini mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Dia melangkah mundur perlahan, mulai memahami bahwa situasinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Aksa yang biasanya mendominasi kini justru kehilangan kontrol, dan itu membuatnya merasa terancam.“Elena, jangan lakukan sesuatu yang bodoh,” Aksa berkata dengan suara serak, mencoba mengambil kembali kendali. Namun, suaranya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ada keraguan di sana, dan Elena bisa merasakannya.“Kau yang bodoh, Aksa. Kau pikir aku akan terus membiarkan diriku diperlakukan seperti ini?” Elena membalas, menggertakkan giginya. Tangan yang memegang gunting bergetar, tapi bukan kare
Aksa terdiam, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah, tapi ada kilatan keraguan di matanya. Sebelum ia bisa merespons, Vania muncul di ambang pintu dapur, wajahnya cemas. “Sayang, sudahlah. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik,” katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan, membuat Elena jijik melihatnya. Elena dengan napas masih memburu, memandang Vania dengan tatapan dingin. "Kau bilang bicara baik-baik? Lucu, karena seingatku, kau tak pernah memberi kesempatan untuk berbicara sebelum merebut suamiku," kata Elena dengan tajam, lalu berbalik untuk melanjutkan memasak, seolah ingin menutup pembicaraan.Namun, Aksa tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan gerakan cepat, dia meraih lengan Elena dan menariknya keras hingga tubuh Elena berputar menghadapnya. “Jangan berpura-pura jadi korban, Elena! Kamu tahu apa yang terjadi! Kamu yang tak bisa memberikan aku anak! Kau pikir aku bisa terus bersabar?!" Aksa membentak, napasnya berat karena emosi yang tak terkendali.Elena men
Elena kembali pulang ke apartemen tempatnya tinggal. Saat ia membuka pintu, ternyata Aksa dan Vania sedang bercumbu mesra di atas sofa depan TV. Elena terdiam sejenak, kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam kamar dengan raut datar. “Elena! Dari mana saja kamu?” tanya Aksa, menghentikan langkah Elena. Elena berhenti, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap Aksa dan Vania. “Aku hanya keluar sebentar, mencari udara segar,” jawabnya dengan nada tenang. Namun, di dalam hatinya, perasaannya bergemuruh. Ternyata, tidak semudah itu menghilangkan rasa cinta sepenuhnya pada Aksa, dan ia baru menyadarinya. "Kenapa kamu keluar, tidak pamit sama aku, hah?!" desis Aksa dengan nada tajam, membuat Elena mengernyitkan dahinya. "Pamit?" Elena menatap Aksa dengan tajam, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Pamit untuk apa? Toh, kamu lagi sibuk bercumbu dengan istri barumu itu, gak usah terlalu membatasi ku mulai saat ini!" jawabnya dengan nada yang tegas dan d
Keesokan paginya, Aksa dan Vania membereskan barang-barangnya untuk pindah ke apartemen yang telah diberikan oleh Kirana. Begitu pula dengan Elena, ia dengan santai dan raut malas menyiapkan barang-barangnya. Saat ini Elena sudah tidak tidur bersama dengan Aksa melainkan ia pindah kamar, tentu saja atas perintah Naomi.Tok... Tok... Tok...Suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Elena dengan langkah malas berjalan untuk membuka pintu itu. Ia menghembuskan napas kasar di balik pintu kemudian membukanya. Ia mendatarkan wajahnya saat melihat Aksa yang berdiri di depan pintu kamarnya, tentu saja bersama dengan Vania yang bergelayut manja di lengan Aksa.“Udah selesai? Lama banget sih!” ketus Aksa dengan nada datar, sementara Vania tersenyum tipis menatap Elena.Elena menangkap pandangan tanda cinta yang menghiasi leher Vania, seakan-akan gadis itu sengaja mengenakan tank top untuk memancing emosinya. Tak hanya itu, tanda merah di leher Aksa juga tampak begitu mencolok. Dada Elena terasa s
Satu minggu kemudianAksa menatap Vania dengan mata berbinar, tangan gemetar memegang mikrofon. Napasnya terasa berat seiring dengan detak jantung yang kencang.Dengan suara yang berusaha dikendalikan namun tetap lantang, ia melafalkan, "Saya terima nikah dan kawinnya Vania Clarista binti Arya Adipati dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan janji suci yang terucap."Bagaimana, para saksi? Sah!""SAAHH!!!""Alhamdulillah......."Tatapan kosong Elena Grace yang berada di antara para tamu undangan menyaksikan suaminya yang selama ini ia cintai bersanding dengan perempuan lain. Tak ada air mata yang terjatuh dari pelupuk matanya, hanya ada tatapan pasrah menatap punggung Aksa yang telah selesai mengucapkan ijab qabul dengan lantang.Di sisi lain, Naomi dan Jovita tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya, dan pasti orang lain akan segan pada keluarga mereka. Kirana dikenal sebagai janda anak satu dengan kekayaan meli
Aksa kembali bergabung dengan mereka yang ada di ruang tamu. Ia melihat ayahnya juga sudah tidak ada di ruangan itu. Aksa tahu ayahnya pasti kecewa dengan keputusannya, tapi ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah mengatur semua rencana perjodohan itu.Vania menatap lekat wajah Aksa yang tampan itu, senyum manis terukir di bibirnya. Aksa yang ditatap seperti itu juga tersenyum manis pada Vania."Ya ampun, belum sah udah senyum-senyum aja nih!" goda Jovita yang duduk di dekat Vania.Naomi tertawa pelan, "Oke, karena Aksa sudah ada di sini, bagaimana kalau kita tentukan saja hari pernikahan mereka?" usul Naomi yang sudah tidak sabar punya menantu kaya raya.Kirana menganggukkan kepalanya sambil menatap Aksa dan Vania bergantian. Ia kemudian berucap, "Bagaimana kalau satu minggu lagi? Menurutku, lebih cepat lebih baik," saran Kirana.Vania dan Aksa mengangguk setuju, begitu pun dengan Jovita dan Naomi. Mereka berdua tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan jadi orang kaya, b
“Dia siapa, Jeng?” tanya Kirana sambil menunjuk Elena yang lusuh itu dengan dagunya, bahkan matanya menatap jijik ke arah Elena.Naomi melototkan matanya menatap Elena, sementara mata Evan seolah ingin menerkam istrinya. Tega sekali Naomi menjodohkan Aksa sementara dia sudah memiliki istri.“Dia...” Baru saja Evan akan membuka mulut untuk memberitahukan status Elena, tiba-tiba saja Aksa menyerobot ucapan ayahnya.“Dia pembantu di rumah ini,” sahut Aksa sambil menatap tajam pada Elena. Aksa mengkode Elena untuk masuk ke dapur saja, namun Elena masih tetap berdiri di tempatnya dengan air mata yang mengalir deras.“M-Mas...” ucap Elena lirih, hatinya semakin sakit saat mendengar suaminya sendiri mengatakan bahwa dia adalah seorang pembantu. Melihat Elena yang akan membuka suara lagi, tiba-tiba Naomi langsung memotong ucapannya.“Oh ya Mbok, cepat beresin semua pecahan gelas ini dan bawa yang baru,” perintah Naomi berusaha bersikap lembut, namun tatapan matanya seolah ingin menerkam Elena
Malam itu, rumah minimalis Elena dipenuhi dengan kesibukan persiapan menyambut tamu istimewa. Namun, yang paling sibuk tentu saja Elena. Ia mulai memasak, menata makanan di meja makan, mengepel, dan membersihkan seluruh rumah. Sementara yang lain hanya sibuk bersolek. Selama mengerjakan semua pekerjaan itu, pikiran Elena terus tertuju pada tamu istimewa yang mereka sebutkan. Siapa sebenarnya tamu istimewa itu? Mengapa perasaannya begitu tidak enak? Tak lama kemudian, ia melihat ayah mertuanya melintas di dekatnya. "Ayah!" panggil Elena. Evan langsung menoleh menatap Elena. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat menantunya itu. Entah apa yang ada di pikiran Aksa sampai harus mengabaikan istrinya yang baik hati ini. Ia sebenarnya muak dengan sikap Aksa yang seperti itu, tapi ia sadar bahwa semuanya adalah hasutan dari istrinya. Sudah sering ia menasihati Naomi untuk tidak ikut campur dalam rumah tangga anaknya, tetapi Naomi sangat keras kepala. "Iya, Nak, ada apa?" tanya Ev
Elena Grace baru saja turun dari taksi, rambut cokelat blonde-nya berkilau di bawah sinar matahari sore. Senyum manisnya, yang selalu tampak di bibir merah delima miliknya itu, memancarkan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya. Ia baru saja menerima kabar baik dari dokter kandungan, sesuatu yang sudah lama ia nantikan. Elena sangat bahagia, karena dokter kandungan itu mengatakan kalau dirinya tidak mandul. “Terima kasih, Pak. Kembaliannya untuk Bapak saja,” kata Elena kepada sopir taksi, dengan nada ramah dan penuh syukur. “Wah, terima kasih, Mbak,” jawab sopir itu ramah, sedikit terkejut dengan kemurahan hati Elena. Elena melangkah masuk ke rumah minimalisnya yang terkesan mewah. Dinding putih bersih dan dekorasi modern memberikan kesan elegan, meskipun ruangannya tidak terlalu besar. Dari dalam, terdengar suara tawa suaminya yang sedang berbincang dengan seseorang. Suara itu mengingatkannya pada realita yang harus dihadapinya setiap hari. “Sepertinya ibu dengan Vita datang